#16. Tindakan Yang Mungkin Keliru
Waktu yang diberikannya agar aku bisa menaklukkan Erina adalah tiga bulan. Pada awalnya, aku berpikir bahwa dia sedang mengejekku dengan memberikan tenggat waktu sebanyak itu. Namun semakin berjalannya waktu, kekhawatiranku semakin memuncak.
Sekarang bersisa seminggu sebelum akhir dari masa perjanjian. Aku malah merasa kembali ke titik nol. Kejadian beberapa waktu lalu-ketika di taman hiburan-yang aku kira bisa menembus tembok pertahanan di hati Erina seakan tidak memberikan pengaruh apapun. Cewek itu masih bertingkah seperti biasa, memberikan suruhan kepadaku seperti biasa, juga berkomunikasi seperti biasa.
Orang bilang bahwa kerja keras tidak akan mengkhianatimu. Namun kini, segala kerja kerasku, perjuanganku, juga penderitaanku, tidak menghasilkan sesuatu yang memuaskan sama sekali.
Tidak ada yang dicapai. Tidak ada yang terpenuhi. Tidak ada yang sesuai ekspektasi. Jika begini terus, hanya satu hal yang akan terjadi di masa depan.
Bad ending.
Perasaan cemas menguasaiku di kala teringat akan spekulasi tersebut. Bisakah aku menaklukkannya dengan batas waktu itu? Bisakah ia membuka hatinya jika aku berusaha lebih keras lagi? Bisakah aku mencuri hatinya dengan masih mempertahankan harga diri?
Sudah pernah aku bilang 'kan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dan sekarang, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin jelas.
Mustahil.
Harus aku akui, Erina adalah cewek yang tidak bisa aku taklukkan. Mungkin ini terdengar seperti tanda pengangkatan bendera putih, namun begitulah kenyataannya.
Memaksakan diri untuk mengiyakan hal tersebut, aku pun mencoba untuk memakai jalur alternatif. Ya, sekarang, ditemani cahaya mentari sore yang masuk melalui jendela kaca, aku menyusuri lorong. Suasana sudah terbilang sepi lantaran seluruh jam pelajaran hari ini telah usai dan mayoritas murid sudah keluar dari lingkungan sekolah.
Aku menatap papan kelas X-3 sembari memantapkan tekad dari tiap langkah yang dibuat. Tak ada waktu lagi untuk mundur. Untuk melakukan hal ini, tercorengnya harga diriku adalah bayarannya. Kegagalan tidak boleh aku terima sebagai hasil.
Setelah berada di bawah kosen pintu, aku mendapati sosoknya yang tengah berdiri di depan jendela seraya memandang keluar kaca. Secara perlahan, aku mendekatinya, lalu berhenti melangkah ketika ia berbalik.
Tatapan kami bertemu. Perasaan nostalgia mendadak terasa kentara. Ekspresinya sekarang mengingatkanku akan kejadian di saat pertama kali kami bertemu. Ya, mengingatkanku pada kenangan yang luar biasa buruk.
"Hn? Ada perlu apa ya, Kak Bintang? Tiba-tiba menyuruhku ketemuan di sini."
Kamvret. Jangan berbicara sok innocent. Mimikmu yang kelihatan licik itu sudah menjelaskan segalanya.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Oi, Tian. Bagaimana kalau kita berdamai saja? Tidak ada gunanya melanjutkan ini semua, kan."
"Hn? Berdamai? Kak Bintang ngomong apa, ya?"
Dia menyahut sembari memberikan senyuman yang serupa denganku. Sesaat setelahnya, aku merubah ekspresiku menjadi lebih serius. Orang semacam Tian sepertinya tidak bisa diajak berkompromi dengan cara baik-baik.
"Kau pernah bilang kalau tujuanmu cuma ingin bersenang-senang, kan? Begini saja, jika kau melupakan masalah video itu, aku bakalan memberikan apapun yang kau minta. Bilang saja, mau uang berapa juta?"
Dia mengerutkan dahi. "Eh? Kak Bintang ngomong apa sih? Aku tidak mengerti."
Dilihat dari manapun, kata-katanya tidak sesuai dengan gelagat mengejek yang ia tampakkan. Sekarang aku benar-benar semakin merasa dipermainkan.
"Kalau tidak ada hal penting yang mau dibicarakan, aku pamit dulu."
Tian mengambil tasnya yang sedari tadi berada di pojok ruangan, lalu beranjak dan mengucapkan sesuatu ketika melangkah melewatiku.
"Jangan lupa, satu minggu lagi."
Spontan, aku menarik lengan bajunya, menyeretnya secara kasar agar berada tepat di depanku. "Aku tidak mau main-main lebih dari ini. Cepat katakan, sebenarnya tujuanmu apa!?"
Seringaiannya semakin melebar tatkala aku menatapnya dengan tajam. Sembari memainkan jari-jemari kanan, ia berujar, "Jangan bilang kalau Kakak tidak sanggup membuat Erina jatuh hati? Ah, parah sekali. Katanya Bintang Prasetyo itu ... hmm ... apa itu, Prince of Love? Ah, ralat. Berarti sekarang dapat julukan baru, menjadi ... Prince of Loser?"
Tanpa sadar, tanganku mengepal lebih keras dari sebelumnya. Pernyataannya barusan entah kenapa tidak bisa aku sanggah. Atau bisa dibilang, mungkin aku setuju dengan julukan baru itu. Selama tiga bulan pedekate ke seorang cewek dan tidak bisa maju barang selangkah pun, itulah buktinya.
Menyebalkan. Kebanggaanku selama ini sedang diinjak-injak olehnya, oleh mereka. Aku mendecih, lalu menggigiti bibir bawah sebelum memberikan sahutan.
"Ya, aku memang pecundang. Sekarang kau puas?"
Tian sedikit memiringkan kepalanya. "Puas? Ya belum lah. Kan aku belum menyebarkan videonya."
Sialan. Kali ini bisa aku pastikan bahwa aku sangat membenci orang ini. "Kalau mau menghancurkanku, kenapa tidak langsung saja menyebarkan video itu!" Tanpa sadar, aku meninggikan nada suara. Dan amarahku kian memuncak ketika ia melontarkan sahutan.
"Kalau langsung saja, aku tidak bisa lebih menginjak-injak harga diri seorang Bintang Prasetyo. Menjatuhkanmu sedikit demi sedikit, bukankah itu lebih menyenangkan?"
Aku mendorong Tian hingga punggungnya menabrak tembok. Setelah berhasil menyudutkannya, aku mencengkram erat-erat kerah bajunya dan menatapnya lekat-lekat.
"Tian bangsat! Apa aku pernah berbuat salah padamu, hah!? Atau kau membenciku!? Aku bisa saja menghajarmu sampai babak belur sekarang! Dan aku juga bisa menghancurkan status sosialmu! Dengar ya, jika aku lebih serius lagi, Erina pasti sudah aku jadikan budak! Cewek itu hanya orang rendahan! Kau tau, aku punya status sosial yang tinggi dan uang yang banyak! Dengan kata lain, aku punya segalanya!"
Bahkan setelah aku melakukan sedikit perlawanan fisik dan membentaknya dengan keras, ia masih saja terlihat santai. Serasa tidak ada satu pun kata dariku yang berhasil menciutkan nyalinya. Darimana dia mendapatkan rasa percaya diri setinggi itu?
Lihat saja. Jika kau masih ngotot menyebarkan video itu, aku akan menerormu dan mengirim pembunuh bayaran untuk mengakhiri nyawamu. Kau akan menderita, mati segan hidup tak mau.
Tiba-tiba Tian tertawa yang kian lama kian terdengar keras. Seluruh ruang kelas dipenuhi oleh kekehannya itu. Masih pada posisi yang sama, aku menaikkan sebelah alis. Apakah barusan aku tanpa sadar mengatakan isi hatiku?
Setelah suara tawanya memelan, ia lalu menghela napas berat dan berujar dengan nada remeh. "Kau terlalu bodoh jika berpikir segalanya bisa diselesaikan dengan uang."
Tangan kiriku mengepal dan spontan menghantamkan sebuah pukulan keras ke pipi kanannya. Napasku memburu. Amarahku kini telah lepas kendali dan membuatku berpikir untuk memberikan pukulan berikutnya kepada Tian. Namun niat tersebut urung tatkala menyadari ia yang sela bibirnya sedikit mengelupas merah malah menatapku dengan ekspresi yang sama seperti sebelumnya.
Dia benar-benar mengejekku. Jika di dekat sini ada pisau, mungkin aku sudah menikam cowok ini.
"Jangan berbicara seolah-olah kau mengerti segalanya!" Aku mencengkram kedua pundaknya dengan kasar sembari membentak.
"Hn. Aku tidak mengerti segalanya kok. Aku ... benar-benar tidak mengerti ...."
Entah kenapa, sahutannya tadi sukses membuatku tergemap. Rasa-rasanya ada sesuatu yang membuatku merasa tertohok, tetapi aku tidak mengetahui apa itu. Perasaan nostalgia ini tidak bisa dipungkiri. Ada apa ini? Apakah ada hal yang baru saja aku ingat?
Entahlah.
Cengkramanku di pundaknya perlahan melemah. Aku berhenti menggigiti bibir bawah bertepatan dengan perasaan geram yang mulai padam. Amarahku telah teredam, itu aku tunjukkan dari mimikku yang mulai tenang.
Harusnya aku tau bahwa kepala dingin akan meningkatkan persentase pemecahan masalah. Sembari memperkecil jarak antara mataku dan matanya, aku berujar dengan nada mengancam. "Kalau kau terus-terusan seperti itu, mungkin aku akan--"
Kata-kataku sontak tertahan. Konsekuensi dari pikiranku yang mulai tenang adalah lebih peka terhadap keadaan sekitar. Ya, itulah yang membuatku sadar bahwa ada seseorang yang sedang berdiri di depan pintu.
Aku menoleh ke arah sosok tersebut dan perlu waktu beberapa detik untuk mengenalinya. Dan begitu mengenalinya, jantungku sontak berpacu.
Aku tergemap. Di seberang sana, dia-Erina tengah bergeming dengan ekspresi kaget. Mulutnya terbuka. Delikannya yang kian melebar membuat tubuhku lemas hingga cengkramanku di pundak Tian lepas sepenuhnya.
Sejak kapan dia ada di sana? Jangan-jangan dia mendengarnya? Mendengar apa-apa yang aku katakan barusan? Dia mendengar semuanya dari awal?
Apakah ini berarti dia telah mengetahui kebenarannya? Kebetulan macam apa ini? Kenapa takdir seakan memusuhi diriku?
Begitu mata kami bertemu, Erina seketika membuang muka. Dia tersenyum pahit sebelum akhirnya lari ke luar kelas.
"Erina!"
Aku meneriakkan namanya berulang kali dan mengambil langkah cepat untuk mengejarnya. Namun ketika sampai di lorong kelas, langkahku langsung terhenti tatkala melihat punggung Erina yang kian menjauh.
Keberanianku untuk mengejarnya perlahan lenyap dan Erina telah menghilang dari jarak pandang. Seluruh tubuhku sepenuhnya mematung di tempat berpijak. Aku tidak sanggup mengejarnya.
Sekarang sudah terlambat untuk menyesal.
"Selamat bersenang-senang, Kak Bintang."
Kalimat itulah yang Tian katakan sebagai tanda perpisahan. Ia melangkah ke arah belakangku, menciptakan bunyi langkah kaki yang khas di sepanjang lorong yang sepi ini, dan bunyi tersebut semakin pelan terdengar di telingaku hingga akhirnya lenyap sepenuhnya.
Jangan-jangan ini semua termasuk rencana Tian untuk menghancurkanku lebih dalam lagi? Aku benar-benar naif. Sejak awal, aku mestinya tau bahwa segalanya tidak akan selalu berjalan sesuai ekspektasi. Berkompromi dengannya adalah tindakan bodoh.
Dengan Erina yang mengetahui bahwa dirinya hanyalah objek permainan dan pertaruhan akan sangat mempersulit langkahku. Sudah pasti, melihat kondisi yang seperti ini, kemenangan murni tidak mungkin aku dapatkan. Satu-satunya yang tersisa adalah tinggal menunggu hancurnya harga diri ini.
Ya. Aku yang sekarang benar-benar seorang pecundang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro