Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#21. Kalah dan Menang

"Erina, jadi pacar aku yuk."

Setelah aku mengatakannya, orang-orang di sekitar seketika memberikan reaksi khas, misalnya seperti Adena yang tercengang dan Aila yang tiba-tiba terdiam.

Itu wajar saja terjadi, sebab aku sekarang tengah berada di lorong sekolah. Siswa-siswi menyempatkan diri untuk bergeming, sekadar menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yah, meskipun aku tidak sepenasaran mereka, karena aku sepertinya sudah mengetahui jawaban apa yang akan Erina berikan.

"Tidak mau. Aku masih tidak mau pacaran. Lagipula status pacar bukan masalah enteng."

Seketika bisik-bisik pun tercipta di sekitarku. Sebelum suasana makin menjadi-jadi, aku menggaruk-garuk belakang kepala sembari berujar dengan nada akrab.

"Kamu hafal banget sama skenarionya yah, Erina."

"Tentu saja. Tapi candaan Kakak tadi sudah tidak lucu lagi."

Suasana pun berhasil terkendalikan dan mencegah kerusuhan terjadi. Beberapanya menyuarakan kelegaan maupun kekecewaan. Meski begitu, arus jalan para murid sudah kembali normal.

Aku dan Erina saling melemparkan senyuman. Lalu Adena menyelanya dengan berujar setengah malu-malu.

"A-anu ... t-tadi itu ... apa maksudnya ya ...."

"Sudahlah, Adena. Jangan terlalu dipikirkan. Oh iya, ngomong-ngomong, Lala, hari ini enggak dagang?" tanyaku begitu menyadari Aila yang mendekat ke belakang Adena.

Jam istirahat belum berakhir, daganganku-yang terbilang sedikit karena krisis stok-baru-baru saja ludes terjual. Dan sejak pagi tadi, aku tidak melihat keberadaan jamur Enak di sekolah ini.

"Riska bilang, dia berhenti menjual jamur di sekolah ini. Jadi mulai sekarang, aku pengangguran!"

Aila terkesan bahagia ketika mengatakannya. Padahal baru kemarin dia bertingkah sombong di hadapanku gara-gara dagangannya laku berat. Tanpa sadar, aku bergumam.

"Kenapa bisa seperti itu ...."

"Tanya sendiri ke Riska, Bin."

Ah, rupanya gumamanku tadi tidak cukup pelan untuk tidak terdengar. Sudahlah, hikmahnya sekarang saingan jamur Kimochi telah menghilang. Meski sedang kesulitan biaya bahan baku karena krisis ekonomi di Indonesia, setidaknya tiap hari barangnya bisa terjual habis, mungkin.

"Oh iya, Bin. Tau tidak tentang AKPBP?"

Pertanyaan Aila itu membuatku terheran-heran. AKPBP? Apa itu? Sejenis idol grup? Aku seketika terbayang akan sekumpulan orang yang memakai jubah pink sembari mengacungkan light stick dan berteriak gaje.

"Enggak tau. Apa itu?"

"Asosiasi Korban Php Bintang Prasetyo. Perkumpulan yang berisikan mantan-mantan pacarmu. Hari ini, setelah pulang sekolah, peresmiannya akan diadakan di cafe two light."

Sebelah alisku terangkat ketika mendengar kata "asosiasi". Baru kali ini aku mendengar ada perkumpulan semacam itu. Mungkin mereka lagi kurang kerjaan. Dan entah kenapa dengan adanya perkumpulan tersebut, aku merasa diperlakukan seperti penjahat. Yah, sepetinya perlakuan tersebut bisa dibilang tidak salah sih ....

"Aku heran, siapa yang mau repot-repot bikin perkumpulan semacam itu."

"Rahasia. Anggotanya tiga belas orang loh. Mau ikut acara peresmiannya enggak?"

"Enggak mau. Aku merasa akan ada sesuatu yang buruk kalau berada di sana."

Jika datang ke sana, paling tidak aku akan melihat kenangan masa lalu yang memalukan bersama para mantan pacar terbongkar di hadapanku, atau bisa saja aku malah membuat suasana memanas. Hmm, mungkin aku memang harus minta maaf kepada mereka yang sempat aku kecewakan. Tapi ... mungkin lain kali saja.

"Hoo, begitu. Ah, aku kembali ke kelas dulu ya. Dadah."

Aila mengibaskan tangannya bak miss universe sembari melangkah pergi. Bersamaan dengan itu, Johar yang entah datang dari mana mengambil posisi tepat di sebelahku, dan berujar seraya menatap ke arah Adena.

"Oi, Dena. Ibu Rita nungguin kamu di perpustakaan."

"E-eh! Ah iya! Ibu Rita! Aku lupa!"

Tanpa basa-basi lagi, Adena yang terlihat sangat panik langsung berjalan cepat menuju-mungkin-perpustakaan. Aku tersenyum kecil tatkala melihat punggung cewek itu yang semakin menjauh.

"Oi, Bintang. Mengenai ucapanku beberapa minggu lalu ...."

Dengan suara-suara abstrak nan keras dari sekitar, Johar yang berujar lumayan lirih itu mungkin bertujuan agar hanya kami saja yang mendengar pembicaraan ini. Tentu aku mengerti ke mana arah topik yang mau ia angkat. Namun aku masih menunggu, tak berani untuk memberikan sahutan.

"Maaf. Mungkin aku sudah menganggumu karena itu. Sejak dulu, aku selalu saja menyalahkan orang lain atas masalah di kehidupanku. Tapi, sekarang aku menyadari sesuatu. Jika saja waktu itu aku lebih memerhatikan adikku, ia tidak akan berakhir begitu."

Tidak bisa dipungkiri, aku agak kaget ketika mendengar hal itu darinya. Tangan kanan Johar yang mengepal menyentuh dadaku. Ia kemudian melanjutkan.

"Jangan salah sangka. Aku masih membencimu. Tapi, aku harap suatu saat rasa benci itu bisa menghilang."

Dia pun beranjak melewati aku yang sontak tersenyum. Entah kenapa, hatiku terasa semakin ringan. Memperluas sudut pandang dan paradigma akan membuka pintu menuju dunia yang tidak pernah kau lihat sebelumnya. Dan aku yakin, Johar sedang mencoba untuk memasuki salah satu dari pintu tersebut.

Kebencian yang dibiarkan terus menumpuk hanya akan menghancurkan diri kita sendiri.

"Kak Bintang."

Erina memanggilku. Aku menoleh ke arahnya dan menyadari keberadaan seseorang beberapa meter di belakang Erina. Seseorang yang seketika membuat semangatku menurun drastis.

"Itu ... pasangan Kakak-ah bukan, maksudnya, ada yang nyari."

Erina menunjuk ke arahnya-Tian yang melemparkan senyuman padaku. Tentu aku mengerti apa maksud dari senyuman itu. Helaan napas panjang nan berat aku lakukan sebelum datang mendekatinya dan pergi ke suatu tempat.

--K.I.M.O.C.H.I--

Memerhatikan murid-murid yang beraktivitas di seberang sembari bersandar pada dinding dari laboratorium komputer adalah apa yang aku lakukan setiba di tempat ini. Di sebelahku, Tian juga melakukan hal yang sama. Meski tak saling bertatap muka, aku sedang menunggu kata-kata yang akan ia keluarkan.

"Berarti aku yang menang, kan."

Hanya gumaman singkat tanda pengiyaan yang aku berikan. Usaha penaklukkanku telah berakhir. Tidak ada lagi niatku untuk menjadi pemenang. Karena itulah aku ingin menikmati masa-masa sekarang sebelum datangnya hari esok.

Pasrah setelah bertarung dengan sekuat tenaga bukanlah pilihan yang keliru. Karena dengan begitu, kekalahanku akan menjadi lebih terhormat, kan?

"Sedari dulu, ada yang mau aku tanyakan padamu." Aku menjeda, sejenak mengintip sosok Tian dengan ekor mata. "Kenapa kau menyuruhku menaklukkan Erina, bukan cewek lain?"

Gumaman panjang mengawali sahutannya. "Karena dia berbeda. Setelah mengamatinya, aku yakin kalau kau tidak akan bisa menjadikannya pacar."

"Sejak kapan kau mengamatinya?"

"Entah. Sejak kapan, ya ...."

Nada bicaranya seakan sedang mengejekku. Untungnya emosiku masih bisa dikendalikan,tidak seperti waktu itu. Ah iya, ngomong-ngomong soal kejadian waktu itu, rasa-rasanya aku jadi malu pada diriku sendiri. Harusnya aku memukulnya berkali-kali sampai pingsan-bercanda, kekerasan bukanlah cara pria sejati untuk menyelesaikan masalah, kan?

"Bagaimana rasanya gagal menaklukkan Erina?" tanyanya, kali ini tidak sekadar nada, ekspresinya pun sangat kentara dengan ejekan.

Aku mendengus, dan setelahnya ujung bibirnya terangkat. "Sangat luar biasa. Dia seperti spesies yang berasal dari dunia lain."

Tian tertawa kecil, lalu beranjak, mengangkat sebelah tangannya dan berujar sebagai tanda perpisahan.

"Aku janji besok akan menyebarkan video itu. Silakan nikmati perubahannya."

Dalam diam, aku mengamati punggung cowok itu yang kian menjauh. Cowok yang memaksaku mengalami berbagai macam kejadian pahit.

Mengingat masa lalu hanya akan membuatmu dipenuhi dengan penyesalan. Memikirkan masa depan hanya akan membuatmu dipenuhi dengan keraguan. Jadi memikirkan masa sekarang adalah yang terbaik.

Matahari belum meninggi. Masih banyak waktu sebelum seluruh jam pelajaran di sekolah hari ini berakhir. Menikmati kebersamaan dengan mereka-terutama Erina dan Adena-harus aku lakukan sebaik mungkin, sebelum mereka menjauhiku.

Ini pertama kalinya aku berharap agar hari esok tidak pernah datang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro