Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#19. Ekspresi Itu Serasa Membeku


Sejak hari itu, ekspresinya serasa membeku.

Sorot matanya menyiratkan rasa pilu, yang hingga sekarang tak kunjung berubah. Ekspresi datarnya kini serasa begitu berbeda. Aku tidak tau di bagian mana yang berbeda, hanya saja aku yakin bahwa ia sedang menahan sesuatu yang begitu menyesakkan. Yah, aku memang bisa dibilang belum lama mengenal Erina, tapi setidaknya itulah yang aku lihat dari perspektif pribadi.

Tidak, bahkan semestinya, orang-orang terdekatnya bisa menyadari hal itu.

Lagi dan lagi, Erina masih berusaha bersikap biasa dengan menyuruhku menjual produk jamurnya. Namun entah perasaanku saja atau apa, suasana canggung tercipta di antara kami berdua. Alih-alih membahas atau meminta maaf, aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk bertatapan langsung dengannya.

Kami terlihat dekat secara kasatmata, tetapi sebenarnya jarak di antara kami membentang begitu lebar.

Niatku menjadi setengah-setengah dalam menjalankan pekerjaan sales sampai-sampai melakukan beberapa kelalaian yang dulu pernah dilakukan Adena. Ironisnya, sekarang malah Adena yang menutup-nutupi kelalaianku tersebut dari para konsumen.

Lagipula untuk apa aku melakukan pekerjaan itu? Tangga cinta yang susah payah aku naiki sudah runtuh. Tidak ada alasan bagiku untuk fokus mengerjakan hal yang sia-sia semacam itu.

Tapi sebenarnya ... aku hanya bingung mesti berbuat apa. Di tengah kepercayaan diriku yang mulai pudar, akhirnya aku menyadari bahwa besok adalah hari terakhir dari jangka waktu yang diberikan Tian.

Waktuku semakin sempit dan otakku sudah tidak mampu memikirkan rencana lain lagi. Kata "menyerah" terus-terusan terlintas di benakku yang semakin lama melenyapkan semangat bertarung.

Sudah cukup. Semuanya telah berakhir.

"Apa-apaan dengan wajahmu yang seperti gelandangan minta disunat itu, Bin?"

Mendengar ucapan bernada sarkasme itu membuat lamunanku seketika buyar. Aku yang sedang duduk seorang diri di bangku dekat taman kecil-kecilan sekolah sekilas menoleh ke empunya suara. Sembari mengemil jamur Enak, cewek itu—Aila kini berdiri tepat di hadapanku dan memperlihatkan wajah mengejek.

"Oh iya, jamurku laku keras loh. Jamur Kimochi malah turun omset ... ah, itu pasti gara-gara salesnya yang enggak becus. Benar, kan?""

Mood-ku sedang dalam keadaan buruk untuk menyahut umpatannya itu. Aku hanya diam seribu bahasa. Kemudian aku bisa mendengar helaan napasnya yang serupa banteng yang siap menerkam kain merah. Aku yakin itu disebabkan ketiadaan respons dariku.

"Bintang Prasetyo 'kan emang payah. Sok keren, sok pintar, sok hebat, padahal cupu. Kalau begini terus, Bintang Prasetyo bakalan jones seumur hidup."

Tak tau kenapa, sela bibirku terangkat dengan sendirinya. Suara tawa pun berusaha aku tahan, sayangnya beberapa frekuensi berhasil lolos ke luar. Aila masih menatapku sinis, tapi aku bisa melihat secercah kepedulian dari sana.

"Oi, Aila. Kau mencoba menghiburku?"

"Enggak lah! Cuma tampangmu itu akhir-akhir ini bikin aku kesal setengah mati!"

Aila membuang muka, lalu berbalik. "Kamu tau, biar sehebat apapun orangnya, pasti ada satu atau dua hal yang tidak bisa ia lakukan. Ketidaksesuaian kenyataan, ekspektasi, dan tindakan, itu kan cuma bagian dari kehidupan," katanya dengan nada lirih. Sebelum pergi dari hadapanku, ia lanjut berujar.

"Jujur saja pada dirimu sendiri. Seperti yang pernah kamu lakukan ke aku."

Jujur, aku sama sekali tidak memahami apa yang ia coba sampaikan. Hanya saja, aku merasa sedikit lebih baikan dari sebelumnya. Bertepatan dengan diriku yang terpaksa teringat akan arti dari air mata Erina kala itu, lamunanku kian liar, hingga satu kalimat terlintas di pikiranku.

Kira-kira apa yang sebenarnya diinginkan oleh seorang Bintang Prasetyo ....

Jawabannya mungkin ada di sesuatu yang dulu aku cari.

Diriku masih berada di posisi yang sama ketika menyadari bahwa seseorang beranjak duduk di sebelahku. Meski tidak melihat sosoknya, entah bagaimana aku bisa mengenali siapa dirinya.

Jam istirahat belum berakhir, namun murid-murid yang lalu lalang semakin berkurang—bahkan tempat ini kini terasa sepi. Suara samar dari orang-orang di kejauhan menemani suasana hening antara aku dan dia.

"Erina ... lagi-lagi ...."

Yang memulai pembicaraan adalah dia—Adena. Aku melirik menggunakan ekor mata ke arah wajahnya yang jelas mengisyaratkan sebuah kekhawatiran.

Akhir-akhir ini Adena sering sekali membantuku. Dirinya yang dulu ceroboh kini bermetamorfosis menjadi seseorang yang dapat diandalkan. Terlebih lagi, dia adalah satu-satunya orang yang bisa aku ajak bicara jika mengenai Erina.

Sekarang aku sedang tidak bisa menutupi kelemahan-kelemahan yang ada pada diriku. Mengesampingkan masalah pribadi, aku harusnya fokus untuk membawa kembali Erina yang biasanya, Erina tanpa sorot mata yang menyedihkan.

Mulutku membuka. Kata-kata yang sempat tertahan karena keragu-raguan akhirnya tersampaikan. "Aku sudah mengatakan sesuatu yang kejam pada Erina ...."

"Sesuatu ... yang kejam?"

Aku bergumam singkat, lalu melemparkan senyum pahit. Pikiranku mulai melayang ke mana-mana.

"Tapi aku cuma mengatakan hal yang nyata. Bukannya pada dasarnya cewek memang hanya menyukai cowok yang wajahnya enak dipandang dan memiliki harta berlimpah. Bakat, sikap baik, atau hal lain itu cuma pelengkap saja agar mereka memiliki alasan semu untuk menerima dua hal dasar tadi. Bahkan bila cewek memiliki dua hal dasar tersebut, ia akan tetap memilih cowok yang setingkat dengannya. Uang bisa menyelesaikan segala. Cewek memang selalu berpikir begitu, kan. Maka dari itu ... aku hanya—"

Ketika kesadaranku kembali ke dunia nyata, aku sesegera mungkin menahan pernyataan tersebut. Namun tak lama kemudian kekosongan menyelimuti tatapanku. Aku bisa mendengar dengan jelas bunyi detak jantungku yang memainkan tempo perlahan. Suasana di sekitarku mulai terasa menyesakkan. Rasanya seperti tenggelam di lautan tanpa dasar. Sendirian, tanpa ada satu pun makhluk hidup di sekitar.

Jujur saja pada dirimu sendiri. Kata-kata Aila yang terlintas itu membuatku menyelam lebih dalam. Hingga aku menemukan satu hal yang selama ini selalu kututup-tutupi dari dunia sosial.

Aku benci dengan cewek. Mereka begitu dipenuhi dengan sifat hipokritis.

"Aku suka sama Kak Bintang."

Kata-kata pasaran itu entah kenapa berhasil masuk ke dalam lautan yang kini membelenggu diriku. Sudah cukup ... aku muak jika harus mendengarnya lagi.

"Aku suka sama Kak Bintang yang pekerja keras. Kak Bintang yang selalu berusaha menyenangkan orang lain. Kak Bintang yang pantang penyerah. Kak Bintang yang tidak pernah terlihat mengeluh akan keadaan di sekitarnya. Tidak, sebenarnya aku ... menyukai Kak Bintang karena alasan yang sangat sulit untuk dijelaskan. Alasan yang lebih dalam lagi."

Suara Adena kian lama terdengar semakin keras. Omong kosong itu adalah sekian dari bujuk rayu cewek untuk menyembunyikan dua keinginan dasar yang aku sebutkan tadi. Maka dari itu, aku sudah tidak peduli lagi.

"Aku suka dengan Kak Bintang yang sering memberi makan anak kucing di belakang sekolah. Kak Bintang yang memungut sampah di bukit belakang sekolah tanpa perlu dilihat oleh orang lain. Senyuman Kakak saat itu adalah hal yang sangat langka. Aku bersyukur bisa satu SMP dengan Kakak."

Dia ... bagaimana mana bisa tau tentang itu. Tepat ketika aku menoleh ke arahnya, Adena menggenggam tipis lengan bajuku. Dengan sorot mata yang sendu, ia berkata dengan penuh kemantapan.

"Hal yang terpenting bukanlah apa yang terlihat, tetapi apa yang ada di dalam. Jadi ... aku mohon, jangan berpikir hal seperti yang Kakak katakan barusan." Dia menjeda sejenak, sekadar menyunggingkan sebuah senyuman pahit. "Karena perasaan tidak akan bisa dibeli dengan uang.."

Perasaan ... ya. Sebenarnya apa yang aku inginkan? Apa yang ingin aku capai? Mempertahankan status sosialku sekarang, kah? Ingin semua orang mencintaiku, kah?

Entahlah. Tetapi yang jelas, berkat Adena, aku bisa mendapatkan kembali secercah kepercayaan diri yang sempat redup.

Aku berdiri dari bangku, lalu melemparkan senyuman tulus pada Adena. "Adena, terima kasih banyak."

Seketika wajah Adena terlihat memerah dan tingkahnya menjadi gelagapan. "A-ah, a-anu ... i-itu ... s-s-s-saya cuma ... anu ...."

Cewek ini kembali menjadi pemalu seperti biasanya. Yah, punya pacar macam dia sepertinya akan lebih menarik. Ah, aku hampir lupa dengan trauma tersembunyinya.

"Kamu sudah berjuang keras yah, Adena. Padahal kamu trauma dengan cowok tampan."

"E-eh? Trauma dengan cowok tampan?" ujarnya dengan nada heran.

Dasar, masih saja tidak mau jujur. Tapi ya sudahlah, untuk sekarang, itu bukanlah hal yang patut untuk dipikirkan.

"Aku baru tau kalau kita pernah satu SMP. Ditambah lagi, kamu bisa tau kebiasaan sembunyi-sembunyi yang aku lakukan dulu. Kamu beneran—"

Baru saja aku mau bilang "penguntit setia", Adena menyela dengan gumaman abstak dan tingkah gelagapannya.

"A-a-a-a-aku hanya kebetulan melihat kok! Ah! Sebentar lagi bel akan berbunyi! A-aku ke kelas dulu! Sampai jumpa, Kak!"

Adena segera mengambil langkah seribu dan menghilang dari balik dinding lorong. Aku pernah menghadapi cewek dengan berbagai macam sifat, dan baru kali ini aku tertarik dengan sifat pemalu yang dimiliki Adena.

Memikirkan kembali reaksi Adena barusan itu sungguh menggelikan. Yah, setidaknya aku sudah mendapatkan beberapa hiburan. Mengesampingkan itu, aku beranjak untuk kembali ke kelas dan bersiap untuk mata pelajaran selanjutnya.

Aku masih belum mendapatkan jalan keluar dari masalah taruhan dengan Tian. Tapi yang terpenting, pikiranku sudah lebih tenang dari sebelumnya. Persentase kekalahanku kini menjadi sembilan puluh sembilan persen, sisanya adalah keajaiban.

Hal tak terduga pun terjadi setelah seluruh jam pelajaran sekolah berakhir. Erina menungguku di depan kelas, lalu menyuruhku untuk ikut dengannya ke suatu tempat. Sikapnya yang terasa dingin membuatku sungkan untuk memulai pembicaraan di sepanjang perjalanan. Hingga akhirnya kami tiba di area belakang sekolah.

Lagi-lagi, ia mengatakan sesuatu yang jauh dari perkiraanku. Sesuatu yang membuatku terbelalak lebar disertai jantung yang berpacu kencang.

"Aku mau jadi pacar Kakak ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro