Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab XII

Sejak kepulangan dari apartemen kakaknya Tara, si Taragan itu mendadak jadi manusia bisu dan tidak banyak bicara. Biasanya Tara akan mengusilinya atau tidak menggodanya dengan hal-hal yang tidak berguna.

Sebenarnya, dari apa yang Mutia lihat tadi sudah bisa ia rangkum dalam otaknya kalau dua manusia tadi melakukan hal yang tidak-tidak di apartemen kakaknya Tara itu.

Tapi, yang membuat Mutia bingung adalah... kenapa wanita bule tadi seakan ketakutan jika Tara... oh, Mutia tahu, pasti wanita tadi adalah wanita kakaknya Tara si Prabu-Prabu itu.

Astaga, jadi kakaknya Tara itu baru saja diselingkuhi?

"Tar," Mutia mencoba menepuk pundak Tara.

"Hmm?" katanya sambil menoleh dengan senyuman yang tidak lepas seperti bisanya. "Kenapa?"

"Lo yang kenapa, Tara?"

"Nggak apa-apa," jawab Tara berbohong. "Gue cuman nggak habis pikir,"

"Sama kejadian tadi?" tebak Mutia

Tara mengangguk. "Ya," balasnya dengan sendu. "Bisa-bisanya si Julie, andaikan dia tahu bagaimana usaha Mas gue selama ini untuk mendapatkan restu,"

Mutia mengusap pundak Tara berusaha membagi ketenangan sebisa mungkin. "Terus gimana? Lo mau kasih tahu Mas lo segalanya?"

Tara mengangguk lagi. "Iya, gue bakal merasa dosa banget kalau sampai nggak kasih tahu Mas gue. Perbuatan yang dilakukan sama Julie itu... benar-benar kurang ajar."

"Tapi Mas lo..." Mutia tidak tahu apakah dia berhak mengatakannya atau tidak. "Mas lo cinta sama ceweknya, Tara. Apa lo nggak takut nanti Mas lo bakal kecewa?"

"Ya mending kecewa sekarang daripada nanti,"

Mutia terdiam, beberapa waktu ke depan adalah waktu paling hening yang pernah Mutia dan Tara lewati. Karena pasalnya, Mutia baru melihat ekspresi keras, emosi dan... kecewa yang tengah Tara tunjukkan.

Mutia memang tidak tahu bagaimana hubungan Prabu dengan wanita bernama Julie-Julie itu. Tapi, kalau melihat gelagat Tara yang sangat menyayangi kakaknya dan tak mau kakaknya kecewa lebih dalam, itu artinya memang hubungan Prabu dan Julie-Julie itu sudah sangat serius.

Dalam satu hari, rencana tadinya adalah mengadakan perayaan lulus bersama Tara di rumah cowok itu. Tapi rencananya benar-benar berubah dan kini Mutia sudah dibawa pergi menuju gedung perkantoran dimana Prabu bekerja.

Sepertinya, Mutia memang harus ikut dan membantu Tara menyelesaikan masalah yang baru saja dia ketahui.

Andaikan jika tadi siang Tara dan dirinya tidak datang mengunjungi apartemen Prabu, maka pria itu pasti akan terjebak dengan wanita bernama Julie itu yang sudah mengkhianatinya. Dan pastinya, hal itu akan membuat Prabu terpukul.

Baru kali ini Mutia merasakan empati dan simpati secara bersamaan hingga dia ikut terjun menceritakan apa yang terjadi tadi.

"Lo jual aja apartemen hina itu, jangan mau lagi masuk ke apartemen itu." kata Tara setelah menunjukkan video.

Mutia tidak diperbolehkan melihat video itu oleh Tara, alasannya adalah—mata Mutia harus tetap suci. Padahal kan, Mutia penasaran bukan main.

Sementara yang tengah diberitahu hanya terdiam dengan ekspresi yang... bagaimana Mutia menjelaskannya? Pokoknya tak bisa dikatakan baik-baik saja.

Kalau tadi Mutia melihat kemarahan pada wajah Tara, sedangkan pada wajah Prabu lebih dari sebuah amarah. Pria itu sepertinya telah siap menguliti orang yang telah menyakitinya, tatapannya begitu tajam dan dipenuhi oleh dendam, kedua tangannya yang besar saling mengepal satu sama lain hingga urat-urat pada tangannya pun menonjol dengan begitu sombongnya.

Tak lama kemudian, ponsel Tara dilempar menuju dinding dan berubah hancur tidak berbentuk. Ya, hari ini yang sudah menjadi korban bukan hanya Prabu saja, tapi ponsel Tara juga. Rest in peace ponsel Tara.

"Sori," geram Prabu kepada Tara dengan wajah yang tidak menunjukkan kemarahan sama sekali. "Gue bakal ganti ponsel lo nanti," katanya kepada adiknya itu.

Untung Tara memiliki kesabaran seluas stadion GBK. "Awas aja kalau malam ini nggak ada hape baru,"

"Gue bakal minta Damian buat beli sekarang." katanya.

Prabu menekan interkom dan mulai tersambung pada sekretaris yang ada di ruangan sebelah. "Tolong belikan ponsel keluaran terbaru, ya sekarang untuk adik saya. Terima kasih."

Tanpa banyak bicara Prabu membuka dasinya dan melemparkannya begitu saja, pria itu menendang apa pun yang bisa ia tendang hingga membuat Mutia berjengit kaget.

Setelahnya Prabu pergi keluar dari ruangannya, Tara menghela napas lega. "Memang si Prabuanta itu, sifatnya nggak ada bagus-bagusnya sama sekali." katanya sambil memulung ponselnya yang sudah retak itu.

Mutia membuang napasnya dengan lega, setidaknya Prabu tidak melemparkan kemarahannya pada orang-orang di sekitarnya, meskipun Mutia berdecak prihatin melihat ruangan sekitar yang sudah berubah menjadi kapal pecah.

"Gimana ini?" tanya Mutia kebingungan.

Tara menoleh dengan senyuman manis. "Nggak apa-apa, Sayang... nanti dirapihin kok, yuk kita makan siang dulu, dari tadi sayangnya gue belum makan siang..."

Mutia mencibir kesal tapi tidak bisa menahan senyumannya. "Dasar sinting,"

"Sinting-sinting begini lo sayang, kan?" balas Tara dengan tengilnya.

Ya, bagaimana lagi... Mutia memang sudah jatuh hati pada Tara, tapi sore ini dia harus setor hapalan surat kepada Tara. Astaga, semoga saja Tara lupa karena Mutia belum hapal surat Ad-Dhuha yang sudah dia berusaha hapal kan tiga hari yang lalu.




***



Ada masanya Prabu tidak pernah menaruh curiga kepada Owen Levitt. Prabu, Julie, Owen dan Colin sudah bersama sejak kuliah di MIT. Mereka menjadi teman satu kelompok dan beberapa kali membuat grup belajar bersama ketika mereka mengetahui keunggulan murid pintar dari Indonesia, dan kecerdasan Colin yang bisa mengimbangi gaya pertemanannya dengan Prabu.

Di mata Prabu, Owen Levitt adalah teman baiknya, lelaki itu seringkali dibantu oleh Prabu ketika dia tidak bisa membayar sewa flat, atau tidak biaya rumah sakit adiknya yang menderita Leukimia dulu. Bagi Prabu, menggelontorkan berapa pun uang untuk Owen Levitt bukanlah masalah yang besar.

Prabu tidak pernah kesulitan ekonomi semasa hidupnya, meskipun dia hidup dibawah sangkar yang tegas terutama Papanya—tetapi Prabu tidak pernah sekali pun merasakan kehabisan uang. Itu kenapa, dia selalu membantu Owen dan hal itu pernah diketahui secara langsung oleh sang Mama.

Keuangannya pernah di cek saat kuliah dan Prabu tidak pernah mempermasalahkannya, ia sudah menganggap Owen sebagai saudaranya sendiri. Lagipula, lelaki itu juga cukup menyenangkan untuk dijadikan teman.

Tapi mendadak, semua yang sudah dia lakukan bersama Owen maupun kekasihnya Julie mendadak hilang dari ingatannya ketika tadi sore adiknya, Tara membawa bukti sah yang tidak bisa Prabu elakkan lagi.

Prabu ingin sekali tidak percaya. Prabu ingin sekali memarahi adiknya yang sudah ia pikir memanipulasi video, tapi itu semua bukan kebohongan semata.

Prabu pergi melangkahkan kakinya menuju apartemen miliknya dan melihat bagaimana jejak percintaan yang sudah dilakukan kekasihnya bersama sahabatnya sendiri di apartemennya sendiri.

Ternyata, Julie masih ada di apartemennya. Wanita itu entah sudah berapa lama menangis hingga kedua matanya yang cantik terlihat membengkak dan basah.

"You did that?" tanya Prabu dengan suara parau.

Masih berharap bahwa apa yang dia ketahui hari ini adalah tidak nyata.

Tapi Julie hanya bisa menangis, sedangkan Prabu berusaha mengguncangkan bahu wanitanya dan masih menuntut jawaban pada Julie. "Kamu benar melakukan itu? Bersama Owen?"

Julie menangis sesenggukan, wanita itu memeluk Prabu dengan segala rasa frustrasi nya. "Pra... I was wrong... this is not my fault, Owen did—"

"Jangan berani-beraninya kamu sebut nama dia, Julie." tekan Prabu menekan kedua tangannya pada kedua bahu Julie. "Aku benci mendengar namanya!"

"Pra..." Julie menunduk memeluk Prabu. "Maafkan aku... aku salah. Maaf... maaf..."

Prabu menarik napasnya sendiri, mengangkat kepalanya berusaha menjernihkan diri tapi dia tidak bisa. "Aku sedang memperjuangkan kita, Julie... Demi Tuhan aku sedang memperjuangkan kamu pada Mama dan Papaku, tapi apa yang kamu lakukan padaku?"

"Pra... please..."

Prabu menjauhkan dirinya dari Julie, berbalik badan enggan menatap wajah Julie.

Jika saja Tara tidak melihat keduanya, apa Prabu tetap akan menjalani hubungan ini bersama Julie? Bahkan Julie yang tidak merasakan penyesalan sama sekali?

"Pernah kamu berpikir gimana akhirnya kalau aku tahu semua ini, Julie?" tanya Prabu dengan emosi yang sudah tidak bisa dia bendung. "Sebelum kamu melakukannya apa kamu pernah berpikir bahwa aku akan kecewa dengan semua ini? How can you do that?"

"Pra..." Julie berusaha memeluk tubuh Prabu, tapi pria itu tetap mengjauhinya.

"Pulanglah," usir Prabu tak ingin banyak berpikir kembali.

Sepertinya, bagaimana pun Julie melakukan kesalahan sebesar apa pun Prabu akan tetap memaafkannya. "Pulanglah bersama Owen."

Setelah mengatakannya, Prabu pergi meninggalkan apartemennya. Mungkin, setelah ini dia akan pergi melupakan beberapa hal yang tadinya akan ia simpan untuk seumur hidup. Mungkin tidak sekarang, tapi di masa depan, setahun, dua tahun, sepuluh tahun mendatang, Prabu yakin dia akan lupa dengan semua rasa kecewanya.

Ya, simpelnya seperti itu.




***




"Papa? Oma?"

Mutia terkejut mendapatkan tamu yang tidak di undang alias Papa dan Omanya yang datang mengunjungi kosannya jam enam pagi begini? Yang benar saja?

Yosepha Rekartono memeluk Mutia dengan begitu erat. "Hai... cucu Oma.. maaf ya, pagi-pagi Oma ganggu kamu.. tenyata kamu sudah bangun,"

Mutia melirik Papanya dengan bingung juga. "Silakan masuk, Oma... Papa..."

Kamarnya bahkan masih berantakan, ada dua tumpukan baju yang sudah Mutia setrika namun belum ia masukkan ke dalam lemari.

Tapi Omanya itu malah tengah melakukan eksplorasi dadakan di kosannya yang luasnya tidak seberapa. Wanita tua itu mengelilingi setiap sudut dengan wajah berseri-seri, sementara Mahendra Rekartono hanya pasrah duduk di atas karpet plastik yang bahkan sangat tipis.

"Kamu menyetrika sendiri?" tanya Omanya kepada Mutia.

Mutia mengangguk kaku. "Iya, Oma.."

"Sudah biasa bersih-bersih, ya?"

Mutia mengangguk lagi.

"Tuh kan, apa kata Mami!" ujarnya memukul pundak sang anak, lalu Yosepha kembali menatap Mutia dengan senyuman manis. "Oma ke sini mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Kemana, Oma?"

"Ke rumah baru!" serunya dengan semangat.

Mutia masih tidak mengerti kenapa bisa Omanya mengajaknya ke rumah baru. Rumah untuk siapa?

"Kata Papamu, kamu nggak mau tinggal sama Papamu, katanya betah di kosan." ujar Yosepha berusaha menendangi kebingungan cucunya. "Makanya, Oma memutuskan untuk cari rumah buat kamu. Untungnya, kita dapat rumah buat satu orang, jadi cocok untuk gadis seperti kamu."

"Tapi aku..." tidak minta. Inginnya Mutia berkata seperti itu, tapi ketika matanya bertemu dengan tatapan Papanya yang memelas, akhirnya Mutia tidak bisa mengutarakannya.

"Kamu nggak mau tinggal sama Papa karena sudah terbiasa tinggal sendirian." timpal Mahendra mengingat keinginan anaknya. "Tapi Papa tetap nggak bisa tenang kalau kamu terus-terusan tinggal di sini."

"Aku sudah tinggal di sini empat tahun, Pa. Dan semuanya aman-aman aja," balas Mutia membela kosannya yang ia cintai.

Maaf-maaf saja, meskipun sepetak, kamar kosannya ini sudah menjadi tempat Mutia berlindung dari terik panas matahari dan hujan.

Mahendra menggeleng tegas. "Tapi tetap saja, Mutiara."

Mutia benci jika seseorang sudah memanggil namanya dengan lengkap seperti itu. Berarti, orang itu benar-benar ingin menegaskan sesuatu kepada Mutia hingga tidak bisa memanggil namanya seperti biasa.

Yosepha memeluk Mutia lagi. "Sudah lah, ini juga bagian properti milik Opa, katanya Opa juga rumah itu buat kamu."

Mahendra mengangguk setuju. "Sebentar lagi kamu akan kerja, kantor pusat Media Global kan ada di wilayah Menteng. Sengaja, Papa kasih kamu akses rumah di Kebagusan Jagakarsa, rumahnya nggak terlalu besar nggak terlalu kecil juga. Pas untuk kamu."

"Aku harus bilang pada Ayah—"

"Ayahmu sudah setuju," potong Mahendra cepat.

Apa? Sejak kapan Devano Soeridjo dan Mahendra Rekartono berkomunikasi? Apa mereka berdua sudah berkongsi? "Kapan Ayah bilang setuju?"

"Di hari kamu selesai sidang," balas Mahendra dengan jujur. "Serius, Papa ambil keputusan ini dengan pertimbangan penuh dari Devano Soeridjo, meskipun pendapat dia bagi Papa nggak penting-penting amat," lihat julitnya kambuh lagi, pikir Mutia. "Itu kenapa, Papa bilang rumah di Jagakarsa cocok untuk kamu. Posisinya di dalam cluster, keamanannya juga terjamin."

"Siapa juga yang mau jahat padaku?"

"Siapa tahu?" Mahendra mengangkat bahunya. "Tugas Papa adalah melindungi apa yang tersisa dari apa yang Papa miliki. Kamu sekarang tanggung jawab Papa, dan kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu, maka Papa akan terkena getahnya juga Mutia."

Mutia menghela napasnya. "Aku yakin aku nggak akan kenapa-napa."

"Who knows?" timpal Omanya dengan setuju. "Kalian sudah berpisah dua puluh tahun lebih lamanya, sampai kamu tidak tahu siapa Ayah kandungmu yang sebenarnya, apa yang Papamu lakukan sekarang sangat worth it untuk menjamin keamanan, kenyamanan dan keselamatan kamu, Sayang."

"..."

"Itu sebabnya, kita harus mengisi rumah baru kamu sekarang." ujar Mahendra lagi.

Mutia baru tahu, privilege yang dia miliki sekarang ternyata bukan main-main. Mengingat bagaimana sulitnya kehidupan yang pernah Mutia jalani, Mutia skeptis jika dia bisa hidup dengan kenyamanan.

Tidak memungkiri kalau Mutia menginginkan kebahagiaan secara duniawi, tapi jika dulu dia tidak bisa mendapatkannya, realistis saja yang penting Mutia masih bisa makan untuk besok hari, masih memiliki pakaian untuk ganti, masih memiliki tempat untuk meneduh, pada saat itu pemikiran Mutia saat remaja dia sudah amat sangat senang dan bersyukur.

Meskipun tangisannya malam hari hanya bisa disaksikan oleh tembok yang bisu, serta hati yang terus merapalkan rindu kepada Ibunya.

Apakah semua ini balasan dari setiap tangisannya pada malam hari? Sepertinya iya.

***

a/n:

Ada yang kena sial, ada yang dapat hoki. Hidup memang macam-macam, kita semua hanya perlu bergelut dengan kesusahan masing-masing wkwkwk.

Kasih emoji 👍🏼 buat Mas Prabu :

Jangan lupa semangatin Mas Prabu-nya juga ya🤣

Senin, 30 Desember 2024.

p.s; yuk diramaikan ceritanya, penghujung akhir tahun, coba mana suaranya yang lagi libur tahun baruan?

Best Regards,
Her.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro