Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#15. Diriku Yang Sekarang

Apa ada perbedaan antara cinta dan kasih sayang?

Cinta dan kasih sayang itu serupa tapi tak sama, sama tapi berbeda. Orang-orang bilang bahwa cinta lebih besar dibandingkan kasih sayang. Lebih besar dalam hal apa? Jawabannya terlalu abstrak untuk didefinisikan.

Kedua hal itu bisa didapatkan ketika memenuhi persyaratan tertentu, yang mana orang yang tidak memenuhinya akan tersingkir dari hierarki sosial. Begitulah yang aku yakini semenjak kejadian-kejadian itu datang di kehidupanku.

Sebelum pindah ke Bandung, aku menghabiskan masa kecil dengan tinggal di Semarang. Hidup sederhana, makan apa adanya, dan bergaul dengan (sangat) sedikit teman sebaya, aku tidak pernah protes akan hal itu.

Masalah demi masalah pun bermunculan tak berapa lama kemudian. Ayah dan ibu bertengkar hebat. Mereka berdua menjadi jarang pulang, memaksaku beraktifitas seorang diri di rumah dalam kurun waktu yang terbilang lama. Mengingat uang saku yang diberikan begitu sedikit—yang membikinku seringkali hanya bisa makan satu kali sehari—membuatku curiga akan adanya permasalahan dalam hal keuangan.

Ya sudahlah. Pertengkaran suami istri mungkin terjadi sekali dua kali seumur hidup. Keluarga lain juga mengalaminya. Nanti bakalan akur lagi. Segalanya pasti akan kembali normal. Ya, kala itu aku terus percaya akan pemikiran tersebut, berusaha mengabaikan rasa sesak di dada yang kian menyakitkan ketika berada di rumah.

Sayangnya, tak ada sedikit pun yang sesuai perkiraanku.

Tepat ketika aku naik ke kelas dua SD, ayah dan ibu bercerai. Hak asuh dimenangkan oleh ibu, yang berarti aku tinggal bersama beliau. Setelah itu, kabar tentang keberadaan ayahku tidak lagi terdengar.

Hari-hariku mulai berubah sedikit demi sedikit.

Keuangan di keluargaku mengalami masa yang krusial. Meskipun tinggal berduaan di rumah yang sama, aku masih saja (sangat) jarang berkomunikasi dengan ibuku. Beliau sering keluar pagi-siang-malam, dan pagi berikutnya diantar pulang menggunakan mobil mewah oleh om-om yang selalu saja berbeda. Ibu tidak pernah memberitahukan apa-apa tentang pekerjaan beliau dan aku sama sekali tidak berani menanyakannya. Orang-orang di sekitarku pun seketika berubah dari semula baik menjadi penuh akan bisik-bisik.

Teman sebayaku perlahan menjauh. Mereka lebih memilih bergaul dengan murid yang kaya raya dan berkharisma. Namun bertepatan dengan itu, aku mendapatkan teman akrab baru.

Oh iya, yang aku maksud dengan teman akrab baru hanyalah dia seorang. Aku sering bermain dengannya di taman kota dan menghabiskan waktu bersama. Aku yakin kalau dia tidak satu kelas denganku, juga tidak satu sekolah. Tapi bagaimana perawaknya? Dia perempuan atau laki-laki? Siapa namanya? Entahlah. Biar berulang kali dicoba, aku tidak bisa mengingatnya. Meski begitu dan hanya beberapa kali bertemu, kenangan yang aku buat dengannya benar-benar nyata dan terasa sangat menyenangkan.

Beberapa bulan kemudian, ibuku menikah dengan seorang pengusaha. Kami pun berencana pindah ke Bandung. Sebelum pindah, aku terus-terusan datang ke taman kota, berharap bisa memberi tau perihal kepindahanku pada teman akrabku. Dari siang ke malam, dan siang ke malam pada hari berikutnya, dia tak kunjung datang. Alhasil, hari kepindahanku tiba tanpa berhasil bertemu dengannya lagi.

Gaya hidup di sekitarku berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak perlu waktu lama agar diriku terbiasa dengan kehidupan yang dipenuhi dengan fasilitas serba mewah dan segala macam kemudahan. Tentu aku bersyukur karena mendapatkan ini semua.

Tetapi mestinya aku sadar bahwa sesuatu yang hilang sangatlah sulit untuk didapatkan kembali.

Ibu dan ayah tiriku—yang ternyata seorang duda—jarang pulang ke rumah. Mereka bilang mereka mencintaiku. Mereka bilang bahwa apa yang berada di sini adalah wujud dari cinta mereka kepadaku.

Uang bisa membeli status sosial, status sosial bisa membeli kebahagiaan, dengan kata lain uang adalah segala-galanya. Begitulah yang ibuku ajarkan kepadaku. Namun kehangatan yang dulu kurasa sangatlah berbeda dengan apa yang aku rasakan kini.

Karena pernikahan mereka, aku memiliki seorang kakak tiri perempuan. Perbedaan usia kami hanya sekitar dua tahun. Aku sempat akrab dengannya, namun tak bertahan begitu lama. Ia bersekolah di kota lain dan tinggal di tempat yang berbeda denganku. Teman ngobrolku di rumah ini hanya bersisa seorang pembantu wanita, itupun kami sangat jarang berinteraksi.

Ternyata memang benar, hubungan antara aku dan keluargaku masih saja renggang.

Meski demikian, aku mendapatkan banyak teman di sekolah. Mereka selalu menyapaku dan sering mengajakku ke luar rumah. Dengan sedikit kerja keras, aku selalu juara kelas, hebat dalam berolahraga, dan unggul dalam berbagai aspek di sekolah. Guru-guru memujiku karena hal itu.

Seiring berjalannya waktu, lebih tepatnya semenjak kelas empat SD, popularitasku meningkat tajam. Murid-murid kelas lain—baik itu kakak maupun adik kelas—mengenaliku. Melihat kenyataan tersebut, seharusnya masa sekolah di sini menjadi lebih menyenangkan dibanding sebelumnya. Hanya saja, aku tidak merasa demikian.

Serasa masih ada sesuatu yang hilang dan aku tidak mengetahui apa itu.

Tak lama kemudian, aku mendapatkan surat cinta dari seorang cewek yang dikategorikan paling cantik di kelasku. Dia menjadi pacar pertamaku dan membikin mayoritas murid di sekolah menjadi gempar.

Kami sering menghabiskan waktu berdua dengan melakukan hal-hal berbau romantis, salah satunya seperti jalan bareng dan aku yang traktir. Kata "cie" sempat membuatku malu, tetapi tak butuh waktu lama agar aku terbiasa karena godaan semacam itu sudah menjadi semacam makanan sehari-hari.

Dengan memiliki pacar, aku berharap bisa menemukan apa sesuatu yang hilang itu. Tetapi tampaknya tidak semudah itu.

Kurang dari tiga bulan setelah jadian, kami berdua putus. Lebih tepatnya, dia yang mengakhiri hubungan istimewa kami dengan alasan yang tidak aku mengerti. Padahal aku terus-terusan berusaha untuk menjadi pribadi yang apa adanya.

Hatiku sempat sakit, tetapi hanya memerlukan waktu seminggu agar diriku bisa melupakan perasaan itu. Aku dan dia mulai berbicara layaknya teman biasa. Beberapa lama kemudian, rumor mengatakan kalau dia sedang pedekate ke seseorang dari kelas lain yang lebih kaya dariku. Bersamaan dengan itu, para cewek berduyun-duyun mendekatiku dengan memasang topeng yang penuh akan kebaikhatian.

Aku menjejahi internet, belajar cara menjadi cowok sempurna di mata cewek, dan memainkan berbagai game simulasi kencan. Di sekolah dasar, dari sekian banyak cewek yang dekat denganku, aku sempat memacari satu orang cewek, menjadikan pertama kalinya aku yang terlebih dahulu menyatakan cinta pada seorang cewek. Meski pada akhirnya putus, aku mendapatkan pengalaman berharga.

Apakah cinta yang mereka gaungkan memang serapuh itu? Ataukah sebenarnya, cinta hanyalah alasan untuk memanfaatkan orang lain?

Tak terasa masa SD-ku berakhir. Bisnis ayahku semakin sukses hingga membuat beliau menjadi orang yang begitu terpandang. Melanjutkan ke jenjang berikutnya, aku berhasil lulus di salah satu SMP terfavorit. Ayahku pun memenuhi permintaanku agar aku diperbolehkan tinggal seorang diri di sebuah apartemen pribadi seperti yang kakak tiriku lakukan.

Orang tua akan memuji anaknya yang berprestasi dan mandiri. Namun pernyataan itu bukanlah sesuatu yang mutlak.

Kehidupan sosial ini benar-benar berbeda dari sekolahku sebelumnya. Karena aku tampan, karena aku anak orang kaya, karena aku berbakat, semuanya mencintai dan menyayangiku.

Seiring berjalannya waktu, entah sejak kapan, aku tidak pernah lagi merasakan perasaan spesial kepada lawan jenis. Itu bukan berarti aku berhenti tertarik pada cewek. Hanya saja, ada semacam perasaan muak yang muncul di dalam hatiku.

Tetapi ... tidak masalah. Selama semuanya mencintaiku, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Benar, kan?

Dengan prestasi dan kehidupan sosialku yang sempurna ini, jarak antara aku dan orang tuaku belum juga berkurang. Meski sudah menunjukkan bakat yang serupa, kakak tiriku masih saja lebih mendapatkan perhatian lebih dibanding diriku. Perbedaan gender menyebabkan mereka memberikan perlakuan yang timpang sebelah, aku memaksakan pemikiran tersebut.

Tapi ... sungguh, aku tidak ingin memedulikan masalah itu lagi. Kehidupan sosialku saat ini sudah cukup untuk menutupi segalanya.

Semuanya mencintai diriku yang tampan, kaya raya, dan berbakat di bidang akademik dan non-akademik. Julukan prince of love dan pangeran sekolah pun melekat pada diriku. Tak ada yang membenci dan tak ada yang melawan, biar sebanyak apapun cewek yang putus denganku.

Topeng ini adalah apa yang membuatku bahagia. Segalanya hanyalah demi kepuasaan pribadi. Dengan kata lain, diriku adalah individu yang sangat busuk.

Aku pun berhenti mencari sesuatu yang hilang itu dan memilih untuk menikmati apa yang ada sekarang. Dan sejak saat itulah, waktu di sekitarku seakan berhenti bergerak.

--K.I.M.O.C.H.I--

Cahaya yang terasa menyilaukan—bahkan ketika menutup mata—mengusikku dan membuat kesadaranku kembali menyambangi dunia nyata. Perasaan malas ini membuat diriku tidak kuasa untuk bergerak. Namun ketika pikiranku kembali pulih, aku pun sesegera mungkin membuka mata.

Di penglihatanku yang agak buram, berada sosok Erina yang tengah duduk selonjor sembari menatap ke arah jendela. Aku beberapa kali mengerjap dan berkeinginan untuk merenggangkan otot tangan kiri yang sedari tadi menumpu kepalaku yang tiduran di atas meja. Namun secara tidak sengaja kakiku bertabrakan dengan kaki meja hingga membuat suara yang agak nyaring. Erina menoleh ke arahku karena hal itu.

"Kakak udah bangun rupanya."

Dia mengatakannya dibarengi senyuman tipis. Jarang sekali aku melihat ia yang seperti ini.

"Kira-kira berapa lama aku ketiduran ...."

Sembari mengucek-ucek mata, aku bergumam, kemudian Erina dengan lekas menyahut.

"Sekitar setengah jam sehabis aku bangun."

Setengah jam, ya. Sepertinya aku benar-benar kelelahan. Ini mungkin karena tour dari Aila dan mentalku yang agak tertekan ketika Erina tiba-tiba saja pingsan. Dan lagi, mungkinkah Erina terus menunggu di kasur selama itu?

Erina benar. Seharusnya aku jujur saja sejak awal. Dengan begitu, kami berdua bisa sama-sama menikmati. Baru kali ini aku membenci sifat jaim ini.

Eh? Baru kali ini? Benarkah? Aku kok tiba-tiba ragu.

Melihat Erina yang kembali mengalihkan pandangannya ke arah jendela membuatku teringat akan sesuatu.

"Kata tante perawat, kamu cuma kelelahan. Dengan beristirahat yang banyak, nanti juga akan sehat lagi."

"... Hn."

Agak lama untuk menunggu keluarnya jawaban singkat itu. Dibanding kesal, sepertinya aku lebih cenderung bersimpati. Di saat aku menggendong Erina ke ruang kesehatan ini, si tante perawat terlihat sangat panik. Beliau segera memberikan perawatan kepada Erina. Aku kira terjadi sesuatu yang sangat buruk pada Erina, namun rupanya cuma masalah kecil.

"Malam ini jangan tidur terlalu malam, ya. Supaya besok bisa beraktifitas seperti biasanya."

"Hn."

"Ah, lain kali jika sudah merasa capek, kumohon jujur saja. Aku takut kalau Erina kenapa-napa."

"Hn."

Jelas sekali, semangatnya menurun drastis dibandingkan dengan sebelum pingsan. Aku harus memikirkan cara untuk mengembalikannya antusiasmenya. Kalau dipikir-pikir, Erina sepertinya sangat bersemangat untuk bersenang-senang di taman hiburan ini. Aku yang biasanya pasti berpikir kalau Erina bersikap demikian karena pergi beduaan denganku. Tetapi kenapa di saat seperti ini bisa-bisanya aku ragu akan spekulasi tersebut?

"Sebaiknya kita segera pulang. Biar kamu bisa isti—"

"Tolong jangan bilang masalah ini kepada siapa pun."

Dengan mulut yang masih membuka, kata-kataku spontan tertahan ketika Erina berujar tanpa menoleh ke arahku. Aku mengerti betul tentang apa yang dia maksud dengan "masalah ini". Sebegitu besarnya kah keinginannya untuk tidak membuat orang-orang di sekitar khawatir?

"Jangan bilang siapa-siapa, bahkan ke Adena atau ibuku sekalipun." Dia menurunkan kakinya, duduk di tepi tempat tidur. Kami pun bersitatap. "Kalau Kakak bilang-bilang, aku bakalan melenyapkan keberadaan Kakak dari muka bumi ini."

Oi oi, kalimat terakhirmu itu malah merusak suasana. Dengan tatapan sehoror itu, mungkin saja ini adalah kepribadian gelap seorang Erina yang muncul di hadapanku. Sembari tertawa paksa, sedari tadi aku terus-terusan mengangguk tanpa aku sadari.

"Kakak bisa pulang duluan kok ..."

"Ha? Jangan bercanda. Aku tidak akan pulang sebelum kamu sampai di rumah dengan selamat."

Ya, aku mengatakan kebenarannya. Lagipula kendaraanku masih ada di rumahnya. Apa yang mesti aku katakan ke Ibu Erina kalau ke sana tanpa membawa anaknya?

"Hn. Tadi cuma bercanda kok. Kendaraan Kak Bintang kan masih ada di rumahku. Lagian kalau Kakak ke sana tanpa aku, Kakak pasti kebingungan mau bilang apa ke ibu."

Oi oi, kamu itu esper ya? Bisa-bisanya menebak pikiranku barusan.

Erina menunduk, lalu berujar lirih tanpa merubah ekspresi datarnya sedikitpun.

"Terima kasih untuk hari ini."

Aku hanya tersenyum, menikmati suasana yang tercipta dari keheningan ini. Memiliki rahasia yang hanya ada di antara kami berdua aku yakini telah menambah poin cinta Erina dan menjadi langkah besar untuk meningkatkan hubungan kami ke tahap berikutnya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro