Bab XVIII
Prabu tidak tahu apa yang dia lakukan ini benar atau tidak, tapi Mamanya benar-benar pulang malam ini ke rumah. Setelah kemarin menemani sang Papa melakukan kunjungan kerja ke Lampung, Mamanya pulang membawa wajah gembur dan sedih secara bersamaan.
Dulu, saat Prabu kecil, Prabu jarang bersama Mamanya. Mamanya masih sibuk melanjutkan kuliah saat dulu Prabu kecil, itu kenapa Prabu sering menghabiskan waktu bersama Atok dan Nek Chiek, tapi setelah kelahiran Tara, Mamanya berhenti total dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.
Meskipun tidak sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga dan mengurusi pabrik Nek Chiek yang ada di Bandung. Tapi, malam ini Mamanya benar-benar menempel kepada Prabu.
Ketika ditanya, Mamanya selalu menggeleng, dan tidak menjawab. Entah apa maunya.
"Kenapa sih, Ma? Tumben Mama nempelin aku melulu hari ini?" tanya Prabu keheranan.
Dewi menggelengkan kepalanya memeluk lengan putranya jauh lebih erat. Langit Jakarta yang gelap dan hawa panas, mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
"Mama rasa... sebentar lagi bakal ada menantu di keluarga kita," gumam Mamanya pelan. "Maaf ya, Kak... dulu Mama nggak kasih restu kamu buat perempuan itu, kamu pasti sedih banget sekarang?"
Dari dulu sampai sekarang, Mamanya tidak pernah menyebut nama Julie dengan sebuah nama, melainkan; perempuan itu.
Prabu menghela napasnya dan menepuk punggung tangan Mamanya yang melingkar di lengannya. "Kenapa Mama tiba-tiba bahas itu lagi? Beneran mau menantu, ya?"
"Nggak..." Dewi menghela napasnya menatap wajah putranya yang jauh lebih memendam rasa sakit hatinya. "Mama tahu kamu nggak akan pernah bilang kalau kamu sakit, tapi Mama tahu Kak, kamu nggak mungkin bisa lupakan dia. Iya, kan?"
Prabu mengangguk jujur. "Ya,"
"Kalau ada kesempatan kamu bakal kasih maaf sama Julie?"
Akhirnya nama itu diucapkan juga oleh Dewi.
"Nggak, Ma." jawab Prabu dengan tegas. "Aku nggak akan kasih toleransi apa pun sama dia, aku memang sudah memaafkan dia, tapi bukan berarti aku bisa kasih kesempatan sama dia lagi."
Ada kelegaan dalam hati Dewi ketika mendengarnya. "Kamu bebas pilih mau perempuan yang bagaimana pun, tapi Mama takut Kak..."
"Takut kenapa?"
"Takut kamu cuman menjalani hidup seadanya, sisanya ya terserah. Jujur sama Mama, pasti hati kamu sudah habis untuk Julie?"
Benarkah? Prabu rasa tidak... mungkin untuk saat ini memang tidak ada perempuan yang dia inginkan apa lagi membayangkan kalau dia harus berani melakukan komitmen kembali, bersama dengan orang baru, itu lah yang memusingkan.
"Kemarin, Tara bilang sesuatu sama Mama." lanjut Dewi lagi.
Prabu menoleh dengan wajah malas. "Kenapa lagi sama si Taragan itu?"
"Dia bilang pengen nikah, tapi ceweknya pengen kerja terus. Nggak bisa dirayu hidup enak katanya."
Mendengar hal itu Prabu tertawa puas. Untuk beberapa hal, Prabu sudah lupa bagaimana kabar cewek kesukaan Tara itu. Eh, apa sudah jadian? "Mutiara sekarang jadi news anchor di Media Global, Ma. Jangan bilang Mama nggak tahu?"
"Tahu!" seru Dewi cepat, setiap pagi dia melihat berita yang dibawakan oleh Mutia pacar anak keduanya itu, dia memang sangat mempesona jadi wajar saja anaknya yang tengil seperti Taragan jatuh hati pada perempuan secantik itu. "Dia memang cantik, Mama nggak bisa bohong."
"Nah, mungkin Mama bisa dapat menantu dari Taragan dulu," ujar Prabu menekan kalimat akhirnya berusaha membuat Mamanya mengerti. "Aku bisa nanti-nanti."
Dewi memukul lengan atas Prabu dan anaknya tertawa tanpa dosa. "Jangan begitu lah, Kak... Mama kan maunya dapat dua menantu dari kalian."
"Aku bakal kasih Mama menantu, masa aja nggak..." rayu Prabu dengan tatapannya.
Dewi mengusap puncak kepala Prabu dan menghela napas lega. "Mama cuman mau kamu buka hati lagi, Kak. Kamu sudah mengikhlaskan, kalau yang sudah diikhlaskan nggak apa-apa dibiarkan pergi saja, tapi Mama kamu mau jatuh hati lagi, sama siapa pun boleh."
"..."
"Mungkin Kakak jadi was-was dalam masalah kepercayaan, tapi... percaya deh, di luar sana ada banyak perempuan yang masih menghargai kesetiaan."
Prabu mengambil tangan Mamanya dan mencium punggung tangannya. "Percaya," ujarnya.
"Janji sama Mama ya, Kak... kalau nanti kamu dapat perempuan yang kamu mau, pastikan kamu cinta lagi sama dia. Cintanya harus besar dari cinta sebelumnya yang pernah kamu kasih ke Julie. Apa lagi kalau istri kamu, kamu harus kasih cinta terbaik kamu sama istri kamu nanti ya?" tatap Dewi tanpa lelah.
Prabu tersenyum. "Pasti, Ma."
Hanya saja belum tahu kapan.
***
Mutia tidak tahu apa yang dia dengar ini benar atau tidak. Orang-orang meminta dirinya untuk mengabarkan kabar berita penting itu. Tanpa tahu apa yang ada dalam benak setiap orang, tapi Mutia tahu bahwa dia benar-benar kehilangan sesuatu dari berita yang dia tahu.
Sudah Mutia bilang, dia tidak boleh terlalu bahagia. Jika dia merasa bahagia, maka sedikit masalah akan muncul menghampirinya. Ada bagian yang membuat Mutia tidak bisa merespons apa pun selain diam.
Ibu negara Indonesia, Dewi Gandari Rahayu meneleponnya pagi tadi dan mengabarkan bahwa pesawat yang ditumpangi oleh Tara hilang kontak, dan sekarang sedang dalam pencarian di area laut Jawa.
Seharusnya, Tara sudah sampai di Jakarta tadi malam. Seharusnya, Tara sudah pulang dan meneleponnya setelah turun dari pesawat. Tapi semalam tadi, Mutia tidak mendapatkan panggilan apa pun dan dia malah tidur dengan nyenyak.
Setelah melakukan siaran berita, Mutia merasa dirinya linglung. Kenapa bisa pesawat itu hilang kontak di perairan Jawa? Kenapa?
Mutia membuka semua pesan masuk dari Tara, tidak, Tara tidak mungkin meninggalkannya tanpa kabar. Setiap hal yang akan Tara lakukan pasti akan dikabari kepadanya.
Tara... lo dimana?
Lo nggak bercanda, kan?
Itu bukan pesawat yang lo tumpangi, kan?
Begitu banyak pertanyaan yang Mutia kirimkan pada ruang chatting itu. Tolong... Mutia sudah kehilangan Ibunya, apakah dia juga harus kehilangan Tara selamanya?
Tolong Tuhan....
"Mut!" Produser Gabriel datang memeluknya. "Timsar sudah temukan puing-puing pesawat IDN-Air."
Kedua mata Mutia terbuka dengan lebar. Semua orang yang ada di studio tahu kalau kekasih Mutia ada menjadi salah satu bagian dari kecelakaan pesawat itu.
"Its okay, lo boleh pulang." kata Gabriel kepada Mutia. "Biar breaking news di handle Naka aja."
"Mbak Gab..." panggil Mutia dengan lirih.
Gabriel menatap kedua mata Mutia. "Iya? Kenapa?" tanyanya panik, benar-benar panik karena jika dia di posisi Mutia Gabriel belum tentu bisa sekuat Mutia.
"Kasih tahu gue kalau ini semua bohong... salah input berita, kan? Iya, kan?" desak Mutia dengan kedua mata yang khawatir.
Bagaimana Gabriel mengatakannya? Bagaimana?
"Sudah ada yang jemput lo," kata Gabriel mengalihkan pembicaraan. Wajah Mutia sudah diselimuti oleh kekhawatiran dan kecemasan yang tidak ada ujungnya. "Yuk, gue bantu ya? Mana barang-barang lo—"
"Ada Mutiara?"
Mutia menoleh dengan wajah kusut, pucat pasi, sementara orang yang baru saja memanggil namanya adalah; Prabuanta. Kakak dari Taragan. Pria yang saat ini menatapnya kelihatan lebih kalut daripada dirinya, namun pria itu tidak menunjukkan secara terang-terangan.
"Saya diminta untuk jemput kamu oleh Mama," katanya mendekati Mutia.
Tapi Mutia masih bergeming di tempatnya, memandangi kedatangan Prabu ke arahnya sambil berkata. "Mas..."
"Ya?" jawab Prabu pelan.
"Tara nggak benar-benar pergi, kan?"
Prabu tidak menjawabnya, tapi pria itu mengulas senyuman tipis yang bahkan tidak seperti kelihatan senyuman. Ada banyak luka dalam senyuman tipis itu, salah satunya adalah kehilangan.
Bukan hanya Mutia saja yang kehilangan, tapi Prabu juga.
"Kita pantau dari rumah, ya? Timsar sedang mencari para korban—"
Belum sampai Prabu menyelesaikan kalimatnya, Mutia sudah pingsan andaikan Prabu tidak menahannya kepala gadis itu akan terantuk dengan ujung meja kaca di depannya, Prabu buru-buru membopong Mutia dan pamit kepada semua rekan kerja Mutia.
Semua orang hampir berteriak, dan satu hal yang baru diketahui oleh orang-orang Media Global adalah, Mutia kekasih dari anak Bapak Presiden Indonesia. Ya, berita itu akan tersebar secepat mungkin.
***
"Cok!" ujar salah satu kepala departemen produksi kepada kameramen, Danny, setelah mendengar desas desus kecelakaan pesawat IDN-Air yang menelan banyak korban setelah hilang kontak. "Pantas saja gue dekati nggak pernah respons ternyata cowoknya dia anak Bapak RI 1."
Danny tertawa mengejek kepada seniornya itu, Nicko Bramasta memang tidak pernah percaya kepadanya. "Lo sih, nggak pernah percaya kalau gue kasih tahu, Mas."
"Lo tahu sejak kapan?"
"Sejak pacarnya jemput Mutia, kalau nggak salah cowoknya satu tongkrongan sama adik gue, dia Taragan Pattiradjawane, nama Pattiradjawane di Indonesia siapa lagi kalau bukan Teuku Rajash Pattiradjawane Bokapnya."
Nicko berdecak heran sambil membuang napas bersamaan dengan asap vape yang dia hirup. "Tapi sekarang tuh anak Presiden udah meninggal, menurut lo jasadnya bakal ditemukan nggak kalau sudah di dalam air begitu?"
Danny menggeleng tak tahu. "Nggak tahu, kalau mukjizat yang ditemukan, kalau nggak paling tabur bunga langsung di laut."
"Gara-gara anak Presiden itu, saham maskapai IDN-Air jatuh habis-habisan, padahal ya namanya celaka pesawat mah takdir!" kata Nicko lagi. "Gue bisa sih, mulai dekati Mutia, lagi berduka gitu gue bakal temani dia,"
"Kayak anaknya mau aja," balas Danny sangsi, karena Danny pernah tersinggung oleh sikap Mutia, gadis itu benar-benar berat bibir dan berat menjawab. "Gue tanya aja anaknya nggak pernah nyahut!"
Nicko menggeleng tak percaya. "Serius lo? Masa lo diabaikan Mutia?"
"Serius," Danny tersenyum miring. "Lo coba aja, paling mental lo yang kena."
"Halah!" Nicko mengibaskan tangannya dengan enteng. "Gue memang suka yang menantang kok,"
"Coba aja! Kalau lo bisa buat dia move on dari cowoknya yang udah meninggal itu, gue kasih saham gue yang udah masuk bursa efek!"
"Serius ya?" Nicko maledeni tantangan Danny. "Gue soalnya nggak bakal nyerah buat pepet si Mutia,"
"Coba aja."
***
Ketika Mutia bangun, suara sayup-sayup tangisan dan heningnya ruangan yang dia tempati membuat Mutia mengernyit heran. Di depan matanya, ada lemari besar berisikan beberapa figur mainan mahal, ada satu gitar akustik, dan speaker Marshall yang tidak asing di mata Mutia.
Kemudian Mutia memaksakan dirinya untuk bangun, pakaiannya masih sama seperti saat dia bekerja. Blazer, blouse, rok span selutut dan... Mutia langsung tahu dia ada dimana. Dia ada di kamar Tara!
Spontanitas Mutia langsung menyala saat itu juga. Mutia berdiri terburu-buru dan berlari keluar dari kamar Tara, fokusnya hanya satu, mencari keberadaan Tara di rumahnya yang besar ini.
"Tara!" panggil Mutia sambil berteriak. "Tara lo dimana?"
"Tara!"
Ketika Mutia masuk ke dalam ruang tengah, dia menemukan satu foto Tara dengan bingkai cukup besar di hiasi oleh rangkaian bunga. Sementara para keluarga telah memakai pakaian hitam, ada Dewi Gandari Rahayu yang tengah menangis sambil memeluk pigura foto Tara, ada beberapa wartawan yang tengah berjaga di luar sana, sisanya para aparat yang mengamankan setiap sisi rumah.
"Ta-tante..." gumam Mutia memanggil sang Ibu Negara yang dia kenali. Hanya Dewi Gandari Rahayu yang Mutia kenal di ruangan itu. "Tante..." panggilnya lagi.
Dewi mengangkat wajahnya, langsung berlutut dan menengadahkan kedua tangannya meminta Mutia agar mendekat. "Nak... sini..." ajaknya.
Mutia masih linglung, semua orang menatapnya. "Tante..."
"Tara... sudah tiada," bisik Dewi kepadanya. "Tara sudah berpulang,"
Ucapan itu seakan menjadi guntur yang membebat semua pikiran dalam otak Mutia. Dia tidak pernah menyangka kalau Tara benar-benar akan pergi meninggalkannya. "Maafin Tante... maaf,"
Kenapa?
Kenapa Tara?
Katanya lo ingin menemani gue kapan pun. Katanya, lo nggak akan pergi kemana pun. Kenapa sekarang lo nggak pulang? Gue di rumah lo, Tara.
Katanya lo mau ajak gue menikah. Tapi kenapa lo malah pergi?
Katanya, lo siap menafkahi gue, sekarang gue mau Tara... asalkan lo pulang...
Dan baru saat itu, Mutia menangis.
Baru kali ini, Mutia menangisi orang lain, bukan menangisi kehidupannya.
Baru kali ini, Mutia merasakan rindu teramat sangat dan ingin merengkuh Tara ke dalam pelukannya.
Dan baru kali ini, Mutia tahu kalau dia sudah kehilangan orang yang dia cintai.
Mutia mencintai Tara. Tara sudah menguasai hatinya, dan Mutia menyayangi cowok itu. Kenapa Tuhan harus mengenalkan Tara kepadanya kalau akhirnya Tara diambil darinya?
"Tante..."
"Sini, Nak... sini..." Dewi memeluk Mutia dengan begitu erat, menyalurkan kesedihan mereka secara bersamaan.
Dan dilihat oleh para keluarga dan kerabat terdekat, semua orang tahu—Shri Anantari Mutiara, si penyiar berita tercantik di Indonesia itu adalah calon menantu Pattiradjawane. Begitu katanya, dan kabar itu dimanfaatkan oleh para wartawan hingga nama Mutia merajalela di setiap pemberitaan.
Tanpa memedulikan perasaan sedih keluarga korban, berita dan gosip alih kiblat memfokuskan hal yang tidak penting dibandingkan rasa duka. Sementara Bapak RI 1 dilarang untuk menunjukkan rasa sedihnya, dia adalah Bapak dari para rakyat, masih ada banyak hal yang harus di urus, untuk waktu berduka untuknya bisa ia telan diam-diam.
Asalkan negara harus tahu, Presidennya baik-baik saja. Presidennya mengikhlaskan kepergian sang anak, presidennya tetap fokus pada pengabdiannya akan negara. Meskipun banyak ucapan belasungkawa kepadanya, Presiden tidak boleh kehilangan arah, Teuku Rajash Pattiradjawane haru tetap fokus.
Setiap dalam doa dan sujudnya, jika benar mukjizat Tuhan itu ada, Rajash hanya minta; semoga anaknya diberikan tempat paling indah di sisi Tuhan. Semoga anaknya mendapatkan ketenangan, meskipun sampai saat ini pun jasad dari anaknya belum ditemukan.
Presiden meminta; jangan terlalu fokus pada pencarian anak saya saja, para orangtua, anak dan saudara pun sama berdukanya dengan saya. Cari semua korban penumpang IDN-Air tanpa pandang bulu.
Ya, dengan begitu, sebagian rakyat yang tidak menyukainya tidak akan mencelanya. Tidak ada kesempatan untuk membuat kericuhan di sela-sela waktu berduka ini, karena Teuku Rajash Pattiradjawane sudah percaya, anaknya pasti pulang dan diterima di tangan Tuhan.
***
a/n:
Maaf banget, takdir berkata lain🙏🏻
Jangan hujat aku plis 🙏🏻
Senin, 24 Februari 2025.
p.s; muncul2 bikin orang mati 😭
Best Regards,
Her.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro