Bab 3
Aku tidak pernah takut mengenai jodoh, karena aku yakin masalah jodoh sudah Allah tulis di setiap buku hamba-Nya. Aku pun yakin, jika Abi akan mencarikanku jodoh terbaik. Abi tidak memberitahuku karena beliau tidak ingin berharap lebih pada akhi Farid. Aku tidak akan berharap akhi Farid adalah jodohku, tapi aku hanya berharap pada Allah, semoga Allah memberiku jodoh terbaik. Aku tak ingin ambil pusing masalah ini karena nantinya akan berdampak pada konsentrasiku mengajar. Aku hanya ingin agar Bang Umar tidak memberitahu Abi perihal surah dari Mas Farid.
Aku memasuki rumah Bang Umar sambil mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Masuk, Wa." Kak Anis menyahutiku dan menyuruhku masuk.
Aku bergegas masuk, menuju ruang tengah. "Bang Umar belum pulang, Kak?" tanyaku, mendapati rumah masih sepi.
"Sudah. Tapi lagi keluar sama Adam, katanyanya mau ke toko sembako," sahut Kak Anis dari arah dapur.
"Kak Anis lagi bikin apa?" tanyaku, mendekat ke arah dapur.
"Ada orang aqiqah, dagingnya buat hikmad santri." Kak Anis menoleh ke arahku sekilas sambil mengaduk masakan yang ada di atas kompor.
Rezeki untuk santri pondok memang tak pernah habis. Selalu datang rezeki silih berganti. Daging, roti, minuman, cemilan, atau sesuatu lain yang dapat di konsumsi santri. Alhamdulillah, insya Allah ada keberkahan unjuk para pejuang ilmu.
"Apa nih, yang bisa Salwa bantu?" Aku menawarkan bantuan.
"Nggak usah, ini sudah mau selesai." Kak Anis tersenyum.
Aku mengangguk. "Salwa nunggu di luar yah, Kak." Aku bergegas meninggalkan dapur.
Aku duduk dikursi panjang yang ada teras rumah Bang Umar. Aku menonton santri putra yang sedang bermain bola. Bagi santri yang tidak mengikuti kelas tambahan tahfidz, maka pada sore hari mereka memiliki waktu luang untuk bermain.
"Ehm ... ehm ... Apa aku mengganggumu?"
Aku seketika menoleh dan kudapati laki-laki asing itu menatapku.
Astagfirullahal'adzim. Aku segera membuang wajah dan beristigfar berulang kali. Kenapa aku selalu bertemu dengannya?
"Bisakah Anda tidak menggangguku sekali saja?" tanyaku. Baru saja aku berhenti memikirkan dia, tapi entah kenapa dia selalu hadir ketika aku di area pondok putra.
"Ada hal penting yang ingin kukatakan." Dia mendekatiku dan duduk di ujung kursi yang kududuki.
Aku lekas berdiri dan akan berlalu masuk.
"Tunggu! Aku hanya ingin berbicara denganmu!"
Langkahku terhenti, tak menoleh ke arahnya. "Dua lawan jenis dalam agamaku dilarang berduaan karena yang ketiganya adalah syaitan," ucapku tenang.
"Aku ingin menikahimu."
Detak jantungku seakan terhenti mendengar ucapannya.
Apa aku mimpi? Dia ingin menikah denganku?
"Akan kulakukan apapun yang bisa kuusahakan untuk menikahimu."
"Kita berbeda keyakinan, kamu tahu itu. Dalam agamaku di larang menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Maaf, saya tidak bisa." Aku bergegas masuk ke dalam.
"Salwa!!!"
Ya Allah, ujian apalagi ini?
"Siapa, Wa?" tanya Kak Anis dari dapur.
"Nggak tau, Kak. Mungkin santri." Aku terpaksa berbohong pada Kak Anis. Aku segera keluar dari rumah, takut jika orang asing itu berbuat macam-macam.
Aku memasang wajah datar. "Apa lagi?!" tanyaku tegas.
"Tiga hari lagi aku akan kembali ke Prancis. Aku terkesan denganmu. Kamu masih muda, tapi kamu mampu menghafal satu mushaf. Aku akui itu sangat sulit, bahkan aku pun tak bisa menghafal kitabku semuanya. Aku nyaman tinggal di sini. Nyaman dengan orang-orang sini. Mereka sopan dan baik, meski kita bebeda keyakinan. Di sini sangat damai, tenang dan mengesankan. Aku suka tempat ini. Banyak yang kudapat di sini termasuk hafalan surat-surat pendek dari kitabmu. Aku akan penuhi kemauanmu jika kamu mau menikah denganku. Bahkan aku bisa membeli pondok ini demi kamu. Ini nomor teleponku. Kabari aku secepatnya sebelum aku kembali ke Prancis atau aku tidak akan kembali lagi ke sini dan kesan pada agamamu akan kuhilangkan." Dia menyodorkan kartu nama padaku.
Aku masih diam tanpa ingin menerimanya.
Dia meletakkan kartu nama itu di atas bangku dan berlalu pergi. Aku hanya menatapi kepergiannya. Ada kata-katanya yang menggetarkan hatiku.
Dia banyak belajar di sini? Dia betah? Dia nyaman? Dan dia ingin menikahiku? Ya Allah, apa arti semua ini?
"Kak. Ini ada titipan dari Mister Edward buat Kakak."
Aku menoleh pada santri yang sudah berdiri di hadapanku. Aku menerima benda yang ia berikan padaku. "Terima kasih," ucapku bingung.
Santri itu pun berlari meninggalkanku yang masih dipenuhi berbagai pertanyaan mengenai laki-laki asing itu.
Aku pun masuk ke dalam, duduk di ruang tamu dan memperhatikan benda yang masih terbungkus rapi dengan kertas koran.
Apa maksud semua ini? Kenapa dia mengatakan hal itu? Dan kenapa dia memberikan benda ini? Apa ini?
Perlahan kurobek kertas yang menutupi benda misterius ini. Seperti sebuah bingkai. Aku semakin penasaran. Benar. Isinya bingkai. Aku termenung menatap ukiran kalimat sakral ini. Kalimat berlapis warna emas terukir indah. Asyhadualla illa ha illallah. Hatiku bergetar ketika kalimat itu terucap dalam hatiku.
Ya Allah, apa arti semua ini? Apa ya Allah? Kenapa dia memberiku bingkai bertuliskan kalimatmu? Apa arti semua ini?
"Assalamu'alaikum."
Aku segera menghapus air mata yang hampir jatuh di pipiku ketika mendengar Bang Umar mengucapkan salam.
"Wa'alaikumussalam," sahutku, beranjak dari duduk mendekati Bang Umar.
"Kamu di sini, Wa? Ada apa?" tanya Bang Umar menatapku.
"Ada yang ingin Salwa omongin sama Abang." Aku menarik tangan Bang Umar agar duduk di ruang tamu.
"Masalah apa, Wa?" tanya Bang Umar setelah duduk di sofa.
"Abang jangan bilang sama Abi kalau Salwa dapat surat dari akhi Farid." Aku mengutarakan maksud menemuinya.
"Kenapa?" tanya Bang Umar bingung.
"Abang kenal Pak Samingun nggak?" tanyaku.
"Pak Samingun teman Abi yang anaknya masih mondok di Jombang?" tebak Bang Umar.
Aku mengangguk. "Beliau meminta Abi untuk menjodohkan anaknya dengan Salwa, tapi setelah akhi Farid lulus dari pondok beberapa bulan lagi. Abi sengaja nggak ngomong sama Salwa karena takut Salwa ngarepin akhi Farid, makanya Abi belum ngomong sama Salwa sampai kepulangan akhi Farid. Tapi, Salwa justru dapat kabar ini dari akhi Farid melalui surat itu, bukan dari Abi langsung. Salwa nggak mau Abi tau masalah surat itu karena Salwa takut Abi tersinggung dengan tindakan akhi Farid. Nanti takut Abi berpikiran kalau akhi Farid sering kirim surat ke Salwa." Aku menjelaskan.
"Iya sih, nggak seharusnya Farid ngirim kamu surat sedangkan dia belum ada kepastian," kata Bang Umar. "Ummi tau?" lanjutnya.
Aku kembali mengangguk. "Tapi Ummi nggak tau soal surat itu. Kata Ummi, Abi memang belum bilang 'iya' atau 'tidak', karena jodoh yang menentukan Allah."
Jadi, kalo ada ikhwan datang ke rumah mau serius sama kamu, kamu setuju?" Bang Umar menatapku serius.
"Kalo Abi, Ummi dan Abang-abang Salwa setuju, Salwa insya Allah setuju," ucapku yakin.
"Iya. Abang nggak akan ngomong sama Abi. Kamu juga harus fokus sama hafalan santriwati. Jangan dipikirin masalah ini." Bang Umar menasehati.
"Tapi, Bang..." Aku menggantungkan kalimatku. Aku takut mengatakan masalah orang asing itu.
Bang umar menatapku dengan dahi berkerut.
Aku menggigit bibir bawahku.
Apa aku harus cerita sama Bang Umar?
"Apaan sih, Wa? Jangan bikin Abang penasaran." Bang Umar semakin penasaran.
Aku perlahan meraih bingkai pemberian orang asing itu. "Salwa dapat ini dari orang asing itu. Eh, maksud salwa, Kak Edward."
"Edward sudah pergi?" Bang Umar menyentuh bingkai itu.
Aku hanya mengangguk.
Bang Umar menghela napas, lalu tersenyum. "Dia senang melihat Adam sedang setor hafalan. Dia kagum karena anak seumur Adam sudah hafal Al-Qur'an. Bahkan, dia suka ngikutin kalau santri madrasah hafalan surat-surat pendek. Semoga saja dia dapat hidayah."
"Jadi, dia mau pergi?" tanyaku.
"Iya. Sebelum Abang ke pasar, dia pamit sama Abang mau ambil barang dia di rumah neneknya sekalian mau ke bandara buat pulang ke negaranya."
Jadi, Bang Umar tak tahu maksud bingkai ini? Pertemuan tadi perpisahan? Dia akan pulang ke Prancis? Dia menunggu harapanku? Ya Allah, apa semua ini? Apa arti bingkai ini?
"Ya sudah, Abang mau mandi. Kamu balik gih, ke pondok santriwati." Bang Umar beranjak dan berjalan meninggalkanku yang masih memikirkan perkataan orang asing itu.
Aku sangat bingung dengan semua ini. Di satu sisi, aku ingin dapat imam yang lebih baik dariku. Di sisi lain, dua laki-laki mengharapkanku. Yang satu non muslim, dan yang satu masih mondok. Lebih baik nanti malam aku shalat istikharah. Semoga Allah memberiku petunjuk terbaik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro