Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

s e m b i l a n

***

Orang-orang pernah bilang pada Ghendis. Ia amat beruntung lahir dari keluarga terpandang, dan dihormati banyak orang. Bukan hanya garis keturunan saja yang mujur gadis itu dapatkan, tapi ayah yang memiliki profesi terpandang, yang tiap tahunnya banyak orang berebut untuk mendapatkan porsi, karena hidup terjamin dengan kerja yang nggak terlalu berat kata mereka.

Ghendis kecil memang sempat bangga dengan gelar Ning yang ia dapat. Ia bahkan sangat bahagia mendapat pakaian-pakaian bagus serta makanan enak dari orang tuanya dulu. Namun, semakin tumbuh dewasa dan mengetahui satu per satu fakta. Ghendis jadi nggak tahu, apa dirinya masih bisa menyebut itu semua kebahagiaan atau malah sebuah tekanan.

Di saat yang lain keluar bersama teman sebaya, Ghendis sibuk menyelami materi-materi ilmu pengetahuan. Ketika orang lain membebaskan teman laki-laki anaknya berkunjung ke rumah mereka untuk kerja kelompok. Teman-teman Ghendis merasa sungkan bahkan hanya sekedar duduk di teras rumah saja, mereka lebih memilih untuk segera meninggalkan rumah gadis itu.

Kadang kala, lahir dari keluarga ini membuat pergaulan Ghendis sedikit terbatasi. Bahkan di masa putih abu-abu, ia sama sekali tidak memiliki satu pun teman dekat.

Entah apa yang dipikirkan mereka, teman sekelasnya seakan memberi jarak dengan gadis itu. Seolah-olah mereka mengatakan dalam diam, bahwa Ghendis terlalu tinggi untuk mereka gapai.

Mungkin juga ini salah dirinya yang tidak bisa berbaur dengan baik. Maka ketika ia akan melangkah untuk pertama kalinya menuju lingkungan perkuliahan. Ghendis memutuskan untuk menjadi sedikit lebih berbeda. Menghempaskan segala pikiran-pikiran buruk tentang pertemanan dan tekanan yang dialami di masa lalu. Mengambil langkah awal menuju dunia baru.

Ghendis mengubah gaya berpakaiannya yang terlihat membosankan. Mulai merawat diri agar tak nampak murung tiap hari. Lalu, membebaskan jiwanya yang sedikit cerewet dan ceria. Ayah nggak pernah memintanya untuk jadi gadis pemurung, ibu bahkan sering kali menawari dirinya membeli produk-produk perawatan yang berakhir tak tersentuh di meja rias karena Ghendis terlalu sibuk belajar. Kedua orang tuanya nggak pernah menuntut apa pun pada dirinya, hanya Ghendis yang memiliki pikiran untuk menjaga nama baik keluarga di mata masyarakat sekitar.

Namun, baru saja mengayunkan kaki menuju kehidupan baru. Kabar tak mengenakkan itu datang. Hari yang tidak pernah Ghendis duga sebelumnya menjemput secepat kilat. Merenggut kebahagiaan bahkan rancangan masa depannya.

Hari itu, selepas ayah menjadi imam salat isya di masjid, dan menghabiskan malam dengan obrolan ringan mengenai masa depan. Beliau jatuh tersungkur sembari memegangi dadanya di samping tempat tidur.

"AYAH!"

Napas Ghendis tersengal. Dalam gelap, keringat seukuran biji jagung bercucuran membasahi khimar dan baju tidur yang ia kenakan. Jantung Ghendis terpompa begitu cepat, kala mimpi buruk tentang ayahnya hinggap. Kembali menghantui gadis itu untuk kesekian kalinya.

Bola mata Ghendis mengedar was-was, mencari seseorang yang tergambar dalam alam mimpinya. Lalu, detik kemudian air mata menggenang di pelupuk mata Ghendis. Ketika otak kembali menyadarkan, jika ayah sudah lama tiada.

"Astagfirullah, astagfirullah," ucapnya diiringi isak tangis. "Ayah, ayah."

Ghendis nggak bisa membendung kerinduannya. Ia sama sekali tidak bisa menutupi rasa takut saat teringat memori itu. Bayang-bayang ketika ayah menitipkan ibu untuk dijaga dan nggak melukai hati wanita rapuh itu terus tergambar jelas di benaknya. Hampir empat tahun dari kepergian ayah, tapi luka hati Ghendis tak kunjung sembuh.

"Dhis," panggil ibu. Ia berdiri di ambang pintu kamar Ghendis dengan tatakan lilin di tangan untuk penerangan. "Kamu kenapa, Nak?"

Hati-hati, wanita itu memeluk tubuh Ghendis yang masih gemetar akibat tangis.

"Mimpi ayah lagi ya?" tebak ibu mengusap punggu anaknya. "Istigfar, ayah nggak pergi ke mana-mana. Ayah cuma pulang ke rumah Allah saja sekarang, Nak."

"Lalu kapan Ghendis nyusul ayah buat pulang ke rumah Allah, Bu?"

Terkejut. Ibu menghentikan elusannya. Ia tercenung cukup lama mendengar pertanyaan yang meluncur dari bibir Ghendis.

"Aku nggak sanggup, Bu. Hati Ghendis nggak bisa sembuh."

Helaan napas berembus halus dari bibir Ibu. Ia membenarkan posisi duduk di kasur Ghendis. Lantas mengeratkan pelukan pada gadis itu.

Memang benar terlihat, jika orang yang selama ini melindungi keluarganya adalah Ghendis. Memang benar, Ghendislah yang paling berani dan lantang maju untuk menjadi tameng terkuat saat ini.

Tapi ibu yang paling tahu. Di balik kegagahannya di luar. Ghendis hanyalah seorang perempuan biasa yang rapuh jika salah sentuh. Mereka yang mengatakan Ghendis adalah satu-satunya keluarga paling tegar, nyatanya selalu menyimpan tangis sendirian di belakang.

"Kamu boleh menangis. Tapi jangan sampai keluar kalimat nggak bagus. Istigfar, Dhis."

Kepala Ghendis mengangguk samar. Tangisan berangsur surut seiring kewarasannya kembali. Tak ada tempat ternyaman saat ini bagi Ghendis selain pelukan hangat ibunya. Pil-pil penenang yang diberikan dokter tak pernah sebanding dengan salawat yang mampu melapangkan hatinya.

Ghendis ingin terbebas, tapi masa lalunya terus datang seperti hantu.

"Kita tidur bertiga lagi ya?" usul ibu. Ia merapikan khimar Ghendis yang berantakan dengan penuh kasih sayang. "Yang kita lalui sekarang cukup berat. Kamu jadi lebih sering ketakutan seperti ini. Jangan menyendiri. Bukannya membaik, bisa saja malah bereaksi sebaliknya. Tidur sama ibu dan Reka ya sampai semua masalah di sini selesai?"

Tak punya pilihan, Ghendis pun menyetujui tawaran ibu. Mereka beringsut turun dari kasur. Sembari memegangi lilin di tangan kirinya, Ibu menuntun tubuh kurus Ghendis menuju kamar depan.

Entah sampai kapan mereka harus bertahan di tempat yang hanya menyisakan luka ini. Ibu nggak pernah tahu. Ia hanya berharap, masalah dengan ipar suaminya dapat terselesaikan, dan Ghendis hidup normal kembali layaknya gadis seumurannya.

Melihat Ghendis seperti ini, bagai ditusuk oleh ribuan jarum. Ibu nggak pernah menyangka, jika anak kecil periang di masa lalu, tumbuh menjadi gadis pemurung dan penuh tekanan.

Jika saja anak laki-laki itu masih di sini, apakah Ghendis kecilnya akan kembali tersenyum?

"Tidur di tengah aja, Mbak." Reka menepuk bagian kosong di samping kiri begitu Ghendis dan Ibu masuk. "Yang nyenyak ya. Ada aku sama ibu di sini. Nggak perlu cemas lagi," imbuhnya.

Ghendis pun menurut. Ia sama sekali tidak memprotes. Setelah memeluk Reka sebentar, ia pun tertidur dengan wajah tenang. Di saat-saat ini saja, Reka dan Ibu dapat melihat wajah Ghendis yang damai.

Lama mereka berdua mengamati, hingga air di sudut mata Reka meluncur perlahan. "Kasian mbak ya, Bu. Kalau aja aku bisa bantu."

"Mbakmu nggak akan setuju, Rek," balas Ibu. "Dia pasti maksa kamu buat fokus sekolah saja. Ibu juga merasa bersalah sama mbakmu. Tapi dia nggak mau Ibu kerja."

Ada rasa bersalah menyelimuti kala ia mengatakan kalimat di baris terakhir. Ghendis yang kembali bekerja karena kesalahnnya menceritakan cita-cita Reka pada gadis itu. Sebab setelahnya, Ibu mendapati kertas penuh coretan angka bertebaran di meja belajar Ghendis. Yang tak lain berisi hitungan pengeluaran, tabungan, dan perkiraan pemasukan yang harus didapat.

Ibu nggak lagi bisa berkata apa pun begitu Ghendis datang dan mengatakan jika ia mendapat sebuah pekerjaan. Hanya mampu terdiam, sambil merutuk dalam hati. Jika awal dari tekanan baru yang dialami Ghendis, berasal dari dirinya yang tak becus menjaga mereka.

***

Assalamu'alaikum :")

Alhamdullah bisa update 😂 walaupun pendek banget dan belum masuk konflik. Dan ternyata dugaanku salah, wkwkwk.

Awalnya aku pengen bikin cerita ini nggak berat. Tapi malah jadi berat gini. 😂

Satu persatu teka teki nanti akan terungkap. Semoga saja bisa selesai tepat waktu. Dan terima kasih buat kalian yang sudah mampir. 💕

Semoga kita diberikan kesehatan selalu. Sama² terhindar dari pandemi ini, yang sakit cepat sembuh. Dan semoga bumi kita tercinta lekas pulih.

Sampai jumpa di bab berikutnya~
.
.
.
Salam sayang, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro