Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Kesapahpahaman

Dimas memacu mobilnya menuju perumahan elite di daerah Jakarta Pusat. Di sampingnya Adiba duduk dengan tenang tanpa terusik sama sekali. Setelah acara makan siang mereka yang terganggu dengan kehadiran seorang wanita, yang tak lain Aqifa. Demas memutuskan mengantar Adiba pulang ke rumah tantenya.

"Jadi, Apa Aqifa itu kekasihmu?" Adiba memilih membuka percakapan, wanita itu sebenarnya sangat penasaran dengan hubungan mereka. Pasalnya semenjak awal Adiba datang ke kantor Dimas, Aqifa selalu memasang wajah judes di depannya. Ia bahkan tak segan-segan menjawab Adiba dengan ketus jika dirinya menanyakan Dimas. Belum lagi tatapan mata wanita itu pada Dimas yang terlihat jelas menyimpan rasa. Hanya orang bodoh yang tak bisa menyadari itu.

Dimas mengalihkan tatapannya pada Adiba, lalu menyunggingkan senyum mengejek. Membuat wanita itu berdecap sebal. Sepertinya dia salah bertanya, lagi pula kenapa ia tak bisa mengontrol rasa penasarannya. Gerutu Adiba dalam hati. Jika sudah begini ujung-ujungnya Dimas akan melontarkan tuduhan tak berdasar.

"Kenapa? Apa kamu cemburu, Hah?" Adiba memutar mata bosan mendengar pertanyaan Dimas. Benar kan perkiraannya, lagi-lagi laki-laki ini melontarkan pernyataan seperti itu.

"Cih! Aku, cemburu? Mimpi," jawab Adiba judes.

"Iya juga tak masalah, siapa tahu bisa berubah jadi cinta."

"Ck! Berhenti melontarkan tuduhan tak berdasar itu padaku. Dasar Mr. Narsis, mau banget apa aku cemburu?!" sungut wanita itu sambil menyilangkan tangan sebal.

"Iya." Jawaban singkat Dimas membuat lidah wanita itu kalu. Menatap laku-laki yang sedang serius menyetir, Adiba terlihat gugup. Lalu ia memutuskan berdehem.

"Ekhm, sudah lah, lupakan saja pertanyaanku."

Mobil memasuki halaman depan sebuah rumah yang bergaya mini malis dengan dua lantai. Ketika masuk, di depan rumah telah terparkir beberapa mobil. Adiba mengernyitkan dahi merasa familier dengan mobil-mobil di depannya. Dengan ragu, dua orang itu melangkah masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum." Mendengar sapaan salam Adiba dan Dimas, kontan semua anggota keluarga yang sedang berkempul mengalihkan perhatian ke arah mereka. Adiba ternganga saat tahu di depannya terlihat dua Kakak laki-laki, Kakak ipar, bersama Om dan tantenya. Wanita itu mengembuskan napas berat. Sudah pasti dirinya akan diinterogasi habis-habisan soal laki-laki di sampingnya sekarang.

"Waaah ... Adiba? Akhirnya setelah sekian lama kamu bawa calon suami juga?" Pertanyaan dari salah satu tantenya membuat wajah Adiba terlihat memerah.

"Nggak, Tante ... bukan! Dia ini hanya teman," jawab Adiba panik, sambil mengibas-ngibaskan tangan.

"Aaah kamu tuh sama Tante dan Om sendiri masih saja malu-malu." Timpal sang Om

"Iya, Diba. Kenalkan dong sama keluarga besar kita, mumpung kami sedang berkumpul di sini." Mendengar perkataan salah satu Kakak iparnya, Adiba terlihat frustasi. Wanita itu mengarahkan tatapan pada Abahnya, meminta kode agar laki-laki paruh baya yang sedang serius mengobrol itu menolongnya. Namun, sang Ayah hanya mengedikan bahu. Begitu pun sang ibu yang terlihat menahan senyum.

Sementara di belakangnya Dimas hanya tersenyum sopan ke arah mereka. Dengan wajah ditekuk Adiba akhirnya mengenalkan Dimas.

"Kenalkan ... mereka semua keluarga aku. Itu Tante dan Om aku dari Surabaya. Yang sedang mengobrol sama Abah juga Om aku. Ini yang kembar tapi beda, Kakak kandung aku, beserta kakak-kakak ipar."

Setelah itu Dimas menyalami semua anggota keluarga Adiba. Laki-laki itu benar-benar tak menduga hal ini sama sekali. Ia merasa sedang melakukan proses pendekatan pada keluarga calon istri. Begitu pikir Dimas.

"Oh iya, Tante May mana, Uma?"

"Dia di  kamar, bersama Tante Marta."

"Ok, Diba ke sana dulu." Kontan Dimas mencekal pergelangan tangan Adiba. Mengetahui wanita itu berniat membuatnya repot sendiri, untuk menanggapi pertanyaan keluarga besarnya.

"Kamu jangan bercanda, masa aku ditinggal sendiri di sini. Aku pulang saja," Dimas berkata dengan nada berbisik.

"Bodo! Salah siapa mau-maunya mengantar aku pulang. Sudah terlanjur basah, mencemplung aja sekalian." Mendengar jawaban Adiba, Dimas mendengkus dan menatap wanita itu sebal. Lalu terdengar deheman dari arah belakang mereka. Lebih tepatnya deheman Zain, kakak tertua Adiba. Dengan wajah tak enak hati, Dimas mengangguk sopan.

"Maaf, saya ke sini hanya untuk mengantar Adiba pulang. Jadi-" kata-kata Dimas terpotong ketika Abah Adiba membuka suara. Laki-laki paruh baya itu mendekat kearahnya.

"Nak Dimas, jangan sungkan begitu. Ayo bergabung dengan kami," kata Abah sambil menepuk bahu Dimas. Mau tak mau Dimas harus mengangguk kecil. Sementara Adiba memilih pergi.

"Jadi, Dimas ini polisi yang membantu pencarian Aling." Mendengar perkataan itu dari Abah, semua anggota keluarga terlihat mengucapkan banyak terima kasih.

"Sekaligus calon mantumu kah, Lix?" celetuk salah satu Om Adiba. Abah hanya menanggapi dengan senyum kecil.

"Kalau saya terserah Nak Dimas-nya, jika memang dia telah mantap dengan Adiba. Kenapa saya harus menghalangi niat baik Nak Dimas?" Mendengar jawaban laki-laki di sampingnya, Dimas menatap Abah tertegun. Laki-laki paruh baya itu seolah mengetahui kebimbangan Dimas mengenai putrinya.

"Ayo, Nak Dimas. Kita bicara di sana." tunjuk Abah pada bangku yang terdapat di dekat kolam renang.

"Ada yang ingin kamu sampaikan?" Dimas menatap Abah ragu-ragu. Hingga akhirnya terdengar helaan napas laki-laki itu.

"Seakurat apa Shalat istikharah itu, Pak Ustaz?" Mendengar pertanyaan Dimas, Abah tersenyum kecil menatap pemuda di depannya.

"Saya akan membacakan arti dari sebuah surah dalam Al-Quran, agar kamu sedikit ada gambaran. Dengarkan baik-baik. 'Sekali kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dia-lah pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman harus bertawakal' Quran Surat At-Taubah ayat 51." Abah menatap Dimas sebelum ia melanjutkan kata-katanya.

"Sudah terlihat ada gambaran bukan? Tujuan istikharah ini bukan berarti manusia tiba-tiba mendapatkan solusinya sendiri, langsung terpecahkan, lalu selesai masalahnya. Namun lebih dari itu, salat istikharah akan membantu manusia untuk menenangkan diri, sejenak keluar dari persoalan agar persoalan pilihan tersebut dapat dipecahkan dengan baik. Tanpa emosi, tanpa tergesa-gesa. Sebab yang datangnya karena emosi dan tergesa-gesa, itu adalah dari setan. Salat Istikharah membantu kita agar tawakal, dan tetap berserah diri pada-Nya. Bahwa sebaik-baik penentu takdir Adalah Dia, Dzat Yang Maha Agung."

Mendengar jawaban Abah, Dimas mengangguk kecil. Ia merasa tak salah takdir membawanya bertemu keluarga Adiba hari ini. Setidaknya, kegundahan hati yang ia rasakan sedikit berkurang.

"Terima kasih, Ustaz telah membantu meringankan kegundahan Saya."

"Tak masalah, saya senang bisa berguna untukmu, Nak. Dan satu lagi, jangan panggil saya Ustaz. Panggil saja saya Abah saja." Dimas mengangguk kecil ke arah Abah.

"Kalau begitu, saya pamit pulang Us ... ah, maksud saya, Abah." Abah menangguk lalu mengantar Dimas keluar.

"Kalian sudah selesai bicara?" tanya Uma pada dua orang itu. Dimas dan Abah hanya menjawab dengan anggukan kecil.

"Maaf ... semua. Saya izin pamit undur diri." Dimas berkata sambil menyalami semua anggota keluarga Adiba.

"Kenapa buru-buru sekali, Dim. Kita belum berkenalan secara pribadi, kan? Adiba juga belum keluar." Kata Anan, Kakak ke dua Adiba.

"Biar Tante yang panggil Diba, itu anak ada calon suami malah di tinggal sibuk sendiri." gerutu tante Adiba.

"Tidak usah, Tante." Perkataan Dimas tak dihiraukan salah satu tante Adiba, karena sekarang wanita itu keluar dengan tiga wanita lainnya.

"Eeh ini calonnya Adiba?" tanya Tante Marta sambil menyalami Dimas. Dimas tersenyum sopan membalas uluran tangan wanita paruh baya tersebut. Sementara Adiba memutar mata jengah. Menjelaskan berkali-kali pun percuma, karena semua akan sia-sia. Akhirnya wanita itu memutuskan saja membiarkan kesalahpahaman itu terjadi. Toh mereka juga besok pulang ke Surabaya. Pikir Adiba.

"Kalau begitu, saya permisi." Dimas mengangguk sopan lalu melangkah pergi. Sementara Uma menyenggol bahu Adiba agar anaknya mengantar laki-laki itu. Dengan enggan Adiba menurut dan mengikuti Dimas dari belakang, sebelum teriakan Kakak keduanya terdengar.

"Calon Adik Ipar! Jangan bosan datang ke sini. Kapan-kapan kutantang kau menembak, ya!" Seruan Anan hanya di tanggapi anggukan kecil Dimas, sementara Adiba mengarahkan kepalan tangan kepada sang Kakak, yang hanya dihadiahi senyum mengejek laki-laki itu.

Setelah kepergian Dimas, Adiba melangkah masuk sambil mengentakkan kakinya sebal. Berkacak pinggang dan menatap semua anggota keluarganya yang terlihat sedang serius mengobrol.

"Kalian dengar ya! Dia itu bukan calon suami Aku. Jadi berhenti mengira yang tidak-tidak." Satu detik, dua detik, tak ada yang menjawab. Wanita itu terlihat kesal.

"Kalian semua dengar aku tidak, sih!" sungut Adiba frustrasi.

"IYA NYONYA ARSENA!" Jawaban kompak seluruh anggota keluarganya, membuat Adiba mengentakkan kakinya lagi. Lalu beranjak meninggalkan mereka. Satu detik ... dua detik ... tak ada yang terjadi, hingga Adiba tak terlihat. Setelah itu tawa keluarga Adiba menggema di ruang tengah.

"Aku bilang juga apa, kan. Diba pasti bakal sebel banget," kata Anan dengan sisa-sisa tawanya.

"Kamu, Dek! Hobinya mengusili Diba terus." jawab Zain sambil menggetok kepala adik keduanya dengan majalah yang ada di meja. Laki-laki yang hanya beda dua tahun dari Adiba itu hanya mengaduh kesakitan.

"Tapi sepertinya Dimas laki-laki yang baik," gumam tante Marta.

"Iya ... dia memang baik," jawab Abah.

"Sepertinya sebentar lagi akan ada yang dapat menantu baru." Ledakan Om Adiba hanya dibalas senyum kecil Abah.

☆☆☆☆☆

Assalamualaikuuum aku Up malem-malem begini adakah yang baca? Akhirnya selesai nulis satu bab meski harus sampai malam begini. Dan ini semua karena aku tak ingin kalian menunggu lama. Sama seperti Adiba yang menunggu dilamar Dimas eaaak

Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Agar aku bisa cepat up. Ditunggu kelanjutan cerita mereka. Tapi aku masih bingung dibab berapa kira-kira mereka menikah. Sepertinya satu dua bab lagi.

Salam sayang dariku 😘😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro