Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab XV

Mutia tidak bisa dihubungi. Tara stres bukan main, cewek itu menghilang tidak ada kabar, sudah mendatangi rumah barunya yang ada di Jagakarsa pun kosong, di restoran BBQ pun tidak ada, akhirnya Tara mengirim pesan direct message lewat Instagram kepada teman bencong nya Mutia si Agung-Agung itu, tapi hasilnya nihil.

Sebab ini adalah pertama kalinya Mutia menghilang tanpa kabar. Biasanya cewek itu akan mengabarinya atau tidak membalas pesan Tara meskipun secara singkat, padat dan jelas.

"Dimana lo..." geram Tara kesal melihat panggilan dari ponsel Mutia menunjukkan nomor cewek itu sedang tidak aktif.

Tara berterima kasih kepada seorang ajudan Papanya, Retno yang telah membawakan beberapa suit untuk dia pakai besok di hari wisuda. "Mas, coba dipilih dulu, tadi Ibu bilang sama saya Mas jangan pilih jas yang terlalu kecil."

Tara melihat jas Tommy Hilfiger dan menyentuhnya sekilas, berpaling lagi pada jas Thome Browne, terus begitu sampai dia menyentuh sampai salah satu jas dari Loro Piana.

"Betul Mas, yang itu saja." timpal Retno kepada Tara. "Ibu bilang Loro Piana saja, tapi..." Retno tersenyum canggung. "Kembali lagi sama Mas."

"Yang ini saja, Mbak." kata Tara menunjuk jas Tommy Hilfiger. "Nanti simpan di kamar saya, ya. Saya ada urusan dulu."

Retno mengangguk. "Baik, Mas."

Setelahnya Tara pergi menuju garasinya mengambil mobil. Dalam hitungan dua puluh empat jam Mutia tidak ada kabar itu benar-benar aneh.

Menjalani mobilnya menuju kosan Mutia, satu-satunya feeling yang Tara yakini adalah kosan cewek itu.

Memarkirkan mobilnya di depan gerbang kosan Mutia, Tara mengingat bagaimana gilanya dulu dia selalu mengawasi Mutia pergi ataupun pulang kerja, meskipun jarang mendapatkan respon yang baik dan cewek itu selalu pergi meninggalkannya. Jalan satu-satunya mendekati Mutia memang menghilangkan rasa malu dalam dirinya.

Naik ke lantai dua, Tara lupa nomor berapa kamar kosan Mutia, tapi kalau tidak salah nomor sebelas. Tara mengetuk pintu kamar itu secara perlahan, berharap sang pemiliknya benar-benar ada di dalam.

Tak sampai satu menit, tiga kali ketukan di ulang oleh Tara, suara kunci pintu yang memutar membuat Tara terkejut bukan main.

Mutia membuka pintu kosannya dengan wajah acak-acakan, pucat, berantakan, dan kedua mata yang... sembab.

"Beneran di sini ternyata?!" pekik Tara langsung memeluk Mutia ke dalam pelukannya. "Kenapa telepon lo nggak aktif?" tanyanya kepada Mutia.

Tapi Mutia malah menggeleng dengan lemas nya. "Kenapa lo tahu gue ada di sini?"

Tara melepaskan pelukannya, merangkum wajah mungil Mutia dengan kedua tangannya. "Terus dimana lagi gue harus cari lo? Di rumah baru lo pun nggak ada."

Mutia merapikan anak-anak rambutnya dan mengikat rambutnya dengan rapi. "Gue capek, mau tidur—" katanya hendak menutup pintu kosannya kembali.

Untungnya Tara bergerak cepat dan masuk ke dalam kosan Mutia. "Gue temani,"

"Tara—"

"Kalau lo nggak bicara gue nggak akan tahu. Gue punya salah, ya?" tanya Tara dengan wajah muram dan frustrasi.

Melihat ekspresi wajah Tara yang sendu membuat Mutia merasa serba salah. "Nggak, gue—" Mutia menghela napasnya yang terputus-putus karena baru saja menyelesaikan tangisannya tadi. "... gue lagi pengen sendiri."

"Nggak boleh," geleng Tara tegas. "Sini," ujarnya sambil memeluk Mutia kembali. "Kenapa? Kenapa sedih begini? Siapa yang udah buat lo sedih?"

Mutia menggelengkan kepalanya membenamkan wajahnya di ceruk leher Tara. "Hm? Kenapa?" tanya Tara dengan sabar.

"..."

"Besok kita wisuda lho, kalau sekarang lo kebanyakan nangis nanti matanya bengkak," gurau Tara kepada Mutia.

Tapi Mutia tidak menanggapi candaannya dan malah menimpakan bobot berat badannya kepada Tara hingga Tara memutuskan menjatuhkan dirinya di atas ranjang Mutia.

"Tar!" protes Mutia yang terjatuh di atas tubuh Tara.

"Berat," cengir Tara sambil mengelus pipi Mutia. "Kenapa? Mau cerita?"

Mutia memandanginya beberapa detik seolah tengah meyakinkan apakah dia perlu bicara atau tidak. Tapi jujur, Tara ingin Mutia mengatakan apa pun yang membuatnya takut, ataupun sedih.

"Gue anak haram." kata Mutia dengan wajah lurus tanpa beban ketika mengatakannya kepada Tara.

"Astaghfirullah," Tara langsung istigfar dan menurunkan tubuh Mutia di sisinya, memeluk tubuh gadis itu yang tengah menahan tangis kembali. "Siapa yang bilang begitu?!"

"Ada. Orang."

"Siapa? Biar gue tonjok orangnya." ancam Tara dengan wajah kesal.

"Tara... lo malu nggak?" tanya Mutia dengan tangisan yang kembali keluar.

Ini pertama kalinya bagi Tara melihat air mata Mutia yang sudah turun menghiasi pipinya. "Jangan nangis... gue nggak suka lihatnya," geleng Tara dengan tegas, mengusap air mata yang terus turun. "Kasihan ini matanya udah bengkak, udah... diem mau di peluk?"

"Gue tanya!" tuntut Mutia kepada Tara.

"Nggak!" geleng Tara keras. "Gue nggak malu, lo bukan anak haram, manusia haram or whatever everyone saying to you, bagi gue tetap Mutiara gue yang paling... bersinar!"

Mutia menggebuk dada Tara dengan kesal. "Lebai!"

"Lho?" Tara bangkit duduk dan mengambil kedua kaki Tara untuk dinaikkan ke atas pangkuannya. "Jangan dengarkan apa kata orang lain, Mutia. Orang nggak tahu nilai kualitas diri lo sendiri, bahkan diri lo sendiri juga belum tentu mengenal diri lo. Sudah, jangan dengarkan kata-kata yang nggak berguna begitu,"

"Gue baru sadar suatu hal Tara..." katanya sambil menunduk. "Dulu, Ibu gue waktu hamil gue entah dalam hubungan pernikahan atau nggak, tapi setahu gue Ayah Devano memang bawa Ibu gue ke Jerman ketika hamil gue."

"..."

"Gimana, Tara?" tanyanya lagi dengan wajah sendu. "Anak haram tuh tetap nggak boleh punya hak Ayah kandungnya, ya?"

Tara berdecak tak suka mendengarnya. "Gue nggak peduli gimana caranya kerja hukum agama, norma lingkungan dan sebagainya, Mutia. Selagi lo adalah seorang anak, maka sudah wajib hukumnya Ayah lo menyayangi lo. Tuhan punya hak prerogatifnya sendiri, salah atau benar, cuma Tuhan yang tahu. Jangan pedulikan apa kata orang lain, Mutia. Semua manusia sama di mata Tuhan, nggak ada pembedaan."

"..."

Tara menarik tangan Mutia dan memeluk tubuh cewek itu lagi. "Lo harus bisa belajar mengendalikan diri dari omongan orang lain." pinta Tara. "Dan gue tahu, lo bisa melindungi diri lo sendiri lebih baik biar nggak disakitin sama orang lain. Gimana pun caranya, gue akan selalu dukung lo."

Mutia mengulas senyuman tipis dan membalas pelukan Tara. "Thanks."




***




Mahastra tidak pernah menyangka kalau hari ini dia akan meminta maaf kepada kakaknya sendiri atas apa yang dilakukan oleh anaknya kemarin siang kepada Mutia. Katanya, gadis itu tidak ditemukan dimana pun, entah kecewa atau marah, bahkan Mutia belum bisa dihubungi.

Sejujurnya, Mahastra tidak tahu kenapa anaknya bisa mengatakan hal sekejam itu kepada Mutia. Entah siapa yang telah mengajari anaknya untuk berbicara seperti itu.

"Mutia sudah bisa dihubungi?" tanya Mahastra kepada Mahendra.

Mahendra menggeleng dengan raut wajah yang tidak bisa Mahastra tebak, tapi Mahastra tahu semuanya belum baik-baik saja. "Belum,"

"Dia ada di rumah?"

"Nggak ada,"

"Kalau gitu biar aku yang mencarinya—"

"Nggak usah," potong Mahendra cepat, sejujurnya dia paling mengerti kalau Mutia memang benar-benar membutuhkan waktu sendiri. "Dia pasti sedang menata hati dan pikirannya, karena hal kemarin juga Mami jadi sakit lagi,"

"Semuanya gara-gara aku, sori..." Mahastra menunduk. "Aku harusnya lebih mengajarkan Angeli untuk bisa bersikap lebih sopan."

"Sebenarnya aku ingin bicara hal ini sama kamu," Mahendra menarik napasnya sendiri. "Aku tahu kamu sayang sama Mutia, karena ya, Mutia adalah bagian dari Kassa. Aku nggak melarang kamu menyayangi anakku, sejujurnya aku cukup senang. Itu artinya banyak yang sayang dengan anakku, dan membantuku melindungi Mutia," Mahendra menangkap ekspresi wajah Mahastra yang kebingungan. "Tapi, sepertinya kamu harus mulai jaga jarak dan jaga sikap dengan anakku, mungkin kenapa Angeli bisa bicara seperti itu karena dia merasa iri dengan sikapmu yang nggak biasa pada Mutia,"

"..."

"Aku nggak meminta kamu untuk menjauh, toh kamu juga Pamannya." tambah Mahendra lagi. "Tapi coba kamu ingat-ingat lagi, kenapa Angeli sampai bisa bersikap seperti itu sama Mutia kalau bukan iri dan merasa tersaingi?"

"Aku..." Mahastra menarik napasnya lelah, membayangkan bahwa Mutia adalah anaknya. Itu sebabnya dia pernah meributkan Mutia bersama Devano Soeridjo. "... aku memang nggak bisa menghilangkan dan jujur nggak bisa menerima kenyataan bahwa Mutia bukan anakku. Kamu tahu? Aku juga mencarinya selama ini, entah karena rasa penyesalan pada Kassa, dan rasa penyesalan pada Mutia, semua rasa penyesalan dan bersalah itu menghantui aku selama ini."

"Bukan hanya kamu saja, aku juga punya penyesalan pada Kassa," balas Mahendra. "Andaikan saat itu aku nggak egois dan mencari dia,"

"Aku nggak bisa bilang ini bagus, tapi... kamu benar-benar sudah mengatakan segalanya sama Mutia?"

Mahendra memandang adiknya dan mengangguk. "Nggak ada yang aku tutupi dari Mutia, Mahastra."

"Itu artinya dia juga tahu kalau dia benar-benar anak diluar nikah?"

Untuk alasan yang satu itu, Mahendra menggeleng. Ia tak pernah mengatakannya secara langsung kepada Mutia bagaimana ia sampai bisa lahir di dunia. Tapi, apakah itu suatu bentuk kejahatan baginya jika mengatakan bahwa Mutia adalah anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan? Akan sesakit apa hati Mutia jika mengetahuinya?

Dan hari ini, semuanya kacau begitu saja ketika Angeli keponakannya mengatakan dengan berani kalau Mutia adalah anak haram. Semua salahnya, Mahendra harusnya bisa mengambil langkah sebelum hal ini terjadi.

"Dan gara-gara Angeli dia benar-benar jadi merasa rendah diri, aku nggak bisa maafkan diriku sendiri kalau sampai Mutia menyalahkan dirinya sendiri, Mahastra."

Mahastra terdiam. Tidak hanya Mahendra, ia pun turut andil dalam masalah ini. Melihat bagaimana Mutia terlihat sangat sakit hati sampai tidak bisa merespons orang-orang yang memanggil namanya dan berusaha untuk melindunginya.

Gadis itu pergi begitu saja tanpa mau berbalik. Mahastra teringat, sikap gadis itu sama seperti Kassa. Tidak akan pernah menoleh setelah disakiti, atau mungkin setelah ini Mutia akan membencinya sama seperti Kassa yang telah membencinya hingga ia meninggal.





***




Rajash melihat istrinya yang kelelahan tidur sepanjang perjalanan pulang dari Semarang tadi siang, jalanan cukup lenggang malam ini dan Rajash meregangkan ototnya yang kaku ketika memasuki tol Jakarta menuju Istana Presiden.

Setelah mengunjungi beberapa sekolah menegah atas di Semarang dan melakukan sosialisasi besar-besaran, Rajash akui bahwa jadwalnya sebulan ke depan akan sangat-sangat padat. Pemberdayaan program ekonomi untuk perempuan dalam bidang usaha masih akan terus di optimalkan.

Itu kenapa, program tersebut akan dimulai dari jarak yang paling terjauh. Yaitu, Banda Aceh dan akan dilakukan sampai ujung timur Indonesia yaitu, Merauke.

"Pa," panggil istrinya sambil memejamkan mata.

Rajash menoleh sembari menyentuh tangan istriny dengan lembut. "Kenapa?"

"Apa nggak bisa kita pulang ke rumah malam ini? Mama ingin bertemu Prabu,"

"Besok kita terbang ke Aceh, Ma... tidur di rumah sana saja bagaimana?"

"Prabu ada di Jakarta, Atok sudah telepon Mama tadi siang dan bilang kalau mereka sudah pulang dari Penang."

Sebenarnya, karena putra sulungnya itu juga istrinya memiliki beban pikiran. Tidak menutupi, Rajash juga ikut kepikiran, mengingat bagaimana Prabu tetap kukuh ingin membawa perempuan itu ke hadapan seluruh keluarga. Yang mana, masih dalam penolakan.

Jika Rajash ingat, Prabu juga pernah mengatakan bahwa dia bisa saja pergi menikah tanpa restu, barangkali niat nekadnya itu memang masih setengah-setengah, sampai Prabu terus menerus menginginkan restu kepadanya dan sang istri.

"Aku nggak ada waktu buat cari calon Prabu, Pa." kata istrinya lagi kepada Rajash. "Dimana aku bisa cari calon istri untuk Prabu?"

"Pelan-pelan saja, Tara bilang dia pasti akan bantu Mama, kan?" Rajash mengulas senyuman ketika mengingat tekad anak keduanya yang berjanji mencarikan perempuan baru dan lebih baik tentunya untuk sang kakak. "Tara nggak akan bohong, dia pasti bantu kita."

Dewi menutup matanya kembali rapat dan bersandar di lengan sang suami. "Gara-gara perempuan itu," lirihnya pelan. "Anakku hancur."

"Sshhhttt...."

Mobil Mercedes Benz hitam itu meluncur dengan mulus di jalan tol, tapi pemikiran istrinya sedang tidak mulus-mulus saja karena emosi. "Patah hati adalah bagian dari jatuh cinta, Ma."

"Kamu membenarkan perempuan itu, Pa?" tanya Dewi yang cukup tersinggung.

Rajash menggeleng buru-buru meralatnya. "Nggak, tapi bagaimana lagi? Yang penting, bukan anak kita yang sikapnya buruk. Sampai saat itu, Prabu sudah menjalankan tugasnya mencintai perempuan itu, sampai-sampai dia memperjuangkannya."

"Terus Papa pikir Prabu nggak sakit hati? Dia sakit hati, Pa—"

"Iya, Papa tahu... sudah..." Rajash memeluk istrinya lebih erat. "Kalau besok ada waktu, kita pulang cepat ke rumah."

"Mama nggak bisa tenang kalau Prabu masih sedih, Pa."

"Its okay, Prabu bisa melewati semuanya. Setelah ini, kita telepon Tara, ya? Besok dia wisuda, tapi kita berdua nggak bisa datang, Ma."

Dewi mengerjapkan matanya cepat menyadari bahwa besok adalah hari anak keduanya di wisuda. "Astaga, Pa... Mama lupa!"

Rajash terkekeh pelan. "Papa nggak lupa, tapi... bagaimana lagi? Besok kita berikan hadiah pada Tara, okay?"

"Mama mau telepon Tara sekarang."

"Iya, boleh." Rajash terkekeh pelan melihat kepanikan istrinya.

Bagaimana lagi? Untungnya anak keduanya itu sangat pengertian dan minta; Papa sama Mama nggak usah datang ke kampus, nanti bikin heboh rektor, aku yang malu. Jadi, ya sudah... kebetulan juga ia sibuk, belum tentu bisa datang ke kampus tapi anaknya itu sudah melarangnya lebih dulu.

***

a/n:

Maaf aku baru update hehehe. Baru bangun dari sakit nih, sumpah ya kayaknya akhir-akhir ini memang udara dan polusi jelek banget buat kesehatan. Flu, batuk, demam tuh udah jadi langganan banget di setiap orang.

Kalian jaga kesehatan ya! Jangan lupa minum air yang banyak, jangan jajan-jajan yang aneh. Sumpah kalau udah sakit tuh kesiksa banget🤣🤣

Jumat, 17 Januari 2025

p.s: ada kabar baik, Palestina merdeka 🙏🏻

Best regards,
Her.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro