Bab XIV
"... Iqra' bismi rabbikallażī khalaq,"
"... khalaqal-insāna min 'alaq,"
"... iqra' wa rabbukal-akram,"
"... Allazi..." Mutia mengerutkan keningnya tengah berpikir keras kelanjutan ayat empat dari surat al-Alaq itu. "... Allazii ... ah!" katanya sambil memukul dahinya sendiri, lalu Mutia membuka kedua matanya dan mendapati Tara yang sudah menyipitkan matanya. "Nggak hapal!" rengeknya.
Tara membuang napasnya masih menatap Mutia dengan sangsi. "Kan sudah di kasih waktu tiga hari,"
"Gue sibuk! Lo tahu gue harus mengadakan acara closing sama anak-anak di Restoran tiga hari ini tuh... gue sibuk!" katanya mencari pembenaran.
"Ck, ya sudah tutup dulu al-Quran-nya." pinta Tara yang sudah menutup Quran miliknya sendiri dan menyimpan di atas rak.
Sementara Mutia melakukan doa selesai mengaji, Mutia buru-buru melepas mukena yang dia pakai dan berlari pergi menuju toilet. Melihat tingkah cewek itu Tara hanya bisa geleng-geleng kepala.
Tapi, Mutia benar-benar pintar dan cepat tanggap. Buktinya? Dikejar tiga minggu pun dia sudah lulus Iqra dan sudah mulai membaca Quran, masih al-Baqarah ayat lima belas, tapi lumayan.
Setelah selesai menunaikan hajatnya, Mutia tersenyum kepada Tara berusaha mengalihkan atensi fokus Tara agar tidak mengomeli soal hapalannya yang tidak ada peningkatan hari ini.
"Besok kan kita wisuda, Taragan." katanya kepada Tara.
Tara mengangguk. "Tahu, lo sudah pilih kebaya?"
"Sudah,"
"Sama siapa?"
"Sama Oma sama Papa,"
"Widihhh gayanya," Tara menepuk puncak kepala kekasihnya itu. "Senang banyak yang sayang sekarang?"
Mutia mengangguk dengan wajah ceria. "Banget, by the way..." Mutia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Tara sore ini. "Kok tumben lo ganteng?"
"Jadi menurut lo selama ini gue nggak ganteng?" jawab Tara dengan sensi.
Mutia malah mengangguk dengan jujur. "Kalau dibandingkan dengan Mas lo memang jauh, sih." katanya sambil menunjuk salah satu figura foto Tara dan Prabu yang memakai beskap hitam.
Tara berdecak tak suka mendengarnya. "Gantengnya gue tuh memang belum terasah, Mutia. Kalau Mas gue kan, memang playboy cap jahe. Dari jaman sekolah, dia udah ngurusin penampilan nomor satu biar keliatan kece, gue mah mau ingusan juga nggak apa-apa dulu."
Mutia mengernyit jijik. "Lo suka ingusan?"
Tara mengangguk. "Suka kalau terlalu banyak makan es,"
"Memang dasarnya lo bocah ingusan kali!"
"Sembarangan!" hardik Tara gemas sambil mencubit hidung Mutia yang mancung. "Eh, hidung lo mancung juga, pas banget... kita berdua sama-sama mancung, anak kita berdua nanti pasti mancung."
"Basi banget..." geram Mutia dengan malasnya. "Gue sampai saat ini masih nggak nyangka bisa belajar ngaji sama Pattiradjawane."
"Lho? Memang kenapa?"
"Ya habis..." Mutia mengerucutkan bibirnya sendiri. "Kalau kata Agung, kok bisa lo mau sama gue? Katanya lo dipelet sama gue!"
Tara terbahak puas mendengar alasan tidak logis itu, meskipun dari sisi pemikirannya ia ingin juju kepada Mutia dan mengatakan alasannya kenapa ia bisa sampai menyukai Mutia.
"Lo unik, sih... jadi gue perhatiin dari awal."
"Makin dangdut aja lo!"
"Serius," kata Tara berusaha meyakinkan Mutia. "Di fakultas gue nggak ada cewek cantik, Mutia. Jadi ketika ada kabar burung cewek cantik dari fakultas sebelah, telinga gue langsung aktif."
"Sialan," umpat Mutia tersenyum malu.
"Dulu memang ada kabar burung, di FBS ada cewek cantik tapi jutek, gitu."
"Siapa yang bilang?"
"Kating,"
Mutia melengos. "Terus lo percaya?"
"Percaya, soalnya kita berdua pernah ketemu di perpustakaan, ingat nggak?"
Tara penasaran, sebaik apa daya ingat cewek cantik di hadapannya ini. "Kapan?"
Yah, baru saja di puji.
"Dulu," jawab Tara lagi. "Kayaknya ada dua tahunan lalu, lo mimisan di perpustakaan terus bikin mahasiswa lain heboh. Dan pada saat itu gue mau kasih tisu sama lo, tapi keduluan kating anjir lah bangke!"
Mutia mengerutkan keningnya berusaha mengingat apa yang Tara beritahu. "Oh... ya, gue ingat.. memang ada lo di sana?"
"Gue ada di belakang lo! Tapi lo cuman peduli dan terima tisu dari kating aja!"
"Ya sori," balas Mutia tak merasa bersalah sama sekali. "Lain kali gerak cepat,"
"Ya udah, kita nikah yuk?"
Kedua mata Mutia membulat mendapatkan ajakan menikah secara cuma-cuma itu. "Maaf-maaf, lo kalau mau gila jangan sekarang."
"Masa orang ngajak nikah dikatain gila?" protes Tara dengan wajah tidak terima. "Serius, gue mau ajak lo menikah. Tahun ini, mau nggak?"
"Tar..." Mutia langsung merubah ekspresi wajahnya ketika melihat Tara benar-benar serius saat mengatakannya.
"Kalau mau, gue mau ketemu sama Papa lo—eh lo kan punya triple Papa anjir lah..."
"Tar..."
"Apa sih, Tar-Tar mulu?"
Mutia menarik napasnya berusaha menyadarkan dirinya sendiri. "Kenapa lo bercanda kayak gitu?"
"Gue nggak bercanda, Sayang." jawab Tara penuh kesabaran. "Gue beneran pengen nikahi lo, Mutiara."
"Tapi gue..." Mutia mendadak gugup. "Gue belum siap,"
"Kenapa?"
"Minggu depan gue interview, Tar. Ini sekalian gue kasih tahu lo," jawabnya sambil memainkan jari-jari tangannya. "Gue bakal debut jadi News Anchor di Redaksi Utama berita harian, gue baru banget ketemu sama orang dari pihak divisi News di gedung Media Global kemarin—"
"Serius?!" Tara menutup mulutnya tak percaya lalu memeluk Mutia secara refleks. "Congratulation! Oh my God, gue nggak nyangka kenapa tiba-tiba banget lo jadi News Anchor?"
Mutia tersenyum kaku namun senang. "Berkat Papa gue,"
"I see..." tatapan teduh Tara begitu menyenangkan Mutia. "Lo suka? News Anchor itu cita-cita lo?"
"Iya... dulu, almarhumah Ibu gue itu News Anchor di FGM TV lho," katanya memberitahu dengan bangga. "Namanya Shri Kassaleah, lo cari deh pasti ada jejak Ibu gue di YouTube FGM TV."
"Oh ya?" Tara memiringkan wajahnya memandang Mutia penuh sayang. "Nanti gue lihat ya, hebatnya kesayangan gue... pas banget bakal jadi menantu idaman Mama dan Papa gue nih,"
Mutia tersenyum malu, kedua pipinya memerah dan dia kelihatan salah tingkah sekarang. "Pantes aja lo mau keluar dari restoran BBQ itu, maaf ya... akhir-akhir ini gue jarang nanggapin chat lo dengan serius, karena semenjak Mas gue—lo tahu sendiri lah, ya."
"Gue paham," kata Mutia kepada Tara. "Its okay, take your time, lebih baik lo temani Mas lo."
"Yap, gue lagi cari cewek biar Mas gue nggak kesepian lagi."
"Tar..." ujar Mutia terdengar tidak setuju. "Sakit hati nggak bisa sembuh semudah itu, jangan paksa-paksa Mas lo, biarkan dia recovery perasaan dia sendiri dulu."
"Tapi gue beneran nggak tahan," keluh Tara dengan wajah merengut. "Masa mantan bajingan kehilangan gairah hidup begitu, Mut?"
"Semua ada waktunya." Mutia mencebik kesal lalu melipat mukenanya. "Lagian, mau lo kenalin sama siapa, sih?"
"Ada." jawab Tara singkat.
"Siapa?"
"Maria, artis cantik yang lagi hits gara-gara film Gold Fish dan Nona Manis, tahu?" tanya Tara kepada Mutia.
Mutia mengangguk kecil. "Nggak mungkin nggak tahu sih, dia memang cantik. Lo kok bisa kenal dia?"
"Sebenarnya.." Tara mengulum bibir ragu. "Dia mantan gue waktu SMA."
Entah kenapa Mutia yang mendengarnya merasa tidak nyaman dan... aish! Kok bisa-bisanya Teuku Taragan Pattiradjawane ini punya mantan artis cantik begitu?
Sial, Mutia jadi insecure, apalah dirinya bagi Tara. Jangan-jangan Tara memang berniat mempermainkannya karena penasaran seperti apa yang Alika katakan malam tadi?
Tapi kalau dipikir-pikir, memang cukup realistis. Kenapa seorang Pattiradjawane harus melihat ke arahnya? Apa bagusnya juga Mutia? Astaga, selama ini dia sudah besar kepala karena digombali Tara. Sialan!
***
Angeli Rekartono dan Jeremiah Rekartono terkejut mengetahui fakta bahwa mereka memiliki sepupu baru yang sudah lebih dewasa dari mereka. Umurnya mungkin berbeda empat tahun dengan Angeli, tapi Angeli sama sekali enggan mau memberikan hormat kepada Mutiara-Mutiara itu si cucu baru Oma dan Opa.
Kata Mamanya, Mutiara-Mutiara ini anak Paman Mahendra, tapi kenapa Papanya ikut-ikutan mengakui kalau dia ayah dari Mutiara juga? Bahkan Papanya bilang.
"Papa juga Papinya Mutiara,"
Sejak kapan?
Lebih aneh lagi, semua orang tampak menyayangi gadis sok manis itu. Lihat saja, bahkan penampilannya tidak ada bagus-bagusnya, Angeli tidak bisa berhenti menatap bagaimana kampungnya gaya Mutiara itu. Jaket jeans yang sudah usang, sepatu converse butut, rambut yang biasa-biasa saja, bahkan sepertinya gadis itu tidak mengenal nail art.
"Anak Papi sudah makan?" tanya Papanya kepada si Mutiara itu.
Angeli ingin muntah mendengarnya, tapi gadis itu mengangguk saja dengan senyuman tipis. "Sudah," jawabnya sok manis.
Tak lama kemudian, Opanya datang memeluk Mutiara, lalu bergantian dengan Omanya. Apa bagusnya si Mutiara-Mutiara itu, sih? Angeli benar-benar muak melihat sikapnya.
"Mukamu itu bisa dikontrol dikit nggak, sih?" kata Tantenya, Malika yang baru saja duduk bergabung dengannya.
Angeli membuang napasnya dengan sebal, sejak kehadiran si Mutiara-Mutiara itu hidupnya tidak lagi merasa tenang karena Papanya selalu membicarakan, Mutiara ini dan Mutiara itu.
"Dia anak haram, kan?" tanya Angeli tanpa takut kepada Mahira. "Kenapa orang-orang senang banget sama dia? Sudah tahu anak haram, paling bawa sial."
"Hush!" Malika menjitak kepala keponakannya itu. "Kamu kalau nggak tahu apa-apa diam saja, kata siapa Mutiara anak haram?"
"Kata Mama,"
"Mamamu sok tahu!"
"Emang dia anak haram, kan? Kalau bukan anak haram kenapa baru ada sekarang? Ibunya juga kemana? Nggak jelas tuh anak."
Malika tidak tahu apa yang Anne Alawi katakan kepada anaknya sampai Angeli bisa berpikir seperti itu. "Jangan bicara sembarangan, nanti Papamu marah."
"Biar aja marah, memang aku peduli?" jawabnya tak memedulikan nasihat Malika.
Angeli tahu dia benar-benar anak haram keluarga ini. Tidak heran, Mamanya bilang kalau keberadaan Mutiara itu sebenarnya abu-abu.
"Lho, nggak usah Sayang..."
Lihat bagaimana cari mukanya si Mutiara itu. Membantu Omanya yang tengah membawakan panci berisikan sup kepiting. "Duduk saja," titah Omanya dengan senyuman yang sangat manis kepada Mutia.
Semua keluarga sudah berkumpul di meja makan, tidak ada satu pun orang yang bisa lepas dari Mutiara.
"Heh anak haram!" panggil Angeli dengan berani kepada Mutia.
Sementara Angeli baru melontarkan panggilan kasar dan tidak sopan itu, wajah Mutia langsung menegang dan menatap Angeli penuh penasaran, barangkali gadis itu memastikan apakah panggilan tadi untuknya atau bukan.
"Angeli!"
Yang menegur bukan lagi Mahastra Rekartono, tapi Mahendra Rekartono Pamannya.
Angeli tersenyum miring melihat kehebohan yang dia buat hanya karena memanggil gadis itu dengan sebutan anak haram. "Kenapa? Gue nggak salah manggil kok, memang sebutan tadi pantas buat lo." lanjut Angeli kepada Mutia.
Mutia yang tadinya baru saja hendak bergabung di meja makan langsung undur diri dengan wajah terkejut. Di sisinya, Mahendra Rekartono langsung menahan lengan sang putri. "Jangan dengarkan,"
Angeli merasakan pergelangan tangannya sedang dipegang dengan begitu erat oleh Papanya. "Angeli minta maaf sekarang juga." perintahnya langsung.
Tatapan Papanya sudah berubah nyalang, itu berarti memang si Mutiara ini begitu spesial untuk Papanya. "Kenapa, Pa?" lawan Angeli kepada Papanya. "Apa aku salah bicara?"
"Angeli..."
Omanya langsung terduduk lemas di kursi ujung, memegangi dadanya dan wanita tua itu terlihat sangat kecewa sekali. "Angeli, siapa yang mengajari kamu bicara seperti itu? Mutia lebih tua daripada kamu,"
"Aku penasaran," balas Angeli mengangkat bahunya tak peduli. "Kenapa bisa keluarga kita akhirnya punya anggota haram kayak dia?"
"Angeli!" teriak Mahastra murka dengan kelakuan anaknya, Mahastra tidak percaya Angeli bisa melakukan ini semua. "Cukup." pintanya dengan tegas.
"Pa, aku... lebih baik—aku—aku pulang saja," kata Mutia hendak pamit undur diri.
Tapi Mahendra menahan lengan putrinya dengan wajah tak suka. "Jangan dengarkan apa kata Angeli, dia tidak—"
"Aku tidak berbohong Paman." potong Angeli langsung. "Aku dengar, Paman dan Papaku sempat meributkan siapa ayah kandung Mutiara yang sebenarnya."
"Angeli," kali ini Anne mencoba menarik tangan putrinya sambil melayangkan tatapan penuh peringatan. "Berhenti bicara,"
Mutia menatap bingung pada seluruh manusia yang ada di ruang makan itu. Terutama, Mahastra Rekartono yang tidak bisa lepas menatapnya, sementara Papanya... terlihat sangat bersalah setelah Mutia mendapatkan hinaan seperti tadi.
"Aku pamit.." gugup Mutia sambil menundukkan kepalanya.
Ketika dia berlari keluar rumah, tatapan matanya bertemu dengan kedua mata Opanya, Mandala Rekartono yang baru saja pulang.
"Mutia? Kok keluar?" sapa sang Opa.
Mutia menggeleng dengan wajah kaku. "Aku... pamit,"
"Mutia!" panggil Mahendra.
Melihat anaknya yang lari begitu cepat meninggalkannya membuat Mahendra merasa marah dan tidak berguna.
"Ada apa?" tanya Mandala penasaran dengan apa yang terjadi.
Mahendra tidak bisa menjawab, sebab untuk saat ini dia terlalu takut putrinya menjauh dan pergi dari dirinya lagi.
"Mahendra?"
"Siapa orang yang berani mengatakan bahwa anakku adalah anak haram?" tanyanya dengan raut wajah dingin serta amarah yang sudah berkumpul di ubun-ubun-ubunnya.
Mahendra tidak tinggal diam, ia lari menuju garasi demi mengambil mobil dan akan mengejar Mutia. Sementara Mandala melihat Mahastra Rekartono, anak keduanya yang baru saja keluar dari dalam rumah dengan wajah yang tak menentu.
"Mahastra?"
Tidak ada jawaban, Mandala tahu pada saat itu ada yang tidak beres dengan keluarganya. Lagi.
***
a/n:
Orang memang paling nggak bisa liat orang lain bahagia dikit aja.
Rabu, 8 Januari 2025.
Best regards,
Her.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro