Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21

"Ada yang bisa kubantu?"

"Kamu di sini?"

Fio menghampirinya. Lelaki itu repot menyeleksi karya lukisnya untuk diikutkan dalam sebuah pameran seni. Sungkan, padahal tujuan Fio datang adalah untuk menanyakan kebenaran berita tentang ayah Ian yang ternyata seorang narapidana. Fio bukannya membenci atau apa, gadis itu ingin memastikan bahwa Aaron tak menyebarkan berita seenaknya. Fio tak mau terjebak hoax.

Dan kalaupun kabar itu benar, Fio sangat ingin tahu bagaimana perasaan Ian. Bagaimana tanggapan Ian melewati waktu-waktu sulitnya di masa lalu.

"Nggak ada yang mau kamu ceritain?"

Pertanyaan Fio sontak menghentikan kegiatan Ian memilah-milah. Laki-laki itu berjalan menjauh, mengistirahatkan dirinya di atas sofa yang dekat dengan jendela kamarnya. Kedua tangannya menyangga kepala Ian yang penuh pergulatan pikiran.

Fio meletakkan lukisan yang ia pegang dan duduk menyusul Ian.

"Aku tahu, kamu ada masalah. Aku nggak akan menanyakannya kalau kamu nggak berminat cerita. Aku nggak maksa, kok."

"Benar. Kamu emang seharusnya nggak boleh maksa, karena kita baru kenal. Iya, 'kan?"

Bola mata Fio bergerak resah, menatap lurus ke lantai. Bolehkah ia menyesal? Menyesal karena harus menyamar sebagai Jovi untuk dapat berbicara dengan Ian. Tapi apa gunanya sekarang? Gadis itu sudah memutuskannya dengan penuh pertimbangan. Kalau inilah sanksi yang ia dapatkan—tidak bisa bebas mendengarkan curahan hati Ian—maka ia harus menerimanya.

Menjadi Jovi dan mulai berteman baik dengan Ian, tidak menjamin kalau Fio bebas berbicara hati ke hati dengan lelaki itu. Realitanya, Ian lebih percaya pada gadis yang dikenalnya cukup lama daripada pendatang baru seperti sosok Jovi.

"Lupakan, bagaimana kalau kamu lanjutkan mengemas lukisannya? Aku akan membantu."

"Hm, baiklah. Terima kasih."

***

"Om, jangan bilang sama Ian kalau kita habis ngobrolin ayahnya."

Saat Ian tak ada di rumah, untuk mengirim lukisannya ke sebuah Art Space di daerah Kemang, Fio menanyakan banyak hal pada Rudi. Hanya empat mata. Semua mengenai luka yang pernah Ian derita di masa kecilnya.  Ada bagusnya Aaron tak bisa menjemput Fio sepulang kerja hari itu. Restoran sedang ramai-ramainya. Fio meluangkan waktu sesukanya untuk mendengar dongeng masa kecil Ian.

Kini, gadis itu mengerti. Bagaimana Ian bisa menjadi tunanetra, bagaimana Ian tumbuh menjadi sosok yang kasar dan bagaimana lelaki itu menjadi sangat tertutup dengan orang lain. Ian cuma mau melupakan penderitaannya. Ia juga malu jika orang lain mengetahui masa kecilnya yang menyedihkan. Ian benci dikasihani, itulah yang dapat Fio simpulkan sampai sekarang.

"Bagaimana kamu tahu kalau ayah Ian itu–"

"Ah, itu ... kakak sepupuku. Dia orang yang sangat protektif. Dia sampai menyewa seorang mata-mata untuk mengawasi Ian. Dan, kakakku itu tahu tentang ayah Ian yang baru dibebaskan dari penjara kemarin."

"Tolong jangan menjauhinya, ya. Masa lalu Ian itu bagian dari hidupnya yang tak bisa disalahkan. Ia hanya berjalan mengikuti takdir, tapi sampai sekarang pun ia tak bisa menerima keberadaan ayahnya. Ian masih menaruh kebencian pada ayahnya sendiri."

Apa setelah mengetahui kelamnya masa lalu Ian akan membuat Fio menjauh? Sepertinya Rudi perlu memperbaiki alur pemikirannya. Kekaguman Fio pada Ian terlalu besar, mengenyahkan keegoisannya untuk meninggalkan Ian hanya gara-gara secuil kenangan buruk itu. Fio dengan setulus hati berteman dengan Ian, tak peduli Ian anak dari narapidana, atau bahkan mafia sekali pun. Baginya, Ian yang saat ini adalah seorang lelaki yang baik dan penuh perhatian. Walau terkadang, sangat susah untuk lelaki itu menyalurkan bentuk kepeduliannya. Ian adalah lelaki yang buruk dalam hal mengeskpresikan diri.

"Aku pulang."

Suara pintu terbuka. Ian datang dengan mimik wajah yang sama. Antara sedih dan dingin. Tanpa menyapa Fio, Ian melengos pergi ke kamarnya di lantai dua.

"Maafkan dia. Saat perasaannya sedang buruk, Ian memang suka begitu."

"Tidak apa-apa, Om. Aku mengerti. Lalu ... di mana sekarang ayahnya Ian?" tanya Fio berbisik.

"Tinggal di rumah lamaku karena Ian tak mau seatap dengan ayahnya sendiri."

"Apa Om Danang nggak merindukan anaknya?"

"Dek Fio, mana ada ayah yang nggak kangen anaknya setelah belasan tahun berpisah? Sudah pasti Danang merindukan Austin. Hanya saja, dia menunggu waktu yang tepat. Dan sekarang, bukan keputusan yang bijak jika aku mempertemukannya dengan Ian sebab Ian sendiri masih enggan."

"Austin?"

"Panggilan masa kecil Ian."

"Semoga, mereka bisa segera akur. Karena, dilihat bagaimana pun, dari cerita yang Om jabarin tadi, seharusnya tidak ada masalah antara keduanya. Om Danang cuma depresi karena ditinggal pergi istrinya. Makanya, dia berubah jadi jahat gitu. Dan yang terpenting, Om Danang udah mau kembali ke jalan yang benar. Setelah ini, semua akan baik-baik saja. Iya, 'kan?"

"Kamu benar. Om harap juga begitu."

Percakapan hari itu ditutup dengan perbincangan serius antara Fio dan Rudi. Karena matahari telah tenggelam di peraduan, saatnya Fio pulang.

Di antar sampai ke pintu depan, Fio menjejakkan kakinya keluar dengan langkah berat. Rencananya hari ini untuk membuat Ian nyaman dan tenang gagal total. Karena, yang Ian butuhkan bukanlah Jovi, melainkan Fio.

***

"Fi, dicariin tuh!"

Fio yang baru saja merapikan peralatan kerjanya, sekarang ini harus bergegas menuju ke lobi. Jam makan siang baru saja dimulai, dan gadis itu kedatangan tamu yang sedikit memaksanya menunda makan siang.

"Om Rudi?"

"Wah, wah. Dek Fio, kenapa om baru tahu kalau Dek Fio ubah penampilan seperti ini? Om pikir Dek Fio memakai make up hanya saat bertemu Ian saja."

"Hehe, ini sih saran temen sekantor om, sama kakak sepupu aku juga."

Ya, sejak mendapat banyak pujian akan keahliannya berdandan, Fio jadi terlena. Ia seolah melupakan prinsip yang ia buat—dengan menjadi dirinya sendiri—dan lebih memilih tampil sebagai Jovi. Bahkan di lingkungan kantornya.

"Dek Fio yakin? Nggak bermaksud ikut campur, tapi om lebih suka kamu yang dulu."

"Nggak masalah, Om. Aku ngehargai pendapat Om. Tapi, maaf. Aku rasa sudah mulai nyaman begini. Ian pun lebih suka gadis yang cantik, jadi untuk apa aku harus menjadi Fio yang buruk rupa?"

Rudi bungkam. Tak mengerti jalan pikiran anak gadis, Rudi memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Meskipun, rasa kecewa itu tak bisa ia bantah. Tapi, yang paling berhak mengatur hidup Fio adalah gadis itu sendiri. Rudi tak punya wewenang.

"Apa kamu sudah dengar kabar dari Ian?"

"Kabar apa, Om?"

"Lukisannya lolos seleksi. Dan acara pameran akan digelar besok malam. Apa kamu ada waktu buat datang?"

"Kenapa Om yang ngundang? Harusnya Ian sendiri yang memintaku untuk datang."

"Ian akan sibuk akhir-akhir ini. Dia sedang bersemangat mempersiapkan pameran seni pertamanya. Jadi, om deh yang turun tangan buat kasih kamu undangan. Hadir, ya?"

"Pasti. Makasih, Om."

***

Fio kebingungan memilih dress. Pokoknya ia harus tampil cantik di acara pameran lukisan Ian nanti malam. Gadis itu sampai menyibukkan dirinya di salon. Melakukan spa, memijat wajah, juga perawatan kulit lainnya. Ia tak sendiri, Jenni mau menemaninya—walau merasa terpaksa. Wanita itu tak ingin membuat Fio sedih. Gadis itu sudah seperti adiknya sendiri.

"Mbak, enaknya pakai yang ini apa yang ini?"

Di kedua tangan Fio, masing-masing tertenteng sebuah gaun selutut berwarna peach dan navy. Jenni membalas pertanyaan Fio dengan lesu. Jujur, ia sedikit kesal. Fio yang dulunya tak mengenal penampilan sekarang ini jadi sangat rempong memilih pakaian. Pun juga sepatu, dan aksesoris lainnya, seperti tas dan anting.

"Yah, Mbak. Di luar hujan."

"Kenapa? Bukannya pamerannya hampir dimulai sekarang, ya? Lo harus buruan berangkat ke lokasi."

"Kalau bedaknya luntur gimana? Riasan wajahku bisa rusak. Bajuku yang cantik bisa basah. Rambutku bakal lepek kena hujan. Nggak! Aku nggak mau berangkat sekarang. Aku bisa kelihatan jelek di depan Ian."

Jenni tertawa hambar. Ah, ia lelah dengan sikap Fio yang berubah drastis. Katakanlah wanita itu kecewa, ingin sekali ia memutar waktu dan mencabut bantuannya dalam mengenalkan berbagai macam produk kecantikan kepada Fio. Kalau tahu gadis itu mengingkari janjinya, Jenni tidak akan mau menolong. Keras kepala Fio semakin bertambah, terbukti dengan dirinya yang tak mengindahkan permintaan Jenni agar tetap tampil seperti Fio yang biasanya.

"Aduh! Terserah lo deh! Lo mau berangkat, kek. Mau nggak, kek, bukan urusan gue! Gue udah males denger ocehan lo soal penampilan! Gue mau pulang!"

"Loh, Mbak?"

Jenni menyambar tas tangannya dan pergi meninggalkan Fio yang kebingungan. Baru kali ini Fio melihat Jenni marah.

"Mbak Jenni kenapa? Kok jadi marah-marah? Lagi PMS kali, ya?"

***

Fio berlari cepat-cepat. Karena hujan, ia ketinggalan acara pembukaan. Galeri sudah ramai dipenuhi para pengunjung. Fio bergerak menuju stand Ian, meskipun lelaki itu tak memberitahukannya, Fio sudah bertanya lebih dulu ke Rudi.

Kekhawatiran Fio soal kecantikannya tidak sia-sia. Setelah menunggu hujan reda, ia berhasil tiba di lokasi pameran tanpa cacat sedikit pun pada make up-nya. Gadis itu bangga pada dirinya sendiri. Senyuman merekah di bibirnya setiap kali ia mengayunkan langkah. Beberapa pasang mata memandangnya takjub. Berkat make up, wajahnya yang menyisakan bekas jerawat jadi tak kasat mata. Hidungnya yang lebar, bisa terlihat sedikit mancung. High heels yang dikenakannya membuat badannya terlihat tinggi. Dan tubuh kurusnya tampak cocok dengan gaun yang ia pakai, sehingga pandangan orang lain padanya berakhir dengan kata 'sempurna'. Kulit Fio yang kecokelatan tak menghalangi betapa kerennya ia malam ini sampai-sampai menjadi pusat perhatian.

"Itu Ian," serunya setelah menangkap kehadiran seorang pria yang rapi dengan pakaian santai dan jaket denimnya.

Tapi, yang mencuri fokus Fio adalah seorang gadis cantik berambut panjang dan berkulit putih yang sedang asyik bercanda tawa bersama Ian.

Siapa dia?

Fio tak pernah melihat Ian tertawa dengan orang lain selain dirinya. Tentu saja dia syok begitu tahu Ian melebarkan senyumnya saat bersama orang lain. Terutama seorang gadis cantik yang tak ia kenal, yang sedang berdiri di sana.

"Jovi!" panggil Ian dari kejauhan.

Fio menetralkan wajahnya yang mulai merengut. Mengembalikan senyumnya seperti di awal tadi, lalu ia berjalan menghampiri mereka.

"Siapa dia?" tanya gadis cantik itu pada Ian.

"Oh, kenalin. Dia Jovi, temanku. Dan Jovi, ini Megan, sahabat kecilku."

Gadis bernama Megan itu mengulurkan tangannya, Fio menyambutnya dengan ramah.

Tapi, ada satu perasaan aneh yang muncul di dadanya.

Bukankah tujuanku mendekati Ian supaya aku dianggap teman? Tapi, kenapa rasanya sedih bercampur kesal saat aku sudah mendapatkan julukan itu? Sepertinya ... kata 'teman' masih belum membuatku puas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro