Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab XIII

Mutia baru tahu kalau kehidupan private yang selalu orang-orang kaya lakukan ternyata benar-benar menyiksa untuk Mutia. Dan baru kali ini juga Mutia sadar keamanan yang Papa dan Omanya maksud adalah keamanan yang sangat membuatnya kelimpungan.

Baru kali ini dua temannya, Agung dan Alika yang biasanya bebas keluar masuk kamar kosannya itu ditahan secara ketat di luar gerbang cluster karena dianggap meragukan dan takut menjadi pengganggu pada warga sekitar cluster.

Ya ampun, apa segitu rasisnya? Entah berapa kali Mutia harus menerima rengekan dan protes dari Agung dan Alika yang tidak terima di interogasi macam-macam oleh satpam cluster.

Memang sih, fungsi utama pemukiman adalah sebagai tempat istirahat, berlindung, serta terbebas dari segala gangguan. Tapi, bukan begini caranya juga!

Mutia harus lari-lari dari rumahnya sampai pos satpam depan karena kedua temannya masih di tahan di sana.

"Mutia!" jerit Agung dengan histeris dan lebainya itu.

"Mut!" tambah Alika dengan wajah panik.

Kenapa juga harus panik, sih? Yang mereka hadapi itu satpam! Bukan polisi juga.

"Pak, ada apa ini? Mereka berdua teman saya." kata Mutia berusaha mengkonfirmasi.

"Lho... maaf ya Non... aturannya memang begini, KTP teman Non harus ditahan kalau mau masuk,"

"Ya jangan dong!" seru Agung dengan hebohnya. "Ngapain juga, sih? Gue nggak akan maling!"

"Bukan masalah malingnya, Mas." cengir sang satpam kepada Agung. "Tapi demi keamanan bersama."

"GUE BUKAN MAS LO!" balas Agung kelepasan mengeluarkan suara khodamnya.

Mutia dan Alika berjengit. "Gung... sabar, Gung!" ujar mereka sambil mengelus dada Agung.

Sang satpam malah terkekeh menaikkan turunkan alisnya kepada Agung. "Mas... santai lah, jangan marah begitu..."

Agung mengangkat tangannya hendak menghajar satpam itu sambil berseru. "SEKALI LAGI LO PANGGIL GUE MAS—"

"Gung!" seru Mutia frustrasi. "Udah dong, jangan emosi..."

"Ya habis satpam ini noh!" sahut Agung masih emosi.

Satpam cluster yang bernama Pak Tohir itu masih saja tertawa, tanpa memedulikan wajah emosi Agung yang sudah siap menyerang lagi. Akhirnya, Mutia menghela napas frustrasi juga. "Pak Tohir, biar teman-teman saya nggak usah simpan KTP di sini, teman-teman saya orang baik kok."

"Duh Non... prosedurnya—"

"Kalau ada apa-apa saya yang tanggung jawab," kata Mutia berusaha meyakinkan Pak Tohir.

Pak Tohir sepertinya tengah menimbang-bimbang, lalu mengangguk begitu saja. "Ya sudah saya lapor Pak Mahendra dulu kalau begitu."

Haish! Jadi semua ini juga karena ulah Papanya itu? Yang benar saja.

Setelah bebas dari tahanan Pak Tohir, ketiganya berjalan bersama. Alika berdecak kagum melihat deretan rumah-rumah mewah, minimalis modern yang tentu saja mencuci matanya.

"Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad..." kata Alika sambil berdecak kagum.

Agung menoleh dengan wajah heran. "Kenapa lo shalawatan tiba-tiba?"

"Ish!" decak Alika sebal pada teman kafirnya itu. "Gue lagi berdoa semoga gue bisa dapat rumah keren yang ada di di sini, Gung! Minimal rumah keren dimana aja lah, ya Allah pengen banget gue punya rumah bagus begini, Mak sama Babeh gue pasti bakalan senang banget ya Allah..."

Agung mengangguk cepat lantas merangkul lengan Mutia. "Rezeki lo nomlplok bener ya, Mut. Dijauhi Bapak Tiri, eh... dapat Bapak asli yang ternyata kayanya nggak bisa gue bayangkan lagi. Mak lo dulu pinter milih laki ternyata,"

Mutia tidak bisa menahan diri untuk menoyor kepala Agung. "Ini hasil dari kesabaran gue Agung Ramdhani! Jangan sembarangan!"

"Iya deh!" delik Agung memutar bola matanya dengan malas. "Si paling sabar sedunia!"

"Btw, si Pattiradjawane nggak lo undang ke sini?" tanya Alika tiba-tiba.

Karena pintu rumahnya yang baru ini smart lock tentu saja bisa dibuka hanya dengan finger print Mutia, dan hal itu berhasil membuat decak kagum Agung dan Alika kembali.

"Tara lagi nemenin Kakaknya ke Penang, katanya jemput Atoknya."

"WOAAAHHHH!" seru Agung dan Alika bersamaan ketika masuk rumah.

"ASSALAMUALAIKUM!"

"Waalaikumsalam," kata sang pemilik rumah membenarkan letak sandal teman-temannya dan memberikan sandal rumah. "Nih, pake." katanya sambil memberikan sandal rumah dua pasang kepada Agung dan Alika.

"Gile... rumah orang kaya mah kita juga harus pakai sandal di dalamnya, biar nggak makin pecah-pecah!" selalu, mulut Alika memang paling ceriwis.

"Gue tabok mulut lo kalau ngomong rumah orang kaya terus!" ancam Mutia.

Alika menutup pintunya dan melakukan gerakan mengunci mulut, sementara Agung sudah berlari menuju salah satu sofa dan merebahkan tubuhnya di sana. "Adem... rumah lo nggak pakai AC tapi kok bisa adem begini?"

"Pakai bego!" kata Alika sambil menunjuk ujung ruangan dengan AC yang bertengger manis di sana. "Jakarta nggak seadem yang lo kira ya, panas juga sama kayak Depok!"

"Siapa yang bayar listrik nih nanti? Lo di kasih token lima puluh ribu sebulan aja belum tentu habis, Mut."

"Kan, gue mau kerja nggak bakal lagi di resto BBQ..." balas Mutia menuangkan minuman dingin Nutrisari yang dicampur dengan air dingin. "Gue juga pasti bakal memenuhi kebutuhan hidup gue lagi lah.."

"Kok pindah? Bukannya lo mau jadi supervisor di sana?"

Mutia menggeleng. "Papa gue menawarkan pekerjaan yang lebih menggiurkan.

"Wih gila..." decak Alika dengan penuh iri. "Kekuatan orang dalam gitu loh!" sindirnya.

Agung memantapkan diri untuk menjadi benalu pada Mutia saja kalau begitu. "Jaman sekarang, nggak punya orang dalam berasa nggak berharga hidup tuh."

"Apaan sih," balas Mutia tidak terima. "Kebetulan aja, karena dulu... ya intinya, Papa gue ingin membalas segala hal dan waktu yang sudah terlewati,"

"Iya ya..." sahut Alika setuju. "Papa lo ketemu lo begitu lo sudah besar. Nggak tahu dia gimana bentuk lo waktu berak dan pipis di celana."

"Si anjing!" Agung menoyor kepala Alika sambil tertawa.

Alika menyerang Agung kembali. "Gue nggak salah ngomong tolol! Bokap dia memang nggak tahu bentuknya Mutia dari brojol!"

Mutia tertawa puas mendengarnya. "Alika benar Gung, jadi itu kenapa Papa gue kelihatan sangat-sangat menyesal."

"Sedih banget anjing hidup lo," balas Agung meneguk habis Nutrisari dingin itu. "Sudah dibuang sama Oma dan Opa lo, hidup sendiri banting tulang jadi pramusaji di restoran, belum lagi ngirit makan kalau nggak ada uang." Agung lalu menepuk pundak Mutia dengan heboh. "Lo ingat nggak? Lo pernah makan sama cabe dan garam doang? Bumbu dapur yang lo punya saat itu cuman garam dan cabe yang bahkan udah kering, tapi lo ulek itu sama nasi panas dan lo bilang enak."

Mutia mengangguk dengan tatapan sendu, sampai kapan pun dia tidak akan melupakan momen-momen susah dalam hidupnya. Ketika anak-anak lain bisa makan, nongkrong, minum dengan enak, Mutia selalu berpikir ulang jika ingin membeli minuman mahal itu. Yang bisa dia beli adalah hanya minuman sachet seperti Nutrisari, Milo dan Dancow sachet yang harganya memang tidak seberapa, tapi benar-benar nikmat ketika Mutia tahu apa artinya bersyukur.

"Iya, gue nggak akan lupa, Agung..." Mutia menepuk pundak Agung. "Terus setelah itu, lo berdua suka sharing teman nasi sama gue," tiba-tiba kedua matanya terasa panas begitu saja. "Thanks banget ya, kalian berdua benar-benar teman gue..."

"Aaaahhhh jangan nangis!" Alika turun dari sofa dan memeluk Mutia yang duduk di atas karpet. "Lo sudah jadi orang sugih sekarang! Jangan lupa sama kite ya..."

Mutia membalas pelukan Alika kembali. "Nggak akan, sampai kapan pun nggak akan gue lupakan."

Lalu Agung pun bergabung ke dalam pelukan dengan gerakan yang gemulai. "Kalau begitu traktir kita pizza hari ini!"

Mutia mengangguk menyusut air matanya lalu tertawa. "Oke." katanya tanpa pikir panjang.




***




Jesselton, Penang.

Mansion keluarga Pattiradjawane yang ada di Penang ini memang jarang ditempati kalau bukan hari-hari besar saja. Tara ingat, sebelum Nyak Chiek meninggal, keluarganya sering merayakan hari raya Idul fitri di mansion besar ini.

Setelah dewasa, perasaan melankolis, sedih dan rindu pada Nyak Chiek memang tidak bisa dihindari. Setiap sudut mansion seakan bisa berbicara dan tengah menyapa Tara sekarang. Bagaimana foto-foto setiap anggota keluarga tersusun dengan rapi di setiap dinding mansion.

Bahkan, foto wisuda kakaknya yang terakhir di pajang di dinding khusus untuk anak-anak dari keluarga Atok yang berhasil menyelesaikan studi sarjana. Ada yang kuliah di Jerman, Mesir, London, Edinburgh, dan Papanya yang lulusan Jerman, serta kakaknya si Prabuanta lulusan Amerika. Hanya fotonya saja yang belum terpajang memakai toga karena bulan depan Tara baru akan mendapatkan toganya untuk wisuda.

Kenangan masa kecil Tara benar-benar melekat sempurna, Nyak Chiek dengan kesabarannya yang selalu memenangkan Tara dalam setiap perdebatan karena Tara adalah cucu bungsu keluarga Pattiradjawane. Sementara kakaknya adalah manusia kaku yang jarang mau berinteraksi dengan saudara yang lain karena selalu fokus dengan konsol game miliknya.

Sebenarnya Tara tidak pernah bahkan jarang mau diajak ke Penang. Tapi gara-gara si Prabuanta, urusannya jadi beda. Begini-begini, Tara masih punya hati untuk tidak membiarkan kakaknya menggila sendirian. Sebab setelah kejadian Julie kepergok ngewe bersama di burung hantu itu, Tara langsung curhat kepada Mamanya langsung.

Mamanya yang tengah berada dalam perjalanan dinas menuju Malang bersama Papanya, mendadak kusut dan drop, kata Papanya sang Mama hampir saja pingsan setelah mendengarkan kabar buruk itu. Jelas, siapa yang tidak akan pingsan karena Mama adalah suporter nomor satu atas nama kebahagiaan Teuku Prabuanta Pattiradjawane. Sayangnya, bagaimana pun begitu Mamanya tetap menyalahkan Prabu.

"Sudah Mama bilang kan, Mas... mama dari dulu punya feeling nggak bagus sama Julie. Bukan Mama jahat sama kamu, Mas... tapi kamu lihat sendiri akibatnya."

Mamanya memberikan wejangan dua puluh empat jam penuh kepada Prabu yang mendadak jadi manusia kehilangan gairah hidup dan hanya terduduk di kursi kerja tanpa mau makan, ataupun gerak sama sekali.

Yang khawatir jelas yang ada di sini, Tara sih sebenarnya tidak peduli Prabu mau melakukan apa pun, sekali pun dia mau melakukan self harm demi menghilangkan rasa sakit hati, Tara tidak akan melarang. Tapi ya.. memikirkan Prabu duduk berjam-jam di ruang kerja tanpa bergerak sedikit pun, Tara merasa ngilu memikirkan pantat Prabu yang bisa saja dekubitus atau tidak ambeien.

Itu kenapa, Tara mengusulkan Prabu untuk pulang ke Penang dengan alasan; menjemput Atok. Dan idenya di ACC penuh oleh Bapak RI 1 karena saat itu juga Tara dipercayai menjadi pelindung seorang Teuku Prabuanta Pattiradjawane.

Padahal, harusnya kakak yang melindungi adik. Bangke laaahh... Prabuanta itu.

Lihat bagaimana kusutnya wajah si Prabu itu, meskipun sudah menyelesaikan babak akhir dengan Atok di lapang badminton mansion, wajah pria itu kembali tertekuk masam seperti lipatan daun pisang pada lontong kari.

"KE KALIMANTAN MAIN LAYANG-LAYANGAN!"

Maupun Prabu dan Atok sontak menoleh dengan wajah heran melihat kedatangan Tara sambil membawa microfone bluetooth di tangan kanannya.

"Ngapain jauh-jauh ke Kalimantan main layang-layangan? Di sini saja!" sahut Atoknya sok tahu.

Tara menggeram kesal. "Pantun Tok! Pantun!"

Atok tertawa puas mendengarnya. "Oalah, kalau begitu lanjut!"

Tara berjalan mendekat ke arah Prabu dan Atoknya sambil melanjutkan pantun yang terjeda karena Atoknya yang kurang konek, memang perlu di upgrade pikir Tara.

"JATUH DI PASIR KENA CANGKANG!"

"Cakep!" seru sang Atok sambil mengangkat kedua ibu jarinya di udara.

Sementara Prabu melengos malas melihat tingkah aneh adiknya itu.

"WAJAH MANTAN TERBAYANG-BAYANG!" seru Tara sambil duduk di sisi Prabu.

"Cakep!" balas Atok lebih semangat.

"LANGSUNG INGIN BERAK KE BELAKANG! HAHAHAHAHAHA! Mules nggak lo?" tanya Tara tanpa dosa kepada Prabu.

Atok memukul bokong Tara dengan tatapan mengancam. "Jangan ledekin Masmu terus!" katanya.

Tapi Tara malah tertawa lalu menatap wajah Prabu yang kelihatannya benar-benar tidak peduli. "Tenang, kalau hilang satu tumbuh seribu. Mau gue bantuin, nggak? Kayak Papa yang suka sama cewek Jawa?" tawarnya, lalu Tara menunjuk dirinya sendiri. "Gue juga suka cewek Jawa, sudah manis... cantik... keibuan, duh..." Tara tak kuasa menggelengkan kepalanya ketika sekilas wajah Mutia terbayang-bayang. "Jadi rindu Ayang gue."

"Noraknya..." Atok tertawa mendengarkan kata-kata konyol Tara. "Kamu kalau lagi jadi budak cinta pacarmu, jangan sombong kayak begitu!"

"Aku nggak sombong, Tok!"

"Ah!" Atok mengibaskan tangannya hendak bangkit undur diri dari area anak muda itu. Lagi pula, dia mengerti barangkali cucu tertuanya itu butuh dari sekedar bicara antar hati dengan adiknya. "Atok mandi dulu, gerah pula ni!"

Melihat kepergian Atoknya, Tara hanya bisa tersenyum miring. Pasti Atoknya tidak berhasil menggali emosi Prabuanta si manusia kering dan kaku seperti kanebo ini.

"Mas," kata Tara lagi.

"Apa sih?" sahut Prabu kesal, Tara ini kerjaannya mengoceh saja terus.

"Di depan sana, rumah yang nggak punya pager itu—"

"Memang model rumahnya begitu, Taragan. Penthouse depan rumah nggak pakai pagar karena dia pakai rumput di sekelilingnya." potong Prabu kesal dengan otak Tara yang enteng sekali menilai rumah orang.

"Iya, maksud gue.. penthouse depan sana yang punya Princess Malaysia lho, kata Atok kalau lagi liburan dia suka diam di rumah, gue searching tadi cantik juga tuh Princess."

Prabu menaikkan alisnya memandang adiknya penuh arti. "Terus?"

"Ya kali, selera lo sekarang berubah dari Bule jadi Princess Malaysia, gue bakal dukung."

Prabu memutarkan bola matanya dengan malas. "Serius, Mas. Lo kan, cakep. Anak emas kebanggaan Mama, wajar lah wajah lo juga di atas rata-rata." Tara tidak berbohong, kakaknya ini memang tampan bukan main, maka dari itu jika mengingat track recordnya Prabu memang enteng mengajak kencan gadis, lalu memutuskannya dengan mudah pula. "Lo juga kaya, banyak duit. Sudah bisa meneruskan usaha Papa, kerja sendiri, duh... kaum hawa mah pasti mau banget dihalalin sama lo."

"..."

Tara tidak akan kehabisan ide untuk terus menggoda kakaknya. "Makanya, Mama bilang... Masmu suka sama cewek kayak gimana? Gue bilang aja, Mas suka sama cewek yang cantik, imut, seksi-seksi gitu—"

Prabu membulatkan kedua matanya mendengarkan kalimat tidak waras yang adiknya katakan pada sang Mama. "Lo bilang begitu sama Mama?!"

Tara mengangguk dengan polosnya. "Iya, gue hapal betul sih tipe lo gimana. Yang enak dipeluk, enak dipegang, enak—"

"Brengsek!" maki Prabu sambil menendang paha Tara. "Gue nggak sebajingan itu ya, Taragan!"

Tara terbahak dengan puasnya. "Ya habis! Gue mah pengertian sih, barangkali Mama mau cari cewek yang sesuai dengan tipe lo."

"Nggak bakalan ada," cetus Prabu pesimis.

Tara mengangguk pelan. "Pasti ada,"

"Nggak,"

"Ada." kukuh Tara tak mau kalah. "Contohnya cewek gue."

Najis, Prabu tidak bisa berhenti untuk mengumpat dalam hati. "Najis, minggir sana lo!"

"Ya... kalau suatu saat, misalnya gue nggak bisa jaga Mutia... tolong jaga dia untuk gue ya, Mas."

Prabu langsung menoleh dengan wajah keheranan. Kenapa lagi adiknya ini? "Apa maksud lo?"

"Ya..." Tara mengangkat bahunya. "Umur kan, nggak ada yang tahu. Gue sih maunya sama Mutia terus, bahkan kalau Allah izinin gue pengen banget hidup sama dia jadi suami istri, tapi kan... semua itu rahasia Allah." katanya lagi sambil tersenyum lega. "Kalau memang Mutia bukan jodoh gue, atau gue nggak bisa lagi jaga dia, gue percaya lo bisa jaga Mutia."

"Gue yang galau kenapa lo yang sinting?" balas Prabu dengan wajah mencibir.

Tara hanya tertawa saja mendengarnya. Ya, setidaknya Tara percaya Prabu bisa menjaga orang-orang yang dia cintai.

Tapi ngomong-ngomong, Tara rindu Mutia, sedang apa kekasihnya itu sekarang?

***

a/n:

Per-galau-an Prabuanta ini masih belum selesai wkwkwk. Kasih semangat buat Tara biar bisa kasih cewek pengganti buat kakaknya 🙂‍↕️

Selasa, 7 Januari 2025.

Best regards,
Her.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro