Bab 15
"Kenapa, Fi? Muka lo ditekuk gitu? Disetrika gih, makin kusut, makin jelek loh."
"Ah, Mbak Jenni. Nggak lucu."
"Dilihatin mulu, samperin dong. Emang nggak kangen?"
Jenni tahu masalah Fio belakangan. Gadis itu selalu memerhatikan jendela kamar Ian. Sejak terakhir kali Ian menatapnya dari sana, lelaki itu jadi jarang menampakkan diri. Tirainya hampir menutup setiap hari.
Dan kalimat yang diucapkan Ian malam itu—saat di acara grand opening—cukup melukai perasaannya. Memperkuat dugaannya, yaitu mana ada cowok yang sudi dekat-dekat dengan Fio alias si itik buruk rupa. Fio menyesap caffe latte yang sudah dipesan. Gadis itu bukan pecinta kopi, namun pelampiasannya saat sedang stres adalah dengan meminun secangkir kopi. Yang lebih menekankan rasa manis tentunya.
Jenni menopang dagu, mengamati Fio yang tengah berfantasi ria. Hari-harinya pastilah melelahkan. Mecca memarahinya karena Fio yang biasa mendapat panggilan telepon paling banyak, saat ini jumlah layanannya menjadi semakin menurun. Laporan keluhan yang dibuatnya pun kacau. Mendadak, banyak pelanggan yang mengeluh tak puas atas pelayanannya. Fio sendiri tertekan dengan segala urusan yang belum terselesaikan. Sulit baginya untuk memperbaiki kinerja, apalagi wajah dan kata-kata Ian yang tiada henti menghantuinya. Gadis itu sangat lelah.
"Satu-satunya cara supaya lo bisa balik lagi kayak dulu adalah menemui Ian. Gue tahu, pikiran lo kacau karena cowok itu, 'kan?"
Fio mengangguk. Lalu meletakkan kepalanya di atas meja. Sungguh, ia ingin tidur dan ketika bangun semua masalahnya jadi hilang. Tapi mana ada kejadian yang semacam itu?
Masalah bukan untuk dihindari. Sekarang ini, bukan emosi yang harus Fio kuasai melainkan kata hatinya sendiri—yang terus berbisik agar ia menemui Ian dan menceritakan tentang dirinya.
"Aw!"
Fio mengaduh kesakitan saat Jenni menampar pipinya dengan sesuatu. Dilihatnya sebuah brosur iklan.
"Apa ini, Mbak?"
"Kalau mau ketemu Ian, gue yakin dia dateng ke sana."
***
Fio berjalan, berdesakan dengan pengunjung pameran lainnya. Bahunya terasa sakit karena terus ditabraki namun fokusnya tertuju pada seorang pria dengan baju lengan panjang berwarna hijau dan celana bahan berwarna cokelat. Itu Ian.
Fio mengikuti langkah lelaki itu ke manapun ia pergi. Ian terlihat menikmati pamerannya. Walaupun tak sepenuhnya yakin sebab Fio mendapati Ian beberapa kali memancarkan tatapan kosong dari kedua bola matanya.
"Aduh!"
Fio menahan perih di lututnya. Keterlaluan! Bentaknya yang hanya tertahan di dada menyaksikan seseorang yang mendadak menubruknya hingga jatuh ke lantai. Menyedihkannya lagi, tak ada yang datang untuk membantu Fio berdiri. Beberapa pengunjung hanya memelototi, sebagian tetap serius meniti jalannya seolah tak mengetahui ada seorang gadis yang jatuh di tengah kerumumunan.
"Ayo, bangun."
Fio melirik ke depan. Seseorang baru saja mengulurkan tangan untuknya, baguslah. Masih terdapat orang baik di dunia yang serba kejam dan individualis ini.
"Ngikutin aku, 'kan? Kamu kira aku nggak tahu?"
Gadis berkacamata itu tersentak mengetahui Ian sudah berdiri di hadapannya. Pantatnya terasa nyeri saat Ian tiba-tiba melepas tangannya dan membuat Fio terjatuh untuk yang kedua kali.
"Berhenti mengikutiku."
"Ian, tunggu!" teriak Fio yang tidak digubris sama sekali oleh Ian.
Gadis itu mencoba bangkit sendiri. Ia pun berhasil berdiri di atas kedua kakinya, namun sialnya kacamatanya terjatuh entah ke mana. Pengelihatannya sedikit buram. Samar-samar, ia melihat seorang berpakaian hijau. Fio lagi-lagi mengekorinya, ia butuh bicara dengan Ian.
"Ian!"
Ian tak berhenti dan semakin mempercepat langkahnya.
Bruk. Suara keras itu datang dari arah tangga. Fio jatuh berguling-guling di sana. Untung tangganya tak banyak, tingginya pun hanya sekitar satu meter. Tapi tetap saja, Fio kesakitan. Pergelangan kakinya terkilir. Sikunya juga lecet bergesekan dengan lantai. Dagunya membiru, menghantam sisi tembok.
"Ya ampun, ceroboh banget!"
"Hah?"
Tubuh Fio seperti diangkat seseorang. Kakinya melayang di udara. Rabun jauh memperburuk fokusnya untuk mengetahui siapa yang telah menggendong tubuh kecilnya.
Tentu saja Ian. Pasti Ian! Batin Fio.
Fio didudukkan di sebuah kursi. Aroma khas pengharum mobil tercium. Dan suara pintu mobil yang menutup keras terdengar hampir memecahkan telinga.
"Rumahmu di mana?"
"Hah? R-rumah?"
Ian tidak boleh tahu kalau aku Fio. Dia sudah pernah ke rumahku, 'kan?
"Jovi?" panggil Ian. "Dengar, ya. Aku tidak suka kamu merayu pamanku. Jadi jangan harap aku akan mengajakmu ke rumahku."
Fio bergerak gelisah. Gara-gara kacamatanya hilang, ia terjebak dalam situasi ini. Mesin mobil mulai menderum, pertanda mobil telah dikemudikan.
Fio meraba kursinya, menemukan sabuk pengaman. Namun terlambat, Ian mengerem sangat tiba-tiba hingga membuat kepala Fio menabrak dashboard.
"Nggak papa, 'kan? Maaf!" ucap Ian kemudian. Dari nada suaranya, lelaki itu kelihatan panik.
"Ada apa? Apa mobilmu menabrak sesuatu?"
Fio masih menyentuh pelipisnya yang ternyata sedikit berdarah. Ian menutup mulutnya, efek kebingungan. Ia tak bermaksud menabrakkan mobilnya, sungguh.
Dengan segera, Ian menelepon pamannya. Meminta untuk di jemput di lokasi yang tak jauh dari acara pameran. Lelaki itu harap-harap cemas. Rudi pasti akan mengamuk, mengetahui mobilnya terjerembab ke selokan.
Ian yang sebelumnya keluar dari mobil, kini masuk lagi ke dalam. Ia memikirkan cara, bagaimana mengeluarkan Fio dari dalam sana.
"Ian? Kamu di mana?"
"Sini."
Ian menarik lengan Fio, meletakkannya di lehernya sendiri. Kemudian, gadis itu dipapah keluar dari mobil. Berantakan. Tak hanya body-nya penyok, kaca bagian depan mobil sedikit retak, spionnya juga hilang entah di mana—terlontar mungkin.
Fio melenguh, menahan perih. Tak hanya kakinya yang terkilir, tapi dagunya lebam, siku dan pelipisnya juga lecet. Ian merasa sangat berdosa.
"Ya ampun! Mobilku!"
Rudi turun dari motor dan terkejut melihat kondisi mobilnya yang parah. Pria itu memegang kedua kepalanya, mendramatisir keadaan.
"Kamu apakan mobil paman, Ian? Kenapa jadi begini?"
Ian menunduk. Tak berani menatap wajah pamannya.
"Maaf," kata Ian dengan penuh penyesalan.
"Seharusnya paman nggak biarin kamu nyetir sendirian, sekarang beginilah akibatnya. Paman harus menguras dompet untuk biaya derek dan perbaikan mobil."
Semua ulah Ian yang belum mahir menyetir. Lelaki itu ngotot ingin mengendarai mobil untuk menghadiri pameran milik teman pamannya.
"Eh, Dek–"
"Jovi, Om!" seru Fio sebelum Rudi mengungkap nama panggilannya.
"Ah, iya, Jovi ...," celetuk Rudi sementara bibirnya sedikit mengulas senyuman.
"Bagaimana kamu bisa bersama keponakan om?"
"Tadi Ian nolongin saya pas saya jatuh dari tangga."
"Astaga, kondisimu menyedihkan. Ian, kamu bawa motor paman. Antar dia pulang, ya."
"Terus Paman gimana?"
"Ya ngurusin inilah. Mana bisa paman ngebiarin uang 500 juta lebih teronggok di pinggir jalan? Kalo dimaling bisa berabe."
"Iya, deh. Aku duluan, ya. Maaf ngerepotin Paman."
"Iya. Jaga anak orang baik-baik."
Ian mendengkus kesal. Ngapain juga disuruh nganter cewek ini? Kan panggil taksi gampang.
Dan itulah yang direncanakan Ian. Lelaki itu membonceng Fio sampai pertigaan yang jauh dari lokasi pamannya. Ia menghentikan taksi dan meminta Fio pulang sendiri.
"Kamu sebaiknya pulang sendiri. Aku bukan sopir."
"Ah, iya. Makasih," ujar Fio. Dalam hati ia merasa lega sebab Ian tak harus mengetahui rumahnya.
Ian menutup pintu taksinya. Sekarang Fio aman.
"Eh, kelupaan."
Fio kaget. Ian membuka pintu itu lagi.
"Ada ap–"
"Aku nggak mau rumahku terkotori barang-barangmu."
Fio kecewa. Dikiranya Ian akan meminta maaf atau mengucapkan 'selamat jalan dan hati-hati'. Nyatanya, lelaki itu memasangkan salah satu sepatu Fio yang terlepas saat naik ke taksi.
Tak apa, aku jadi seperti seorang cinderella 'kan?
Fio menggelengkan kepala, mencabut rasa kecewanya. Ia merasa berbunga-bunga hanya karena Ian memasangkan sepatunya yang terjatuh tadi. Gadis itu tersenyum lebar tanpa Ian ketahui.
Baik, Ian. Tunggu aku, Fio akan kembali padamu salam wujud Jovi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro