Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#05. Asisten

Dunia akan lebih berwarna jika kau sedang jatuh cinta. Begitu indah bagaikan alunan simfoni yang menghias pemandangan asri dari hamparan kebun bunga. Kehangatan akan didapat ketika saling melemparkan kata-kata manis. Memaksa sanubari untuk ikut tersenyum bersama sela bibir. Namun, di mana ada rasa bahagia disitu ada rasa sakit yang mengiringi. Ya. Hal yang padahal sepele malah terasa mencekik erat di ulu hati hingga muncul kepedihan yang luar biasa.

Setidaknya itulah yang pernah aku rasakan. Berulang kali jatuh cinta, berulang kali disakiti. Hingga membuatku bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya jatuh cinta itu? Perasaan egois yang ingin memiliki seorang lawan jenis, kah? Tapi kenapa bisa dengan mudahnya beralih ke lain hati? Perenungan selama beberapa bulan membuatku memperoleh sebuah kesimpulan.

Jatuh cinta sama dengan kamvret.

Hal-hal seperti bertemu belahan jiwa saat naik angkot, atau tidak sengaja menabrak seorang cewek di restoran lalu kemudian jatuh cinta dengannya. Semua itu hanyalah omong kosong yang berada di dalam sinetron. Mereka bilang jodoh bisa datang secara tidak terduga. Tetapi, apakah memang bisa sekebetulan itu?

Dan yang tengah aku hadapai sekarang adalah sesuatu yang lebih kamvret daripada sinetron.

Oke, ini belum berakhir. Baru seminggu lebih berlalu semenjak datangnya ancaman kamvret dari makhluk kamvret bernama Tian. Selama itu pula, aku sudah terjebak di beberapa situasi kamvret yang sangat menyebalkan jika diingat ulang. Berhasil berkunjung ke kediaman Erina ternyata masih belum cukup untuk menaiki satu anak tangga menuju hatinya. Atau bisa dibilang, aku masih merasa jalan di tempat.

Biarlah masa lalu menjadi kenangan, dan menjadi pelajaran tentunya. Aku akan tetap berusaha membuka mata Erina agar ia bisa memahami ketampananku ini.

Sekarang adalah jam istirahat. Stok jamur Kimochi yang diberikan padaku sudah habis sejak pagi tadi. Hebat, kan? Ah, aku ini memang sangat berbakat dalam berbagai bidang. Mungkin jabatan kepala sekolah pun bisa aku ambil alih dengan mudahnya.

Nah, karena sudah habis, jadi aku mengambil beberapa jamur Kimochi lagi dari Erina. Kuantitas yang banyak tidak bisa aku simpan sendirian, kan. Lagipula jamur tambahan itu baru baru saja diantar ke sekolah oleh Tante Ebi karena secara tak terduga hari ini lebih cepat habis daripada biasanya. Sayangnya, bukan aku yang menerima barang itu, melainkan Erina.

Eh, salah, maksudku ... err ... begini. Di saat aku menemui Erina tadi, dia bilang untuk mengambilnya di perpustakaan, lebih tepatnya di tempat temannya yang bernama Adena. Karena Adena lah yang katanya secara kebetulan berpapasan dengan Tante Ebi dan membawakan jamurnya ke perpustakaan.

Intinya seperti itu. Aku tidak terlalu menanyakan detail kejadiannya. Yang penting sekarang adalah sesegera mungkin mengambil jamurnya.

Perpustakaan serasa lebih adem dari biasanya. Ah, mungkin akunya saja yang sedari tadi agak merasa gerah karena saat jam pelajaran, aku mendominasi alur presentasi dan menjawab banyak pertanyaan yang datang silih berganti.

Kalian pikir aku egois? Jangan salah sangka. Aku melakukannya atas permintaan rekan-rekanku yang nampaknya kesulitan dalam berbicara di depan khalayak ramai. Menjadi satu-satunya anggota kelompok yang berbakat tentu menimbulkan tanggung jawab yang lebih besar. Lagipula dengan bertindak seperti tadi dapat memperoleh beberapa keuntungan; membanggakan guru misalkan, atau menambah kadar kewibawaanku di mata teman-teman agar aku terlihat begitu sempurna.

Oke, biar kutegaskan sekali lagi. Dunia remaja hampir aku kuasai. Hampir. Jika aku bisa menaklukkan hati Erina, maka sempurnalah sudah.

Kembali ke permasalahan utama. Di tempat nongkrong petugas perpustakaan, aku melihat Johar yang sedang duduk malas. Ah, iya. Aku 'kan tidak tau Adena itu cewek yang mana. Jadi, menghampiri Johar dan bertanya adalah keputusan yang wajar.

"Oi, Har. Adena di mana?" tanyaku, sengaja tidak menampakkan pertanda tak mengenali orang yang dicari.

Dia menatapku lesu. "Hn? Kenapa cari-cari Adena?"

Eh? Tumben dia mengatakan hal semacam itu. "Aku ada urusan. Sudah, jawab saja!"

Johar menunjuk ke seberang, membuatku mengikuti arah tunjukkannya, hingga menemukan sesosok cewek berambut sebahu—sedikit lebih pendek lagi tengah membaca buku dengan damainya di sofa. Tanpa mengucapkan terima kasih atau semacamnya, aku langsung beranjak (tentunya dengan memasang pose keren) menuju cewek tersebut.

"Permisi. Kamu yang namanya Adena, kan?"

Dia menoleh secara perlahan ke arahku. Belum sampai satu detik, dia mendesah tertahan, lalu segera berpaling ke arah belakang, menyembunyikan wajahnya dariku. Oi oi, oke, aku akui aku tampan. Tapi tolong tatap aku saat kita sedang berbicara yah, Nona Manis.

Gelagatnya yang mengucek-ucek mata membuatku (sok) penasaran. "Kamu ... kenapa?"

"A-ah, t-t-t-tidak. S-saya cuma ... anu ... k-kelilipan! Iya! Kelilipan!" sahutnya tergagap sembari tersenyum kecut disertai tawa yang terasa begitu hambar.

Kelihatan banget bohongnya.

Aku tertawa kecil sebelum berujar, "Oke, oke. Kamu Adena, kan?"

"I-iya ...."

Jawaban yang ia berikan begitu pelan, sampai-sampai aku harus lebih memfokuskan indra pendengaran. Rupanya dia tipe cewek pemalu yang cukup merepotkan.

Kemudian ia terperanjat, seakan baru mengingat sesuatu, lalu beranjak dengan gelagapan menuju ruangan lain. Tak lama, ia keluar dengan membawa sekantong plastik besar yang isinya sudah pasti adalah jamur Kimochi.

Akan terlihat kurang keren 'kan kalau aku hanya menyaksikan seorang cewek yang nampak kesusahan untuk membawa barang berkuantitas banyak itu. Jadi aku segera membantunya. Tapi saat aku melakukannya, ia malah bergidik dan langsung melepaskan pegangannya pada kantong plastik. Untung saja tidak berat, kalau berat bisa-bisa kakiku mesti dirawat di rumah sakit secara intensif.

"A-ah, m-m-maaf!"

Dia segera mengambil kantong plastik yang terjatuh tadi. Ini cewek gugupnya minta ampun, yah. Aku memberikan senyum manis, lalu mengucapkan terima kasih dan mulai melakukan gelagat perpisahan dengannya.

—K.I.M.O.C.H.I—

Sebelum menjual barang dagangan ini, ada satu hal yang membuatku penasaran. Adena itu orangnya seperti apa? Jangan salah, ini bukan berarti aku tertarik padanya atau semacamnya. Tapi tingkah gugup seperti itu membuatku agak kepo.

Eh, tidak biasanya aku jadi begini karena seorang cewek—kecuali Erina, dan si Adena itu. Jadi, sekarang—masih di jam istirahat, aku pergi mencari Erina yang entah ada di mana, setelah menaruh jamurnya di tempat yang aman tentunya (baca: menitipkan pada cewek di kelasku).

Aku menyusuri lorong. Menatap liar pemandangan di sekeliling. Dan secara kebetulan, aku menemukan Erina tengah berbalik badan dan berpapasan denganku yang baru saja muncul dari balik persimpangan lorong. Segera aku menghampirinya dan berujar dengan gaya menyapa.

"Yo, Erina."

"Hn."

Dan seperti biasa, balasannya sangat singkat dengan muka triplek.

"Oh iya, temanmu itu ... orang kayak gimana, yah?"

"Temanku? Oh, yang ke perpustakaan itu?"

Aku mengangguk. Erina mendongakkan kepala, nampak berpikir. Dia bergumam panjang sebelum berujar.

"Dia memang kelihatan malu-malu dari luar. Tapi sebenarnya dia cewek yang tomboy dan sangat sangar kalau lagi marah. Sampai-sampai sering membanting cowok lain yang membuatnya kesal. Ah, bahkan dia pernah melakukan German Suplex ke seorang cowok yang bisa dikatakan sangat gemuk."

Eh? Beneran? Adena itu? Membanting cowok? Terlebih lagi ... German Suplex? Widih, seramnya. Kalau aku melakukan sedikit kesalahan saja di hadapannya, bisa-bisa imej-ku sebagai cowok tampan yang gagah perkasa akan hancur lebur.

"Ah, tambahan. Dia trauma dengan cowok tampan. Katanya kalau ngelihat cowok tampan serasa pengen ngehajar."

....

What!? Trauma!? Dengan cowok tampan!? Trauma macam apa itu!? Jadi sikap gugupnya tadi gara-gara dia parno sama cowok tampan, apalagi tampan se-antariksa kayak aku!?

Instingku mengatakan bahwa dia berbahaya ....

Eits, jangan salah! Bukannya aku takut, loh! Hanya saja ... jujur. Aku trauma dibanting cewek. Mengingatkanku kepada salah satu peristiwa di masa laluku yang sangat kamvret.

Oke, lupakan. Back to the topic.

Baru saja aku mau mengutarakan sebuah balasan, Erina berseru, "Adena!"

Segera aku menoleh ke belakang dan mendapati sosok Adena tengah tersenyum kecut sembari mendekat perlahan ke arah kami. Sialnya, senyumannya itu nampak begitu mengerikan di mataku ....

"A-ah, yahalo, Erina." Adena balas menyapa. Dia langsung berdiri di belakang Erina, seolah-olah berusaha menjauhiku.

"Ah, iya. Kebetulan sekali. Ada yang mau aku sampaikan ke kalian berdua." Erina menjeda, masih dengan tampang tripleknya. "Mulai besok, Adena akan menjadi asisten Kak Bintang."

....

Tunggu dulu. Eh? Apa? Dia bilang apa? Asisten!? Serius!?

Terlihat Adena yang sangat gelagapan sekarang. Mulutnya berkali-kali membuka dan menutup secara cepat. "A-a-a-a-apa ... Rina! Yang k-kemarin itu aku cuma bercand—"

"Hn? Aku sudah berdiskusi sama Ibuku. Sudah, terima saja. Lihat, Kak Bintang senang kok kalau kamu jadi asistennya."

Senang palelu peang! Ini senyum pahit, tau! Segalanya benar-benar berubah menjadi rumit. Kali ini posisiku menjadi semakin terpojok.

Lembaran baru seakan-akan dibuka kembali. Menambah kuantitas dari keping peristiwa yang menyebalkan. Sebab gadis itu—Adena, menjadi salah satu pemicu yang memaksaku menyadari betapa pahitnya diriku di masa kini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro