Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sebuah Perpisahan

Sejak hari itu, Alisa hanya bisa terbaring lemah di ruangan itu.

Diantara keadaan genting itu, ada satu kabar baik. Kyle bilang, Kepala Suku bersedia menampung kami disini, asal kami mau bekerja membantu mereka. Kepala Suku juga menyuruh Kyle untuk mengajari kami bahasa mereka. Aku, Zaya, dan Elise mengangguk mantap. Kami tak ada masalah dengan syaratnya.

Maka, setiap hari, kami bergantian menjaga Alisa. Satu orang menjaga Alisa, dua orang bekerja membantu suku. Sementara itu Kyle mengobservasi penduduk, melakukan tugasnya selama ini.

Hari kesekian, aku dan Zaya sedang meniti batang kayu melewati sungai yang tenang. Elise bersama Alisa sedang di gubuk. Kepala Suku bersedia meminjamkan ruangan itu untuk kita.

"Hei, Yu-chan." Panggil Zaya. Aku yang sedang sibuk mengamati ikan berenang menoleh. Zaya sekarang sudah duduk di batang itu, sambil memainkan airnya ke dalam sungai.

"Aku tak pernah menyangka, tinggal di hutan ini sangat menyenangkan. Kita memang sulit berinteraksi dengan mereka karena perbedaan bahasa, tapi sisanya tetap menyenangkan." Kata Zaya. Cahaya matahari pagi memantulkan cahaya lembut di permukaan sungai, membuat siluet yang menyenangkan.

"Baguslah kalau begitu." Komentarku singkat, sambil ikut duduk di sampingnya. "Eh??" Celetuk Zaya. "Dengan begitu, kau tak perlu memohon padaku untuk kabur dari sini lagi." Lanjutku. Wajah Zaya memerah malu. "A-aku kan gak sebegitunya!!" Serunya sebal. Aku menyeringai tipis.

"Bagaimana dengan Alisa??" Tanyaku. Zaya yang masih kesal atas komentarku tadi langsung menoleh. Raut wajahnya berubah serius.

"Entahlah.... rasanya sulit melepaskan sahabat yang selama ini sudah berada di samping kita, saat sedih maupun senang. Tapi, bukankah baru beberapa hari lalu kita bersantai di sebuah kamar nyaman di resort yang mewah?? Sekarang kita sudah disini, mencari kayu untuk sebuah suku. Kalau kita bisa menerima kenyataan itu, kenapa kita tidak bisa menerima kenyataan yang menimpa Alisa??" Jelasnya, membuatku terperangah.

"Wah.... kau siapa?? Mana Zaya yang pemalu dan penakut??" Tanyaku. Wajah Zaya kembali memerah. "Aku-aku gak pemalu apalagi penakut!! Sudah ah!! Kita cari lagi, nanti dimarahin lagi kalau telat!!" Serunya sedikit keki. Tanpa menunggu persetujuanku, Zaya sudah bangkit duluan dan buru - buru melintasi sungai ini. Aku masih terdiam di posisiku.

Siluat cahaya di permukaan sungai semakin indah. Tanpa sengaja, aku melihat sekelompok ikan kecil yang lewat di bawah kakiku(karena tubuhku pendek, kakiku tak sampai menyentuh permukaan sungai). Sorot mataku meredup.

"Menerima kenyataan yah...??"

~~~

Hari itu, giliranku menjaga Alisa.

Elise sudah sangat senang bisa mandi(dekat perkampungan itu terdapat sungai untuk mandi), sehingga semangat bekerjanya tak terbilang. Zaya sendiri sampai sweatdrop.

Tugas mereka hari itu adalah memancing. Aku jadi ingat beberapa hari lalu, saat kita mencari ikan di laut. Aku tersenyum tipis melepas mereka, yang dibalas dengan senyum lebar Elise dan seringaian Zaya.

Aku beranjak masuk ke ruang itu. Alisa tampak berbaring sambil menatap langit - langit sendu.

Aku mengambil kain kering di meja, lantas membasahinya dengan air hangat. Aku meletakkannya di dahi Alisa. Karena Alisa tak bereaksi, jadinya aku pun membuatkan bubur untuknya.

Sekembalinya dari membuat bubur, aku duduk di sampingnya. Tampaknya Alisa sudah sedikit segar. Posisinya sekarang bersandar. Senyum khasnya terkembang. Membuatku menatapnya heran.

"Kau tak apa Alisa??" Tanyaku, sedikit ngeri. Alisa menoleh, lantas terkekeh pelan mendengar intonasiku. "Kenapa nada bicaramu seperti itu?? Tenang saja Yu-chan." Jawabnya. Aku meletakkan mangkok bubur di sampingnya.

"Mau makan?? Meski aku yakin ikan yang kita makan di pantai waktu itu jauh lebih lezat dibanding bubur ini." Tawarku sambil mengaduk bubur. Alisa mengangguk.

Aku menyuapi Alisa perlahan. Entah kenapa, tak seperti hari - hari sebelumnya, kali ini dia tampak semangat. Matanya mulai bercahaya lagi. Setelah selesai menyuapinya, aku menatapnya lama. Alisa hanya menatap lantai sambil tersenyum.

"Buburnya enak sekali Yu-chan. Mungkin selama ini ternyata kau berbakat memasak." Komentar Alisa. Aku hanya menyeringai tipis.

"Mungkin.... kau bisa menjadi koki??" Celetuk Alisa, membuat pergerakanku terhenti. Alisa masih tersenyum. "Sudah kuduga..... kau belum menemukan mimpimu." Kata Alisa. Aku masih terdiam.

"Aku mau fokus menjalani hidupku yang sekarang Alisa. Kurasa..... aku masih tak tahu harus menjadi apa di masa depan. Lagipula..... kita juga terjebak disini." Kataku. Setengah kelu ketika menyebutkan kalimat terakhir. Senyum Alisa semakin lebar.

"Kau bisa melakukan apapun yang kau mau Yu-chan, tak peduli dimana kau tinggal." Kata Alisa. Aku menoleh. "Benar juga sih.... tapi aku juga belum tahu mau menjadi apa..." desahku pelan. Tatapanku menyiratkan rasa sangsi.

"Kau masih ingat mimpiku??" Tanya Alisa. Aku mendongak, mendapati tatapan Alisa sudah mengambang. Aku mengangguk pelan. "Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin pergi ke bulan, bahkan tinggal di bulan." Alisa terkekeh pelan. Tatapannya pindah ke arah jendela.

"Tapi sepertinya.... aku tak bisa menggapainya." Kata Alisa pelan. Aku terkejut, menatapnya panik. "Ja... jangan bilang begitu Alisa... aku yakin kau--"

"Waktuku tidak banyak Yu-chan." Potong Alisa.

Aku terdiam. Alisa tahu. Alisa tahu tentang hal itu. Aku menunduk menatap lantai.

"Kau tahu, sejak kecil aku memang seperti ini. Penyakitan, lemah, dan sebagainya. Orangtuaku berusaha membawaku ke berbagai tempat berobat. Berusaha menyembuhkan sakitku. Tapi, aku mengetahui kenyataan itu," Alisa tersenyum. Kepalaku semakin tertunduk.

"Aku takkan pernah sembuh." Lanjutnya, terkekeh sejenak. "Aku tahu itu, tapi tak ada gunanya menangisinya. Maka, aku berusaha melewati sisa kehidupanku dengan ceria. Dengan kenangan indah."

"Tak kusangka, aku bertemu kalian. Kita berlibur bersama, terdampar bersama, bahkan tinggal disini bersama. Melewati berbagai hal menyakitkan dan menyenangkan bersama. Tak kusangka, kehidupanku yang penuh obat, ranjang rumah sakit, akhirnya dipenuhi kejutan yang tak pernah kubayangkan. Aku bahkan bertemu Kyle lagi. Rasanya hidupku seperti berputar 180°. Tapi tentu saja, dalam hal baik."

"Beberapa hari lalu, saat aku pingsan, aku bermimpi bertemu seorang gadis. Gadis yang sangat cantik. Rambutnya ungu berkilau. Tatapan matanya tajam dan meyakinkan. Ia menghampiriku. 'Kita bertemu lagi Alisa. Tak kusangka, gadis yang hidup bertemankan rumah sakit, sekarang berada di sebuah pulau terisolasi.' Katanya. Aku terkejut. 'Bagaimana kau mengetahui kehidupanku??' Tanyaku sangsi. Dia hanya tersenyum.

'Waktuku tak lama Alisa, ada yang ingin kusampaikan,' katanya. Aku tak menjawab. 'Kau sudah tak memiliki banyak waktu.' Lanjutnya. Aku tersentak. 'Maksudmu, aku akan mati??!!' Jeritku. Dia hanya terdiam. 'Ada apa dengan kematian?? Semua orang akan mengalaminya. Cepat atau lambat. Dan sayangnya, takdir memilih kematianmu dengan cepat.' Jawabnya. Tatapannya semakin menajam. Tubuhku bergetar. Aku jatuh terduduk. Tergugu.

'Mengapa aku harus mempercayaimu??' Tanyaku diantara tangisku. Dia hanya terdiam. 'Kau tak harus mempercayaiku Alisa. Itu keputusanmu. Tapi, aku sudah tahu, bahwa kau tak memiliki banyak waktu.' Jawabnya. Aku masih menangis. Tak lama kemudian aku terbangun. Bibi yang menjagaku langung panik memeriksaku. Begitu aku melihat raut wajahnya yang seperti habis melihat hantu, aku langsung teringat mimpi itu."

Aku memberanikan diri mendongak. Tatapan Alisa tampak kosong. Senyumnya sudah hilang. "Aku tahu, bibi itu akan mengatakan pada Kyle bahwa waktuku tak banyak, aku sudah tak tertolong. Aku tahu, Kyle akan memberitahu kalian, tapi dia tidak akan tega memberitahu Elise. Dia tak pernah memiliki keberanian itu."

"Sejak hari itu, aku banyak melamun, memikirkan waktuku tinggal sedikit. Tapi, aku teringat pemahamanku. Aku akan menghabisi sisa hidupku dengan ceria, dengan kenangan indah." Alisa tersenyum. Senyum yang lembut. Aku terpaku.

"Maka, aku akan menghabisi sisa hidupku yang tinggal hitungan hari dengan kenangan indah. Mungkin nantinya aku takkan mengingatnya, tapi kalian, kalian yang kutinggalkan akan terus mengingatnya." Lanjutnya. Tangannya menggenggam tanganku. Ia tersenyum. Namun kali ini, matanya berkaca - kaca.

"Apakah... apakah kau mau menerima itu??" Tanyaku serak. Sejenak, Alisa terdiam. Perlahan, dia mengangguk dengan berat. Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Membasahi pipinya. "Aku akan pergi Yu-chan. Dan tak pernah kembali. Rasanya berat sekali mengetahui itu. Lihatlah... aku bahkan belum bertemu orangtuaku lagi. Tapi, aku takkan menyia - nyiakan waktuku disini. Aku memiliki Elise, Zaya, Kyle, dan juga kau disini. Aku akan menghabiskan waktuku dengan bahagia. Pastikan itu." Isaknya. Aku mendekat, mendekap bahunya. Menenangkan dirinya. Satu tetes air mata membasahi pipiku. Alisa semakin terisak.

Percakapan itu, percakapan yang akan selalu kuingat selama sisa hidupku. Alisa adalah orang yang paling penting dalam masa depanku. Dialah yang memulai soal mimpi itu. Dia juga yang terus menyemangatiku.

Alisa adalah gadis luar biasa. Fisiknya lemah, tapi hatinya kuat, bagaikan baja. Dia bersedia menerima semua takdir hidupnya. Dia bersedia mendekap semua kenangan dalam hidupnya. Entah itu kenangan sedih atau kenangan indah. Dia juga tidak akan menyesali hidupnya, karena dia bahagia dengan hidupnya, selalu.

Aku mendekapnya semakin erat. Cahaya matahari siang menyinari ruangan itu. Menyelimuti kami yang terisak.

Apakah kisahku sudah berakhir?? Belum. Tapi kisahnya Alisa sudah mendekati ujungnya. Dan Alisa akan memastikan bahwa di ujung ceritanya, dia akan tersenyum bahagia, bersyukur pernah menjalani sebuah kehidupan yang amat indah, meski singkat.

Karena tak ada gunanya menangisi semua. Lebih baik kita habiskan sisa hidup dengan kenangan - kenangan indah. Tak peduli meski awalnya itu kenangan menyakitkan.

~~~

Keesokan harinya, Alisa jatuh sakit.

Sakit parah.

Aku dan Zaya yang baru saja kembali dari sungai, langsung terkejut begitu mendengar jeritan panik Elise. Kami langsung berlari secepat mungkin, untuk mendapati Alisa berada dalam dekapan Elise yang bergetar. Wajah Alisa pucat sekali. Tak pernah sekalipun kulihat dia begitu lemah. Kyle yang mendengar jeritan Elise langsung datang, memindahkannya ke ruang tengah. Kami mengikuti.

Kebetulan, di ruang tengah ada kasur. Alisa langsung dibaringkan disitu. Tabib langsung datang. Ia mendekat ke ranjang Alisa. Kyle yang mengerti keadaannya meminta kami menunggu diluar. Aku mengangguk. Zaya menatap bingung sekitar, berusaha membantuku membopong Elise ke luar.

Begitu sampai di luar, Elise langsung jatuh terduduk di halaman. Menangis kencang. Beberapa penduduk yang sudah mengenal kita hampir seminggu terakhir berdatangan, menatap simpati Elise. Kepala Suku tak lama kemudian datang, masuk ke rumahnya dengan wajah tegang.

"Elise, Alisa akan baik - baik saja. Semuanya akan baik - baik saja." Kata Zaya berusaha menenangkan Elise yang tangisnya makin kencang. "Alisa tak baik - baik saja Zaya!! Lihat!! Dia tadi begitu lemah!! Lihat tatapan matanya yang redup!! Alisa..." jerit Elise, lantas menangkupkan kedua wajahnya dengan telapak tangannya. Zaya mendekapnya pelan, sambil terus berusaha menenangkan.

Tak lama kemudian Kyle keluar dengan wajah kebas. Ia menghampiriku yang masih berdiri. "Yu-chan, Alisa pingsan. Saat ini kondisinya sangat kritis. Kita bahkan tak tahu apa dia akan sadar lagi. Tolong bawa Elise ke rumah tabib. Disana akan ada anaknya yang seumuran kalian. Dia akan menjaga kalian sementara, sampai kabar Alisa jelas." Jelas Kyle. Kalau menurutkan maunya, mungkin dia sudah menangis. Aku menatapnya, lalu mengangguk.

Kuhampiri Elise yang masih menjerit - jerit dan Zaya di sampingnya. "Elise, ayo kita ke rumah tabib dulu. Alisa sedang diperiksa. Nanti, kalau sudah ada kabar, Kyle akan memanggil kita." Kataku pelan. Menggenggam tangan Elise sambil menatapnya tegas.

"Aku tak ingin meninggalkan Alisa!! Bagaimana kalau dia kenapa - napa??!! Aku ingin berada di sampingnya!!" Jerit Elise. Penduduk yang berdatangan menatap simpati Elise. Bahkan sampai ada yang sesenggukan. Aku menggenggam tangannya sekali lagi. Berusaha meyakinkannya dari tatapan mataku.

"Kita hanya akan mengganggu tabib, Elise... lihatlah, sekarang para penduduk membuat kerumunan. Biarkan tabib memeriksa Alisa dengan tenang, sementara kita menenangkan diri di rumah tabib. Pasti akan ada kabar baik. Percaya padaku." Bujukku sekali lagi. Elise hendak menjerit lagi, tapi melihat tatapan mataku, akhirnya Elise balas menatapku, mengangguk dengan berat hati.

Elise dibantu dibopong ke rumah tabib. Aku dan Zaya mengikuti dari belakang. Zaya mengusap wajahnya yang berlinang air mata. Aku hanya menatap kosong jalan setapak.

"Aku akan pergi Yu-chan. Dan tak pernah kembali."

Aku menguatkan hatiku. Ayolah Yu-chan.... kuatkan dirimu...

Sesampainya di rumah tabib, seorang remaja lelaki sepantaran kita menyambut kami. Wajahnya sendu. Tadi dia mendengar keributan. Ia menawarkan minum pada kami. Sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu ruangan, membiarkan kami menenangkan diri.

Elise masih menggumamkan nama Alisa sambil menangis. Sementara di sampingnya Zaya masih terguncang, menangis terisak. Aku berdiri menatap keluar jendela. Menatap sungai di bawah sana.

"Kalau kita bisa menerima kenyataan itu, kenapa kita tidak bisa menerima kenyataan yang menimpa Alisa??"

Aku menghembuskan nafas. Aku harus kuat. Aku harus bisa menerima. Bukankah Alisa bisa menerima takdirnya?? Maka aku juga harus bisa.

Sebelum aku menghampiri Elise dan Zaya, suara derap kaki terdengar. Kyle muncul di depan pintu, dengan terengah - engah. Aku bergegas menghampirinya, diikuti Zaya dan Elise.

"Alisa siuman. Dia ingin berbicara dengan kita semua." Kata Kyle. Ruangan senyap. Aku mengangguk dengan wajah datar. Di belakangku Zaya tampak bersyukur meski ada rasa takut, dan Elise menangis kembali.

Kami bergegas kembali ke gubuk Kepala Suku. Para penduduk mengamati kami dengan tatapan simpati. Elise tak sabaran, akhirnya berlari kencang, disusul oleh kami.

Begitu sampai, kami mendapati Alisa sedang duduk bersandar. Tak diduga, dia tersenyum. Sorot matanya bercahaya. Dia menatap kami yang baru sampai. Elise langsung loncat memeluknya.

"Alisa... maafkan aku..." desahnya, lantas tangisnya pecah lagi. Alisa menepuk punggungnya perlahan. "Tak ada yang perlu kau maafkan Elise. Tak ada yang perlu disesali." Jawab Alisa sambil tersenyum. Zaya sesenggukan menatap dua kembar itu. Sementara aku di sampingnya hanya menatap nanar.

"Kemarilah, Yu-chan, Zaya, Kyle." Panggil Alisa. Kami mendekat ke ranjang itu. Elise melepaskan pelukannya. Ikut berdiri di samping ranjang.

"Waktuku sudah tiba." Kata Alisa, membuat kami menahan napas. "Kau ngomong apa Alisa..??" Tanya Elise takut. Alisa menatapnya lama dengan sorot yang tak bisa diartikan. "Maafkan aku harus mengatakannya Elise, waktuku sudah habis. Tiba saatnya bagiku untuk memulai cerita baru." Jawab Alisa ditegaskan. Elise menatapnya tak percaya.

"Aku... aku sungguh bersyukur menjadi saudaramu Elise. Menjadi kembaran seorang gadis periang sepertimu. Gadis yang sehat dan penuh energi. Aku sungguh bersyukur Elise. Tak pernah sekalipun aku menyesalinya." Kata Alisa lembut. Matanya berkaca - kaca menatap Elise penuh terima kasih.

"Aku juga bersyukur bisa bertemu dengan kalian. Zaya, Kyle, Yu-chan. Kalian sungguh teman yang baik. Seandainya aku bertemu dengan kalian lebih cepat, pasti akan banyak memori yang bisa dikenang nantinya." Terkekeh sejenak. Matanya yang semakin berkaca - kaca menatap kami penuh terima kasih. Tangis Zaya semakin mengeras. Aku balas menatapnya.

"Mungkin aku akan pergi dari dunia ini. Tak bisa kembali walau hanya semenit untuk memeluk kalian lagi. Tapi tak apa, aku akan tetap ada di hati kalian. Kenangan tentangku akan terjaga selamanya dalam hati kalian. Pegang kata - kataku."

"Yu-chan, mungkin kau belum menemukan mimpimu. Mungkin kau belum tahu apa cita - citamu. Tapi, yakinlah, suatu saat nanti kau akan menemukannya. Jangan khawatir." Alisa tersenyum. Aku balas menatapnya nanar.

"Sebelum kau menemukan mimpimu.... maukah kau melakukan permintaanku??" Tanya Alisa. Tanpa dua kali diminta, aku sudah mengangguk mantap. Alisa tersenyum amat lembut melihat anggukanku.

"Tolonglah....jadikahlan mimpiku nyata Yu-chan. Jadikan mimpiku untuk pergi ke bulan menjadi nyata. Bisakah kau melakukannya..??" Pinta Alisa. Aku mengangguk semakin mantap. Mataku berkaca - kaca. Alisa tersenyum. Meski sedetik kemudian dia terisak.

"Sungguh terima kasih semuanya. Terima kasih karena telah mau menjadi bagian hidupku. Terima kasih telah mau mengukir kenangan bersama. Kenangan di hari - hari terakhirku di pulau ini..... sungguh mengesankan..." ujung kalimatnya hampir tak terdengar. Alisa tergugu.

Elise akhirnya menghampiri Alisa. Memeluknya erat. Zaya juga, memeluk Alisa erat. Tak mau ketinggalan, aku dan Kyle beranjak memeluk Alisa lebih erat.

"Sungguh..... terima kasih.... aku takkan pernah menyesalinya..." bisik Alisa pelan diantara isakannya. Alisa tersenyum. Amat lembut. Senyum paling lembut yang pernah kami lihat.

Sedetik kemudian, tubuhnya roboh.

~~~

Alisa dinyatakan meninggal siang itu.

Elise tergugu di pojok ruangan. Tak percaya dengan kenyataan yang dilihatnya. Zaya menangis di sebelahnya. Tak kuasa menenangkan Elise yang semakin histeris.

Aku berdiri menatap semuanya dengan tatapan nanar. Alisa yang ditutup kain. Kepala Suku yang berdiskusi dengan Kyle yang matanya berkaca - kaca. Amat terpukul.

Aku beranjak mendekat ke ranjang dimana Alisa dibaringkan. Aku menggenggam tangannya yang sekarang dingin. Wajah tersenyumnya seperti sedang bermimpi indah.

Demi melihat senyumnya, air mataku merebak. Setetes demi setetes akhirnya jatuh dari pelupuk mataku. Lihatlah, dalam "tidur"-nya, dia begitu damai. Begitu bahagia. Isakanku mengeras. Aku jatuh terduduk di sampingnya. Masih menggenggam tangannya.

Sore itu juga, Alisa dimakamkan. Kepala Suku yang memimpin pemakaman. Diikuti dengan khidmat oleh semua orang. Kyle berdiri di samping Kepala Suku. Tampak diam selama acara pemakaman. Elise di belakangnya tersedu - sedu. Di sampingnya Zaya mendekapnya. Aku berdiri di sampingnya lagi, menggenggam tangannya.

Sore itu, matahari jingga memberikan siluet menenangkan. Tapi, tak kuasa membuat kesedihan kami memudar. Alisa telah kembali. Meninggalkan berjuta kenangan indah, meski singkat.

Aku menatap langit jingga yang menawan. Menatap awan - awan yang berarak. Setetes air mataku kembali jatuh.

Sekarang.... apa yang akan kami lakukan...??

.

~To be Continued~








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro