Bab XIX
Mutia jatuh sakit.
Potongan demi potongan jasad sudah ditemukan, dan barang-barang para korban pun sudah ditemukan dan bisa diidentifikasi. Ada satu barang milik Tara yang ditemukan oleh tim SAR, yaitu body mist.
Ketika tim SAR mengumpulkan seluruh barang para korban yang ditemukan mengapung di dalam air, ada satu botol body mist yang tersisa setengah, sisanya adalah pakaian, sepatu, jam tangan. Tapi body mist itu adalah satu-satunya body mist yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Body mist Victoria Secret—Coconut Passion, Mutia ingat saat beberapa waktu lalu dia pergi kencan bersama Tara dan cowok itu menarik paksa Mutia untuk masuk ke dalam toko underwear perempuan itu. Awalnya fokus pada underwear, tapi karena Mutia malu, dia melipir ke tempat parfum body mist, dan segala keperluan tubuh perempuan.
Mutia iseng, mengambil body mist itu dan ketika dia menciumnya, Mutia suka. Tara langsung membelikannya begitu saja. Tapi, baru setengah Mutia pakai, Tara mengambilnya dan memintanya dengan wajah tanpa dosa.
"Kalau gue kangen lo, gue bisa semprot body mist itu di bantal." ujarnya dengan cengirannya.
Mutia protes enggan memberikan body mist itu. "Nggak mau! Lo kan bisa beli sendiri, Tara!"
"Ih ya ampun," Tara bergidik ngeri melihat tingkah Mutia. "Masa sama pacarnya aja kopet, sih?"
"Ini bukan kopet, Tara! Tapi kan gue pakai body mist itu ih!"
"Ih!"
"Ih!"
"Ih!"
"Demi Tuhan Tara gue jewer lo sekarang juga!" ancam Mutia sambil menjewer telinga Tara.
Dan dengan berat hati, Mutia memberikan botol body mist yang tersisa setengah itu. Dan Mutia tidak bisa berhenti menangis ketika melihat bagaimana barang-barang yang ditemukan oleh tim SAR adalah barang Tara.
Tara benar-benar selalu membawa body mist miliknya kemana pun, kenapa cowok itu...
"Makan dulu ya?" Omanya baru saja datang membawakan semangkuk sup dan nasi panas, di sisi ruangan ada Devano Soeridjo yang baru saja tertidur pulas setelah menjaga Mutia semalaman karena demam.
Mahendra Rekartono memantau lokasi pencarian para korban IDN-Air, dan pria itu berjanji tidak akan pulang sebelum membawakan hasil.
"Oma..."
"Iya? Apa, Sayang?" Yosepha mengusap dahi Mutia yang masih terasa panas.
Mutia meneteskan air matanya lagi. "Kalau aja waktu bisa diputar lagi ya, Oma? Mungkin pesawat yang ditumpangi Tara nggak bakalan kehilangan kontak,"
"..."
"Oma... aku pernah kehilangan Ibu waktu aku kecil, tapi aku belum ngerti kalau sakitnya kehilangan itu lebih kerasa waktu aku sudah dewasa..." bibir Mutia bergetar mengingat wajah Tara, senyumannya, tawanya, dan bagaimana jahilnya Tara pada Mutia. "Aku nggak minta apa-apa, Oma... tapi aku mau ada satu... aja, satu..." pinta Mutia sambil mengusap air matanya yang terus berjatuhan. "Bagian tubuh Tara harus ditemukan, aku ingin Tara punya tempat untuk istirahat, biar aku bisa jenguk dan mendoakan Tara sama seperti aku mendoakan ibuku."
Yosepha tidak bisa menahan nyeri dalam hatinya yang berkedut. "Tim SAR pasti bakal menemukannya. Percaya."
Mutia mengangguk optimis. "Tara ajari aku ngaji, doa, dan segala-galanya biar aku bisa doakan Ibu kalau datang ke makam. Jadi... tujuannya Tara mengajari aku semua itu biar bisa mendoakan dia juga?"
Yosepha menggeleng dengan tegas, air matanya ikut jatuh. "Nggak begitu, ilmu yang sudah Tara ajarkan itu untuk bekal kamu, sudah... jangan bicara lagi, makan dulu terus minum obat lagi, ya? Biar demamnya turun."
"Oma..." panggil Mutia sebelum Yosepha menyuapkan nasi kepadanya. "Kayaknya aku merepotkan, itu kenapa Tara pergi dan nggak mau ditemukan."
"Ya Allah..." Yosepha menggeleng tidak suka. "Jangan bicara kayak begitu, Tara nggak akan suka kalau dia tahu kamu bicara seperti ini,"
"Tapi Tara...."
"Makan, setelah itu kita datang ke lokasi pencarian, Oma janji... kamu boleh keluar rumah kalau demam kamu sudah turun."
Mutia mengangguk pasrah, menerima suapan yang tidak terasa di mulut dan entah masuk ke dalam perut atau tidak, tapi yang jelas tawaran Omanya begitu menggiurkan. Mutia ingin melihat lokasi pencarian korban pesawat IDN-Air, barangkali Tara harus didatangi baru akan ditemukan.
Ya, pasti begitu.
***
Hari ketiga pencarian para korban. Dan tubuh adiknya masih belum ditemukan. Prabu ikut turun andil menaiki kapal TNI bersama sang Papa yang diberikan kesempatan untuk terjun melihat pencarian para korban.
Indonesia tengah berduka, dan sang Bapak Negara pun tengah berduka. Dibalik baju zirahnya sebagai Presiden RI, tidak menampik bahwa dia tetaplah seorang Ayah yang menginginkan jasad sang anaknya ditemukan. Dibalik baju zirahnya yang terlihat tegas, Teuku Rajash Pattiradjawane tetaplah seorang Ayah yang lemah jika sudah bersujud di hadapan Tuhan.
Perairan Kepulauan Seribu tampak tenang siang ini, lautnya berwarna biru, tidak ada gelombang ombak yang tinggi itu kenapa memudahkan para pencarian korban.
Satu persatu potongan tubuh dibawa dari bawah air dan dimasukkan ke dalam kantung jenazah untuk di identifikasi DNA. DNA Prabu, Mamanya dan sang Papa sudah diambil untuk dicocokkan dengan para DNA korban. Tapi, sampai saat ini belum ada satu pun yang cocok dengan DNA Teuku Taragan Pattiradjawane.
Kepala Basarnas Marsekal Muda TNI Adhiyatna Perkoso setia mendampingi Presiden di sisi tubuhnya, tidak pernah beranjak kemana pun menenangkan dan mensupport Presiden.
"Kami pasti akan menemukan anak Bapak," seperti janjinya kepada Rajash.
Namun Rajash hanya memberikan gelengan serta senyuman menenangkan. "Semuanya harus ditemukan."
Tidak peduli betapa lelahnya ia, yang Teuku Rajash Pattiradjawane pedulikan adalah para kerabat korban lainnya. Bukan hanya dirinya saja, padahal beliau pun sama berhak nya mendapatkan perlakuan spesial untuk diprioritaskan, tapi Bapak RI 1 itu menolak dengan cara yang halus.
"Pa, getting rid of this," Prabu melihat Papanya terus menerus menggenggam kertas yang sudah usang, padahal kertas itu hanya HVS kosong. "Ganti dengan ini," kata Prabu sambil menyelipkan tasbih kecil.
Rajash mengusap keningnya lalu menepuk pundak Prabu. "Thanks, Pra. Papa lupa, kertas itu tadi Papa bawa untuk menulis ternyata nggak Papa buang."
Ya, entah kemana hilangnya fokus pria itu. Prabu memaklumi. "Mau makan siang? Di dek atas sudah ada makan siang untuk Papa,"
"Kamu saja dulu," balasnya sambil melirik sang ajudan. "Sudah makan?"
"Siap, sudah Pak!" jawab sang Dandenjaka.
Rajash tersenyum tipis. "Makan lagi sana, dengan anak saya," katanya sambil menepuk bahu Prabu.
Sang Dandenjaka kelihatan bingung, tapi Prabu malah menggeleng sopan kepadanya. "Saya juga sudah makan, Pak. Tapi Papa saya ternyata keras kepala. Harus diapakan Pak?"
Gurauan penuh keluhan itu membuat sang Dandenjaka panik, Rajash tersenyum geli melihatnya sementara Prabu mengalihkan tatapan menuju air laut lagi.
Setelah memastikan sang Papa mau undur diri sejenak dan beristirahat, Prabu berpikir keras apa yang salah dari semua ini sampai adiknya masih belum bisa diketahui. Apakah memang karena hatinya belum ikhlas? Hati Papa dan Mamanya yang belum ridho? Tapi jika iya, maka jawaban melespakan, mengikhlaskan, dan meridhai kepergian Taragan jelas sampai kapan pun tidak bisa mereka terima.
Anggap satu kenyataan, bahwa mungkin fisik bisa menghilang tapi jiwa tidak. Jiwa Taragan tidak akan menyerah menghilang begitu saja, jiwa Tara pasti masih akan selalu hidup.
Jiwa manusia adalah bagian dari semua kehidupan. Tuhan mungkin mencabut nyawanya, tapi tidak dengan jiwanya.
Jika diperlukan memanggil jiwa Taragan dengan segenap batinnya. Maka Prabu akan berteriak saat ini juga. Tapi, suara tidak akan bisa didengar, satu-satunya suara hati saat ini bisa memanggil jiwa Tara untuk segera pulang.
Balik buruan... gumam Prabu dalam hati, semoga saja Tara bisa mendengarnya.
Cewek lo sakit, Taragan. Buruan balik.
Jahat bener lo bikin anak orang nangis sampai sakit begitu? Balik buruan!
Kata-kata dalam hatinya serupa perintah, tapi Prabu benar-benar tidak ada waktu untuk menangisi kepergian Tara lagi, ini waktunya Prabu untuk menghibur Papa dan Mamanya yang jauh lebih merasakan kehilangan.
Ini waktunya Prabu untuk berdiri di setiap sisi orang yang kehilangan akan sosok Tara.
Balik Taragan. Kalau hari ini masih belum balik, lihat aja!
Dan ternyata, atas seizin Tuhan yang Maha Esa, ancaman Prabu didengar dengan sangat baik. Dua jam kemudian, jasad Teuku Taragan Pattiradjawane ditemukan menyangkut di sekitar dasar laut bersama puing-puing bagan pesawat lainnya, perlu evakuasi besar-besaran, karena tubuh Tara terlilit dengan sabuk pengaman kursi penumpang. Tidak ada kecacatan seperti potongan tubuh yang terpisah. Semuanya sempurna.
Dari kepala hingga ujung kaki semuanya lengkap. Hanya saja wajah Tara sudah tidak terlihat lagi, hancur karena luka dan terlalu lama berada dalam air, namun jam tangan hadiah dari Prabu menjadi ciri khas utama.
IWC Portugieser Chronograph with Caliber hadiah yang Prabu berikan saat Tara berulangtahun ke usia dua puluh duanya. Masih menempel dengan sempurna di pergelangan tangan kirinya.
"MasyaAllah!" seluruh orang terkagum-kagum melihat kelengkapan fisik Tara.
"Allahuakbar!"
Tanpa rasa takut, jijik, dan tidak menghindar. Prabu berlutut ketika tubuh Tara sudah dimasukkan ke dalam kantung jenazah. Di usapnya lengan sang adik dari atas hingga bawah, tidak mengeluarkan bau bangkai apa pun, sang Papa pun ikut menangis ketika melihat tubuh sang anak ditemukan.
Kabar itu menjadi kabar gembira sekaligus menjadi kabar sedih, karena pada saat itu juga keluarganya tengah mengurus peristirahatan terakhir untuk sang adik.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun..."
Prabu ikhlas.
Sangat ikhlas.
Gue ikhlas Taragan... gue ikhlas, Mama dan Papa juga ikhlas. Bahagia dan tenang di sisi Tuhan ya...
***
"Semua alumni, anak-anak kampus, bahkan sampai rektor mengucapkan belasungkawa buat Tara, Beb."
Alika menyisiri rambut Mutia yang berantakan, dengan hati-hati dia mengikat rambut sahabatnya dan memberikan sedikit vitamin pada ujung rambut Mutia.
"Gue udah lihat," balas Mutia dengan lemas.
Alika mengangguk dengan wajah datar ikut merasakan kesedihan yang Mutia rasakan. "Mau ke rumah duka dulu, kan? Katanya tubuh Tara nggak langsung dibawa ke rumah, dibersihkan dulu. Kayaknya dikafani di rumah duka, Beb."
"Nggak apa-apa..." katanya dengan lega, berdiri dan meminum air putih. "Gue senang banget, mau ketemu Tara hari ini."
Miris.
Mutia yang Alika tahu saja sudah jauh dikatakan normal, ditambah intovernya yang tidak bisa diganggu gugat. Lalu, ditambah musibah kehilangan ini, sehancur apa hati Mutia?
"Yuk," ajaknya.
Tapi baru saja keluar dari kamar, langkah kaki Mutia dihadang oleh seorang perempuan yang tampaknya sudah menunggu Mutia sejak tadi.
Siapa lagi kalau bukan Angeli.
Terakhir kali Angeli mengatai Mutia anak haram, Mutia tidak pernah menggubrisnya. Tapi siang ini, apa yang dilakukan Angeli di dean kamarnya?
Protes lagi?
Atau mau menghinanya kembali?
"Mau kemana?" tanya Angeli dengan wajah sombongnya. Tetap seperti itu.
Mutia tidak mau menjawab, tapi sepertinya Angeli tengah memindai pakaian serba hitam yang Mutia pakai. "Oh..." katanya dengan anggukan kepala seakan tahu kemana Mutia akan pergi. "... ke rumah duka?"
Mutia hanya mengangguk. "Permisi," ujar Mutia sambil berlalu.
"Woy!" panggil Angeli lagi.
Dasar spoiled girl! Dengan malas, Mutia memutarkan tubuhnya lagi. "Ada apa?"
"Gue... mau minta maaf," katanya kepada Mutia dengan suara pelan.
"Minta maaf untuk apa?" sengaja, Mutia ingin tahu sampai mana tingkah si Angeli ini.
"Untuk..." gadis itu meremat kedua tangannya. "Untuk kata-kata gue yang kurang sopan sama lo."
Begitu saja? Ya sudah, lagipula Mutia juga tidak muluk-muluk. "Oke," jawabnya kepada Angeli.
Angeli mengangkat wajahnya dengan berani lantas tersenyum senang. "Gue dimaafkan?"
"Ya,"
"Thank you, Mutia." katanya kepada Mutia. "Makasih banget."
Mutia kembali pergi, gara-gara sakitnya ini juga dia terpaksa harus tinggal di rumah neneknya dulu untuk sementara waktu.
"Dia... sepupu lo?" tanya Alika ketika keduanya masuk ke dalam mobil Grab.
Mutia memgangguk, sementara Alika melihat keberadaan garasi milik keluarga Rekartono. Ada banyak mobil yang bisa Alika hitung, mungkin lima? Atau tujuh? Dan sahabatnya ini masih tetap menggunakan taksi online.
"Mobil sebanyak itu, kita tetap nge-Grab." sindir Alika terang-terangan.
Mutia terkekeh pelan. "Gue nggak bisa mobil kalau lo lupa."
"Ck, belajar kek!"
"Tadinya... Tara yang mau ngajarin gue nyetir mobil, tapi dia keburu..."
"Udah," potong Alika menyadarkan kepalanya di bahu Mutia. "Jangan dibahas lagi, nanti lo makin sedih... wajah lo sudah lumayan segeran daripada tadi pagi, kan hari ini mau ketemu Tara, jangan jelek dulu lah ini muka!" Alika mencolek pipi Mutia dengan jahilnya.
Mutia tidak bisa menahan tawanya lalu mengangguk, semoga saja Tara tahu bahwa dirinya sudah sangat baik-baik saja. Demamnya sudah hilang, dan Mutia sudah sembuh. Hanya saja, pemberitaan atas nama dirinya belum usai sampai sekarang.
Media sosial Tara adalah salah satu jejak yang bisa dicari oleh para netizen sebagai bukti bahwa Mutia memang kekasih Tara. Dalam laman Instagram-nya, Tara memposting foto Mutia yang tengah makan nasi goreng dengan mulut penuh, diberi caption alay yang bisa Mutia dengar dari setiap huruf yang Tara masukan ke dalamnya.
Ummm emam!
Sangat simpel, dan mengundang banyak komentar teman-temannya, dan sekarang banyak orang-orang yang mengunjungi laman Instagram Tara untuk mendoakan Tara.
Lalu satu foto Mutia yang baru saja di upload Tara minggu lalu. Di dalam foto itu, captionnya; Mutia dan sandal kelincinya. Itu adalah foto dimana Mutia mengenakan sandal rumah baru yang dibelikan Tara, sandal kelinci putih yang menggemaskan tapi panas untuk dipakai.
Sudahlah... Mutia tidak tahu apakah dia bisa melupakan Tara atau tidak, yang jelas Tara akan selalu ada dalam hatinya.
Harus.
Selalu.
Ada.
Dalam.
Hatinya.
***
a/n:
Sahoooorrrr!
Untuk kalian pembaca setia Mutia dan Tara, tolong jangan soudzon sama Prabu dulu wkwkwk.
Kita nikmati saja dulu cerita ini, sedih sih Tara meninggal, tapi... kalau nggak begitu, makna dari ditinggalkan yang Mutia rasakan nggak akan bisa dirasakan.
Ini kan bagian dari kisah nyatanya, kata orang (aslinya) harus dibuat real, maunya sih Tara nggak metong.
Ya sudah, pokoknya, kalau rame dan kalian excited sama cerita ini, aku mau post lagi.
Wednesday, 5 March 2025.
Best regards,
Her.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro