Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab XI

Dua penguji, dua pembimbing bersama para notulen, terima kasih untuk semuanya kalian semua bangsat! Andaikan saja Mutia bisa berteriak seperti itu, tapi tentu saja semua itu hanya bisa ia katakan dalam hatinya.

Mutia di prank dengan cara yang sangat tidak manusiawi hampir saja dia menangis di ruang sidang saat penguji mengatakan dengan wajah sok serius kalau mereka tidak bisa meluluskan Mutia dan nilai skripsinya tidak bisa dijadikan bahan bandingan untuk lulus tahun ini.

Mendadak Mutia pusing bukan main, dia memikirkan empat tahun ke belakang dia bukan mahasiswa bodoh, tapi Mutia juga memang tidak terlalu pintar sih. Dengan IPK 3,5 apakah Mutia bisa disebut pintar? Ya intinya Mutia sudah mendapatkan nilai 3,5 dengan Hah-Heh-Hoh! Ngos-ngosan parah! Apa lagi saat uang kuliah dari Ayahnya harus di rem beberapa waktu ketika Mutia diminta menjauh oleh Opanya.

Mutia merasa tidak pantas ketika Ayahnya selalu memberikan uang sementara Ayahnya sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Itu kenapa, Opanya pernah bilang bahwa Mutia tidak beda jauh dengan ibunya sama-sama benalu. Kata-kata itu lah yang membuat Mutia nekat mencari pekerjaan, hanya mengandalkan ijazah SMA dan dia bisa bekerja part time di salah satu restoran Jepang itu demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dia sudah terbiasa hidup susah dan sederhana, akhir-akhir ini Mutia tahu dia terlalu bahagia setelah pria baru datang ke dalam kehidupannya dan mengaku sebagai ayah kandungnya. Entah kenapa, setiap Mutia merasakan sedikit kebahagiaan maka akan ada perasaan yang mengganggu dirinya.

Seperti macam ini.

Perasaan melankolis tidak menyangka bahwa dia berhasil menyelesaikan pendidikan kuliahnya, tanpa siapa pun tapi Tuhan benar-benar menjaga dirinya dan menyokong dirinya dalam bentuk rezeki apa pun. Jadi, bagaimana Mutia tidak bisa bersyukur? Dia sangat bersyukur.

Akhir-akhir ini kehidupannya benar-benar berjalan dengan sangat lancar.

Siapa sangka, siang ini di lorong kelasnya setelah teman-temannya mengucapkan selamat atas keberhasilan sidang skripsinya, Devano Soeridjo bersama Mahendra Rekartono dan tak lupa pria yang memeluknya sangat erat ketika bertemu kembali saat makan malam keluarga Mahastra Rekartono datang membawa buket bunga masing-masing.

Mereka bertiga saling menatap satu sama lain seakan tengah menunjukkan taring masing-masing. Dan aura permusuhan begitu kental terjalin di antara ketiganya.

Demi Tuhan, Mutia tidak mengharapkan keributan siang ini.

"Selamat anak Ayah..." Devano Soeridjo jalan lebih dulu menyambut Mutia ke dalam pelukannya. "Anak Ayah hebat sekali! Sudah lulus kuliah—"

"Minggir!"

Tubuh Mutia dan tubuh Devano yang sedang berpelukan itu tiba-tiba saja terpisah karena seseorang yang baru saja memisahkannya dengan aksi yang cukup brutal.

Siapa lagi orangnya kalau bukan Mahastra Rekartono.

"Anak Papi..." ujar Mahastra kepada Mutia.

Entah sejak kapan, tapi Mahastra Rekartono yang pernah bertemu dengannya saat pemakaman ibunya itu menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Papi. Padahal, Mutia tidak pernah memintanya.

Sedangkan ayah kandungnya sendiri, Mahendra Rekartono terlihat pasrah dan bahkan hanya menyaksikan tingkah laku manusia dua orang dewasa yang tidak bisa disebut dewasa itu.

Mutia mengulas senyuman bangga kepada Mahendra dan dibalas senyuman langsung oleh pria itu.

Melihat bagaimana manisnya Mutia kepada Mahendra, berhasil mengusik rasa iri yang ada pada hati Devano dan Mahastra.

"Terima kasih..." ucap Mutia sambil menerima buket bunga dari Devano dan Mahastra. "Kalian semua datang ke sini di jam kantor, pasti kalian semua sibuk."

Devano dan Mahastra menggeleng bersamaan. "Nggak, Nak..." jawab Devano. "Ayah kan sudah janji mau datang,"

"Kecuali yang satu itu," tunjuk Mahastra kepada Mahendra dengan wajah tengil. "Papamu yang satu itu re-schedule meeting dengan beberapa klien pentingnya."

"Oh ya?" Mutia membulatkan matanya meminta jawaban secara langsung pada sang Papa. "Benarkah?"

Mahendra lantas jalan mendekati Mutia sambil tersenyum tanpa lepas. "Benar, tapi kliennya ikut senang setelah tahu Papa harus merayakan kelulusan anak Papa sendiri,"

Mutia tak bisa menyembunyikan senyumannya kali ini, Mahendra memberikan buket bunganya dan mengambil alih dua buket bunga dari Mahastra dan Devano. "Kamu peluk bunga dari Papa saja ya, jangan peluk bunga dari mereka," katanya sambil melirik Devano dan Mahastra bergantian. "Papa cemburu."

Mutia terkekeh pelan, sementara Devano dan Mahastra mendengus sinis. "Norak!" ledek Mahastra kepada kakaknya itu.

"Maaf hari ini belum ada perayaan dulu, ya." kata Mutia sengaja membuat pengumuman lebih cepat. "Aku harus kerja hari ini, kebetulan shift siang."

"Nggak bisa izin dulu, Nak?" tanya Devano.

"Nggak," geleng Mutia. "Aku kan, harus rajin biar bisa naik jabatan."

"Nggak usah bingung," kata Mahastra kali ini dengan senyuman yang tak ada habis-habisnya. "Papi bisa carikan pekerjaan yang layak untuk kamu, mau kerja di kantor Papi?" tawarnya.

Mahendra buru-buru menggeleng tidak setuju. "Nggak, anakku tidak akan bekerja di kantormu yang rusuh itu!"

Mahastra berdecak, sedangkan Devano tahu kalau Mutia sudah memiliki impiannya sendiri. "Ayah percaya anak Ayah tahu apa yang diinginkannya tanpa harus direcoki oleh orang-orang."

"Apa maksudmu?!" sahut Mahastra yang sensitif.

Devano mengangkat dagunya dengan sebal. "Anakku ini pintar, kemandiriannya tidak perlu diragukan lagi."

"Masalahnya aku tidak mau Mutia kerja capek-capek di restoran Jepang itu!"

"Kalau Mutia yang ingin memangnya kamu bisa apa?!"

Perdebatan itu benar-benar harus Mutia lerai. "Stop it, jangan buat keributan di kampusku ya..."

Mahendra hanya bisa menghela napasnya dengan prihatin, kasihan sekali putrinya ini. "Papa lebih tahu apa yang kamu inginkan, Sayang."

Mutia langsung mengangkat wajahnya pada sang Papa. "Apa, Pa?"

"Kamu pasti ingin melakukan pekerjaan yang sama seperti Ibumu dulu, kan? Bekerja sebagai news anchor?"

Bagaimana bisa...

Mutia tertegun dan memikirkan dari sekian banyak impian, melihat foto sang Ibu atau bagaimana jejak digital yang tertinggal tentang Ibunya sebagai penyiar berita paling digemari membuat Mutia menginginkan hal yang sama. Tapi dia sadar, sampai kapan pun Mutia tidak akan bisa mengikuti jejak ibunya.

"Papa..." Mutia masih tergugu tak percaya.

Sedangkan Devano dan Mahastra merasa kalah satu langkah dari Mahendra yang benar-benar menunjukkan betapa seriusnya pria itu mencintai putrinya sendiri.

"Papa bisa membantu kamu menjadi news anchor di stasiun televisi Media Global. Kamu mau?"

Kedua mata Mutia berkaca-kaca, baru kali ini dia mendapatkan keberuntungan yang tidak bisa Mutia jabarkan lagi. Ini adalah hadiah paling indah yang pernah dia miliki, dan baru kali ini Mutia merasakan kekuasaan sang Papa dapat membantunya hingga Mutia tak bisa lagi membendung perasaan senangnya untuk menggapai cita-cita agar bisa seperti Ibunya.

"Mau Pa... aku mau sekali!"

Mutia berlari memeluk Mahendra dengan senang, Mahendra menerima pelukan putrinya dengan kekehan bahagia. "Papa akan berikan apa pun yang kamu inginkan."

Mahendra mengusap puncak kepala Mutia yang masih memeluknya, sementara Devano merasa lega entah kenapa baru kali ini dia melihat putrinya tersenyum begitu lepas menerima kebahagiaan yang datang kepadanya.

Mutia pantas mendapatkan itu semua, pikirnya. Devano mungkin gagal dalam memberikannya perlindungan, kebahagiaan dan rumah yang nyaman untuk Mutia. Tapi setidaknya, ayah kandung putrinya bisa memberikan kebahagiaan untuk Mutia.

Semua itu sudah cukup bagi Devano.


***


"Julie, listen to me."

Wanita itu menghentikan langkahnya ketika pria yang sudah mendatanginya seminggu lalu ke Indonesia itu tetap kukuh berusaha meyakinkan Julie agar dia kembali pulang ke New York.

"He's a son of President," ujar Owen kepada Julie. "Hubunganmu dengannya akan menjadi kontroversi kalau kamu terus melanjutkannya,"

"You better stop," ancam Julie tak suka dengan kelancangan yang Owen katakan kepadanya. "Aku menunggu Prabu, selalu."

Owen tersenyum miring meremehkan Julie. "Aku sudah mengingatkan kamu berapa kali, Julie? I can give you everything, Prabu dan keluarganya tidak akan melihat kamu sama sekali, Julie. Apa yang kamu belum sadari sampai sekarang?"

Julie mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tahu kalau kedatangan Owen juga bukan hanya sekedar meyakinkannya saja, tapi ada kongkalikong yang menyebalkan di antara Owen dan ibunya.

Julie sudah seringkali menemukan hal seperti ini ketika Owen memaksa dirinya untuk menerima pria itu. Sementara Julie tetap memiliki obsesi keras kepada Prabu karena pria itu banyak menjanjikan hal yang dia inginkan.

Jujur Julie lelah hidup seperti ini, tidak ada kemajuan dan hal yang bisa dia banggakan. Menikah dengan Prabu adalah satu-satunya jalan Julie bisa merubah kehidupannya. Setelah menikah dengan Prabu, kehidupannya pasti berubah, Julie memimpikan hal besar jika dia akan menjadi menantu dari seorang Presiden Indonesia.

Memang, siapa yang tidak mau memiliki kebanggaan sebesar itu? Belum lagi keluarga Prabu juga keluarga yang memiliki kekayaan yang fantastis, jika dibandingkan dengan Prabu, Owen tidak punya apa-apa.

"Jika dia benar-benar ingin menikahimu, seharusnya dia sudah membawamu datang menemui keluarganya! Tapi apa yang kamu dapatkan?" tanya Owen lagi tanpa bosannya meremehkan kebodohan Julie yang mau-maunya dibodohi oleh Prabu. "Pria itu bahkan sedang berusaha menjaga reputasi keluarganya! He's not into you!"

"Berhenti bicara, Owen." tekan Julie tak suka. "Prabu bukan pria sepertimu."

"Ya, memang bukan pria sepertiku." balas Owen tak mau kalah. "Tapi hidup adalah realitas, setidaknya aku ingin kamu bisa bersikap realistis dalam menanggapi hal sesuatu. Tidak mungkin juga Prabu akan menikahimu sementara kamu masih tidak memiliki agama."

"..."

"Indonesia melakukan segalanya dengan legalitas, Julie. Mereka hidup atas norma hukum agama dan negara. Apa yang kamu pikirkan sebenarnya?"

"..."

"Come to me, Baby..." bujuk Owen tanpa lelah kini berjalan mendekati Julie. "Pulang bersamaku ke New York, di sini bukan tempatmu."

Julie memejamkan matanya lelah. Ya, ia pun lelah menunggu Prabu. Pria itu bilang bahwa dia akan memperjuangkan Julie ke hadapan keluarganya, bagaimana pun Prabu selalu bersikeras ingin menikah dengan restu orangtuanya.

Apa dia benar-benar menginginkan pria pengecut seperti Prabu? Tapi Prabu bukan pengecut bagi Julie.

"Please..." Owen memohon kepadanya.

Ketika salah satu telapak tangan Owen menyusuri wajahnya, Julie tersadar bahwa selama ini Owen memang selalu menunggunya. Entah berapa kali dia selalu mengusir Owen agar pergi dari kehidupannya.

"This is not your home, aku tahu kamu lelah..." Owen mengecup bibirnya.

Julie memejamkan matanya dan merasakan napas Owen yang panas dan lembut di sekitar wajahnya, Owen kembali mencium bibirnya dengan lembut. "I love you, always love you my dear..."

Julie membuka matanya, menatap kedua mata Owen dan menahan napas ketika dia sadar bahwa dia merindukan sentuhan seorang pria. Julie benar-benar rindu rasanya dicintai dan diberi kasih sayang lewat sentuhan seperti yang Owen lakukan saat ini.

"Owen... I need him,"

"I need you," balas Owen. "Dia tidak membutuhkan kamu, tapi aku membutuhkan kamu,"

Owen mencium tengkuk Julie dan turun menuju lehernya, Julie menerima semua perlakuan Owen dan tanpa dia sadari. Dia telah tidur bersama temannya di apartemen milik Prabu.




***




"Gue butuh speaker Marshal Mas Pra,"

Mutia heran, sejak tadi siang Tara kukuh ingin membawa speaker dan gitar akustik kakaknya yang ada di apartemen.

"Kan kita buat acara kecil-kecilan aja, Tara..."

"Tapi tetap aja kalau nggak ada speaker nggak asik!"

"Terserah lah,"

Lalu itu kenapa Mutia bisa ikut ke apartemen mewah, apartemen yang dikenal hanya sultan saja yang bisa tinggal di sini. Apartemen apa lagi kalau bukan Pakubuwono.

Dari awal datang saja Mutia sudah menganga sempurna melihat betapa kerennya apartemen mewah ini.

"Mingkem!" kata Tara sambil mengalungkan lengannya di seputar leher Mutia.

"Mas lo tinggal di sini, Tar? Berapa duit?" tanyanya kepada Tara.

Tara menggeleng sambil berjalan menyapa security yang ada di lobi. "Nggak tahu. Kenapa? Lo suka?"

"Siapa yang nggak suka tinggal di sini?"

"Ya... kalau begitu, nanti gue beli satu unit deh di sini buat kita berdua."

Setelah mendengarkan kata-kata dangdut Tara itu Mutia menjauh dengan wajah sebal. "Jijik!"

"Eh... katanya sayang sama gue? Dan kebetulan gue juga sayang sama lo. Kita memang belum ada official jadian, tapi bisa lah disebut sebagai... ekhem..." kata Tara sengaja membuat Mutia malu bukan main.

Mutia hanya bisa mengendikkan bahunya tak peduli, berusaha terlihat biasa saja padahal jantungnya sudah disko norak sejak tadi.

"Lantai berapa, sih?"

"Dua lima," jawab Tara sambil menekan tombol lift dengan kartu akses.

Mutia menggeleng lagi, jangan bilang dia akan bersikap kampungan sekarang. "Ribet juga sih kalau tinggal di apartemen begini, mana nggak napak tanah, kalau mau ke pasar jauh."

Tara tidak bisa menyembunyikan tawanya sekarang. "Jadi lo mau rumah yang dekat pasar? Berisik dong!"

"Nggak tapi ya yang strategis gitu loh..."

"Noted."

"Apaan nut-nat-not begitu?" sambar Mutia dengan cibiran. "Nggak usah banyak gaya, lo belum kerja ya Taragan."

"Lo juga belum," balas Tara dengan santai, karena lift yang dipakai juga lift private otomatis langsung masuk ke dalam unit milik kakaknya. "Lagian kita berdua kalau mau menikah sekarang juga sama Mama dan Papa gue bakal ditampung kok, nggak bakalan di usir."

Mutia dan Tara melenggang masuk bersamaan ke dalam apartemen dengan tawa. "Malu banget numpang Bapak sama Ibu—"

Tara langsung menghentikan langkahnya ketika mendengar suara desahan yang bersahutan. Sementara itu Mutia hanya bergeming tak mengerti, menarik ujung kaus Tara dan meminta jawaban. "Kenapa?"

Tara menggeleng. "Lo diam di sini," pintanya kepada Mutia.

Sementara itu Tara melangkah masuk ke dalam, sambil mengikuti apa yang dia dengar. Karena jika tak salah, Tara sudah benar-benar mendapatkan konfirmasi kalau kakaknya tengah berada dalam meeting penting siang ini.

Jadi, suara desahan pria dan wanita itu suara... siapa?

Tanpa sungkan dan rasa penasaran yang tinggi, Tara membuka pintu kamar kakaknya. Dan alangkah terkejutnya ketika Tara melihat si Bule New York bernama Julie itu tengah telanjang bulat dengan pria yang ada di atasnya. Mereka berdua tengah memadu kasih saling berbagi keringat satu sama lain tanpa menghiraukan kedatangan Tara.

Melihat hal gila itu, Tara tidak menyia-nyiakan kesempatan dan buru-buru mengambil video untuk dia tunjukan kepada kakaknya nanti.

Setelah mengambil video dengan durasi sepuluh detik itu, Tara menendang pintu kamar apartemen kakaknya dan berteriak. "Dasar manusia hina lo berdua! Ngapain lo berdua ngewe di apartemen kakak gue hah?!" teriaknya penuh emosi.

Keduanya langsung memisahkan diri satu sama lain, dari arah belakang Mutia buru-buru berlari menghampiri Tara dan dia menjerit melihat sepasang manusia telanjang bulat di dalam kamar.

Tara langsung sigap menutup kedua mata Mutia dengan telapak tangannya, wajah bengisnya masih dia lemparkan pada manusia di depannya.

"Tara..." ujar Julie gugup mengambil selimut yang ada di atas ranjang. "Ini nggak seperti—"

"ITU SUDAH SEPERTI YANG GUE LIHAT BULE KAMPUNG!" bentaknya dengan penuh emosi. "Jangan banyak berkelit sama gue!"

Tara melirik bule laki-laki yang tengah memakai celana dengan santainya dan pria itu pun berjalan mendekati Tara dengan santai. "Chill boy, ada bagusnya juga kita ketahuan," katanya sambil melirik Julie.

Sementara Julie naik pitam mendengarnya. "Shut up!" dengan panik, Julie mendekat kepada Tara dengan tatapan memohon. "Tolong Kakak Tara... ini semua terjadi karena dia mengg—"

"Terserah," balas Tara tak peduli memberikan tatapan jijiknya. Tara masih berusaha melindungi kedua mata Mutia agar tidak melihat hal hina di depannya. "Bersihkan apartemen kakak gue, dan kalian berdua tolong pergi dari sini."

Setelahnya Tara pun mengajak Mutia pergi dari apartemen kakaknya itu, persetan! Lupakan speaker dan gitar akustik, dada Tara panas dipenuhi oleh emosi dan tidak sabar menunjukkan video eksklusif ini kepada kakaknya.

Memang setan para bule itu!

***

a/n:

Kasian bgt nasib prabu 😒

Rabu, 25 Desember 2024.

Best regards,
Her.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro