Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 29


Sehari setelah Ian keluar dari rumah sakit.

Kecewa menghampiri langkahnya ketika masuk ke dalam rumah. Sempat Ian berpikir, mungkin Fio memberi kejutan padanya. Mungkin sesampainya di rumah, raga gadis itu tengah berdiri menyambutnya di pintu. Tapi, zonk. Rumah kabinnya tampak sangat sepi. Pun ketika masuk, Ian hanya disambut oleh pemandangan lantai yang berdebu. Rudi tak sempat membersihkan rumah selagi menemani Ian di rumah sakit untuk beberapa hari.

"Apa Fio tidak menghubungi Paman?"

Rudi meletakkan tas berisi beberapa helai pakaian Ian di atas sofa, disusul dirinya yang merebahkan diri di sana untuk mengusir lelah.

"Tidak. Gadis itu pasti sangat sibuk, Ian. Jangan khawatir, lagi pula, ini belum ada seminggu. Belum tiba di akhir pekan juga," jawab pamannya.

"Apa dia melupakan janjinya? Aku sungguh sangat ingin melihat wajahnya. Padahal, hanya dia gadis pertama yang ingin kulihat, bukan wajah suster genit yang setiap hari datang ke kamarku mengantar makanan. Ugh!"

Ian ikut duduk di hadapan Rudi, ekspresinya terlihat jijik. Membayangkan bagaimana cara suster itu merayu Ian agar segera makan. Heran, ternyata suster semacam itu bukan hanya ada di sinetron, melainkan di kehidupan nyata.

"Bagaimana kalau sambil menunggu Fio berkunjung ke mari, kamu mempersiapkan sesuatu untuknya. Kejutan atau apa gitu?" ide Rudi yang tiba-tiba mampir di kepalanya.

"Kejutan? Memang dia suka apa? Aku belum cukup mengenalnya, Paman."

"Karena itu Ian, kamu yang harus maju lebih dulu. Selama ini, Fio yang selalu nemenin kamu di rumah, ngajak kamu jalan-jalan, tapi kamu malah nggak tau apa-apa soal dia. Jadi, coba pikirkan sesuatu. Apa yang bisa membuat gadis itu kagum selama bersamamu? Biasanya, anak cewek suka tersentuh sama hal-hal yang sederhana."

"Halah, Paman ngomong kayak gitu, seolah-olah Paman ahli dalam berhubungan dengan wanita. Tante Merry aja suka ilfeel karena Paman nggak peka-peka."

"Peka? Soal apa? Apa yang kamu dan Merry bicarakan?"

"Menurut Paman, Tante Merry akan selamanya mau bersabar dan mau menjadi perawan tua?"

Ian menggeleng-gelengkan kepalanya. Rudi sudah berkepala empat. Ian tahu, pamannya itu lebih dari ganteng, tapi sampai kapan akan membujang? Jelas, satu hal yang paling diinginkan oleh seorang wanita ketika sudah dekat cukup lama dengan pria adalah hubungan yang serius. Melangkah ke jenjang yang lebih jauh, menikah, punya keluarga, dan punya anak untuk dirawat bersama sampai hari tua.

"Oh, Merry udah punya calon yang lain?"

"Nggak tau, deh! Aku mau ke kamar, malas bicara sama Paman yang nggak connect!"

"Loh, Ian! Kok malah pergi?"

***

"Ayo, Ian! Pikirkan, sesuatu apa yang disukai cewek? Yang bikin cewek kagum?"

Ian bermonolog sambil berjalan mondar-mandir di dekat jendela kamarnya.

Aku bekerja di sana. Di kantor depan rumahmu. Ruang kerjaku sejajar dengan kamarmu. Setiap hari aku memerhatikanmu melukis.

Sesekali Ian mengintip ke gedung raksasa yang ada di seberang rumahnya, teringat perkataan Fio sebelumnya. Tapi, wajah yang ia nantikan tak muncul juga. Bagaimana mau muncul? Tahu wajahnya saja tidak!

Dan entahlah ... sepertinya aku mulai terobsesi untuk mengenalmu lebih jauh. Anggap saja aku sebagai salah satu pengagum rahasia.

"Kagum? Kagum, ya?"

Ian menjentikkan jarinya dan segera menyiapkan peralatan lukis.

"Benar, Fio mengagumi lukisanku. Kenapa aku nggak buatkan lukisan saja untuknya?"

Ini kali pertamanya memegang kuas dengan pengelihatan sempurna. Ian sedikit gugup, namun ia berusaha melakukan yang terbaik. Ia membawa suasana lebih santai dengan membuka jendela dan membiarkan udara luar masuk. Karena memang sedang musim penghujan, bunyi rintik air dari atas awan menjadi lagu pengiringnya ketika melukis.

Ian hampir menorehkan kuas dan cat airnya di atas kanvas, tapi mendadak ia berhenti.

"Bagaimana aku melukis wajahnya? Aku tidak tahu wajah Fio dengan jelas. Ck."

Ian menurunkan lagi kuasnya, menunduk kesal.

Jika selama ini Ian selalu mengandalkan imajinasinya, tentu ia bisa lebih peka. Saat ia melukis, menentukan letak gambar dengan tepat sudah biasa ia jalani, membayangkan objek dari ingatan masa kecilnya sudah biasa ia lakukan. Lalu, kenapa tidak hal yang sama ia kerjakan pada lukisan Fio?

"Baik, Ian. Ayo bayangkan sosok Fio," ucapnya menyemangati diri. "Bukankah rambutnya sebahu? Aku bisa merasakannya dengan tanganku waktu itu. Bagaimana dengan mata, hidung, dan bagian wajah lainnya?"

Bibir Ian tersenyum. Fio memang selalu melarang Ian menyentuh wajahnya. Tapi, hari itu, di perjalanan pulang dari taman Ayodya, Fio tertidur. Tempat duduk bus yang hanya muat dua orang itu membuat Ian memperoleh kesempatan di dalam kesempitan.

Fio tidur bersandar di bahunya. Ian yang penasaran, dengan sengaja mengusap kepala gadis itu. Lalu, telapak tangannya mulai mengusap pipi Fio. Kemudian, beralih ke mata, hidung, dan terakhir bibir.

"Fio memiliki wajah yang kecil, mata yang sedikit sipit, hidung yang agak lebar dan bibir yang tebal ...," gumam Ian sebelum akhirnya terdiam menatap lukisannya yang setengah jadi.

Benarkah ini Fio?

Seolah ia tak percaya, Fio yang ia bayangkan tak sesuai dengan kenyataan. Lalu, apa Ian salah mengimajinasikan?

Ian mengabaikan pikiran buruknya dan tetap melanjutkan lukisan yang ia buat. Lagi-lagi ia terdiam. Dahinya berkerut, matanya menatap ragu.

"Sebenarnya, kamu gadis yang seperti apa, Fi?"

Alih-alih meneruskan kembali lukisan yang ternyata hampir jadi itu, Ian justru membungkus lukisannya ketika sudah kering dan menyimpannya di balik almari.

"Aku akan memastikan dulu, seperti apa gadis itu. Aku penasaran setengah mati."

Dan sejak saat itu, hingga seminggu terhitung sudah sejak kepulangannya dari rumah sakit, Fio tak juga berkunjung ke rumah Ian. Memaksa lelaki itu untuk keluar dari zona amannya dan menemukan gadis tersebut. Gadis yang berhasil mencuri hatinya, Fiorenza Jovita Eleora.

***

"Lukisan ini, dulu aku yang memulainya. Aku juga yang menghentikannya padahal belum rampung."

Ian mengangkat sebuah kanvas yang telah terbingkai dari balik almarinya. Ia menghela napas, dulu ia sempat merasa terkejut dengan wajah gadis yang ia gambar.

Fio yang ia kira cantik, tidak secantik bayangannya. Mungkin Ian terlalu terbawa perasaan, hingga hal sebesar itu tak sempat terlintas di otaknya. Ketika Ian menumpahkan seluruh imajinasinya ke atas kanvas putih tersebut, barulah ia sadar, Fio adalah gadis yang tak cukup menarik.

Namun, itu hanyalah kesan pertama yang Ian ambil dari gadis di lukisannya. Karena, ia harus memastikan bagaimana Fio yang sesungguhnya. Bentuk tiga dimensinya, dan bukan dua dimensi.

"Maaf, Fi. Aku sempet ragu, kalau ini adalah wajahmu. Tapi ternyata, perkiraanku tak salah. Ini adalah kamu yang sebenarnya."

Ian menatap lama lukisan itu, lalu, tangannya tergerak secara spontan. Ia mengambil peralatan melukisnya dan mulai menyelesaikan lukisan yang sempat tertunda beberapa waktu itu.

"Dan kini, aku sadar satu hal. Hal yang paling menarik dari dirimu adalah keceriaan yang selalu kamu suguhkan padaku, motivasi dan semangat yang tak pernah letih kamu sorakkan untukku, juga ... energi positif yang selalu kamu berikan hingga membuatku dengan segala kekuranganku ini luluh. Bagiku, kamu cantik dengan caramu sendiri."

***

"Fi, cepet juga, ya? Sampe nggak kerasa."

"Cepet apanya, Mbak Jenni?"

"Hari ini, hari terakhir lo magang. Udah enam bulan berlalu, setelah ikut Ujian Kompetensi dan dapet sertifikat, lo udah nggak di sini lagi."

"Mau gimana lagi, Mbak? Kan udah prosedur. Nggak usah sedih, kita masih bisa sering ketemuan, kok."

Sebuah perpisahan yang sebentar lagi datang menjemput, rupanya memberi kebaikan kepada hubungan persahabatan antara Jenni dan Fio. Mereka yang jarang bertatap muka—juga jarang bicara dan saling menyapa—akhirnya dapat saling bersinggungan di tengah hangatnya cuaca Kota Jakarta.

Jenni yang selama ini menghindar, muncul saat Fio baru saja keluar ruangan untuk jam makan siang. Dan di sanalah mereka, di ruangan Jenni yang memiliki balkon terbuka, yang muat untuk dua sampai empat orang di dalamnya. Posisi mereka yang menghadap timur—membelakangi arah cahaya matahari—memberikan kesejukan tersendiri.

Angin yang berhembus, membuat anak rambut Fio yang tergerai beterbangan. Jenni mengulas senyum sambil memandangi wajah Fio yang selama ini ia rindukan. Wajah polos tanpa riasan dengan kacamata minus terpasang apik di tempatnya.

"Maaf, Fi. Gue udah ngambek nggak jelas sama lo. Habisnya, gue nggak suka lo ngerubah penampilan total. Gue lebih suka lo yang begini, nih. Cantiknya natural."

"Natural apa, sih, Mbak? Orang wajah pas-pasan begini aja dibilang cantik. Lagian, harusnya aku yang minta maaf ke Mbak Jenni. Maaf karena ingkar janji."

"Ya udahlah, Fi. Masa lalu biarlah berlalu. Sekarang, di hari terakhir lo di kantor, gue mau lo cerita. Kenapa wajah lo murung gitu? Jujur aja, gue kangen curhatan lo."

"Mbak Jenni emang orang yang selalu peka, ya. Di saat aku lagi banyak pikiran atau sedih karena sesuatu, Mbak pasti yang nanyain duluan."

"Jadi ... bener, 'kan? Lo lagi ada masalah?"

Fio belum sempat menjawab pertanyaan Jenni, tiba-tiba seseorang datang mengetuk pintu. Terpaksa, pembicaraan mereka sedikit terganggu.

"Nih, buat lo."

Tak lama kemudian, Jenni datang membawa dua cup kopi.

"Caffe latte di saat lo banyak pikiran. Gue masih inget, 'kan? Gue emang jenius."

Jenni memuji diri sendiri, setelah itu menyeruput kopi miliknya. Fio memberikan tawanya, ia sangat bahagia bisa memiliki sahabat sebaik Jenni. Walaupun umur mereka terpaut cukup jauh, itu tak menghalangi terkoneksi atau tidaknya percakapan dan pemikiran keduanya. Seperti apa kata orang, bahwa orang yang jauh lebih muda tidak akan memahami arah pikir orang yang jauh lebih dewasa darinya. Nyatanya, Jenni dan Fio bisa meleburkan suasana canggung antara yang muda dan yang dewasa, mereka bahkan bisa seakrab itu sekarang. Semua hanya butuh kecocokan karakter. Karakter Fio dan Jenni saling melengkapi. Jenni bisa menjadi seorang kakak yang selalu punya solusi untuk setiap masalah Fio. Dan Fio selalu punya cara untuk membuat Jenni merasa nyaman bersamanya. Fio adalah gadis yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, apalagi dengan seseorang yang menurutnya bisa mengerti dirinya dengan baik.

"Makasih, Mbak."

"Jadi ... mau cerita apa?"

Fio meminum sedikit caffe latte-nya. Kedua maniknya menerabas ke angkasa, memerhatikan sapuan tipis awan putih yang ada di bawah lapisan warna biru itu.

"Menurut Mbak, apa Ian beneran suka diriku apa adaya?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro