x i i . p u l a n g b a r e n g
Hari semakin malam. Sore pun berganti malam. Bulan dan bintang berganti mengantikan matahari yang benar-benar tenggelam usai dari ufuk barat.
Baru saja, anggota klub pecinta alam diperbolehkan ke kediaman rumah masing-masing. Tidak jauh berbeda dengan Frag maupun Cradela usai berpamitan dengan para anggota lainnya.
Kedua remaja itu kini telah berada di sepanjang jalan menyisir area hutan bambu. Burung-burung pun masih berkicauan menghiasi langit malam. Cradela yang sedari tadi mendongak memperhatikan nuansa malam ini pun sedikit tergejolak terkejut, dimana Frag memainkan rem secara suka-suka.
Pletakan maut lolos mengenai terpurung kepala Frag tepat. Sebagaimana, Radelyn tak segan-segan menjitaknya, "Bukan area balap kalau bawa motor hati-hati."
Oh tidak! Frag terselamatkan mengenakan helm ajaib. Setidaknya, melindungi tempurung kepalanya agar tidak pecah karena toyoran pletakan gadis itu.
Lagi, lagi dan lagi Flag melakukan hal yang sama membuat Radelyn mau tak mau merekatkan kedua lengan tangannya di pinggang lelaki itu.
Tidak sesuai dengan awal tujuan mereka, Flag menghentikan motor pinjamannya di area restoran tidak jauh dari cacing di perutnya mulai berdemo.
Apalagi menu makanan membuat Radelyn menelan savila susah payah. Masih teringat sebagaimana ia menjalani hidup sehat ideal dengan mengontrol asupan makanan yang masuk ke dalam mulutnya.
Frag tak bisa mengalihkan pandangannya ketika gadis itu hanya memesan sup rumput laut vegetarian dan juga segelas susu dengan memperhatikan menu pesanan sedaritadi.
"Lo masih mikir?"
"Takut berat badan lo naik?"
"Takut enggak ideal?"
Radelyn masih tak mau membuka suara.
Tak segan-segan, Frag meraih menu pesanan yang gadis itu perhatikan.
"Teriyaki Salmon Stir Fry Recipe," pesan Flag memesan menu makanan yang Radelyn perhatikan tanpa ragu-ragu.
Tidak lama, menu makanan terayaki salmon itu berada di antara menu lainnya.
"Udah. Makan aja. Lo masih mikir pendapat orang lain?" sinis Frag menatap tidak suka. Mengapa sebagaian orang disekitarnya masih mengangap pendapat orang lain lebih penting daripada diri mereka sendiri? Hal itu termasuk kategori gadis yang saat ini bersamanya itu.
"Gimana lo bisa hidup tanpa pendapat orang lain?" alih-alih Radelyn bertanya, Frag memilih acuh tidak acuh beralih dengan berapa banyak menu makanan yang telah siap berselancar di lidahnya.
"Gimana lo bisa atur pola makan, kalau pola makanan lo sendiri sebanyak itu?"
Seketika membuat Frag menyadari banyaknya pesanan yang ia pesan. Belum lagi-lagi menu sepulang sekolah nanti, menu makan malam, dan tentunya menu sarapan pagi yang tidak pernah ia lupakan.
Suara decitan garpu terjatuh itu mengemah di indera pendengarannya. Dimana si pelaku, tanpa sengaja membuang garpu yang dikenakannya dengan lemas. Mengacak rambutnya frustasi.
"Lo tau? Terakhir kali, kandasnya terakhir hubungan gue, gue diputusin cuma karena berat badan gue naik." Entah dorongan mana, Radelyn mengatakannya.
"Nyesek, enggak tuh?!"
Sial! Bukan malah memberi dukungan, Frag malah menirukan nada tiktok dengan ekspresi yang tidak jarang membuat Radelyn kesal setengah mati.
Radelyn menandak terdiam sejenak dengan ekspresi datar pucatnya memperhatikan Frag, seusai dengan kalimat menyebalkannya itu.
"Pada dasarnya, semua cowok sama aja. Berengsek!" Bahkan Radelyn kini mengangkat jemari tengahnya.
Itulah cewek, hampir semua cewek mengatakan hal sama, membuatnya kebal dengan kalimat-kalimat tersebut. Kalau lagi patah hati mengatakan 'semua cowok sama saja', kalau lagi bucin, otaknya enggak berfungsi dengan baik.
"Beda dong. Palingan ya sesempurnaan gue," cicit Frag percaya diri.
"Sini biar gue ukur," gelak tawa Radelyn memperkirakan mengenakan kedua jemarinya membentuk lingkaran di depan kedua bola matanya menjadikan ala-ala teleskop.
***
Hari pagi kembali tiba. Radelyn kembali dipertemukan teman-temannya. Murid XI-C terlalu ramai jika dikatan masih terlalu pagi. Sorak-sorak merebutkan contekan tugas, telah menjadi runitas. Tak ada kata imbuhan di dalamnya.
Bahkan saat ini kedatangannya masih disambut dengan tugas yang teman mereka pertanyakan di sela kesibukan menyalin atau mencontek tugas dari anak yang memiliki level kepintaran di atas rata-rata.
"Nih. Gue dapet contekan semua! Kalau lo mau bisa pinjem," papar Vita menunjukan buku tugasnya yang telah selesai pengerjaannya lebih cepat dari lain.
Bukan termasuk Vita adalah murid pintar yang berbagi dengan teman lain. Karena Vita lah, tukang adu bacot dengan teman lain maka dari itu, ia lebih cepat mengenakan koneksinya.
"Ohya, makasih. Tapi gue kebetulan juga udah ngerjain," gelik Radelyn tertawa kecil.
Keempat siswi bangku depan-belakang itu rupanya lebih akur--hanya saja dari pengelihatan. Begitu pula, Runika dan Radelyn seolah mendadak menjadi orang asing. Radelyn masih melirik sekilas gadis itu dengan ekor matanya, namun tak ada tanda-tanda lain selain terlihat berusaha menjauhinya.
"Delyn, gue dengar beberapa gosip, katanya lo sama Frag hampir deket ya?" tebak Vita pada intinya menatap lawan mengintimindasi.
Detik itu juga, Radelyn mengerutkan alisnya menatap Vita si pembawa gosip dengan hoax, "Ilih. Dekat? Di dekatnya aja bikin gue esmosi."
"Gimana lo--kalian bisa dekat?"
Dengan metode kalimat pengosip, Radelyn berusaha mengalihkan topik.
Jauh dari pemikiran gadis itu, perkataan Vita yang menurutnya mengosipkannya terang-terangan itu berhasil menarik perhatian Runika. Gadis itu sempat memperhatikannya sebelum mengalihkan arah kembali ke depan.
"Ru, gue tau alasan lo ngejauh." Radelyn tak bisa berdiam lebih lama. Ia beralih posisi menduduki bangku kosong di depan Runika, yang entah dimana si pemilik bangku tiada di tempat.
***
Sepulang sekolah. Kedatangan siswa lain di area SMA Pamuel dengan pakaian seragam sekolah seberang yang siswa itu kenakan tentu hal itu membuat sorot pandangan lain.
Seorang gadis yang mengetahui hal tersebut pun mencegahnya. Ia hanya tak mau ada keributan antara temannya.
"Gue mau ketemu Radelyn!" kekeuh Gafri dengan tatapan memperlihatkan lingkungan SMA Pamuel, sayangnya gadis di depan itu berusaha menghalangi langkahnya.
Terakhir kali, Runika hanya mengiriminya pesan mengatakan bahwa mantan lelaki itu telah mengerti siapa di antara mereka. Meski pernyataan itu tidak benar, Runika hanya menceritakannya sebagai seorang sahabat.
"No. No. Mendingan sekarang lo pulang," tolak Runika tak mengizinkan.
"Gue cuma pingin jelasin," tutur Gafri lirih menyatakan maksud kedatangannya. Ia juga tak ingin pertemanan kedua gadis itu saling diam tak ada suatu kejelasan apapun.
"Dari awal lo bisa jelasin. Tapi kenapa baru sekarang?!" decak Runika dengan nada tinggi. Nasi telah menjadi bubur hanya karena ulah Gafri yang berusaha membuat panas mantan. Kini mereka kena imbas.
"Besok gue bakal kembali lagi."
chapter ini, gimana?
kira-kira hubungan Gafri,
sama Runika apa ya wkwk
bentar-bentar,
aku ya lupa😒 *plak!
see u next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro