Bab XVI
After Party wisuda tahun 2023 fakultas ekonomi dan bisnis diadakan di salah satu lounge hotel Jakarta yang sangat mewah. Tidak semua bisa masuk, karena satu lantai lounge Cafe itu sudah dipesan untuk merayakan after party graduation. Tara sengaja mengajak Mutia, karena katanya fakultas Mutia sama sekali tidak membuat acara after party, ya sangat membosankan.
Setelah melewati hari ini dengan berbagai huru-hara, Mutia dibawa ke sana kemari oleh Tara, tidak dibiarkan istirahat atau lengah sekali pun. Cowok itu sudah meminta izin kepada Papa dan Ayahnya untuk membawa Mutia menikmati hari wisudanya. Dari mulai foto studio bersama Tara tadi. Mutia tidak yakin hasil fotonya akan baik, tapi jika menggunakan jasa fotografer sudah pasti akan bagus, kan?
Karena yang paling penting, entah kenapa Mutia dan Tara tiba-tiba saja serasi dalam hal berpakaian. Kebaya yang Mutia pakai tadi saat wisuda memang kebaya Bali berwarna hitam dan Tara pun memakai suit berwarna hitam.
Dan sekarang, Mutia sudah di rubah agar menjadi perempuan dalam satu malam, mengenakan dress sepanjang lutut, dengan model off shoulder yang memperlihatkan kedua bahunya yang mulus. Mutia sebenarnya kurang nyaman memakainya, tapi dibandingkan dress-dress lain yang ada di ruang ganti rumah Pattiradjawane hanya dress yang dipakainya cukup waras.
Ternyata lingkup pergaulan Tara begitu luas, sangking luasnya Mutia heran kenapa cowok itu harus memilih dirinya kalau ternyata banyak cewek cantik di FEB.
Lihat, bagaimana modis dan kerennya mereka malam ini. Wajah yang sudah ditata sekian rupa cantiknya, tak lupa juga dengan makeup yang on point, anak FEB memang selalu menjadi bahan perbincangan jika di kampus. Tidak pernah sekali pun mereka kelihatan jelek atau pun kucel.
Sementara untuk fakultas bahasa dan sastra, bagaimana Mutia menjelaskannya? Ada kok, yang keren juga, tapi sebagian... weird. Bukan Mutia menjelekkan tapi setiap fakultas memang memiliki ciri khas masing-masing.
"Oh... Tara, mainannya sekarang backstreet pantes yang satu ini di kekep terus." sahut temannya yang lain ketika melihat Tara menggandeng tangan Mutia.
Tara menyimpan telunjuknya di depan bibir dan berkedip cepat kepada temannya itu. "Jangan berisik, cewek gue sensitif dengerin omongan lo."
"Kampret!" katanya kepada Tara, lalu cowok itu melirik Mutia lagi dengan tatapan hangat. "Sini kenalan dulu dong... Mutiara anak Sastra, ya?"
Mutia mengangkat alisnya, kenapa teman-teman Tara bisa mengenalinya?
"Udah-udah, jangan godain cewek gue!" Tara mengibaskan tangan temannya yang hendak mengajak Mutia berjabatan tangan.
"Kenalan doang Tara!" protes cowok itu.
"Nggak boleh," kukuh Tara menggeleng, "Tanpa kenalan aja kalian udah tahu nama cewek gue!"
"Sialan!"
Semua tawa di sana terdengar sangat ramah, teman-teman Tara welcome mempersilakan Mutia untuk ikut bergabung, sementara Mutia si manusia introvert ini bingung dia harus melakukan apa. Sepertinya tidur lebih nyaman daripada harus bergabung after party ini, entah kenapa baru bergabung lima menit saja Mutia sudah merasa lelah.
"Kenapa?" tanya Tara memberikan orange juice kepada Mutia. Tapi sebelum dia benar-benar memberikannya kepada Mutia, Tara meminumnya sedikit dengan dahi berkerut, merasai secara perlahan lalu mengangguk dengan senyuman tipis.
"Kenapa lo coba minuman gue?" tanya Mutia heran.
"Ngecek, safety first." jawab Tara sambil tersenyum kepadanya.
Mutia sama sekali tidak mengerti.
Tapi sepanjang acara itu, melihat bagaimana salah satu dari teman Tara bernyanyi, bahkan ada yang menyatakan cinta secara langsung, banyak acara yang diadakan secara dadakan dan semuanya benar-benar hangat. Kekeluargaan anak FEB ini patut diacungi jempol.
Mutia tidak bisa melepaskan pandangannya dari tautan tangannya yang tidak pernah dilepaskan oleh Tara. Tara menggenggam tangannya yang kecil dengan hangat, gentle dan Mutia merasa bahwa dia benar-benar dimiliki oleh Tara.
"You okay?" tanya Tara mendekat ke telinganya.
Terpaan napas Tara yang hangat membuat Mutia terkejut dan menjauhkan wajahnya. Dilihatnya wajah Tara yang begitu tampan malam ini, kenapa sih Mutia baru sadar sekarang? Kalau ternyata Tara itu sangat... menawan.
"Hei," panggil Tara, kali ini tangan satunya memeluk pinggang Mutia dan tubuhnya digeser hingga merapat dengan tubuh Tara.
Sebagian tubuhnya bersandar pada tubuh Tara, tangan kiri Tara sudah memeluk perutnya dari belakang dan cowok itu menyimpan dagunya di atas bahu kanan Mutia. "Happy graduation," bisiknya kepada Mutia. "Minggu depan lo beneran bakal kerja di Media Global, gue belum tahu bakal masuk divisi mana nanti di kantor Papa." katanya kepada Mutia.
Mutia menolehkan wajahnya. "Lo juga bakal kerja?"
"Iya dong, harus kerja cari duit buat nafkahin lo nanti,"
Mutia berdecih mendengarnya, Tara terkekeh pelan sambil melihat kelakuan teman-temannya di atas stage yang sedang bernyanyi. "Mau rumah segede apa? Biar gue cari dari sekarang."
"Tara..." Mutia tidak bisa menahan senyumannya.
"Kalau nikah muda mau nggak?" ajak Tara lagi.
"Gue pengen cari duit dulu!" balas Mutia geram.
Tara berdecak mengeratkan pelukan di perut Mutia. "Duit mulu yang lo cari."
"Ya iya lah! Gue hidup pakai duit ya, Tara. Bukan cuman kata-kata gombal dari lo!"
"Iya-iya si paling realistis." sindir Tara dengan jahilnya. "Serius, gue lagi punya tugas dari Mama."
"Apa? Tugas apa?"
"Cari cewek buat si Prabu,"
"Aih..." Mutia menoleh dengan wajah heran. "Kenapa harus dicari?"
"Ya kan... semenjak putus sama si bule gatal itu Mas gue kayak kehilangan gairah hidup, Mutia."
Mutia lantas mengangguk. "Terus, lo mau cari cewek buat Mas lo dimana? Kenapa nggak di sini? Mungkin teman lo ada yang cocok buat—"
"Nggak ada," balas Tara cepat. "Anak-anak cewek FEB nggak ada yang beres, Mas gue itu butuhnya calon istri, Sayang..."
Mutia terkekeh pelan, dan kemudian kedua matanya benar-benar diserang kantuk. "Bisa nggak kita pulang sekarang?" tawar Mutia.
Tara melihat kedua mata Mutia yang memang sudah memerah. "Cepet banget ngantuknya? Foto dulu di booth sana mau nggak?" tunjuk Tara pada salah satu sudut ruangan.
"Foto berdua?"
"Iya,"
"Kan tadi udah..." protes Mutia.
"Yang tadi beda, yuk!" ajaknya.
Mutia mengikuti Tara yang mengajaknya masuk ke dalam salah satu booth tempat foto itu. Ruangannya memang cukup sempit, tapi ya lumayan juga.
"Empat kali aja," pinta Mutia tidak mau memilih grid foto yang banyak.
"Sebentar,"
Tara mulai mengatur posisi, berdiri dibelakang Mutia dan memeluk Mutia dari belakang. Ketika timer mulai berjalan, Tara mencium pipi kanannya tiba-tiba dan hal itu membuat wajah Mutia gagal berekspresi.
"Tara!"
"Itu timer-nya mulai lagi!" potong Tara agar tidak kena protes.
"Kampret!" maki Mutia secara terang-terangan.
Pose yang kedua Tara dan Mutia tersenyum, ketiga Mutia menutupi wajahnya karena malu, dan yang keempat Tara memandangi sisi wajah Mutia yang berusaha tersenyum lagi kepada kamera.
Setelah selesai, foto itu di print dan Mutia benar-benar tidak habis pikir kenapa Tara bisa-bisanya mencium pipinya. Kantuk yang dia rasakan tadi sudah menghilang jadinya!
"Ih! Cium-cium lo!" protes Mutia sambil menggaplok punggung Tara yang keluar dari photobooth itu.
Tara tertawa, berbalik sebentar lagu berkata. "Tanda cinta." begitu katanya.
Mutia ingin menyangkal, tapi entah kenapa dia tidak bisa. Mungkin apa yang Tara katakan juga ada benarnya. Duh, sialan... Mutia benar-benar tidak bisa kemana-mana kalau begini caranya, Tara benar-benar mengikat hatinya.
***
"Lo sinting?"
Pertanyaan itu Prabu ajukan kepada adiknya yang sinting tidak ada dua. Semenjak kejadian dimana dia memutuskan Julie di apartemennya, Prabu tidak pernah kembali ke apartemennya dan pulang ke rumah orangtuanya. Sebenarnya Prabu juga punya banyak properti lain, tapi mengingat rumah orangtuanya ada manusia yang bisa dia ganggu Prabu memutuskan untuk tinggal di sini saja.
Tapi ternyata bukan dia yang mengganggu Tara, tapi dirinya lah yang diganggu oleh bocah sialan itu.
Entah ada angin darimana, Tara membawa tiga cewek asing yang... bagaimana Prabu menjelaskannya? Tapi Tara mengatakan bahwa ketiganya adalah kandidat calon istri untuknya. Sumpah, Tara memang sintingnya tidak ada dua.
"Gue nggak sinting, tiga cewek dibawah utusan Mama sama gue, dua pilihan Mama, satu pilihan gue." kata Tara berujar dari balkon atas rumah.
Tiga cewek itu sedang duduk manis di sofa ruang keluarga, tampak sedang memandangi satu sama lain. "Gue nggak mau!" bantah Prabu sambil balik badan.
Tara buru-buru menahan lengannya. "Dengerin dulu bego! Lihat sini," paksanya sambil menunjuk cewek berambut panjang berwarna ash brown itu. "Dia Laddia, teman gue—no, temannya Mutia sih yang paling tepatnya, Laddia itu salah satu the mist wanted di kampus—"
"Menurut lo gue peduli sama hal begituan?!" protesnya kepada Tara. "Dia bocah—"
"Bocah-bocah begitu, dia dewasa kok, kata Mutia—"
"Skip, gue nggak main sama anak kecil."
"Ya ampun, beda delapan tahun doang—"
"Ya itu sama kayak gue sama Mutia, beda delapan tahun, bangke lo!"
Tara berdecak. "Ya udah, lanjut ya dua pilihan Mama. Yang satu, anaknya Pak Gading Wongsoredjo, dia anak perempuannya Keihly Wongsoredjo, anaknya nggak banyak neko-neko kata Mama, terus dia juga yang punya Yayasan penyalur tenaga kerja perempuan di desa-desa kecil biar berkembang di kota besar,"
"Skip," balas Prabu dengan wajah datar.
"Jangan main skip dulu bego, kata Mama lo tahu kan... gimana keluarga Wongsoredjo?"
"Apa? Kenapa?"
"Mama bilang, kalau menikah itu memang harus cari yang terbaik, kalau gue lihat peluang lo menikah sama si Wongsoredjo ini bakalan mantap. Kakaknya juga dijodohin sama salah satu Amidjaja."
"Soal harta lagi?" sindir Prabu.
Tara menggeleng dengan wajah serius. "Bukan cuma harta, Wongsoredjo cuman punya anak perempuan, dan kemungkinan dia memang butuh menantu laki-laki yang mapan dan pintar, itu kenapa yang satu kakaknya dijodohin sama Amidjaja. Sekarang, Wongsoredjo Group sudah jadi perusahaan investasi, perusahaan industri tembakau itu bakal berjalan terus menerus di masa depan nanti."
"Sotoy!" ledek Prabu.
"Gue serius Prabuanta!" Tara memegangi lengan kakaknya dengan sangat erat. "Atok juga bilang yang sama kayak apa yang gue bilang, orang-orang nggak akan berhenti merokok sampai akhir zaman."
Prabu terkekeh pelan mendengar teori itu. "Terus gue harus apa?"
"Pilih Wongsoredjo itu," balas Tara dengan delikan mata. Begitu saja Prabuanta tidak mengerti.
"Nggak tertarik, yang satunya gimana?"
"Dia Aqmarina Adaninggar," jelas Tara memperkenalkan cewek terakhir.
Wajahnya kelihatan sepet dan merasa terpaksa berada di rumahnya, cewek itu kelihatan sudah muak berada di satu tempat dengan dua cewek lainnya.
"She's a model, tahun lalu dia jadi faces of UNICEF, jelas keren nggak sih? Dia punya figur wajah malaikat begitu? Kabar burungnya, tahun ini dia bakal masuk audisi Miss Indonesia, tuh lihat! Mama sama gue tuh benar-benar picky banget kalau soal cewek buat lo tuh!" katanya dengan bangga.
Memang dari ketiga cewek itu, Aqmarina Adaninggar memang cukup menarik di mata Prabu. Tapi tetap saja, entah kenapa rasa penasarannya sudah melempem lebih dulu karena malas untuk mengenal lagi. Masa-masa pengenalan adalah masa terberat menurut Prabu karena dia harus berusaha memahami mengenal karakter perempuan itu.
Ada banyak perdebatan dalam batin dan logika yang tidak akan bisa ditahan. Dari mulai ketidaksinkronan, ketidaksukaan, dan berbagai macam lainnya yang bisa mengundang ilfeel. Prabu memang tidak mudah ilfeel, tapi dia benar-benar picky jika urusannya perempuan.
Itu sebabnya, bagi Prabu, Julie sudah sangat pas untuk dirinya. Pertama, dari segi pendidikan Julie setara dengannya. Kedua, dari segi cara berpikir Julie juga seimbang dengannya. Ketiga, dari segi cara menilai kehidupan Julie tidak ribet.
"Demi Tuhan gue malas..." ujar Prabu dengan serius tanpa menutup-nutupi. "Gue nggak tertarik."
Tara langsung menurunkan kedua bahunya dengan lesu, dia memandang Prabu dengan penuh dendam. "Lo mau yang kayak Julie? Nggak ada bule masalahnya Mas!"
"Bukan soal Julie, Taragan! Gue nggak bisa dipaksa."
"Jadi..." Tara termenung. "Lo nggak mau?"
Prabu mengangguk. "Ya, nggak mau."
"Bangsat." maki Tara dengan kesal. "Terus gimana? Gue suruh pulang mereka?"
"Ya," jawab Prabu dengan datar. "Gue harus meeting satu jam lagi, jangan lagi bawa-bawa cewek untuk gue." katanya sambil berlalu menuju kamarnya.
"Bangke!" maki Tara melihat kepergian sang kakak, hidung sudah kembang kempis memikirkan nasib dirinya sendiri, bagaimana caranya meminta para cewek itu untuk pulang tanpa hasil?
Berkenalan saja tidak mau. Dasar Tarzan satu itu, memang sulit diajak kompromi!
***
"Aku beneran masuk Media Global karena orang dalam, ya?"
Pertanyaan anaknya itu membuat Mahendra menoleh, setelah wawancara interview tadi, anaknya malah banyak melamun dan nyawanya seperti tidak ada dalam raganya.
"You okay?" tanya Mahendra selagi menyetir.
Keduanya akan jalan menuju mall Grand Indonesia untuk mencari makan siang, dan Mahendra sudah berjanji akan membelikan beberapa pakaian, tas, sepatu yang Mutia butuhkan untuk bekerja nanti.
Mutia menggeleng melihat padatnya jalanan Jakarta siang ini, interview tadi kelihatan sangat mencurigakan dan sang HRD hanya oke-oke saja terhadapnya. Tidak ada sanggahan lain, dan bahkan banyak memuji Mutia apa itu semua... hanya buat-buatan saja?
"Aku beneran diterima kerja? Tadi HRD nggak bohong kan, Pa?" tanya Mutia kepada Mahendra.
Mahendra terkekeh geli melihat sorot wajah Mutia yang polos. "Kamu beneran diterima di sana, nama kamu minggu depan bakal resmi jadi News Anchor Media Global."
"Serius?" tanyanya lagi.
"Iya Sayang..." Mahendra mengusap puncak kepala Mutia. "Mereka bilang, skill public speaking kamu bagus, intonasi kamu saat bicara juga tenang, makanya tadi mereka suruh kamu baca prompter, kan?"
Mutia mengangguk. "Ya, aku gugup banget tadi, tapi untungnya semuanya lancar."
"Kamu sudah berusaha sebaik mungkin hari ini!" balas Mahendra memuji anaknya. "Kamu tahu? Papa kenal komisaris utama Media Global,"
"Oh ya? Who?"
"Denok Amidjaja, istri teman Papa Luki Amidjaja, kamu kenal mereka?"
Mutia menggeleng. "Sekilas aku pernah dengar nama Luki Amidjaja."
"Dia salah satu CEO Amidjaja Petroleum,"
Mutia menutup mulutnya sendiri. Amidjaja Petroleum? Gila, perusahaan pertambangan minyak terbesar di Indonesia? "Wah..."
"Itu kenapa, Papa minta kamu langsung kepada dia biar kamu bisa kerja dengan nyaman." ujar Mahendra membelokkan mobilnya ke salah satu mall terbesar di Jakarta itu. "Papa ingin memastikan kamu nyaman, dan lancar. Jangan pikirkan apa-apa lagi, kamu berhak mendapatkannya,"
Mutia menahan air matanya yang hendak turun. "Aku jiper banget tadi, kakiku gemetar waktu masuk gedung sebagus itu... nggak nyangka aku bakal kayak cewek-cewek Jakarta yang keren itu, kerja di gedung kantoran yang keren, aku beneran bisa gitu ya, Pa?"
Mahendra tidak tahu kalau hal yang bahkan tidak ada apa-apa di matanya ternyata sangatlah berharga untuk Mutia. "Kamu bisa lebih keren dari apa yang kamu pikirkan," jawab Mahendra dengan senang. "Dulu Ibu kamu juga keren banget, kamu pasti bisa lebih keren dari Ibu kamu."
"Oh ya?" Mutia terkekeh pelan. "Aku mau potong rambut sama kayak Ibu waktu dia jadi penyiar berita, rambutnya segini," kata Mutia menyentuh lengan atasnya, "Ibu kelihatan cantik banget, Pa."
"Sangat!" Mahendra tidak bisa menyembunyikan cintanya kepada Kassa. "Kamu lebih cantik dari Ibumu,"
Mutia tertawa lalu memeluk Mahendra setelah Mahendra melepaskan safety belt-nya. "Terima kasih Papa, maaf ya... kalau aku banyak merepotkan Papa."
"No, jangan bilang begitu," Mahendra mencium kening putrinya. "Kamu nggak merepotkan sama sekali, Papa sayang kamu Mutiara..."
"Mutia juga sayang Papa."
Sesimpel itu, Mahendra menginginkan segala yang dia miliki di dunia ini untuk putrinya.
***
a/n:
Soswiiittt betul 🥰
Maaf baru bisa update lagi 😭
Selasa, 28 Januari 2025.
Best regards,
Her.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro