Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

e m p a t

***

Haikal membanting pintu mobilnya. Kerutan di kening semakin menjadi ketika otaknya mengingat kembali kejadian lima hari yang lalu di rumah salah satu mahasiswinya di kampus. Haikal bahkan tak pernah menyangka akan turun dari motor lalu mencekal tangan seseorang dengan amarah yang begitu besar.

Ia memutar stir mobil ke arah sebuah perumahan bergaya Jepang Minimalis, seiring dengan pikirannya yang kembali mengingat pengakuannya sebagai perwira muda di depan pria bertubuh besar tersebut. Haikal meringis, bisa-bisanya ia berbohong seperti itu? Terlebih, ini demi menyelamatkan seorang gadis. Apa otak Haikal bekerja normal kemarin?

Tangannya memukul stir. Menghilangkan bayangan memalukan yang terus teringat oleh memori otaknya.

Haikal bukanlah tipe manusia yang suka ikut campur masalah orang lain. Ia bahkan pernah mengabaikan seorang tunawisma yang meminta pertolongan, karena diseret paksa oleh petugas setempat dengan tidak menusiawi. Hati Haikal tergerak untuk meraih tangan si Tunawisma. Tapi bayangan mengerikan itu muncul seiring keraguan.

Hingga akhirnya, ia mengulang kalimat yang menurutnya sendiri cukup keja. Haikal tak akan mendapatkan apa-apa dari menolong mereka, dan bisa saja malah kemungkinan akan menyusahkan saja suatu saat nanti. Lagi pula, yang kita pikir baik belum tentu kenyataan akan berkata demikian juga. Sama seperti kejadian tiga tahun lalu. Ketika ia harus meregang nyawanya untuk membantu orang yang harusnya tak ia tolong.

"Astagfirullah." Haikal reflek menutup kedua telinga. Dengkingan yang diikuti pusing mulai menyergap, membuat sekujur tubuhnya tak berdaya hanya dengan mengingat memori buruk itu.

Semua benda di sekitarnya terasa berputar-putar tak karuan. Kemudian, halusinasi dari teriakan seseorang dan darah yang melumuri stir mobilnya tergambar jelas. Membuat Haikal menutup mulut. Tangannya meraba-raba kantong plastik lantas menumpahkan segala isi perut dalam kresek hitam yang selalu tersedia di laci mobil.

Gemetar, Haikal mencari benda tabung yang selalu dibawanya ke mana pun. Menelan dua isinya untuk meringankan serangan panik yang muncul secara mendadak.

"Astagfirullah, lagi-lagi," serunya. Haikal memejamkan mata agar gambaran-gambaran mengerikan tadi tak nampak. Mengembuskan napas berulang kali supaya jantungnya kembali normal.

Haikal benar-benar butuh beristirahat. Rasa bingung dan kantuk yang menyergap membuat halusinasi masa lalu selalu terbayang, kalau bukan karena khawatir pada kondisi Ghendis, ia mungkin tidak akan mendapat gambaran buruk itu lagi bukan? Lagi pula, apa sih urusan Haikal sampai ia harus khawatir pada kondisi mahasiswanya itu?

Suara klakson dari arah belakang kemudian membantu Haikal kembali pada kenyataan. Ia sedang berada di tengah jalan, tepatnya di jalan komplek perumahan. Otaknya kembali berfungsi setelah rasa panik perlahan surut. Haikal menghidupkan lagi mesin dan melajukan mobilnya menuju rumah nomor 105.

Sudahlah, kejadian kemarin nggak perlu lagi Haikal pikirkan. Toh, bukan urusannya Ghendis baik-baik saja atau tidak. Cukup sekali saja dia membantu seseorang, lain kali hati Haikal tidak boleh tergerak.

***

Ruangan berpendingin itu sunyi untuk beberapa saat. Hanya decitan spidol pada papan tulis putih yang saling beradu mengisi kekosongan pun bunyi dari mesin pendingin ruangan. Bola lampu temaram yang dipasang sama sekali tidak membantu mahasiswa untuk membaca tulisan tangan Haikal yang lebih mirip benang-benang kusut daripada sebuah huruf.

Sialnya, Ghendis yang matanya memang sedari lahir memiliki gangguan tak bisa melihat apa pun selain cahaya putih, pantulan dari lampu neon yang dipasang.

"Gil, Gila," bisiknya memanggil Gilang yang fokus mendongak dan menunduk untuk menulis apa yang tengah dosen di depannya tulis.

"Bisa nggak sih manggil namaku yang lengkap?" ucap cowok bermata empat itu bersungut-sungut. Alis tipis Gilang menyatu sementara bibir merah ranumnya mengerucut tak senang. "Kamu kaya ngajak ribut, Dhis."

"Ih, maap. Sensian banget si. Lagian biar nggak boros huruf juga, Gil."

Lalu keributan mereka diinterupsi oleh dehaman Haikal yang tak senang kelasnya riuh. Padahal mah, Ghendis dan Gilang berbicara dengan volume sekecil mungkin. Aneh deh, hari ini semua cowok lagi sensian, PMS kali ya?

"Apa sih? Cepetan kalau mau ngomong, aku nggak mau Pak Haikal sembarangan ngasih nilai merah di absensi," gerutunya lagi. Tapi, meski Gilang kesal, cowok itu tetap menyahuti Ghendis yang menipiskan bibir di kursinya. Meski terlihat tak peduli, namun sebenarnya Gilanglah satu-satunya pemuda yang perhatian. Cowok itu nggak keberatan Ghendis usili, ia bahkan nggak akan marah kalau Ghendis mengacaukan rapat organisasi literasi dengan lawakan garing. Yah, paling nggak sih, Ghendis cuma nggak disapa sehari doang. Keesokannya Gilang akan balik berbicara padanya duluan seperti biasa.

Emang ya, seharusnya Gilang itu punya pacar dari dulu. Pekanya dia biasanya yang paling cewek cari. Tapi mungkin karena dakwah Ghendis tiap hari mengenai zina dan pacaran di kantin dan perpustakaan. Gilang akhirnya nggak pernah punya keberanian dan menjadikan Keyna mendadak taubat dari aktifitasnya mengaku-ngaku istri oppa.

Iya, lebih baik demikian bukan? Memang yang berbau dosa itu rasanya lebih nikmat. Tidak heran banyak orang yang terjerembab dan sulit mendengarkan seruan Allah akan larangannya yang satu itu.

"Nanti pinjem buku catatannya ya. Mataku nggak bisa liat," lanjutnya berbisik dari arah belakang, yang Gilang langsung sambut dengan jempol diacungkan ke udara.

Ghendis menyunggingkan senyum. Rasanya bersyukur sekali bisa memiliki teman seperti Keyna dan Gilang yang sama-sama perhatian. Ghendis pun menutup sesi bisik-bisik tetangganya dengan Gilang, setelah Haikal untuk kedua kalinya berdeham nyaring. Pertanda jika sampai tiga kali ia berdeham maka keberadaan Gilang dan Ghendis di ruangan itu akan terancam.

Kesal sih punya dosen yang terlalu ketat dan disiplin. Rasanya seperti sedang mengikuti wajib militer para oppa saja. Ghendis bahkan seolah kehilangan sosok Haikal yang sempat menolongnya seminggu lalu. Dosennya yang berdiri di hadapannya yang bersimpuh membuat Ghendis merasa terlindungi untuk sejenak. Ia tak tahu, jika Haikal masih memiliki sisi positif selain rupanya yang tampan.

Kepala yang ditutupi hijab kuning itu akhirnya menggeleng hebat, seakan baru menyadari kesalahan di otaknya. Haikal pasti tergerak karena simpati saja waktu itu. Benar, rasanya lumrah bukan menolong seorang wanita lemah yang dianiaya pria bertubuh lebih besar darinya? Semua orang Ghendis yakin sama kok, mungkin hanya keluarganya saja yang membisu.

Benar, Haikal pasti cuma simpati, karena bagi Ghendis laki-laki di depan sana nggak lebih dari sosok iblis pengancam kelulusan.

"Argani Saskia Utari?"

Ghendis reflek berdiri dari tempat duduk begitu namanya disebut. "Ya, Blis? Eh, maksudnya, Pak?"

Haikal mengerutkan kening, curiga. Akan tetapi langsung ditepis karena tak mau berlama-lama ada di kelas. "Setelah jam kuliah, temui saya di ruangan saya."

"Saya melakukan kesalahan lagi, Pak?"

Haikal menggeleng pelan sambil merapikan buku juga laptopnya. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu, terkait mata kuliah saya."

Apa nih? Kenapa Ghendis merasa akan dihukum lebih berat dari minggu kemarin.

"Saya tunggu pukul lima, sore ini." Barang Haikal sudah dimasukkan ke tas ransel hitamnya. Ia sudah siap beranjak, namun berhenti sejenak di depan papan tulis yang penuh coretan tinta spidol. "Dan, jangan lupa tulis lalu kerjakan tugas saya. Saya yakin kamu belum menulis apa pun karena sibuk bergosip dengan saudara Gilang dan melamun seperti orang patah hati."

Iblis sialan.

***

"Keeeeee!" seru Ghendis, suaranta memantul di sepanjang lorong menuju kantin begitu melihat Keyna yang sudah berdiri di depan pintu masuk. Kakinya kemudian melompat dan menghambur memeluk Keyna.

Keyna tentu menyambut pelukan hangat Ghendis. Walaupun setelahnya ia malah dibuat khawatir ketika Ghendis mengeluarkam suara seperti orang menangis.

"Dhis? Lo kenapa?"

Tapi sayangnya gadis di pelukan Keyna tidak menjawab. Ia malah semakin menguatkan pelukan di pinggang Keyna lantas menangis dengan suara yang bertambah kencang.

"Dhis?"

"Biarin aja Ke. Si Ratu lebay lagi ngedrama," sahut Gilang yang berhasil menyusul, peluhnya menetes akibat mengejar Ghendis di bawah matahari pukul tiga sore. Padahal ya, jarak antara gedung fakultas dan kantin tidak seberapa jauhnya, tapi banjir peluh seukuran biji jagung menetes hingga membasahi kemeja yang Gilang pakai.

Emang dasar nggak pernah olahraga, lari-larian dikit aja udah lepok. Lihat dong Ghendis yang dijemur dua setengah jam di bawah terik matahari! Mana ukuran Ghendis mungil juga! Nggak kaya Gilang yang tumbuh menjulang. Ghendis mencibir dalam hati, walaupun aksi pura-pura nangisnya masih berlanjut.

Bola mata Keyna akhirnya mengedar, ketika menyadari beberapa pasang mata lain di sekitar sana melihat ke arah mereka dengan tatapan risih. Apalagi pada Gilang yang masih sibuk mengelap peluhnya dengan sapu tangan pemberian Keyna di ulang tahun kedua puluh cowok itu.

Tanpa disadari, Keyna menarik ujung bibirnya, matanya menyipit sekilas sebelum kembali normal. Ia ingin bahagia sekarang, tapi Keyna pikir ini bukan waktunya. Mereka harus cepat masuk atau keluar saja supaya tidak lagi menghalangi jalan. Tubuh Gilang yang tinggi cukup membuat sebagian mahasiswa mengerucutkan mulut tak senang jalannya diinvasi.

"Kayanya kita harus masuk dulu deh," interupsi Keyna. "Kalau nggak, demo di depan kantor DPR bakal pindah ke sini nih."

Gilang yang merasa punggungnya ditabrak tak senang oleh orang-orang di belakangnya, mengangguk mengerti. Kakinya langsung melangkah masuk disusul Keyna yang masih mendekap erat Ghendis di pelukannya.

Ghendis sebenarnya sadar jika keberadaannya tadi mengganggu. Ia ingin sekali melepaskan pelukan lantas menarik Keyna dan Gilang masuk. Tapi, ekor matanya menangkap seseorang di kantin yang membuatnya masih menyembunyikan wajah di bahu Keyna.

Duh, kenapa mereka malah maauk sih?

Di balik penggorengan Pak Umang, laki-laki bertubuh tegap yang ditemuinya dua jam lalu tertawa santai. Mereka bercakap layaknya sahabat yang sedang berdiskusi banyak hal. Lalu, sama-sama mengangguk dengan raut sok mengerti.

Gilang dan Keyna membawanya mengantri. Satu per satu keduanya meneliti menu untuk dipesan. Ghendis tentu sudah tak menyembunyikan wajahnya lagi. Ia berdiri gugup di antara Gilang dan Keyna. Mata bulatnya tak henti melirik ke arah Haikal dan Pak Umang yang masih asik bercakap.

"Gue siomay kaya biasanya deh, Lang," putus Keyna pada akhirnya. Gilang mengangguk menanggapi, lantas menyenggol pundak Ghendis secara tiba-tiba.

"Astagfirullah!" seru Ghendis tak terlalu kencang. "Apa sih, Gil?" ucapnya seolah telah melupakan tujuannya datang ke kantin.

"Kok apa sih?" Gilang mengerutkan kening. "Kamu itu mau pesan apa? Biar aku yang ngantri, mumpung masih sepian."

Bener kan, Ghendis lupa tujuannya menyejahterakan perut. Pandangannya terus terfokus pada Haikal sampai ia lupa akan dunia yang dipijaki. Serius ya, ini bukan karena terpesona pada sosok dosen mudanya itu. Melainkan, karena perintah Haikal yang lebih mirip ancaman kematian di telinganya beberapa jam lalu.

Sia-sia Ghendis sudah mengatur strategi agar tidak bertemu dengan Haikal.

Sebenarnya apa sih salah Ghendis sampai ia harus berurusan denhlgan Haikal beberapa hari ini? Padahal semester lalu, mereka tak pernah saling bertegur sapa. Hanya sesekali saja, itu pun karena Ghendis harus merevisi makalah yang penuh oleh coretan tinta milik Haikal.

"Argani Saskia Utami? Jadinya kamu pesen apa?" Gilang melambaikan tangan, membuat Ghendis mengerjap beberapa kali.

Tak hanya Ghendis, telinga lain yang tak asing dengan namanya menoleh ke arah gadis bertubuh mungil di kerumunab mahasiswa lapar. Kepala Haikal melongo sebentar, matanya menyipit untuk mempertajam pengelihatan. Kemudian, hubla pandangan mereka bertemu tanpa sengaja, yang langsung membuat Ghendis gelagapan setengah mati!

"Aduh, astagfirullah!" keluh Ghendis memegang perut.

"Kenapa, Dhis?" Gilang dan Keyna kompak khawatir.

"Adududu, perutku sakit," keluhnya mencari alasan. "Kayanya aku nggak jadi makan dulu deh. Ya Allah! Aku ke toilet aja ya, kalian pesen aja duluan. Daaaaaah!"

Lantas Ghendis melesat sebelum Haikal bergerak dari tempatnya.

***

Setengah jam Ghendis habiskan dalam toilet wanita di dekat masjid kampus. Sambil membalas pesan Keyna dan Gilang di ruang obrolan mereka, pikirannya sibuk mencari cara agar keluar dari tempat ini dengan aman.

AlKe(y)na: Dhis

AlKe(y)na: Di mana deh?

Gadis Imut: Toilet, syang

Gadis Imut: Barusan mata iblis ngeleser diriku

Gadis Imut: Huhuhu

Gila-lang: L

Gila-lang: E

Gila-lang: B

Gila-lang: A

Gila-lang: Y

Gadis Imut: Diem kamu, Gila :)

Ghendis memajukan bibirnya tak senang. Kakinya mulai melangkah keluar dari toilet, setelah mengecek ulang pukul berapa sekarang pada layar ponselnya. Setengah empat, harusnya Haikal sudah tidak lagi berkeliaran di koridor lagi kan? Dosennya itu pasti tengah melakukan proses belajar mengajar. Berbeda dengan Ghendis yang telah menuntaskan perkuliahannya hari ini.

Ghendis mengambil langkah merdeka, salah satu strateginya agar tak bertemu dengan Haikal adalah berlama-lama di toilet, setelah itu mengendap di balik tubuh mahasiswa-mahasiswa lain yang melintas, dan akhirnya bisa keluar dari area kampus dengan selamat sentosa.

"Kamu lama sekali di dalam toilet," sebuah suara menginterupsi kebahagiaan Ghendis. Meniadakan rasa kemenangan tadi, menjadi ketakutan. Tubuh Ghendis berbalik spontan ke arah pria berkemeja biru langit yang bersandar di dinding luar toilet.

Haikal mulai mengambil langkah, tatapan tajamnya otomatis membuat Ghendis sedikit gagap mencari alasan.

"Ah, itu, Pak. Tadi saya--"

"Apa?"

"Anu, itu, Pak. Apa udah, itu loh, astagfirullah!" seru Ghendis frustasi sambil menjambaki ujung hijab yang ia pakai. Di saat-saat seperti ini otaknya malah sama sekali nggak bekerja.

Sementara Haikal tak bereaksi apa pun selain menatap mahasiswinya itu lekat-lekat. Sejenis pandangan meremehkan dari sudut pandang Ghendis. Lelah menunggu tak ada alasan bagus yang keluar dari mulut gadis mungil di hadapannya. Haikal mengembuskan napas panjang. Menyita perhatian Ghendis sejenak. Lantas berkata, "Sepertinya saya berubah pikiran."

Kening Ghendis mengernyit bingung. "Maksudnya, Pak?"

"Ikut saya sekarang, saya perlu berbicara dengan kamu."

***

Assalamu'alaikum.

Alhamdulillah, akhirnya Ghendis kembali menyapa :')

Semoga suka ❤

.
.
.

Salam rindu, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro