Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#14. Kencan Bag.4

Ini pertama kalinya aku melihat Aila menangis. Air mata yang menetes dari pelupuk itu pastilah tidak mengandung sedikit pun kebohongan. Ekspresi kagetnya kala itu mencerminkan sesuatu yang tidak pernah aku lihat sebelumnya dari dirinya.

Sebenarnya apa yang telah terjadi? Bagaimana bisa seorang Aila Dwi Santika menjadi seperti itu?

Setelah Aila berlari-yang dengan ketidakhati-hatian menabrak orang-orang sekitar-menjauhi Johar, aku memilih untuk mengikutinya secara diam-diam, mengawasinya yang tengah beranjak tak tentu arah.

Seiring itu, aku mulai teringat akan masa lalu. Beberapa bulan lalu, tepatnya ketika kami berdua putus dari hubungan pacaran, dia sempat mengatakan sesuatu dengan ekspresi yang begitu asing. Sayangnya, sewaktu itu aku tidak mendengar apa yang ia ucapkan. Egoku untuk tidak menanyakan padanya memperkukuh pendirianku, hingga menanamkan rasa penasaran yang semakin besar setiap harinya. Dan setelah beberapa lama, keingintahuan yang besar tersebut pun menghilang.

Namun sekarang, diriku kembali diingatkan pada kejadian itu. Dada ini spontan terasa sesak. Tunggu dulu. Sesak? Kenapa?

Semakin dalam pemikiranku, tanpa sadar, jejak Aila telah menghilang dari jarak pandang. Berbekal insting dan tekad, aku mencari ke berbagai arah. Untungnya tak butuh waktu lama untuk menemukannya yang tengah duduk di kursi jati panjang.

Dia termenung. Matanya agak merah. Pandangannya terpaku ke arah bawah. Sorot matanya yang terkesan kosong malah memperbesar keragu-raguan untuk menemuinya hingga membuat langkahku terhenti.

Sebenarnya untuk apa aku mengejarnya, mencarinya sampai terengah seperti ini? Apakah aku mau melontarkan kata-kata ejekan seperti "dasar cengeng" atau "cewek payah" atau semacamnya?

Tidak. Jelas sekali bukan itu.

Mengesampingkan hal tersebut, aku membuat langkah berani, dan tak terasa kini aku telah berdiri di sebelahnya.

Tanpa suara.

Dirinya seakan tidak menyadari keberadaanku. Tetapi menurutku, jelas sekali kalau dia sedang mengabaikanku. Tapi ini bukan dirinya yang biasanya. Harusnya dia langsung menyapaku dan melemparkan ejekan secara implisit, kan? Ah, maaf, sepertinya ini bukan momen yang tepat untuk melakukan hal semacam itu ya.

Aku pandangi orang-orang yang lalu lalang di hadapanku. Mereka begitu ceria, berbincang satu sama lain, tanpa ada yang menoleh ke arah kami-setidaknya ke arah Aila. Sudah jelas kan, kalau taman hiburan diciptakan untuk menghibur para pengunjung. Jadi tidak ada alasan untuk memedulikan orang yang bahkan tidak dikenal sama sekali.

Memang seharusnya begitu kan.

Diriku yang dulu begitu mengenal bagaimana rasanya saat tidak dipedulikan oleh orang sekitar. Semestinya sekarang, aku tidak melakukan kesalahan yang sama dengan orang-orang itu.

Tidak, lupakan saja. Tadi itu hanyalah omong kosong.

Sembari duduk di sebelah Aila, aku menyodorkannya minuman isotonik yang barusan aku beli. Respons yang tak kunjung datang memaksaku menoleh ke arahnya.

"Nih, minum dulu."

Setelah aku mengatakannya dengan nada perintah, dia malah menunduk semakin dalam. Haduh, kenapa bisa-bisanya aku merasa kasihan kepada cewek setipe Aila sih. Dan juga, apa yang membuatku kasian padanya?

"Johar kan emang kamvret. Sudah, jangan terlalu dipikirin."

Aku tersenyum paksa, berusaha menghibur. Ini bukan berarti aku peduli dengan Aila atau apa. Hanya saja ... hanya saja apa?

Akh! Kenapa aku tiba-tiba tidak mengerti dengan diriku sendiri!

"Kamu melihat yang tadi, ya."

Akhirnya Aila bersuara, membuat senyumanku seketika hambar, hingga akhirnya senyuman itu lenyap. Aku mendongak, menatap langit yang begitu terang dan awan yang bergerak secara perlahan, lalu menyahut.

"Cuma di bagian kamu lari dari Johar."

"Anu ... Bintang."

Dia memanggilku dengan nada yang begitu lemah. Ketika pandanganku beralih padanya, sebuah senyuman mekar pada parasnya.

"Ini pertama kalinya aku ditolak cowok."

Eh? Pertama kalinya? Ditolak cowok? Maksudnya?

Seolah bisa membaca pikiranku, ia melanjutkan.

"Barusan aku nembak Johar."

Eh!? Oi!? Serius!? Rasa-rasanya baru pertama kali aku mendengar seorang Aila Dwi Santika nembak cowok! Biasanya kan dia yang ditembak duluan! Apa Aila sedang mabuk? Kesambet sesuatu?

"Aku ini kan cewek yang imut, cantik, multi talenta, dan punya pesona yang luar biasa. Semua cowok pasti bertekuk lutut di hadapan aku. Ditolak satu cowok, enggak jadi masalah buat aku."

Seperti biasa, dia menunjukkan kepercayaan diri dengan kata-kata. Di saat aku mengira bahwa Aila akan memperlihatkan bentuk kesombongan yang lebih besar, dia tiba-tiba memegang dada kirinya, lalu mencengkram bajunya dengan kuat. Setelah menggigit bibir bawahnya, suara yang ia keluarkan terasa bergetar.

"T-tapi kenapa ... kenapa rasanya bisa sesakit ini ...."

Senyuman Aila berubah menjadi sangat pahit dan sukses membuat diriku tercengang tak percaya. Kata-kata yang ia sampaikan tadi terasa penuh akan emosi yang mendalam. Tidak ada sedikit pun kebohongan, aku yakin akan hal itu. Harga dirinya seakan hancur lebur hanya karena kejadian barusan.

Aila yang aku kenal tidak mungkin bisa serapuh ini.

"Lala ...."

Aku menjeda agak lama, seraya memantapkan hati untuk mengatakan kalimat selanjutnya.

"Johar bilang apa ke kamu?"

Tidak ada jawaban. Aku meliriknya dengan ekor mata dan mendapatinya masih pada posisi yang sama. Tak lama kemudian, ia menghela napas dengan kuat dan menghembuskannya dengan tempo perlahan.

"Tanya sendiri ke Johar."

Cih, jawabannya sangat mengecewakan. Mana mungkin aku tanya tentang hal ini ke si kamvret itu. Apalagi saat ini aku masih berada di masa pasca pertengkaran secara tidak langsung dengan Johar. Tunggu dulu, apa waktu itu bisa disebut dengan pertengkaran? Ah, sudahlah. Yang jelas, sekarang belum saatnya bicara sok akrab dengan Johar.

Aila berdiri, kemudian memunggungiku. "Bin. Aku mohon, jangan bilang-bilang masalah ini pada siapa-siapa." Ia mulai melangkah. "Aku mau pulang."

Tidak ada sahutan yang mampu aku berikan. Tanpa terasa Aila semakin menjauh, berbaur dengan kerumunan orang hingga hilang dari jarak pandang.

--K.I.M.O.C.H.I--

Sekembaliku untuk bergabung dengan Erina dan yang lain, mereka menyambutku dengan beberapa sapaan. Sebagai balasan, seperti biasa, aku membalas sapaan dibarengi senyum hangat, sembari meminum minuman isotonik-ku dan bergaya sekeren-kerennya.

"Ah iya, Johar sama Aila belum balik?"

Guna menghindarkan diri dari keterlibatan akan sebuah konflik, aku bersikap seolah tidak tahu menahu tentang jawaban dari apa yang aku tanyakan.

"Tadi Kak Johar udah ke sini. Katanya Kak Aila udah pulang gara-gara ada urusan mendadak. Terus dianya juga pamit pulang."

Yang menyahut adalah Adena dengan nada yang semakin lirih, terutama pada kalimat terakhir-meski tidak terlalu lirih untuk tidak kudengar.

Baguslah. Tampaknya mereka tidak curiga sama sekali tentang kemungkinan bahwa sesuatu telah terjadi di antara Aila dan Johar.

"Saya juga mau pamit pulang ...."

Aku hanya bergumam singkat untuk menanggapi Satria yang berujar ragu. Ia kemudian berlalu, melangkah menjauhi kami dengan langkah yang agak sempoyongan.

Sejenak, keheningan pun datang di antara kami bertiga.

"A-anu ... k-kalau begitu, aku juga. Ibu mungkin bakalan marah kalau aku kelamaan pergi."

Kali ini giliran Adena yang berpamitan dan tersenyum kepada Erina sebelum pergi.

Pada akhirnya, aku dan Erina kembali berduaan seperti waktu pertama masuk ke taman hiburan ini. Harusnya aku senang, tapi entah kenapa ada perasaan mengganjal di hati. Apa mungkin ini adalah efek karena aku melihat kejadian di antara Aila dan Johar? Terlalu aneh rasanya jika aku malah berempati kepada mereka berdua. Aku benar-benar bingung dengan diriku sendiri.

"Nah, sekarang, ayo kita naik giant swing."

Eh? Eh!? Ah iya, aku hampir lupa tentang masalah yang paling krusial! Sekarang bagaimana caranya supaya tidak naik wahana yang mengerikan itu!?

Diselingi tawa kecil, aku mendongak, menggaruk-garuk belakang kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.

"Anu ... k-kalau kita melihat-lihat wahana lain dulu, gimana?"

"Dari tadi kita udah ngelakuin itu ...."

Erina menatapku curiga, membuatku mendadak kehabisan kata-kata. Tak lama, ia kembali berujar.

"Setelah kita naik roller coaster, wajah Kakak kelihatan pucat. Terus Kakak kayaknya terus-terusan menghindari sesuatu."

Gawat! Jadi dia sudah menyadari keanehan tingkahku sejak awal? Berarti aku harus berusaha lebih keras lagi untuk menutup-nutupinya. Ayo Bintang, pikirkan suatu alasan yang bisa menyembunyikan itu semua.

"Kalau Kakak tidak suka naik giant swing, mending bilang aja dari awal."

Kacau! Dia benar-benar menyadarinya! Tepat ketika aku membuka suara guna menyanggah pernyataannya, ia berbalik menatapku dengan sebuah senyuman.

"Enggak perlu maksain diri. Aku mau supaya kita bisa sama-sama menikmati taman hiburan ini. Kalau begitu 'kan bakalan lebih menyenangkan."

Kalimat yang diutarakannya membuatku terdiam. Dengan ekspresi itu, dengan nada bicara itu, ia berhasil membuatku seakan-akan telah bertingkah konyol. Berarti memang lebih baik jika aku jujur saja sejak awal. Cewek setipe Erina kelihatannya lebih senang dengan orang yang bersikap jujur pada diri sendiri.

Huh, situasi ini malah hampir serupa dengan kencanku bersama Aila dulu.

Aku menghela napas, berusaha menenangkan diri sebelum berujar, "Kamu benar. Maaf."

Sesaat setelah itu, Erina menatap liar ke sekeliling, kemudian menunjuk sesuatu seraya berkata dengan lantang.

"Kalau naik itu, bagaimana?"

--K.I.M.O.C.H.I--

Kumpulan manusia terlihat begitu kecil dari sini. Bagaikan semut-semut yang tengah lalu lalang. Jika pemandangan ini bukanlah kepalsuan yang terjadi karena berada di tempat yang tinggi, mungkin aku sudah menginjak-injak mereka, menghancurkan seluruh senyuman yang ada. Tetapi aku yang sekarang pasti tidak akan melakukannya.

Bianglala adalah wahana yang disarankan Erina barusan. Aku tidak pernah bermasalah dalam hal ketinggian, tetapi begitu benci dengan hal yang terlalu cepat. Kalau ketinggian dan kecepatan itu bergabung menjadi satu, itulah yang selalu aku hindari, karena terasa sangat menakutkan. Membayangkan diriku terlempar semisal karena sabuk pengaman yang sangat longgar sontak membuat badan ini bergidik.

Pandanganku kini beralih ke arah Erina yang duduk di seberangku. Cewek itu melihat ke luar kaca, tepat seperti apa yang aku lakukan sebelumnya. Baru saja perhatianku beralih padanya, ia balas menatapku sejenak, lalu kembali beralih setelah melemparkan pertanda heran.

Wahana yang berputar secara perlahan. Suara yang samar-samar terdengar dari luar. Kesunyian yang menyinggahi kami berdua. Entah kenapa, semua itu serasa begitu nyaman bagiku.

Tanpa terasa, pemandangan dari ketinggian itu telah berakhir. Kami berdua turun dari wahana dan berjalan berdampingan.

Aku mendongak, lalu menyadari bahwa hari sudah hampir siang. Terik mulai menguasai areal taman hiburan. Mungkin ada baiknya kalau beristirahat dulu di tempat yang sejuk-ber-AC.

Oh iya, rasa-rasanya Erina tidak berbicara banyak setelah menaiki bianglala tadi. Bisa jadi dia sibuk memikirkan mau melakukan apa selanjutnya, karena sudah hampir semua wahana-kecuali giant swing-kami coba. Ataukah ia mau pulang sekarang? Tetapi ... sungguh, aku ingin menikmati ini lebih lama lagi. Namun jika hal itu yang ia inginkan, aku tidak bisa melawan banyak.

Tiba-tiba Erina memegang pundakku. Tidak, dia bermaksud untuk mendapatkan bantuan untuk memperoleh keseimbangan karena dirinya sepertinya hampir saja terpeleset. Tapi terpeleset dari apa? Kulit pisang? Dilihat dari manapun, tidak ada yang makan pisang di sini. Lagipula kalau pun ada, tidak akan ada orang yang akan terpeleset karena benda itu.

"Oi, Erina. Kamu-"

Kata-kataku seakan membeku ketika menyadari wajah Erina yang berubah pucat. Dia berusaha mengucapkan sesuatu yang tidak aku mengerti. Namun sebelum tanganku sempat mengapai bahunya, ia terjatuh dengan punggung yang menabrak tanah.

Melihat ekspresinya yang bagaikan orang tertidur itu membuat mataku membulat sempurna.

Ini ... bohong, kan?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro