Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1| Icarus

Kepada-

Saya tidak bisa memanggil namamu. Bahwa kau pun mungkin tak ingin memanggil nama saya. Andaikan saja kau bersedia mengenali saya, sekali lagi. Saya ingin kau mengenal pada bagian yang tertentu saja. Bahwa kita hanyalah bocah yang gemar menghitung bintang dan berlari-lari menantang hujan waktu itu.

.

Aku pernah-tentu saja tanpa sepengetahuan-membaca buku rahasia milik Ica, si cewek pemilik sixth sense. Kupikir aku akan menemukan ramalan, mantra atau gambaran masa depan seperti yang kerap Ica katakan padaku, kalau dia itu keturunan Nyai Roro Kidul. Alih-alih menemukan hal magis, buku kecil yang selalu dibawa-bawa Ica itu hanya berisi omong kosong; Saya ingin makan di warung nasi 'Sedap Padang'. Kalimat itulah yang ada di buku itu. Ditulis penuh sampai berlembar-lembar.

Hari itu, aku merasa sudah dikadali.

"Bumi Rahayu ya, Pak," ucapku pada sopir taksi yang sudah memarkirkan mobilnya di depan lobi bandara. Lelaki tua itu mengangguk dan hendak mengangkat koperku. Dan, sebagai pemuda berfisik kuat, aku menolak halus dan mengangkatnya lebih dulu.

Deru mesin terdengar. Taksi melesat cepat membawaku pergi, melintasi jalan demi jalan di kota yang sudah lama kutinggalkan ini. Hari ini, aku sudah 26 tahun. Sudah sangat dewasa untuk menemui Ica tanpa kemarahan apa pun. Meskipun tak pernah cukup dewasa untuk tidak berhenti bertanya banyak hal tentang Ica dan semua rencana-rencana terselubungnya padaku.

Semakin jauh mobil membawaku pergi, semakin dekat jarakku dengan gadis itu. Jantungku berdebar. Ini akan menjadi pertemuan yang sepi dan sebentar. Namun, di sisi hatiku yang lain, aku tahu, aku akan merasa lega.

Perlahan, aku membuka ransel dan meraih buku bersampul merah. Buku itu milik Ica. Yang ternyata berisikan semua impian Ica dari sejak ia pernah mengalami kecelakaan mobil, dirawat, sembuh, dan akhirnya bertemu denganku. Dulu, sebelum aku angkat kaki dari kota ini, buku itu diserahkan kepadaku dengan harapan aku bisa mengerti dan memaafkan Ica.

Dengan pelan, kubuka lembar demi lembar buku itu.

Sementara itu, pemandangan gedung-gedung pencakar langit, mobil-mobil yang memadati jalan, asap knalpot dan suara klakson yang terus berdengking kini hilang sudah. Berganti dengan suara alam di Bumi Rahayu. Suara katak bersahutan di pinggiran kolam. Burung bubut yang sesekali terdengar, lalu berhenti berbunyi ketika taksi yang membawaku parkir.

Debaran ini semakin berkecamuk, mengalahkan kemarahanku. Entah kenapa aku begitu gugup.

Ini, kurasa, melebih perasaan seorang lelaki yang ingin melamar gadisnya.

***

Kuceritakan sedikit tentang Ica. Tak perlu banyak karena kau bisa terpedaya atau malah jatuh cinta. Ica tipikal cewek unik. Perempuan yang memelihara puluhan ikan di kolam rumahnya, yang kerap menyinggahi rumah jompo untuk sekadar dangdutan bersama para manula, yang selalu hadir di rumah singgah hanya untuk mengganggu, yang selalu menolak pakai payung saat hujan menerpa, yang selalu senang menghitung bintang, dan yang mainan tas dan gantungan kunci mobilnya adalah bintang-bintang.

Namanya Ica. Seorang gadis kaya yang tiba-tiba datang ke dalam hidupku.

Usiaku baru 17 tahun ketika seorang gadis berpostur kecil, bertampang pucat, dan berpakaian serba hitam elegan itu berseru dari pojok warung makan 'Sedap Padang' di terminal. Tempat aku biasa mencari makan dengan mengamen.

Akhir-akhir ini, gadis itu memang suka mampir ke warung tempatku mangkal. Sekadar membeli minuman atau numpang duduk saja. Namun, kali ini ia datang bersama seorang lelaki yang punya tampang menyebalkan. Khas tuan muda yang minta dihormati.

Gadis itu memanggil dan memintaku menyanyikan dua buah lagu yang sangat menghancurkan tembok ke-macho-an milikku; Pudar-nya Rossa dan Tanpa Kekasih-nya Agnez Mo. Dan aku tidak akan melupakan adik lelakinya yang menyebalkan itu. Ia bahkan menyuruhku menyanyikan lagu Tenda Biru. Kalau bukan karena aku sedang cari nafkah, aku pasti sudah menghajarnya. Beruntung dia membayarku dengan jumlah yang sangat besar. Aku menyeringai.

"Suara kamu bagus sekali!" seru gadis itu setelah menyerahkan beberapa lembar uang padaku. Aku mengangguk sekadar sopan santun. Biasa saja sebenarnya. Selama lima tahun aku terbiasa melakukannya. "Kamu mau es jeruk?" tawarnya kemudian. Dia menepuk-nepuk meja di depannya. Maksudnya, aku disuruh duduk. Melihat wajahku berkerut, gadis itu langsung nyengir, mengganti tepukannya ke kursi di sebelahnya.

Tanpa menunggu jawaban ya atau tidak, dengan santai dia melambaikan tangan ke pelayan. Aku menelan ludah. Mengikuti isyaratnya untuk duduk. Entahlah, bagiku dia punya semacam aura 'memengaruhi' atau mungkin juga karena di luar matahari begitu terik.

"Nama kamu Bintang kan?"

Aku terkesiap. Dia boleh saja tahu kalau aku mangkal di sini, tapi tentang namaku, sejak kapan ia tahu namaku? Jadi, dengan bingung aku bertanya, "Siapa kau?"

"Saya juga bintang!" jawabnya riang. Yang pasti, bukan itu maksudku bertanya barusan. "Nama saya Ica. Tapi, saya juga bintang kayak kamu."

Mulai dari sini, aku sudah mikir Ica ini lagi mabuk.

"Oya, ini Aji. Adik saya." Ica menunjuk cowok di sampingnya. Ogah-ogahan, Aji melambaikan tangan. "Kalian seumuran, sih. Tapi, kamu juga bisa anggap dia adik. Asik loh anaknya!" ucap Ica lagi tanpa mengindahkan kalau aku ini orang asing. Di sampingnya, Aji melambaikan tangan lagi.

Aku mendengkus dan menggeleng. Kuanggap dia lagi kurang vitamin. Atau mungkin ini efek orang terlanjur kaya. Seolah kalau adiknya kuculik, dia bisa beli lagi di minimarket. Lagipula siapa yang mau punya adik kayak dia? Biaya sabun mandinya bahkan lebih mahal dari makan sehari-hari.

Aku pun menyeruput sampai tandas es jeruk ukuran jumbo yang baru tiba. Ica menatapku sambil senyum. Sementara Aji menatapku syok. Mungkin baru kali ini ia lihat orang minum tanpa memedulikan estetika di meja makan.

"Jum'at pagi datang ya ke Green House, pakai uang tadi untuk ongkos ke sana," kata Ica akhirnya, menyerahkan sebuah alamat. Jaraknya cuma lima menit kalo naik angkot. Tapi, aku tidak tertarik. Aku, kan cuma mau minum gratis. Dan, selagi Ica dan Aji berdebat kenapa harus ke Green House hari Jum'at, aku memutus drama adik-kakak di depanku itu.

"Kenapa aku harus ke sana?"

Ica memiringkan kepala. "Nanti kamu juga tahu."

Sekilas ia memandangku, mengabaikan tatapan tajam yang kuarahkan. Gadis itu juga memberikan kartu nama. Aku mengangguk seadanya dan pergi dari bangku itu begitu saja. Kembali melantunkan lagu-lagu ke para pengunjung di rumah makan itu.

Dari sudut mataku, dua orang itu sudah menghilang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro