Ketika Semuanya Semakin Memburuk
"Alisa sudah siuman??!!" Seru Kyle. Serempak kami menoleh. Bibi yang tadi berbicara pada Kyle mengangguk perlahan, tak mengerti bahasa yang digunakan Kyle(meski mengerti maksudnya).
Tanpa aba - aba, Elise langsung berlari menuju gubuk dimana Alisa dibaringkan. Menyusul Kyle, lalu aku dan Zaya.
Tampak Alisa sedang bersandar di dinding ketika kami datang. Ia tampak lemas sekali. Begitu mendapati kami di depan pintu, senyumnya merekah, meski matanya redup.
"Alisa...." gumam Elise. Sorot matanya memancarkan kekhawatiran. Namun Alisa masih tersenyum. "Aku tak apa Elise. Aku sungguh tak apa." Kata Alisa sekali lagi. Aku dan Zaya serta Kyle yang baru sampai hanya bisa terdiam.
Bibi yang tadi menepuk bahu Kyle, menjelaskan satu dua hal padanya. Percakapan mereka tampak serius. Elise sudah lebih dulu mendekati Alisa, disusul oleh aku dan Zaya.
"Aku sudah panik sekali tadi... untung kau akhirnya siuman." Kata Elise lega. Matanya berkaca - kaca. Alisa terkekeh pelan. "Jangan lebay deh, aku kan cuma pingsan sebentar." Kata Alisa. Kami sama - sama mendesah lega.
"Lalu?? Ini dimana?? Tadi ketika aku dihampiri bibi yang tadi aku kaget sekali. Apalagi ketika mendapati aku berbaring di sebuah gubuk." Tanya Alisa heran. "Oh, tadi kamu dibawa Kyle kesini. Ini perkampungan suku yang tadi kuceritakan. Ternyata mereka tidak bermaksud jahat kok." Jawab Elise semangat. Alisa mengerutkan keningnya sebelum akhirnya rona wajahnya berubah terkejut.
"K-kyle...??" Tanya Alisa tergagap. Sebelum kami sempat menjawab, Kyle ikut bergabung dengan kami.
"Hai Alisa, lama tak berjumpa." Sapa Kyle sambil tersenyum. Demi melihat Kyle duduk di sampingnya sambil tersenyum, air mata mulai merebak di sudut matanya.
"Ya tuhan... kau... kau beneran Kyle... teman kita..??" Tanya Alisa kelu. Kyle mengangguk mantap. "Iya, ini aku Alisa." Jawab Kyle. Alisa langsung tergugu dan mendekap bahu Kyle. "Syukurlah kau baik - baik saja Kyle... aku sungguh lega sekali mengetahuinya...." desah Alisa diantara tangisnya. Kami sama - sama tersenyum.
Aku masih sibuk melamun, ketika Kyle menepuk pundakku. "Yu-chan, Zaya, aku perlu bicara dengan kalian." Bisiknya serius. Aku menelan ludah. Zaya di sampingku sudah tegang duluan.
Kami meminta diri pada Alisa dan Elise yang sekarang asyik bercengkrama. Kyle mengajakku dan Zaya untuk berbicara di halaman.
Ketika tiba di halaman, Kyle hanya bisa terdiam sambil menunduk. Aku dan Zaya saling menoleh. "Ada apa Kyle?? Kenapa kau memanggil kita?? Apa ini serius??" Tanyaku. Kyle menghela nafas, sebelum akhirnya menatap kami nanar.
"Bibi tadi yang mengabarkan Alisa siuman, dia sebenarnya tabib di suku ini." Kata Kyle memulai penjelasan. "Bibi tadi mengatakan, bahwa Alisa tak punya waktu lama lagi." Kyle mengatakan kalimat itu dengan suara tercekat, membuatku dan Zaya langsung melebar matanya.
"Mak-maksudnya...."
"Iya, sakitnya sudah parah. Tabib itu sebenarnya amat sangat profesional. Aku bahkan berani bertaruh kalau pengobatannya jauh lebih baik dibanding rumah sakit terbaik sekalipun. Namun, penyakit Alisa sudah terlalu parah. Kita hanya bisa menunggu." Jelas Kyle lugas, membuatku dan Zaya terpukul. Hening mengambil alih setelah penjelasan itu.
"Berapa lama... Alisa bisa bertahan...??" Tanya Zaya cemas. "Paling lama hanya seminggu." Jawab Kyle. Kami kembali terdiam.
"Apa kau akan memberitahu Elise soal ini??" Tanyaku. Kyle menatapku sesaat, lalu akhirnya menggeleng.
"Aku takkan memberitahunya soal itu. Biarlah dia menghabiskan waktu dengan Alisa tanpa kekhawatiran." Jawab Kyle kembali tertunduk. Aku memejamkan mataku. Mengangguk mendengar alasannya. Zaya memutuskan tidak berkomentar.
"Ada lagi kabar buruk buat kalian." Kata Kyle lagi, membuat kami kembali mendongak. "Tsunami kemarin ternyata menghantam habis hampir seluruh pulau di kepulauan ini. Hanya ada dua pulau tersisa termasuk pulau ini. Dan sayangnya, pulau tempat resort kalian datang sudah habis tak bersisa." Jelas Kyle. Mendadak dadaku sesak.
"Jadi, kita hanya bisa hidup disini??" Seruku tak percaya. Kyle menatapku nanar sebelum melanjutkan penjelasannya. "Kalian bisa kembali hidup di lingkungan kalian, kalau misalnya ada pesawat atau helikopter yang kebetulan lewat, tapi kecil kemungkinan hal itu terjadi." Jawab Kyle. Aku terdiam.
"Apa yang akan kita lakukan Yu-chan...??" Tanya Zaya sedikit kalut. Aku tahu dari nada bicaranya. Aku menunduk tak berani menatap wajahnya yang seperti kehilangan harapan.
"Tak apa Zaya, kita bisa hidup disini. Bukankah memang rencana awal kita adalah kabur dari rumah?? Bukankah kita bisa bertahan hidup di pantai kemarin?? Bukankah Kyle tetap bisa bertahan hidup di tengah suku ini?? Kita juga pasti bisa. Aku tahu, rasanya sulit menerima kenyataan menyakitkan seperti ini. Tapi, melanjutkan hidup adalah pilihan yang bijak. Kita tak bisa berbuat apapun kan??" Kataku berusaha tersenyum. Zaya tampak ingin berkomentar, tapi mulutnya kembali terbungkam.
"Aku selalu percaya padamu Yu-chan, kau sahabat terbaikku. Maka, kalau kau percaya kita bisa hidup disini, maka aku juga akan percaya." Kata Zaya yakin. Mendadak, sosok gadis yang penakut dan pemalu yang selama ini menjadi sahabatku, digantikan sosok yang penuh keyakinan dan tegar. Aku menatapnya dan tersenyum penuh penghargaan.
"Apa kita bisa menumpang hidup di sini Kyle??" Tanyaku. Kyle tampak berpikir sesaat. "Aku akan mengusulkannya pada Kepala Suku. Aku juga akan menjelaskan keadaan kalian." Jawab Kyle. Perlahan, senyum kembali merekah di wajah kami.
"Soal ini... Elise berhak tahu." Kata Zaya. Kami semua menoleh. "Elise tak perlu tahu soal Alisa, tapi soal kemungkinan besar kita tidak akan kembali, jelas Elise berhak tahu soal itu." Jelas Zaya. Kyle menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk.
"Aku akan mengusahakan untuk memberitahunya secepatnya. Soal Alisa, biarlah mereka tak mengetahuinya. Kita simpan rapat - rapat rahasia itu sampai tiba saatnya. Kita habiskan saja waktu seperti biasa." Jelas Kyle menutup diskusi itu. Aku dan Zaya sama - sama mengangguk yakin.
"Heii!! Kalian ngomongin apa sih?? Lama tau gak??!!" Seru Elise dari dalam gubuk. Tak lama kemudian, sosoknya yang menggembungkan wajah kesal sambil berkacak pinggang muncul di pintu. Kami saling lirik satu sama lain.
"Bukan sesuatu yang penting. Oh iya, Kyle mau memberitahu tentang sesuatu." Kata Zaya. Sejenak Elise tampak salah tingkah. "Sesuatu??" Tanyanya pada Kyle. Kyle cuma mengangguk.
"Kita bicara berdua saja. Biar Yu-chan dan Zaya yang menemani Alisa di dalam." Kata Kyle kembali serius. Sementara itu Elise semakin salah tingkah. Semburat merah tipis muncul di pipinya.
"Eh.. ba-baiklah..." gumam Elise sambil memainkan jari tangannya, lalu menghampiri Kyle yang tampak tenang menatap Elise. Yang tentu saja, membuat Elise makin salah tingkah. Melihat pemandangan itu, aku dan Zaya sama - sama sweatdrop.
"Cowok emang gak peka ya??" Tanya Zaya. Aku cuma menyeringai sebagai jawaban. Akhirnya, tak mau mengganggu kebersamaan(?)mereka, kami masuk menuju ruangan dimana Alisa berbaring.
"Hai Alisa." Sapa Zaya ketika masuk. Alisa tampak sedang melamun, lalu menoleh mendapati kami di depan pintu. Raut wajahnya pucat, meski senyumnya kembali terbit.
"Hai Zaya, Yu-chan, ayo duduk." Kata Alisa sambil berisyarat menyuruh kami duduk di sampingnya. Kami pun menurut.
"Bagaimana keadaanmu Al??" Tanya Zaya, berusaha terlihat sealamiah mungkin. Alisa hanya tersenyum sebagai jawaban. "Aku tak apa. Seperti yang tadi kubilang." Jawab Alisa.
"Sayang sekali kau sedang sakit Alisa, tadi kita keliling hutan ini lho!! Seru sekali~~!! Apalagi pas menyebrangi jurang dan sungai!!" Cerita Zaya. Otomatis, percakapan hanya berpusat pada mereka, membuatku hanya bisa terdiam sambil menatap Alisa yang tersenyum.
Ketika Zaya sedang tertawa, tiba - tiba Alisa terbatuk hebat. Tawa Zaya langsung bungkam, digantikan teriakan panik. Aku langsung bangun, berusaha mendekap Alisa.
Zaya dengan tubuh bergetar semakin berseru panik ketika darah keluar dari mulut Alisa. Elise dan Kyle langsung tergopoh - gopoh masuk. Wajah mereka pucat.
Sementara Kyle berusaha memanggilkan bantuan, Alisa menjulurkan tangannya padaku. Aku menoleh cemas.
Alisa hanya bisa menatapku lemah dengan sorot mata redup. Seketika membuatku membeku. Sedetik kemudian, Alisa jatuh pingsan.
"Alisa!!" Seru Elise menghampiri kami. Zaya dengan berlinang air mata dan tubuh bergetar berusaha membantu. Sementara aku masih membeku di tempatku.
Sore itu, Alisa jatuh pingsan. Kali ini, kesehatannya turun drastis. Melebihi dugaan siapapun.
.
~To be Continued~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro