#13. Kencan Bag.3
Sedari dulu aku percaya bahwa untuk memikat hati cewek, pergi berduaan dengannya dan melakukan hal-hal berbau romantis adalah cara yang terbilang ampuh. Dan ya, pengalaman pribadilah yang membuktikan kemanjuran siasat tersebut. Namun dengan polesan ketampanan, harta berlimpah, dan sikap (sok) baik hati, rasa-rasanya siasat yang aku singgung tadi adalah opsi paling akhir, karena biasanya tanpa melakukan itu pun si cewek sudah terpincut terlebih dahulu.
Sebagai seorang senior dalam masalah cinta-cintaan, aku berpikir kalau Aila juga mengerti akan hal itu. Jadi kenapa dia malah mengacau dengan membawa Johar, Adena, bahkan si cecunguk (baca: Satria) bergabung dalam acara kencanku!
Aku mendekatkan kepala ke telinga Aila dan berbisik dengan nada kesal. "Oi, Lala, apa maksudnya sih!? Bukannya kamu bilang ada rencana, hah!?"
Sembari menyeringai, dia balas berbisik kepadaku. "Tenang saja. Ini bagian dari rencana. Jangan remehkan aku yang dijuluki Putri Sekolah ini, yah."
"Dan jangan lupakan aku yang dipanggil Pangeran Sekolah."
Dia berdesis. "Sudah ah! Jangan banyak protes! Serahkan padaku!"
Kamvret! Aku yakin dia pasti merencanakan sesuatu yang hanya menguntungkan dirinya sendiri! Tapi kira-kira apa yang dia inginkan? Mengacaukan hubunganku dengan Erina? Jika memang benar begitu, situasi ini sudah masuk dalam siaga satu.
Sebaiknya aku tidak membiarkan diriku lengah sedikit pun.
Huh, padahal Erina sudah mengajak ke taman hiburan ini. Hmm, jika ada celah, akan aku bawa Erina pergi menjauh dari empat orang pengganggu ini.
"Wah, kebetulan banget ya kita bisa ketemu di sini," ujar Aila, melemparkan senyuman ke arah Erina.
Erina menyahut, "Hn. Kalian sudah lama di sini?"
"Hmm, lumayan lah." Aila tertawa kecil setelah mengatakannya. Pandangannya beralih ke arah Johar yang tengah duduk santai di sebelah Adena.
Sementara itu, Satria—yang duduk di antara aku dan Aila—sedari tadi hanya berdiam diri layaknya patung pancoran. Oi, apa saking gugupnya menghadapi situasi ini dia jadi tidak bisa bergerak sedikit pun? Ah iya, dia kan sudah ditolak Erina beberapa waktu lalu. Mungkin hal itu yang menyebabkannya merasa canggung. Sedangkan Erina masih saja bersikap seperti biasa. Cewek itu benar-benar kebal.
"Rina sama Kak Bintang udah lama di sini? Udah naik apa aja?" tanya Adena.
Sebelum menyahut, Erina bergumam lumayan panjang. "Baru naik roller coaster ...."
"Eh?! Bintang naik roller coaster!? Beneran!? Dia emang berani!?"
Kamvret! Aku baru ingat bahwa Aila mengetahui kalau aku parno naik wahana ekstrim semacam itu! Bisa-bisa aibku ketika dulu sedang kencan dengan Aila di taman hiburan ini terbongkar! Kenapa sekarang seakan-akan posisiku berada di bawah kendali Aila! Kamvret! Ini tidak boleh dibiarkan!
"Hn. Dia beneran naik itu kok. Habis ini kami mau naik giant swing."
Aku yakin sekali kalau pernyataan Erina dengan tampang datarnya itu membuat Aila semakin merasa geli. Sudah jelas terlihat kalau Aila sedang menahan tawa. Kamvret moment itu ya ini. Aku tidak bisa bayangkan reaksi apa yang akan didapat jikalau Aila membeberkan tentang penyebab traumaku naik giant swing dulu.
Dengan segera aku menatap Aila, memberikan senyuman yang sebetulnya adalah sebuah kode untuk tidak berbicara hal yang tidak perlu. Kami sudah sering melakukan ini, jadi seharusnya dia bisa mengerti.
Ah iya, benar juga, aku baru mengingat sesuatu. Jika dia mengatakan hal itu, aku tinggal mengatakan hal itu. Nah, dengan begini, kami bisa saling mengancam. Great!
Adena memiringkan kepala. "K-Kak Aila?"
"Ah, bukan apa-apa. Aku cuma keingat sama acara lawak di televisi."
Setelah menyahut, Aila tertawa dengan anggunnya. Syukurlah dia bisa diajak berkompromi. Posisiku kembali aman untuk saat ini.
Aila kemudian menjentikkan jari dan berujar dengan semangat empat lima, mengundang perhatian lima orang yang lain.
"Setelah ini, ayo kita sama-sama menikmati taman hiburan ini! Biar aku yang memimpin!"
--K.I.M.O.C.H.I--
Si Aila itu benar-benar bikin kewalahan. Dia memimpin—dengan kata lain menyuruh kami mondar-mandir ke sana ke mari; science center, broadcast museum, sky pirates, dan lain sebagainya.
Jarang-jarang aku melihat Aila yang begitu bersemangat. Tingkahnya yang seperti anak kecil kegirangan itu mengingatkanku akan kencan terakhir kami dulu.
Jujur saja, aku masih tidak percaya kalau kami sedang berbagi keuntungan. Di beberapa momen, Erina malah lebih dekat dengan Adena dibandingkan aku. Aku bahkan tidak menemukan celah sama sekali untuk membawa kabur Erina.
Meski begitu, setidaknya sebentar lagi aku akan berduaan dengan Erina di wahana ini. Wahana yang semoga saja bisa membuat Erina makin lengket denganku. Apalagi kalau bukan rumah hantu!
Sedari tadi aku terus terbayangkan tentang Erina yang menjerit ketakutan dan tidak sengaja memegang erat lenganku, lalu sesegera mungkin melepaskannya, menjaga jarak, dan tersipu malu. Manis! Romantis! Itulah situasi yang diidam-diidamkan seorang pria sejati!
Dan aku dengar dari Adena kalau Erina adalah cewek yang takut dengan hantu. Ini akan menjadi momen yang luar biasa! Cih! Kenapa aku baru tau kalau ada rumah hantu di sini!
"Jangan takut, Erina. Aku akan selalu berada di sisimu. Sini, genggam tanganku. Akan aku berikan sedikit keberanian." Kemudian dia menjawab dengan malu-malu. "Hn. Kak Bintang, terima kasih. Aku mencintaimu." Dan happy ending!
Terima kasih, Aila. Jasa-jasamu akan selalu aku kenang.
Akhirnya Aila, Johar, Satria, dan Adena keluar dari area wahana. Dilihat-lihat sepertinya cuma Satria dan Adena yang kena dampak dari wahana ini—ketakutan.
Ah sudahlah. Yang pasti kini giliran aku dan Erina yang menaiki kereta kecil berkapasitas empat orang pada wahana ini. Kami berdua mengambil kursi kereta di bagian depan, sedangkan dua orang lainnya—laki-laki dan perempuan—berada di belakang.
Setelah diberikan instruksi tertentu dari petugas, secara perlahan, kereta bergerak maju, menandai momen romantisku yang akan segera dimulai.
Oke! Saatnya memperlihatkan seberapa jantannya seorang Bintang Preasetyo!
Beberapa menit kemudian.
"Kyaaaa!"
"Jangan takut. Aku akan selalu berada di sisimu."
"T-tapi ... i-itu ...."
"Sini, genggam tanganku. Biar aku beri sedikit keberanian."
"H-hn. T-terima kasih, Kak. Aku mencintaimu."
Itulah percakapan yang dilakukan oleh dua orang di belakangku. Sejak awal, mereka heboh sendiri, bahkan mengatakan sesuatu yang terbilang ... ehm ... romantis dan kamvret. Sedangkan aku dan Erina sedari tadi hanya menatap datar tiap layar dan properti (yang katanya) menyeramkan di sepanjang perjalanan.
Baru pertama kali aku memasuki rumah hantu, dan kesan yang didapat cukup diutarakan dengan satu kata; membosankan. Inikah yang mereka namakan dengan rumah hantu? Rasa-rasanya tidak ada kesan creepy sedikit pun di sini. Apa mungkin karena sejak kecil aku memang tidak takut dengan hantu-hantuan? Hn, itulah penjelasan yang paling wajar. Aku sudah kebal dengan hal-hal yang seram menurut orang awam. Tetapi kalau Erina ....
Apa informasi yang aku dapatkan dari Adena itu salah? Serasa aneh mengingat Adena adalah sahabatnya Erina. Atau mungkin Adena sudah membohongiku? Tapi melihat bagaimana watak Adena, membohongiku adalah hal yang mustahil.
Karena penasaran, aku berbisik, "Oi, Erina. Kamu enggak takut?"
"Hn? Ah ... enggak tau. Hmm, kayaknya aku takut deh."
Oi, oi, ekspresi datar dan pernyataanmu itu sangat berlawanan.
"Tapi kata Adena kamu takut sama hantu."
Kemudian Erina menatapku dengan mimik horor sembari berujar, "Tidak ada hantu yang seram kecuali hantu jamur!"
Mana ada hantu semacam itu!? Ente lahir di planet mana sih!?
Ah, sialan. Lagi-lagi ekspektasiku hancur seketika. Semangatku pun kian menurun ketika menyadari kalau Erina juga menampakkan pertanda bosan. Dan beberapa saat sebelum wahana ini berakhir, kami berdua menguap secara bersamaan.
Aku dan Erina keluar dari area antrian rumah hantu, lalu bergabung dengan Adena dan Satria di seberang.
"Yo. Gimana rumah hantunya?" tanyaku, sekadar basa-basi.
"S-seram. Pocongnya jelek ...."
Menanggapi pernyataan Adena itu, aku hanya tertawa lirih. Ya iyalah jelek. Kalau pocongnya tampan, bagaimana ceritanya coba. Bisa-bisa bukan rumah hantu lagi namanya, tapi rumah impian.
"Kalau menurut Kakak, kayak gimana?"
Adena balik bertanya. Aku mendongak sejenak, lalu menyahut dengan nada ragu.
"Ah, itu ... seram kok. Iya kan, Erina?"
Erina mengangguk cepat sembari bergumam, seakan mengkode sesuatu yang bisa aku mengerti. Baguslah, setidaknya kami berdua sehati dalam kesan tentang rumah hantu tadi.
"Oh iya, Aila dan Johar ke mana?"
"K-kata mereka ada yang mau dibeli, dan kami disuruh nunggu di sini ...."
Yang menjawab pertanyaanku tadi adalah Adena. Sedangkan Satria hanya mengangguk cepat dengan sikap canggung.
Selagi Erina dan Adena mulai membuka topik perbincangan baru, aku berujar menyela.
"Aku mau beli minuman dulu sebentar. Kalian tunggu di sini, ya."
Selepas mereka bertiga mengangguk, aku mulai merealisasikan pernyataanku barusan, mencari toko kecil yang menjual sesuatu agar dapat memuaskan hasrat. Menjalani tour dari Aila tadi membuatku lupa minum dan berakibat pada rasa haus yang menumpuk.
Tak butuh waktu lama untuk aku menemukan toko yang dimaksud dan membeli sebotol minuman ber-isotonik. Kendati beranjak guna bergabung kembali dengan Erina dan yang lain, perpindahan terhenti ketika mendapati dua orang remaja tengah bertatap muka di seberang.
Itu ... Aila dan Johar, kan? Tidak salah lagi.
Baru saja aku mau mendatangi mereka berdua, perpindahanku sontak terhenti. Aku tergemap lantaran dari kejauhan melihat Aila yang tiba-tiba menutup mulutnya menggunakan telapak tangan kanan, sedangkan Johar hanya menatapnya dengan datar. Tidak, bukan hanya itu, Aila seperti sedang ... menahan tangis?
Tunggu dulu. Menahan tangis? Tapi kenapa?
Sesaat setelah aku samar-samar melihat akan turunnya cairan bening dari pipinya, Aila seketika berbalik dan berlari menjauh bahkan sempat menabrak beberapa orang yang sedari tadi menjadikan mereka berdua sebagai pusat perhatian.
Sedangkan Johar masih bergeming. Ekspresinya begitu dingin, seakan tidak menampakkan sedikit pun kepedulian dan belas kasihan.
Satu pertanyaan besar datang di benakku.
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua?
m
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro