Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog

Katanya, hidup dia terlunta-lunta.

Katanya lagi, hidupnya sial.

Katanya lagi, orang-orang yang dekat dengannya akan mendapatkan kesialan juga.

Mutia memandangi makam basah yang baru saja selesai ditaburi bunga oleh para pelayat, nama nisan itu membuat Mutia terdiam seribu bahasa ditemani oleh burung gagak hitam yang sedang bertengker di atas dahan pohon kamboja.

Shri Kassaleah, dia adalah ibunya.

Ibunya yang baru saja meninggal, kemarin malam Mutia masih bisa mendengar suara Ibunya yang mengatakan kalau dia harus pergi menemui seseorang yang dia kenal. Tapi Mutia tidak tahu apakah itu benar atau tidak.

Buktinya, ayahnya yang tengah memeluknya di sisinya ini tidak mengatakan apa-apa. Berarti, apakah pesan Ibunya hanya pesan selewat saja?

"Sudah? Kita pulang yuk," ajak Ayah kepadanya.

Mutia mengangguk, dia lantas berdiri bangkit dengan segala sisa kekuatan yang dia punya. Hari ini dia sudah banyak menguras emosinya, kesedihannya membuat Mutia melupakan tugasnya sebagai anak sekolah dan bolos sekolah demi menjaga ibunya.

Langkah kaki Mutia berjalan mundur, Mutia melihat makam Ibunya sekali lagi. Di sini, yang ditinggalkan bukan hanya Mutiara saja, tapi ada Ayahnya juga.

"Yah," panggil Mutia pada Ayahnya.

Ayahnya menoleh dengan senyuman tipis yang menyiratkan kesedihan. "Ya?"

"Ayah sedih?"

Namun Ayahnya memberikan jawaban dengan gelengan kepala. "Nggak, kalau Ayah sedih, kasihan Ibu... kita semua harus bisa merelakan apa yang seharusnya pergi, kalau terus dipegang, maka pegangan kita terlalu erat. Kita bisa menyakitinya kapan pun, dan jika sudah begitu, pasti akan ada yang terluka."

Benar. Selama bertahun-tahun Mutia menegaskan bahwa Ibunya pasti akan sembuh dari penyakitnya. "Mm-hm, aku sudah rela sekarang, Yah."

"Bagus..." Ayahnya mengusap puncak kepala Mutia. "Anak ayah harus kuat, harus bisa rela, dengan begitu, hukum alam yang sudah Tuhan tentukan akan berjalan dengan baik."

"Tapi Opa dan Oma malah senang melihat Ibu mati, Yah."

"Jangan dipikirkan," balas Ayahnya cepat dan tersenyum lebih lebar menenangkan hati Mutia. "Semua akan ada balasannya, kamu tahu? Apa yang Tuhan tentukan dan apa yang kita jalani sudah ada takdirnya. Tinggal kita, sebagai manusia yang menentukan."

"Opa dan Oma benci aku dan Ibu selama bertahun-tahun Ayah, apa sebenarnya salah aku dan Ibu?"

Mendapatkan pertanyaan itu, Ayahnya terdiam dan tidak bisa menjawabnya. Lalu, beberapa waktu yang sudah terlewat, langkah kaki yang sudah menjauh dari area pemakaman Ibunya, Mutia baru sadar bahwa ada mobil lain yang terparkir di depan mobil ayahnya.

Ayahnya saling bertatapan dengan pria asing di sana, pria itu berdiri tegap, tubuhnya tinggi besar dan pakaiannya begitu licin dan rapi. Kacamata hitam yang dia pakainya menegaskan bahwa pemiliknya kelihatan tegas dan tidak akan membiarkan dirinya terkena silau matahari siang ini.

Sementara itu, Mutia menggenggam tangan Ayahnya dengan begitu erat, memastikan bahwa Ayahnya ingat bahwa Mutia menunggu dengan penasaran siapa pria yang tengah berdiri dengan sombong itu.

"Sudah waktunya kamu mengembalikan anakku,"

Ucapan pria tinggi besar itu membuat Mutia mengerutkan keningnya, tapi Mutia merasa genggaman tangan Ayahnya lebih erat dan keras daripada sebelumnya. Sampai-sampai Mutia dibuat meringis karenanya.

"Masuk mobil, Mutia." perintah Ayahnya kepada Mutia.

Mutia hampir saja mengangguk, tapi sedetik kemudian tangannya ditarik oleh pria tinggi dan besar itu, pria itu membuka kacamata hitamnya dan alangkah terkejutnya Mutia ketika melihat seluruh wajahnya dari arah dekat.

Dia adalah pria yang Ibunya tunjukkan dari foto yang semalam Mutia lihat...

Wait, siapa namanya...

"Ikut Papa, Nak." katanya kepada Mutia.

Ayahnya menarik tangan kanannya lebih kencang. "Lepaskan anakku berengsek!"

Seumur hidupnya, Mutia belum pernah mendengar ayahnya berteriak emosi seperti sekarang. Kedua mata Mutia mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia tidak kunjung mengerti.

"Mahastra Rekartono!" teriak Ayahnya memanggil pria itu dan melepaskan cekalan tangannya dari pergelangan tangan Mutia.

Ya! Sekarang Mutia ingat.

Nama itu ada di balik foto yang Ibunya beri lihat semalam. Mahastra Rekartono.

"Dia anakku brengsek! Cukup selama ini kamu dan Kassa menjauhkannya dariku!" teriak pria bernama Mahastra itu.

Apa? Apa ini maksudnya?

Ayahnya menonjok pria besar itu lebih dulu, sementara Mutia tersentak di tempatnya. "Jangan berani-beraninya kamu mengakui Mutia sebagai anakmu! Dia anakku!"

Mutia terdiam seribu bahasa. Ini lebih sulit dari apa yang Ibunya berusaha jelaskan semalam.

Pria itu akhirnya bangkit lagi dan tidak membalas pukulan ayahnya. Tapi, pria itu sekarang menjulurkan tangannya meminta Mutia menerima uluran tangannya.

"Sini sama Papa, Sayang... Papa sudah menunggu kamu sejak lama, kamu adalah anak Papa, Mutiara.. kamu anak Papa." ujar Mahastra Rekartono kepada Mutia.

Mutia menggeleng kebingungan, Ayahnya Devano Soeridjo tidak pernah terlihat emosi seperti saat ini. Dengan kilatan mata yang tajam, Ayahnya meminta Mutia untuk masuk ke dalam mobil.

"Mutia tidak dengar Ayah? Masuk ke dalam mobil sekarang!"

Perintah itu bagaikan perintah yang tidak bisa dilarang. Dengan ragu, namun penuh dengan rasa ingin tahu, Mutia tetap memaksakan diri untuk masuk ke dalam mobil karena takut Ayahnya akan semakin lebih marah kepadanya.

Sementara itu, Devano Soeridjo baru saja mendorong dada Mahastra Rekartono. "Kamu sudah berbahagia dengan keluargamu sendiri, sudah dikaruniai dua orang anak dari istrimu itu, untuk apa kamu menginginkan putriku?!"

Mahastra berdecih. "Jangan besar kepala Soeridjo! Kamu hanya diberikan kesempatan untuk hidup bersamanya sejak kecil sebagai ayah sambungnya!" tekan Mahastra dengan tatapan penuh kesombongan. "Bagaimana pun kamu mengatakan dia sebagai putrimu, fakta bahwa darah yang mengalir di dalam tubuhnya adalah darahku! Bukan darahmu!"

"Bajingan..." desis Devano dengan tawa mengejek. "Bicara seperti itu ketika Kassa sudah mati? Dia baru saja ditimbun tanah, dan aku yang mengantarkan petinya ke liang lahat tadi."

Mahastra mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh dan ingin menghajar wajah Devano Soeridjo. Andaikan saja dia tidak ingat bahwa di dalam mobil Ferrari hitam milik Devano itu ada putrinya yang sedang menatap pertengkaran sengit antara Devano dan Mahastra, sudah dipastikan Mahastra akan menghabisi pria kurang ajar yang telah menjauhkan dirinya dari putrinya ini.

"Minggir," usir Devano dengan tegas. "Tidak akan kubiarkan kamu menyentuh putriku!" lalu Devano mengangkat telunjuknya di hadapan wajah Mahastra. "Ingat! Ini adalah permintaan Kassa sebelum dia meninggal, dia tidak ingin Mutia, masuk ke dalam lingkunganmu. Dia memintaku untuk tetap menjaganya, selamanya. Dan karena itu lah, aku bertanggung jawab besar atas kehidupan putriku sendiri. Dia putriku bersama Kassa. Kami berdua yang membesarkannya dengan penuh cinta."

Pada saat itu juga Mutia tahu, dia sudah meragukan dirinya sendiri. Dan potongan-potongan dari hinaan orang-orang di rumah, mulai bisa ia mengerti.

Sejatinya, Mutia memang bukan putri dari keluarga Soeridjo. Melainkan putri dari pria bernama Mahastra Rekartono, yang baru saja memperkenalkan dirinya kepada Mutia secara tidak etis.

Jadi...

Pria itu yang sudah membuat Ibu di usir oleh kedua orang tuanya, dan pria itu juga yang sudah membuat Ibu sakit.

Mutia tidak tahu harus mempercayai siapa. Setelah ini, dia tidak bisa percaya siapa pun.

***

a/n:

Taraaaaa!

Cerita baru selain Amidjaja klan. Mari kira berpetualang ke universe lain. Kayaknya, lain kali aku harus bikin pohon cerita gitu kali ya:)

Ceritaku udah kebanyakan ga si? Takutnya bosen, tadinya mau di take down aja:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro