Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16

Fio dan Aaron saling berdebat. Setelah mengetahui luka-luka yang tercetak di beberapa bagian tubuh Fio, Aaron menduga telah terjadi tindak kejahatan. Mungkin saja Fio dibegal, mungkin saja gadis itu dilecehkan, atau bahkan hampir diculik. Ini Kota Jakarta, tidak ada yang mustahil semua kejadian itu ada.

"Apa yang mau dibegal, Kak? Aku biasa naik bus, malah Kak Aaron sekarang sering mengantarku pulang-pergi ke kantor. Mau dilecehkan? Memang aku secantik apa? Atau diculik? Itu sangat tidak mungkin."

"Mungkin saja, Fi. Kamu anak orang kaya, penculik akan meminta uang tebusan yang besar jika kamu disandera."

"Sudahlah, Kak. Aku hanya terjatuh, ini bukan luka yang serius. Sekarang, biarkan aku masuk kerja, ya?"

Aaron mengalah. Fio sangat sulit diajak kompromi. Gadis itu memang punya aturannya sendiri, ia tidak bisa diikat dengan gampang.

Tidak ingin mengulang kejadian sebelumnya, Aaron mengantar Fio ke kantornya. Memastikan gadis itu sampai dalam keadaan aman. Kaki Fio yang masih sedikit nyeri membuat Aaron cemas. Di siku dan pelipis gadis itu terdapat sebuah plester dan sisa lebam di dagunya masih kelihatan jelas.

Aaron yang overprotective sampai menggandeng Fio masuk ke ruangannya, menimbulkan lirikan-lirikan tidak mengenakkan dari rekan kerja Fio. Walaupun sebagian dari mereka merasa kagum dengan adegan Fio yang digandeng oleh lelaki tampan macam Aaron.

"Udah, Kak. Sana ke resto," bisik Fio.

"Iya, iya. Bawel," ucap Aaron gemas seraya mencubit hidung Fio.

Gadis itu dibuat malu sebab seumur-umur baru kali ini ia diperhatikan laki-laki. Mungkin karena Kak Aaron terlalu lama di Italia, aku jadi canggung begini dibuatnya.

***

"Diliatin lagi, Fi? Gimana kemarin? Udah lo samperin si doi?"

Fio menunjukkan dagu, siku, dan pelipisnya. Tak lupa pergelangan kaki kanannya yang kelihatan membiru. Jenni mendesis dibuatnya, pasti sangatlah sakit.

"Ini yang aku dapatkan semalam, Mbak. Menemui Ian sih, iya. Dan luka-luka ini saksinya."

"Ya ampun, Fi. Lo habis diapain?"

"Panjang ceritanya."

Jenni mendekatkan wajahnya, sedikit bingung karena yang diperhatikan senyam-senyum seperti orang gila.

"Lo beneran lagi kesakitan, Fi? Tapi gue lihat, lo happy-happy aja, tuh?"

"Sakit, Mbak. Tapi, kemarin ada kejadian yang bikin aku yakin kalau Ian masih peduli sama orang lain, termasuk aku."

Jenni menaikkan salah satu alisnya, tangannya bersilang di depan dada, "Apaan?"

"Dia gendong aku yang nggak bisa jalan sehabis jatuh dari tangga. Bisa dibayangin, malunya kayak gimana. Tapi dia ngangkat tubuh aku gitu aja. Yah, walaupun sikapnya masih sedikit mengesalkan."

"Bagus. Artinya, masih ada harapan buat deketin dia lagi."

"Iya, Mbak. Masalahnya, aku masih belum yakin munculin diri sebagai Fio. Aku mengaku bernama Jovi, dan dia selama ini percaya aja."

"Maksudnya, lo nyamar jadi Jovi gitu? Menurut lo dia nggak bakal ngenalin lo?"

"Kenapa emang, Mbak? Ian kan nggak tau wajah aku. Udah pasti dia nggak akan ngenalin aku."

"Dengan sifat dan suara lo yang khas ini, gue jamin, Ian bakal tahu identitas lo nggak lebih dari seminggu."

Fio diam mematung. Benar juga kata Mbak Jenni. Apa ini berarti aku kehilangan kesempatan?

Fio adalah gadis yang pesimis tetapi sangat ahli dalam menjalin komunikasi. Fio terkenal keras kepala dan tak pantang menyerah demi bisa berteman dengan Ian. Lalu, bagaimana cara Fio bertemu Ian kalau sifat-sifat gadis itu masih melekat dalam dirinya? Ian dapat dengan sekejap mata segera mengidentifikasi siapa ia yang sesungguhnya. Artinya, tak ada jalan lain. Kecuali, Fio harus mengubah image-nya sendiri.

Mari kita lihat, bagaimana cara Ian mengenal sosok Fio?

Fio adalah gadis magang di MyStore. Yang Ian tahu, nama Fio adalah Fiorenza. Gadis berkacamata dengan rambut sebahunya. Gadis yang sering mampir ke rumahnya dan menyapanya setiap sore. Gadis yang suka menemani Ian melukis dan begitu kagum dengan bakat Ian itu.

Fio yang terduduk di depan komputernya sedang berpikir keras. Ia tak menanggapi panggilan telepon yang seharusnya ia angkat. Fio sampai melupakan jam kerjanya hanya untuk memikirkan soal Ian.

"Jovi ... akan aku apakan si Jovi?"

Fio melepas kacamatanya. Ia mengamati wajahnya dari cermin yang ia bawa. Wajah yang tak begitu cantik, wajah yang sangat membuat orang lain merasa jijik. Sepertinya, Fio butuh wajah baru untuk karakter Jovi.

Namun, akankah ia mampu? Bukankah Ian sudah pernah melihat wajah Jovi?

Belum terlambat.

Fio punya alasan untuk mengubah dirinya, itu pun hasil ucapan Ian sendiri yang membawa Fio berpikir lebih jauh.

Kamu ini ... bukan kriterianya. Sangat jauh dari kriteria cowok mana pun.

***

"Aaron, kamu kenapa?"

"Fio, Tante. Dia nggak ada di kamarnya."

"Oh, anak itu. Tadi pergi dijemput temennya."

"Temen? Cewek apa cowok?"

"Cewek, Aaron. Namanya Jenni."

"Ah, syukurlah."

Fio pergi bersama Jenni untuk melakukan urusan penting. Pada awalnya, Jenni tidak menyetujui usulan Fio terkait kelanjutan pendekatannya dengan Ian. Tapi gadis itu memelas padanya, Jenni jadi tak tega. Dengan berat hati, wanita itu pun hanya menurut. Dengan sebuah pesan, asalkan Fio tidak ikut berubah seiring dengan karakter Jovi yang ia ciptakan.

Jenni mengajak Fio ke rumahnya. Di sana, wanita itu mengajarkan kepada Fio tentang bagaimana cara merawat diri. Mulai dari mengenakan foundation, color corrector, dan concealer untuk menyamarkan bekas jerawat di pipinya. Jenni juga mengajari Fio bagaimana cara ber-make up dan menata gaya rambut. Tak lupa, sebagai penyempurna karakter Jovi yang Fio buat, Jenni mengubah sedikit gaya berpakaian gadis itu. Fio yang biasa tampil formal ala kantoran, diubah menjadi agak classy untuk menampilkan dirinya sebagai anak seorang pengusaha restoran.

"Makasih, Mbak."

"Sama-sama. Fi ...," panggil Jenni pelan.

"Iya?"

"Nggak usah maksain diri. Sejujurnya, gue lebih suka lo sebagai diri sendiri. Nggak perlu sampe kayak gini."

"Mbak Jenni tenang aja, ya. Aku cuma berubah di depan Ian, kok. Selebihnya, aku tetaplah Fio yang Mbak kenal."

Gadis itu pun berpamitan pulang. Jenni mengantarkan Fio kembali ke rumahnya.

***

"Siapa?" tanya Ian setelah membuka pintu rumahnya. Ada tamu tak diundang, terlalu asing menurut ingatannya.

"Ini aku, Jovi."

"Jovi?"

Ian meneliti gadis di depannya, dari bawah sampai atas.

"Mbak salah alamat kali."

Ian hampir menutup pintu rumahnya. Namun dihentikan oleh Fio.

"Om ada?"

Ian membuang muka. Mendecih kesal karena lagi-lagi gadis itu merayu pamannya.

"Nggak ada."

"Oh, ya udah. Aku titip salam padanya, ya."

Tanpa banyak kata, Fio pamit mengundurkan diri. Ian yang memperhatikannya menjadi bingung, untuk apa Jovi mengubah penampilannya?

"Hei!" seru Fio sebelum meninggalkan tempat. Gadis itu melongok ke dalam ruang tamu.

"Lukisanmu masih terlalu biasa untuk dikatakan istimewa."

Kalimat yang Fio ucapkan seketika memancing emosi Ian. Namun, gadis itu menambahkan, "kalau banyak belajar, aku yakin, hasilnya akan sebagus Da Vinci."

"Apa? Maaf. Tapi idolaku adalah Van Gogh!" sinis Ian.

"Terserah, aku cuma berkomentar," lanjut gadis itu hingga ia meninggalkan tempat.

"Kalau itu Fio, udah pasti dia nyelonong masuk ke rumah tanpa izin buat nemuin paman. Dan, Fio nggak akan pernah mengusik apa yang menurutku bagus," gumam Ian sebelum kembali menutup pintu rumahnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro