#12. Kencan Bag.2
"Dengar ya, Erina. Sebelumnya, tarik napas dalam-dalam dulu."
"Hn."
"Jangan panik. Usahakan untuk tetap rileks."
"Hn."
"Tenang. Ini enggak terla—"
Roller coaster yang melesat ke bawah dengan kecepatan tinggi sontak menahan ucapanku, membuatku menjerit histeris dalam hati. Jantungku berpacu, semakin kencang tiap detiknya. Mataku memejam kuat-kuat. Bulu kudukku meremang, diiringi gigi yang terus menggertak.
Kamvret! Kenapa orang-orang bisa bersenang-senang dengan sesuatu yang mengerikan seperti ini!? Bagaimanapun sugesti yang aku lakukan pada diri sendiri, tetap saja perasaan paranoia ini tidak juga hilang! Ataukah hanya aku saja manusia paling waras di taman hiburan ini!
Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Aku merasakan kecepatan dari wahana ini yang mulai menurun, hingga akhirnya berhenti sepenuhnya. Perlahan aku membuka mata, memutar kepala, melihat kaku ke sekeliling. Syukurlah, ini sudah berakhir, dan nyawaku berhasil selamat.
Sungguh. Jika bukan karena pedekate dengan cewek, aku tidak akan mau naik wahana itu lagi! Kalau sampai aku jantungan, bagaimana!? Bisa mati konyol, kan!?
Di saat aku masih berusaha menahan rasa mual, Erina sedang berada dalam mode muka triplek, seakan-akan ia tidak mendapatkan kesan apapun dari wahana barusan. Sudah kuduga, Erina memiliki mental yang agak menyimpang.
"Kayaknya aku enggak mau naik itu lagi."
Erina yang mengatakan itu membuat perasaanku sedikit lega. Ya! Benar! Mainan seperti itu terlalu aneh untuk dinikmati! Jadi tidak perlu untuk naik lagi! Kita benar-benar sehati!
"Membosankan. Tikungan dan kecepatannya kurang menggigit. Harusnya mereka buat lebih ekstrim lagi."
Dan aku baru ingat kalau Erina bukanlah cewek normal. Oke, aku tarik pemikiranku tadi.
Dia melirik sekeliling, lalu menunjuk ke seberang. "Gimana kalau kita naik itu? Mungkin bakalan lebih menyenangkan."
Semangatku seketika menurun drastis di saat menoleh ke arah apa yang ditunjuknya. Ditambah dengan suara teriakan histeris orang-orang yang menaiki wahana itu—Giant Swing, rasa-rasanya perasaan parno ini adalah hal yang wajar.
Apanya yang menyenangkan dari ayunan dan hentakan mengerikan itu!? Mereka tidak mual kalau digitukan!? Penikmat hal ekstrim berada di dunia yang jauh berbeda dariku.
Erina tampak memerhatikan dengan seksama wahana tersebut sebelum kembali berujar, "Supaya seru, kita bisa minta petugas untuk menambah kecepatannya."
Kamvret! Kau ingin membunuhku, ya! Membayangkannya saja sudah membikin wajahku pucat dan bulu kudukku berdiri tegap ala paskibra! Sudah kubilang kan, aku tidak mau mati konyol!
Sayangnya, melihat Erina yang begitu semringah membuatku tidak tega untuk menolak secara langsung. Aku mendongak, mengelus-elus perut seraya berdalih.
"Oiya, Erina. Kamu enggak lapar? Daripada ke sana, mending kita makan aja."
Sejenak dia menatap heran ke arahku, lalu bergumam panjang.
Ayo! Ayo! Semoga pengalihanku ini berhasil!
"Iya ya. Kita makan dulu. Kalau perut sudah terisi, kita bisa lebih menikmati wahana itu. Ide bagus, Kak!"
Kamvret! Kalau aku muntah ketika naik wahananya, mau ditaruh di mana muka seorang Bintang Prasetyo! Akh! Kenapa keadaannya malah makin buruk sih!
Setelah berujar, Erina langsung beranjak, tidak memedulikan aku yang sudah berusaha mengkodenya dengan tawa paksa dan muka masam. Sial ... sebegini susahnya kah berurusan dengan cewek tidak peka—maksudku cewek yang sangat tidak peka.
Ayo, Bintang Prasetyo. Mari pikirkan pengalihan yang lain. Pasti ada wahana yang aman dan bisa dinikmati oleh kami berdua. Hmm ... bagaimana kalau wahana serupa komedi putar itu? Vertigo? Eh? Lupakan! Wahana itu tampaknya cuma bikin pusing!
Oi oi, apa tidak ada wahana yang aman di sini, selain wahana khusus anak-anak?
Selagi aku sibuk memikirkan wahana yang patut untuk dinikmati, kami sudah terlebih dahulu sampai di area cafe and resto. Aku hanya mengangguk ketika Erina menunjuk ke area makan outdoor. Setelah duduk di kursi makan, seorang pelayan wanita menghampiri dan menyodorkan menu.
"Silakan dipilih Mas, Mbak."
"Nasi goreng couple-nya satu, teh hangatnya satu."
Erina langsung memesan ketika aku baru saja melihat-lihat daftar menunya.
"Aku pesan kopi saja."
"Eh? Kak Bintang enggak pesan nasi goreng couple juga? Tadi katanya lapar."
Eh? Tunggu dulu. Dia menyuruhku untuk memilih nasi goreng couple? Di saat kami makan berduaan seperti ini? Dan juga, dilihat dari mana pun, bukannya kami terlihat seperti sepasang kekasih? Ini yang dinamakan hubungan tanpa status?
Coba diingat-ingat lagi. Bukannya Erina yang mengajakku ke taman hiburan ini? Kalau begitu ... apakah ini berarti Erina sudah ....
"Tiba-tiba perutku terasa kenyang. Mungkin gara-gara melihat senyuman kamu."
Melihatnya yang masih saja menatapku datar dan tidak menunjukkan sedikitpun ketertarikan dari gombalanku tadi membuatku lanjut berujar.
"Pokoknya begitulah. Ah iya, kenapa mesti nasi goreng couple?"
"Karena itu makanan paling murah di sini, dan kayaknya mengenyangkan."
Jadi saat melihat daftar menu, dia cuma memerhatikan harganya, begitu? Dan lagi, mengatakan hal itu dengan ekspresi datar di depan pelayannya, benar-benar cewek anti-mainstream.
"Ya udah. Kayak tadi, aku pesan kopi aja."
Sang pelayan berujar setelah selesai mencatat pesanannya."Oke. Mohon ditunggu. Ah iya, semoga hubungan kalian langgeng ya."
Aku hanya menanggapinya dengan tawa kecil. Ya, aku tau kalau pelayan itu salah paham mengenai status hubungan kami. Tapi doanya tersebut malah membuatku merasa frustasi. Kalau hubungan abstrak dan kamvret antara aku dan Erina ini langgeng, mungkin aku sudah tidak berada di dunia ini lagi.
"Aku ke toilet bentar."
Setelah mengatakannya, aku beranjak dari kursi dan mencari tempat buang hajat. Meski sebenarnya aku tidak kebelet sama sekali. Hanya saja, aku perlu tempat yang tenang untuk memikirkan pengalihan ... pokoknya jangan sampai naik giant swing!
Apa langsung saja aku beri tau untuk tidak naik wahana itu? Karena apa? Karena aku ... takut? Akh! Kalau dia tau kalau aku parno naik begituan, bisa-bisa wibawaku sebagai cowok tampan dan berani bisa runtuh seketika!
Pasti ada alasan lain yang lebih masuk akal dan tidak menjatuhkan image.
Sekembaliku dari toilet dengan rute yang berbeda—jalan memutar, langkahku terhenti ketika melihat seseorang yang tampak mencurigakan sedang duduk di bangku dekat pohon-pohon kecil. Aku mendekatinya, memastikan perkiraanku dari sosok, gelagat, dan arah pandangannya itu.
Luar binasa nih cowok. Dasar penguntit.
"Satria? Lagi ngapain di sini?"
Dia terperanjat kemudian, lalu berbalik kaku, menatapku dengan nanar. Gila, cowok ini benar-benar niat untuk jadi penguntit, sampai-sampai mengikuti Erina ke sini. Anehnya, darimana dia tau kalau kami ada di sini?
"Ah, K-Kak Bintang. K-kebetulan sekali. Saya cuma r-refreshing di hari minggu kok!"
Setelah mengatakannya, ia tertawa yang jelas-jelas terlalu dipaksakan.
"Jadi kamu menguntit Erina seperti biasanya, ya?"
"Menguntit!? S-saya tidak melakukannya! Untuk apa juga! Saya tidak punya perasaan suka atau semacamnya ke Erina kok! Sungguh!"
Oi, itu kan respons yang kau berikan ketika kita pertama kali berbincang di perpustakaan. Dasar, masih saja tidak mau jujur.
"Lha? Bukannya kamu sendiri yang bilang waktu itu kalau--"
"Waktu itu? Kak Bintang ... anu ... b-bukannya ini pertama kalinya kita berbicara s-satu sama lain ... t-tapi kok Kak Bintang bisa tau nama saya ...."
Dahiku berkerut. "Pertama kali? Bu—"
Pernyataanku sontak tertahan. Ada yang aneh. Sikapnya sekarang benar-benar seperti pertama kali bertemu denganku. Jangan bilang dia mengira kalau aku yang memakai kacamata hitam lebar dan topi waktu itu adalah orang yang berbeda?
"A-aa ... itu, aku tau namamu dari seorang siswa ...."
"Apa dia itu siswa yang memakai kacamata lebar dan topi biru?"
Eh? Beneran? Apa aku terlihat sebegitu berbedanya kalau mengenakan dua aksesoris itu? Sepertinya aku mulai mengerti kenapa superman bisa menyamar hanya dengan satu kacamata. Karena dia cowok tampan. Dan cowok tampan itu istimewa! Nyahahahah!
"Ya ... begitulah ...."
"Wah wah wah, kebetulan sekali ya, Bintang."
Suara yang terdengar dari arah belakang itu membuatku spontan bergidik. Sebenarnya tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa empunya sapaan tadi, karena ekpsresi kamvret-nya sudah terbayang jelas di benakku.
Di saat aku menghadap ke arahnya, seketika wajahku berubah semakin masam.
"Hola." Aila menyapa dengan kalimat khasnya, sembari melambaikan tangan kanannya. Sementara, di sebelahnya berada dua orang yang begitu aku kenal; Adena Kirana dengan sikap canggungnya dan Johar Darmawan yang sedang menatapku datar.
Kebetulan macam apa ini? Apakah ini yang dinamakan sinetron di kehidupan nyata?
"Kak Bintang ke sini sendirian? S-surveinya kayak gimana, Kak?"
"Aku sama Erina kok di sini. Surveinya udah selesai. Tunggu bentar, Adena sendiri, kenapa bisa sama Aila?"
"Ah, anu—"
"Aku punya tiga tiket buat ke taman hiburan ini. Karena aku males ngajak kamu, jadi ya ... dua tiketnya aku kasih ke mereka berdua." Aila menyela seraya memegang pundak Adena dan Johar. "Tapi kebetulan banget, yah. Kita bisa ketemu di sini."
Aku bergumam singkat, lalu beralih pandang ke arah Johar yang sedang membuang muka. Ah iya, sejak kejadian itu, kami berdua belum berbicara lagi satu sama lain. Bila berada di dekatnya, aku merasakan suasana yang begitu canggung dan enggan untuk melakukan komunikasi.
Pernyataannya tempo hari bukanlah kebohongan. Bisa aku pastikan itu dari sorot matanya kala mengatakannya. Dengan kata lain, Bintang Prasetyo secara resmi memiliki seorang haters.
Satu orang sih tidak masalah, tapi bagaimana jadinya kalau sebenarnya banyak orang yang membenci eksistensiku dan aku tidak mengetahuinya? Dibenci secara terang-terangan tampaknya lebih baik daripada dibenci dari belakang.
Tapi, itu tidak mungkin, kan! Semuanya mencintaiku! Pasti hanya Johar yang memiliki pandangan menyimpang! Benar, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Oiya, Bin. Cowok di sebelahmu itu temanmu?"
Eh? Ah, aku sampai lupa kalau Satria Sang Cecunguk masih berada di sini. Aku menjawab dengan ragu-ragu. "Bisa dibilang begitu ... bisa juga tidak ...."
Aila mengatakan "oh" sebelum memegang dagunya, membuat pose berpikir. Sejenak ia menyeringai—mungkin hanya aku yang menyadari seringaiannya itu. Firasatku mengatakan kalau ia merencanakan sesuatu yang buruk.
"Ah iya, aku mau bicara empat mata sama Bintang. Tunggu bentar yah."
Tanpa meminta persetujuanku, Aila menarik lenganku dan membawaku agak menjauh dari yang lain. Dan barusan aku sadari, hanya Adena yang memberikan tatapan heran ke arah kami, dua orang sisanya terlihat masa bodoh.
"Oi, apa—"
"Kamu lagi pedekate dengan si Erina itu, kan?"
Eh? Kenapa dia bisa tau kalau aku lagi pedekate? Ah, sudahlah. Apapun alasannya, tidak ada untungnya bagiku untuk berbohong sekarang.
Sebagai respons, aku bergumam singkat.
"Kalau kau setuju, mari kita lakukan metode simbiosis mutualisme."
"Eh? Maksudnya?"
Dia akhirnya secara terang-terangan memperlihatkan seringaian lebar. "Aku punya rencana."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro