Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#11. Kencan Bag.1

Decitan roda yang bergesekan pada aspal jalan menandai motor C*R-ku yang memberhentikan diri dengan gagahnya. Aku membuka helmku, kemudian membelai rambut guna menambah pesona yang dapat membuat para gadis pingsan di tempat. Untungnya, di sekitar sini terbilang sepi, tidak terlihat adanya orang, jadi tidak ada yang kehilangan kesadaran mendadak. Tapi mungkin saja ada yang iseng mengintipku dari balik jendela rumah dan sekarang sedang terkapar bahagia.

Perlahan aku mengangkat sebelah kaki dan turun dari motor. Dengan kemeja abu-abu berlengan sebatas siku dan celana jeans hitam, menurutku sudah cukup agar penampilanku dikategorikan tampan dan berani.

Benar, hari ini—minggu—adalah hari yang spesial. Jika ini galge, maka aku sedang berada di salah satu event penting yang berpotensi menentukan ending ceritanya. Meski alasannya adalah untuk survei rasa di tempat orang yang menjual jamur Enak, tetap saja pergi berduaan dengan Erina adalah sesuatu yang sangat sayang jika disia-siakan. Ditambah dengan cuaca yang cerah dan kicauan burung penyejuk hati, benar-benar membuat pagi ini begitu sempurna.

Membonceng Erina menggunakan motor C*R, ngebut ketika berhadapan dengan polisi tidur, mendengar teriakan "kyaa"-nya yang imut, kemudian suasana romantis akan ... ah, beragam simulasi yang terpikir membuat fantasiku semakin melebar.

Benar. Intinya, pertarunganku dimulai kembali. Akan aku usahakan untuk membuat kenyataan yang ada menjadi semanis mungkin!

Langkahku agak mengecil setelah melewati pagar rumahnya, kemudian menekan tombol di dekat pintu masuk. Tidak lama setelah bunyi-bunyian menyebar ke dalam rumah, gagang pintu yang bergerak mengawali terlihatnya sosok yang aku nanti-nantikan.

Wajah polos nan datarnya adalah hal yang pertama kali tergambar di mataku. Tidak ada yang mencolok dari pakaiannya; baju kaos biru mudanya dilapis jaket kain pink dengan rok hitam yang mencapai mata kaki. Manis adalah kesan yang aku dapatkan ketika menyadari gaya rambutnya yang dikuncir kuda.

Ini pertama kalinya aku melihat Erina berpenampilan seperti ini.

Eh? Tunggu dulu. Apa jangan-jangan ini merupakan kode bahwa dia sangat menantikan untuk jalan berduaan denganku? Aku membayangkan tentang Erina yang berpose di depan cermin sambil mencoba beragam jenis pakaian dan gaya rambut. Lalu teringat akan jangka waktu yang semakin sempit membuatnya kebingungan, hingga berakhir dengan penampilan seperti sekarang ini.

"Kak Bintang?"

Seruannya itu seketika membuyarkan lamunanku yang makin meliar.

"Erina, kamu cantik banget hari ini."

"Oh. Kak Bintang juga cantik kok."

Kamvret! Itu pujian atau hinaan? Bisa-bisanya dia mengucapkannya dengan muka triplek itu. Sebagai respons, aku hanya tertawa kecil—yang aku harap bisa menciptakan pesona sebagai cowok tampan dan berani.

Ah, daripada berlama-lama di sini, sebaiknya kami segera berangkat, supaya momen di sana menjadi lebih panjang. Baru saja mau berkata "ayo berangkat", rasa penasaranku muncul di saat menyadari kalau Erina tidak membawa tas selempang atau sejenisnya.

Ayolah, di pengalamanku berkencan dengan cewek, tas selempang merupakan salah satu benda yang selalu mereka bawa. Entah apa yang ada di dalam sana (selain peralatan make-up), aku tidak terlalu mengetahuinya, karena aku bukan cewek.

"Oh iya, Erina. Apa kamu enggak melupakan sesuatu seperti ... tas misalnya ...."

"Sesuatu, ya ...."

Erina mendongak sebentar sebelum melanjutkan.

"Aku tidak perlu bawa jamur Kimochi. Jadi tidak ada yang kelupaan."

Ah, lupakan. Pernyataanmu itu mengingatkanku kalau kau bukan cewek biasa.

"Ya sudahlah. Ayo berangkat."

"Oke. Tolong motornya ditaruh di halaman. Setelah itu baru kita berangkat."

Aku terdiam seketika. Entah kenapa, otak ini bekerja ekstra guna sekadar memahami maksud dari kalimatnya tadi. Tak lama, aku berujar secara spontan. "Eh? Apa tadi?"

"Aku bilang, taruh motonya di halaman. Setelah i—"

"Maksudku, kenapa?"

Setelah selaanku itu, tatapan heranlah yang Erina berikan, seolah-olah akulah yang membingungkan di situasi ini.

"Memangnya Kak Bintang mau membawa motor itu sambil naik bus?"

"...."

Apa!? Bus! Yang benar saja! Mana mungkin cowok tajir dan tampan sejenis aku mau naik yang begituan di saat membawa motor keren seperti sekarang ini! Dan juga, kau tidak mengatakan hal ini sebelumnya! Jika Erina bukan gebetanku, pasti aku sudah meneriakkan kata-kata itu. Tunggu dulu, dia bercanda, kan!?

"B-bukannya akan lebih cepat kalau kita naik motorku ...."

"Haltenya dekat dengan rumahku. Lagian kalau naik motor sejenis itu boros bensin, terus agak menakutkan. Selain itu, emangnya Kakak udah punya SIM?"

Sungguh, kau adalah orang pertama yang membuatku menyesal karena telah membeli motor C*R. Sayangnya, semua motorku memiliki jenis yang sama ... akh, kamvret! Semua angan-anganku—boncengan dengan Erina—hancur seketika! Dan Erina malah memperingatkanku agar menjadi warga negara Indonesia yang taat pada peraturan.

Ah ... harga diriku mulai tercoreng.

"Kalau begitu naik—"

"Sepertinya sebentar lagi busnya akan berangkat. Ayo cepat!"

"Oi! Erina!"

Seruanku itu tidak digubris sama sekali oleh Erina yang berjalan cepat menuju bus yang berada beberapa meter di luar gang. Mau tak mau, sesegara mungkin aku memarkir motorku ke dalam halaman rumahnya, kemudian menyusulnya menuju bus dengan berjalan kaki.

Sudahlah. Paling tidak, aku bisa duduk bersebelah dengannya di bus, lalu melanjutkan pedekate secara intim. Kami akan tertawa bersama tatkala melihat pemandangan sepanjang jalan. Sempurna!

--K.I.M.O.C.H.I--

Dan kamvret!

Kalimat itulah yang aku teriakkan dalam hati sembari tertunduk lesu di depan halte bus. Entah kenapa jika itu adalah Erina, segala ekspektasi yang susah payah aku bangun selalu saja hancur lebur. Misalnya seperti di bus barusan. Erina malah duduk di antara dua orang wanita paruh baya. Selain itu, kapasitas bus sudah hampir penuh dan memaksaku untuk duduk di paling belakang—terhimpit oleh om-om dan banci tua.

Ketika menginjakkan kaki di sini, nerakaku tadi—digoda si banci tua—akhirnya berakhir. Sudah berulang kali aku menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ya, inilah resiko orang tampan. Mesti tahan dengan setiap godaan, terutama dari makhluk berkelamin tidak jelas.

Kini aku dan Erina berjalan beriringan, menyusuri jalan raya yang dilintasi oleh berbagai alat transportasi dengan kecepatan yang terbilang tinggi. Untuk sampai di tujuan, kami mesti memasuki jalur tertentu.

Sembari menunggu waktu yang tepat untuk menyebrang, pandanganku sejenak beralih gerbang masuk sebuah taman hiburan. Bayanganku akan kencan dengan Erina di sana tiba-tiba muncul. Hal itu sepertinya akan menyenangkan. Tapi aku tidak mau terlalu berharap lebih lagi. Mencoba menikmati apa yang ada sekarang ... mungkin tidaklah buruk.

Tak lama, di seberang sana, dengan warna dominan biru muda, sebuah toko kecil-kecilan bertuliskan "Jamur Enak" terlihat. Beberapa orang duduk di kursi dekat sana. Sudah bisa ditebak bahwa mereka sedang mengatri untuk membeli jamurnya.

Aku akui, pemasaran Riska benar-benar hebat. Dalam waktu singkat, ia memiliki beberapa cabang toko dan banyak konsumen. Hal ini membuatku semakin penasaran dengan rasa jamurnya. Yah, aku belum pernah mencicipinya sih.

"Wah, sepertinya tempat ini lumayan terkenal, ya."

Menanggapi perkataanku, Erina hanya bergumam dan mulai memesan beberapa porsi jamur goreng. Guna menunggu, kami duduk bersebelahan pada kursi kayu panjang yang terletak di emperan toko yang sedang tutup.

Aku memandangi dua orang di seberang yang sedang menggoreng jamur dengan melakukan sesuatu kepada bahannya terlebih dahulu. Dan baru saja aku sadari, Erina juga melakukan hal serupa denganku. Ah, benar, kami sedang survei. Aku benar-benar hampir melupakan hal itu.

Daripada hanyut dalam keheningan, aku memulai topik pembicaraan.

"Erina sejak kapan jualan jamur?"

Tanpa mengalihkan pandangan, ia menjawab setelah bergumam panjang.

"Aku lupa. Mungkin setengah tahun yang lalu ... atau kurang?"

Aku melirik Erina dari ujung mata. Ekspresinya ternyata masih saja datar, seperti biasa.

"Kenapa harus jualan jamur ...."

Tanpa sadar, aku mengatakan hal itu. Jujur saja, sekilas terbersit di pikiranku mengenai hal tersebut. Hanya saja, rasa penarasanku tidak masuk ke level kepo. Kalau sudah begini, anggap sajalah sebagai basa-basi.

Erina mendongak sembari tersenyum tipis. "Karena aku suka jamur goreng."

Entah sejak kapan, melihat Erina yang seperti ini membuat hatiku merasa nyaman. Sudah lebih dari dua bulan aku mengenal gadis ini. Rasa-rasanya aku sudah terbiasa berbincang dengannya, juga menghadapi berbagai perilaku tidak terduganya.

Sekarang, pembicaraan kami berdua semakin melebar. Dia sempat bercerita seputar kakeknya yang suka menonton anime, khayalannya mengenai sekolah, juga tentang ayahnya yang pertama kali membuatkannya jamur goreng. Selera humor Erina yang aneh, ditambah dengan mimik khasnya, seringkali membuat tawa kecilku keluar.

Kira-kira apa yang sebenarnya diinginkan oleh seorang Bintang Prasetyo ....

Spontan aku terdiam. Pernyataan Johar kala itu mendadak menyusup masuk ke dalam benakku, membuat pikiranku bergulat, namun itu hanya sejenak—tidak, lebih tepatnya aku berusaha menghindar dari mencari jawabannya.

"Kak Bintang?"

Erina yang memanggilku itu sukses membuat lamunanku buyar. Dia menatapku heran.

"A-ah ... maaf. Sampai mana tadi?"

"Begin—eh, punya kita sudah jadi."

Dia beranjak, mengambil jamur-jamur gorengnya yang terbungkus plastik, lalu mendekat ke arahku seraya berujar santai.

"Kita perlu minuman."

--K.I.M.O.C.H.I--

Gigiku terus bergerak, mengenyam kerenyahan dari setiap gigitan yang dihasilkan. Lidahku bergelut, menyapu rongga mulut, membebaskan makanan yang tersangkut di sela gigi. Rasa manis dari jamurnya menyebar di indera perasaku, membuatku ketagihan untuk terus mengunyahnya.

Benar. Dari segi rasa, aku akui ini lebih enak dari jamur Kimochi. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda dan khas ketika berada di mulut, entah apa itu. Mungkin aku tidak tau karena kurang mengerti tentang masak-memasak.

Pandanganku beralih ke arah Erina yang terus mengeluarkan suara serupa "kriuk" berulang-kali. Nampaknya ia benar-benar menikmati cemilan ini. Melihatnya makan seperti ini membuatku agak geli. Tak butuh waktu lama agar jamurnya habis, begitu pula punyaku. Kami kemudian meminum air mineral botol secara bersamaan.

Melihat tingkah Erina yang semringah, nampaknya ia mendapatkan cara untuk mengalahkan rasa dari jamur Enak. Padahal baru makan satu porsi, benar-benar pembuat jamur yang pro.

"Gimana?"

Erina menatapku sebelum menjawab singkat. "Enak."

"Jadi, apa kamu sudah dapetin sesuatu buat merubah resep jamur Kimochi?"

Dahinya berkerut samar. "Merubah? Untuk apa?"

"Untuk ... apa? Kamu kan mau membuat jamur Kimochi lebih enak dari jamurnya Riska, 'kan?"

"Hn? Kapan aku bilang kayak itu?"

"Eh? Jadi survei ini buat apa?"

Dia berdiri, meremas bungkus jamurnya dan menyibak roknya. "Survei? Aku cuma mau makan jamur Enak, kok. Itu aja."

Aku mengela napas. Lagi-lagi ini hanyalah kesalahpahaman sepihak. Erina benar-benar cewek yang sukar ditebak. Tapi ... tunggu dulu. Jika cuma mau makan jamur Enak, kenapa mesti repot-repot mengajakku? Bahkan dia menolak untuk menerima tumpangan gratis dariku dan tidak mau aku traktir beli jamur tadi. Jadi, kenapa?

Dengan pandangannya yang mengarah ke seberang, Erina berujar, "Kak Bintang sibuk setelah ini?"

"Enggak kok."

"Kalau begitu, untuk mengisi waktu, ayo kita ke taman hiburan sana."

Tanpa meminta persetujuanku, dia menarik pergelangan tanganku, menggiringku ke seberang sana. Aku terdiam. Satu pertanyaan kemudian terbesit di benakku.

Apakah dia benar-benar Erina?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro