#06. Putri Sekolah
Prestise cenderung menunjang status sosial seseorang. Memengaruhi orang lain, memperlebar kekuasaan, bahkan mendapatkan semacam hak istimewa. Dan semua itu bisa didapatkan, salah satunya oleh orang-orang yang memiliki bakat. Perbedaan daya pikir serta talenta manusia sejak lahir memberikan jarak yang berarti. Apalagi dibarengi dengan penampilan yang menunjang.
Hal-hal tersebut membentuk sebuah hierarki dalam kehidupan sosial. Orang bertalenta akan lebih berada, sedangkan selain itu terabaikan. Ya ... meski ada satu faktor lain yang lebih penting dari yang aku sebutkan tadi.
Kerja keras.
Bakat tanpa kerja keras akan percuma. Tak berbakat dan tidak mau bekerja keras, hanya akan menjadi sampah. Jika berbakat dan bekerja keras? Itulah diriku saat ini, dengan beberapa paradigma yang ada.
Dan kini aku malah disandingkan dengan seorang cewek menyebalkan lainnya—Adena Kirana.
Begini, sudah hampir dua minggu dia menjadi asistenku untuk menjual jamur Kimochi. Nyatanya, ia hanya menjadi penghambat dengan tingkah pemalu dan cerobohnya yang minta ampun.
Saat mengurus pesanan dari murid-murid, dia malah salah mencatat rasa jamurnya dan mengundang berbagai macam komplain. Untungnya, hal tersebut bisa diselesaikan dengan menggunakan pesona dan karismaku. Namun kamvret-nya, masalah serupa itu tidak terjadi sekali dua kali! Kalau diingat-ingat, lebih dari sembilan kali! Pikunnya minta kamvret tuh cewek!
Juga ketika menghitung hasil pendapatan, baru disadari kalau terjadi kerugian yang ternyata itu karena Adena salah memberikan uang kembalian kepada beberapa konsumen! Kamvret-nya, si konsumen terkesan memanfaatkan kecerobohan Adena. Kamvret!
Setelah semua kejadian itu, Erina justri seolah bersikap masa bodoh. Kenapa cewek somplak itu masih ngotot mempertahankan Adena sebagai asistenku? Padahal jelas-jelas, ia hanya menjadi penghambat!
Tapi ya ... mau bagaimana lagi. Kalau aku yang memaksa Adena untuk berhenti, bisa-bisa kadar pesonaku di mata Erina akan berkurang. Mungkin tindakan yang paling tepat sekarang adalah melatih si Adena itu supaya tidak ceroboh lagi.
Oke oke, anggap saja ini sebagai tantangan. Jika aku bisa mengubah Adena menjadi lebih baik, status sosialku akan naik, dan nilaiku di mata Erina akan meningkat. Hooo, sekali dayung, dua pulau terlampaui!
Murid-murid yang mayoritasnya cewek mulai meninggalkan kami berdua. Iya, kami berdua, aku dan Adena, di taman pinggir lapangan utama, dengan dagangan yang telah ludes serta beberapa catatan pesanan untuk keesokan hari.
Aku tersenyum kecil. Entah terkena angin apa, hari ini kinerja Adena lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Setidaknya dia sudah meminimalisir kesalahan. Baguslah, semoga untuk ke depannya bebanku akan lebih ringan.
"T-terima kasih untuk hari ini, Kak Bintang!"
Dia berucap lantang, mengatakan kalimat yang selalu sama seusai kerja. Namun masih saja tergagap, seakan itu sudah menjadi ciri khas. Atau itu memang ciri khas?
"Hn. Sama-sama," sahutku beserta senyuman manis.
Masih ingat 'kan kalau Adena adalah cewek yang sebenarnya beringas ketika berhadapan dengan cowok tampan? Nah, mau tak mau aku mesti menjaga sikap di hadapannya. Bertindak untuk menegurnya saat bekerja pun memaksaku untuk berpikir dua kali. Dan seiring berjalannya waktu, aku semakin terbiasa, dan bisa menyesuaikan diri secara spontanitas. Keren, 'kan? Bintang gitu loh!
"Hola, Bintang!"
Suara itu menyela perbincangan kecilku dengan Adena. Tunggu dulu. Jenis suara ini, keangkuhan ini, benar-benar tidak asing. Perlahan aku menoleh ke sang empunya, dan memastikan perkiraanku barusan.
Dia adalah cewek dengan rambut hitam panjang yang tergerai rapi. Kulitnya putih. Poni khas yang sering ia tata menambah kesan cantik, manis dan imut, apalagi dengan wajahnya yang seolah terbebas dari jerawat. Mayoritas murid meyakini bahwa dia itu melebihi pesona dari member-member JK*48. Pandai menyanyi, pandai berbahasa inggris, dan berbagai macam talenta lainnya. Dijuluki Putri Sekolah. Atau istilah kerennya, The Princess.
Singkatnya ... dia itu ... Bintang Prasetyo versi cewek.
Ah, iya, aku baru ingat kalau dia baru pulang kemarin dari acara pertukaran pelajar di Jepang selama dua bulan. Katanya sebagai perwakilan untuk memperkenalkan budaya Indonesia di sana. Jujur, untuk acara semacam itu, aku tidak terlalu tertarik. Padahal jika aku niat, seleksi pertukaran pelajar antar planet pun sangat mudah untuk dimenangkan.
Dia mendekatiku, lalu membuat gestur menyapa. "Hisashiburi da na. Genki ka?[1]"
....
Kamvret! Mentang-mentang baru datang dari luar negeri, langsung pakai bahasa yang tidak aku mengerti sama sekali! Apalagi diiringi dengan tawa kamvret ala ibu-ibu datang bulan yang lagi arisan khasnya. Kamvret!
Adena mendekatkan wajahnya ke kupingku, lalu berbisik, "T-tadi itu d-dia ngomong apa?"
Wah! Biasanya Adena akan gelagapan kalau kami sedekat ini. Nampaknya ia mulai terbiasa dengan ketampananku.
"Katanya 'kamu tampan seperti biasanya'. Kira-kira seperti itulah," jawabku ngasal.
Tch, sepertinya mulai sekarang aku mesti belajar bahasa Jepang supaya tidak kalah pamor. Tapi ... yang tadi itu beneran bahasa Jepang, kan?
"Kamu dapat gebetan baru lagi, Bin?" tanyanya, menatap Adena dengan senyum tipis. "Ah, iya. Perkenalkan, namaku Aila Dwi Santika. Kalau kamu?"
Ini dia. Gaya sok akrab khas Aila. Mimik ceria itu benar-benar membuatku ingin muntah. Sudah kubilang tadi kan, kalau dia itu bagaikan diriku versi cewek. Kami sama-sama bertalenta, sama-sama terkenal, dan banyak kesamaan lainnya.
"S-saya Adena Kirana. Saya s-sudah tau kok sama Kak Aila."
"Eh? Masa? Aku rupanya terkenal yah," sahut Aila sembari tertawa sok imut.
Oi, jangan sok polos. Kau pasti sudah mengetahui kalau Adena mengenalmu, kan? Lagian, siapa murid di sekolah ini yang tidak mengenal Aila Dwi Santika? Eh, mungkin Erina tidak kenal sama dia yah ....
Aku berujar dengan nada akrab, "Kamu sepertinya masih sama kayak dulu yah, Lala."
"Kayaknya begitu. Ah iya, Bin. Aku dengar kamu jadi sales jamur, ya? Bhaaak! Enggak nyangka kamu mau ngerjain yang begituan!" sahut Aila, tertawa kecil setelahnya.
Tch! Kau mau menyindirku? Jangan berpura-pura polos dengan memakai mimik sialan itu. Kau tidak akan bisa menyembunyikan watak aslimu di hadapanku. Jika kita tidak pernah berpacaran, mungkin aku tidak akan pernah bisa melihat dirimu yang sebenarnya.
Ya, singkat kata, Aila Dwi Santika adalah mantanku. Hubungan istimewa kami terjadi saat kelas satu semester kedua, namun hanya langgeng selama tiga bulan.
"Aku punya alasan untuk melakukan ini semua," jawabku agak pelan.
Aila tersenyum sinis secara implisit ke arahku. "Hoo. Kau juga sepertinya belum berubah," ujarnya enteng, "masih saja memakai topeng itu."
"Topeng?" kata Adena tiba-tiba, yang aku yakini adalah sebuah spontanitas.
Jangan bercanda, Aila. Kau juga sama, kan. Di saat berpacaran dulu, kita hanya mengejar status sebagai pasangan paling sempurna di sekolah ini. Bersikap manis di depan semua orang, namun di belakang, kepalsuan itu akan luntur. Setidaknya itulah yang terjadi setelah aku berhasil mengetahui dirimu yang sebenarnya.
Senyuman sinis Aila mulai lenyap. "Iya, topeng. Kan Bintang pake topeng mirip Za*n Mal*k biar kelihatan ganteng. Aslinya mah, dia ... pufft--"
"Jangan bikin skandal deh. Mukaku ini asli dan bukan oplosan," timpalku cepat.
"Halah, jangan percaya. Dia mah tukang bohong."
"E-eh? J-jadi Kak Bintang pake topeng ...."
Oi, Adena. Jangan bilang kalau kau percaya dengan si Aila? Iya, aku tau kalau kau itu agak sedikit oon. Tapi tidak begini juga kan.
Eh? Tunggu dulu. Kalau dia beranggapan aku jelek, otomatis perasaan parnoku dapat sedikit tertanggulangi, kan? Baiklah. Khusus dirimu, anggap saja aku jelek.
"Becanda. Oh iya. Ngomong-ngomong ... anu ... Johar di mana yah? Seharian ini aku enggak ketemu sama dia."
Eh? Tumben Aila menanyakan keberadaan Johar? Apa dia merencanakan sesuatu lagi? Ini benar-benar aneh bin mencurigakan.
Belum sempat aku menyahut, Adena berbicara terlebih dahulu.
"Kak J-Johar lagi ke luar sekolah. Ada yang d-diurus katanya ...."
"Hoo, begitu. Ah iya, baru ingat! Aku ada urusan sama Pak Yatno. Dadah~"
Aila beranjak setelah melakukan gelagat perpisahan. Meninggalkan aku dan Adena yang juga melakukan hal serupa.
Oke, untuk sekarang, lupakan masalah Aila si muka dua itu.
Kini, aku dan Adena berjalan beriringan. Sudah menjadi kebiasaanku menemui Erina setelah selesai melakukan pekerja sales. Sekalian pedekate dengannya. Lagipula, Adena sekelas dengan Erina. Jadi istilahnya itu, satu kali tepuk dua lalat mati.
Ah, ngomong-ngomong masalah Erina, beberapa strategi baru sudah aku lakukan. Tapi, entah itu berefek atau tidak.
Oke, catat ini. Jika sampai satu bulan dia tak kunjung menyatakan cintanya padaku, maka aku yang kembali akan menembaknya. Ini memang menyimpang dari tekad awalku. Tetapi yang lebih penting adalah berpacaran dengan Erina. Ya ... kalau bisa ... sekalian ... ehm ... nganu lah. Ya ... anggap saja sebagai bonus.
Tak butuh waktu lama agar aku dan Adena memasuki ruang kelas X-5. Di sana, aku melihat Erina sedang duduk di tempat biasa dan tengah memandangi sesuatu dengan tampang heran.
"Yahalo, Rina," sapa Adena setelah mendekati Erina.
Begitu pula aku. "Yo, Erina. Itu ... apa?"
Tunjukku ke selembar kertas putih yang sedari tadi dipegang Erina.
"Hn, ini? Enggak tau. Aku baru saja menemukannya. Tadi, ini ada di dalam amplop ini." Erina mengambil amplop yang ia maksud dari laci mejanya. "Dan entah sejak kapan sudah berada di laci mejaku."
....
Eh? Tu-tunggu dulu. Dilihat dari pola penyerahannya yang secara sembunyi-sembunyi. Juga amplop yang digambari hati berwarna merah dengan tulisan "For Erina~" di pojok bawah kanannya.
T-tidak salah lagi ....
Itu 'kan surat cinta!
Glosarium:
1. Hisashiburi da na. Genki ka? : Bahasa Jepang yang artinya "Lama tak berjumpa, ya. Kabarmu baik?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro