Bab VIII
Bagi Tara dalam beberapa waktu dia mendekati Mutia dan berusaha membuat cewek itu nempel dengannya baru kali ini Mutia menjawab pesannya dengan sangat baik dan... enak untuk dibaca.
Katanya, cewek itu ingin makan bersama dengannya malam ini. Ya Tuhan... nikmat mana lagi yang akan kau dustakan? Tara tidak bisa berhenti tersenyum seperti orang bodoh jika tahu bagaimana seorang cewek di luar sana yang sudah dia incar sejak lama mengajaknya makan bersama.
Hidup memang terlalu indah untuk di sia-sia kan.
"Hai," kata Tara ketika mengangkat panggilan dari Mutia. "Mau makan dimana nanti malam? Oke, ya sudah lo yang reservasi gue ikut aja, okay... see you.."
Prabu yang ada di pinggir Tara mendengus sinis melihat hal yang paling menjijikkan yang pernah dia lihat seumur hidup. Adiknya yang tengil itu benar-benar tengah jatuh cinta pada cewek, dan kelakuannya sangat norak.
"Cewek yang kemarin?" tanya Prabu kepada adiknya.
Tara melemparkan bola basket nya dan berhasil memasukkannya ke dalam ring. "Iya, gue bukan lo yang suka ganti cewek kayak ganti daleman," ledeknya pada sang kakak.
"Haish!" Prabu tidak bisa menahan diri untuk menendang pantat Tara. "Gue nggak pernah sesering itu ganti cewek,"
"Masak?" tanya balik Tara dengan wajah meledek. "Bukannya waktu SMA lo senang banget bikin cewek nangis terus gagal move on sama lo? Brengseknya memang sudah dari dulu, sih. Gue mah, paham."
"Beda zaman, beda generasi." ledek Prabu tak mau kalah. "Lo sama gue itu bedanya cukup jauh ya, Taragan."
Tara menutup mulutnya sendiri menahan tawa. "Tanpa lo kasih tahu, gue juga tahu lo sudah tua."
"Bocah ini memang!" Prabu mengepalkan tangannya gemas ingin menonjok adiknya itu.
Andaikan saja Tantenya, Amira tidak menghentikan perdebatan antara adik dan kakak itu.
"Siapa yang punya cewek?" tanya Amira penasaran dengan perdebatan keponakannya itu.
Semenjak kakak iparnya dan kakaknya sibuk menjalani tugas negara, Amira memang turun secara langsung untuk menjaga kemakmuran rumah kakaknya ini. Masalahnya, kakaknya ini punya dua anak yang super duper berantakan. Maklum memang karena mereka anak lelaki, tapi tetap saja seorang ibu tidak bisa meninggalkan rumah dengan tenang jika setiap saat Prabu dan Taragan berdebat hal yang bahkan tidak jelas.
"Lho?" Tara membulatkan kedua matanya melihat keberadaan sang Tante dengan heran. Mengekori Tante nya yang baru saja duduk di gazebo belakang rumah. "Tante kok di sini? Nggak kerja?"
"Kerja terus," cibir Amira malas sambil duduk lesehan di sebelah Tara dan membuka sembarangan majalah yang ada dibawah meja kaca. "Nanti jam tiga ke rumah sakit, ada yang mau melahirkan SC."
Tara mengangguk, sementara Prabu tengah tersenyum seperti orang gila sambil menatap layar ponselnya. Sepertinya keponakannya yang sudah besar itu memang sebentar lagi akan menemukan waktu untuk mengadakan pesta besar.
"Buat apa ganteng kalau nggak nikah," cibir Amira lagi.
Kata-katanya berhasil membuat Tara maupun Prabu menoleh secara bersamaan. "Buat aku, Te?" tanya keduanya menunjuk dirinya sendiri.
Prabu dan Tara melengos satu sama lain menyadari spontanitas mereka yang selalu bersamaan. "Ya... kalau merasa ganteng ya harusnya sadar diri toh, mana sudah pada besar kalian itu, kalau anak-anak Tante sih..."
"Mas Prabu duluan, Te!" sahut Tara cepat. "Aku nggak mungkin langkahi Mas Prabu, takut dimarahi Mama."
Amira menatap keponakan keduanya itu dengan raut geli. "Memangnya kamu sudah siap menikah?"
"Udah, cewek aku yang belum siap diajak nikah."
Prabu berdecak jijik mendengarnya. "Lo PDKT aja nggak kelar-kelar udah mau ajak anak orang nikah aja!"
"Ya daripada lo? Susah ya perizinannya nikah sama bule?" Tara menjulurkan lidahnya kepada Prabu.
"Masih kamu sama Julie?" timpal Amira terkejut. "Tumben betah sama yang sekarang?"
Semua sudah tahu bagaimana track record seorang Prabuanta jika sudah berpacaran. "Kalian berdua memang senang meledek ya," desisnya tak terima.
"Lho... Tante kan, cuman tanya... kamu betah sama yang sekarang?"
"Ya begitu." Prabu mengusap lehernya canggung. "Cuman Mama masih setengah hati sama Julie,"
"Wajar..." Amira menepuk punggung keponakannya itu. "Dulu, Tante sebelum menikah dengan Om Andra pun banyak perhitungan dan pemikiran yang harus diluruskan,"
Tiba-tiba saja Tara merasa tertarik dengan obrolan Tantenya. Ya hitung-hitung bekal wejangan menikah yang harus dia kantongi. "Kenapa Tuh, Tan?"
"Tante kan murni berasal dari keluarga Jawa, Tara." balasnya kepada Tara. "Sementara Om Andra kan orang Sunda."
Prabu menyipitkan matanya geram mendengar masalah suku persukuan yang tidak akan pernah selesai. "Masih saja masalah suku,"
"Bukan masalah suku, sih..." Amira menghela napasnya ketika mengingat masa-masa menyebalkan dirinya sebelum menikah dengan suaminya. "Orang Jawa, seringkali memikirkan bebet, bibit dan bobot, tiga hal itu benar-benar sangat penting bagi kita—tidak hanya Jawa semua suku pun pasti mementingkan tiga hal itu sebelum menikah, alasannya mudah jika kita menikah dengan satu suku. Pertama; kita tidak perlu mencampuradukkan adat istiadat yang lain, komunikasi tidak akan jadi masalah ketika kita menikah dengan sesama suku,"
"Tapi Mama nikah sama Papa. Papaku kan, orang Aceh, Te." ujar Tara mencari pembenaran.
"Andaikan kamu tahu bagaimana sulitnya Papamu merayu Eyang Kung dulu," Amira tersenyum penuh arti menatap Tara. "Kalau dibilang susah ya susah, tapi agama Papamu memang cukup bagus, maklum karena Papamu orang Aceh, mungkin itu poin plus yang Eyang Kung lihat,"
Prabu terkekeh pelan mengiyakan. "Buktinya Papa jadi Presiden juga,"
"Siapa sangka Papamu bakal jadi Presiden?" Amira tersenyum teduh. "Julie kan belum masuk agama Islam, Pra." tambahnya lagi kini membahas permasalahan yang masih mendarah daging di keluarga karena Prabu adalah salah satu cucu laki-laki tertua. "Budaya barat dan budaya kita jelas-jelas punya banyak perbedaan, mungkin Mamamu ingin kamu mendapatkan jodoh dari Indonesia karena dia ingin kamu mendapatkan istri yang bisa mengikuti kamu dalam segala hal."
"Julie bisa mengikutiku dalam segala hal, Te." balasnya lagi membela sang kekasih. "Kalau Mama masih memperdebatkan soal perempuan yang bisa mengikutiku, apa bedanya perempuan yang aku nikahi dengan ART?"
"Bukan itu poinnya," Amira dengan sabar berusaha menjelaskan kesalahpahaman antara kakaknya dengan sang anak sulungnya ini. "Mungkin kamu tidak akan memahaminya karena kamu laki-laki, dan sejauh ini Tante memberi maklum karena kamu memang tidak tumbuh secara utuh di Indonesia."
Prabu mengerutkan keningnya, sementara Tara menjadi pihak pengamat. Dia memang tidak pernah ikut campur ke dalam urusan hubungan kakaknya dengan bule si Julie-Julie itu. Bahkan, Tara hanya pernah bertemu dua kali? Tiga kali? Entahlah, lupa, karena kakaknya memang selalu sengaja menjauhi Julie dari keluarganya. Terutama, dari sang Mama yang benar-benar menentang hubungannya.
Cantik sih, tipikal bule campuran yang tidak murni Amerika banget, tapi ya tetap bagi Tara—makan sandwich dan butter tiap hari tidak akan bisa membuatnya kenyang. Tara tetap mengagumi cewek yang bisa memasak makanan lokal Indonesia.
"Sebagai perempuan, Tante tahu apa yang Mama kamu inginkan, Pra."
Prabu terdiam menunduk sementara Amira hanya bisa berusaha semampunya, jika Prabu masih bisa mengikuti arahan dan keinginan orangtuanya, maka Amira akan sangat bersyukur.
"Memiliki istri itu artinya kamu siap bertanggung jawab, memiliki istri juga kamu akan paham kalau kamu tidak bisa hidup tenang setelah kamu dan istri kamu kedatangan anggota baru yaitu—anak." Amira dengan tegas mengutarakan apa yang kakaknya khawatirkan. "Mama kamu ingin perempuan yang berasal dari Indonesia karena apa? Satu; tanpa menggeneralisasi, Mama kamu yakin kalau perempuan Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Soal pendidikan? Kita bisa cari, soal attitude? Kita bisa menyeleksi, yang penting kamu tahu apa? Mama kamu ingin perempuan yang bisa menuntun, tunduk, dan menghormati kamu sebagai kepala keluarga nantinya. Dan perempuan Indonesia memiliki pemikiran menghormati lelaki sebagai kepala keluarga yang sudah ditanamkan sejak dahulu."
"Tetap tidak masuk di akal, Te." balas Prabu berusaha menyangkal apa yang baru saja dia dengar. Prabu tidak sesempit itu untuk mengkotak-kotakan pribadi seseorang dengan asal usulnya. Sangat tidak bisa dia terima. "Manusia memiliki daya tariknya masing-masing, persoalan menghormati atau tidak, itu tergantung pada setiap sikap dan kebiasaan pasangan, Tante."
"Perempuan tidak bisa dinilai semudah itu, Prabu." Amira tidak tahu apa yang dia katakan akan berdampak keras untuk Prabu atau tidak. "Tapi kamu adalah putra dari seorang Presiden dan Ibu Presiden. Setelah ini, segala kehidupan Mama dan Papamu akan di sorot, termasuk calon menantu yang akan diperkenalkan pada publik. Tante tidak mau banyak basa basi lagi, tapi ini semua untuk kebaikan kamu sendiri."
"Aku bisa menikah di luar negeri dan membawa Julie pergi,"
"Itu pemikiran yang salah," Amira menembaknya tanpa belas kasih lagi. "Kalau kamu tetap keras kepala, Tante takut kamu akan menyesal nantinya."
"Aku yang memilih Julie, dan sudah aku pastikan aku tidak akan menyesal."
Tara mendengus, mencoba menenangkan dirinya sendiri ketika sadar bahwa Mutia bisa jadi tidak disukai oleh Mamanya juga. Sejauh ini, Tara memang belum tahu siapa Mutia sebenarnya, bagaimana orangtuanya dan bagaimana lingkup keluarganya.
Apa dia akan mendapatkan restu sesulit kakaknya? Tara rasa tidak... karena Mutia bisa jadi masuk kategori baik untuk dijadikan menantu.
Ya, Tara tidak boleh pesimis, mungkin kakaknya memang sulit untuk mendapatkan restu tapi setidaknya Tara tidak boleh membuat Mutia kesusahan untuk mendapatkan restu dari Mama dan Papanya nanti.
***
"Lo bisa mengaji?"
Mutia mengangkat wajahnya dengan mulut yang penuh dengan nasi serta potongan daging ayam di dalamnya. Tara dan Mutia tengah makan bersama di warung tenda nasi pecel lele, ya, Mutia benar-benar melakukan reservasi terbaik hingga Tara kepanasan bukan main karena duduk di jarak yang cukup dekat dengan penggorengan serta gas elpiji berukuran tiga kilogram itu.
Mutia mengambil satu helai tisu dan memberikannya kepada Tara. "Dahi lo berkeringat," katanya sambil menunjuk dahi Tara.
Tapi memang pada dasarnya Tara ingin dimanja, Tara malah memajukan wajahnya dan meminta Mutia untuk mengusap keringat pada dahinya. Dan ternyata, cewek itu mengusapnya tanpa banyak protes!
Ini hebat. Keajaiban telah terjadi pada Mutia dan dirinya!
"Thanks," Tara tidak bisa menyembunyikan senyumannya.
"Bisa," jawab Mutia setelah menelan. "Terakhir ngaji baru sampai iqro tiga,"
Senyum Tara langsung surut begitu mendengarnya. "Iqro tiga?! Belum lulus iqro?! I mean, belum bisa baca al-quran?"
Mutia mengangguk lagi. "Iya, nggak ada yang ngajarin gue ngaji soalnya,"
"Kok bisa? Nggak masuk DTA atau madrasah?"
Mutia menggelengkan kepalanya. "Nggak, kenapa?"
"Terus hapal surat apa aja?"
"Al ikhlas, An-Nas, Al-Falaq," jawabnya tanpa gengsi. "Kenapa?"
"Terus..." Tara tidak melanjutkan makannya kembali karena dia sudah gerah dan tidak nyaman dengan tempat kaki lima ini! "Kalau shalat bacaan suratnya tiga surat itu aja?"
Mutia mengangguk percaya diri. "Iya, kenapa sih tanya-tanya?! Lagian Allah juga memaklumi,"
"Bu-bukan begitu," Tara mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya sekarang. "Mau belajar ngaji sama gue, nggak?"
Sekarang giliran Mutia yang tercengang dengan tawaran yang Tara berikan. "Serius lo?"
"Ya, serius. Mau nggak? Belajar mengaji sama gue terus hapalan surat minimal juz 30,"
Mutia menyipitkan matanya menatap Tara dengan curiga. "Lo sudah pernah khatam?"
"Sudah," jawab Tara lagi, tapi dia tidak memedulikan tentangnya, masalahnya Mutia ternyata belum pernah lulus Iqro? "Mau nggak? Gue bisa jadi guru ngaji lo,"
"Gayanya..." Mutia mencibir memiringkan bibirnya. "Ya sudah, gue mau."
Kedua mata Tara berbinar senang. "Belajar ngajinya di rumah gue aja, ya?"
"Oke," jawabnya tanpa protes.
Tara tersenyum lebar, lalu dia pun berinisiatif mengambil sehelai tisu dan mengusap keringat yang ada pada pelipis Mutia. "Kok lo tumben nggak banyak protes? Biasanya seneng berdebat sama gue, kenapa tiba-tiba baik, sih? Kan jadi seneng gue..."
"Apaan," dengus Mutia. "Jadi lo mau gue gimana?"
"Tetap kayak gini," jawab Tara cepat sambil menyelipkan helaian rambut Mutia ke belakang telinga. "Supaya gue senang,"
Mutia berdecih geli, lalu dia melihat ponselnya yang menyala. Melihat hal itu, Tara ikutan kepo. "Siapa?"
"Papa gue," jawab Mutia dengan senyuman yang tulus.
"Ayah? Apa Papa?"
"Papa, yang ini Papa gue asli."
"Yang kemarin makan siang sama gue memangnya bukan?" tanya Tara bingung.
Mutia menggeleng. "Bukan, dia ayah tiri gue."
Tara membulatkan bibirnya dan mengangguk. "Jadi lo punya Papa dua? Keren..."
Mutia malah tertawa mendengarnya. "Baru kali ini gue ketemu orang yang nggak menghakimi ketika ada yang punya Papa dua,"
"Lho? Bukannya bagus?" timpal Tara dengan cara yang sederhana. "Itu tandanya, banyak yang sayang sama lo karena lo adalah anak yang spesial."
Mutia menoleh kepada Tara dan memandang Tara dengan penuh arti. "Jadi... menurut lo gue spesial?"
"Iya dong, kurang spesial apa lagi sampai lo punya ayah dan Papa? Gue aja cuman punya Papa." katanya menepuk puncak kepala Mutia.
Mutia terkekeh lembut dan menyadari satu hal, Tara tidak pernah memandangnya secara rendah, dan bahkan Tara tidak memaksanya untuk bercerita. Bagaimana tanggapan Tara setelah tahu pun membuat Mutia tenang, dan merasa tidak dikucilkan.
Sejauh ini, banyak teman-temannya yang melihat Mutia dengan sebelah mata. Entah karena dia memiliki ayah tiri, ataupun Mutia yang sudah tidak memiliki ibu. Menjadi anak piatu sejak kecil membuat Mutia terbiasa tanpa perhatian dan kehadiran sosok ibu di sisinya.
***
a/n:
Ada yang mau belajar ngaji nih. Masalahnya, si Tara beneran mau menyelamatkan Mutia sebelum ketemu sama ibu negara. Minimal, bisa ngaji dan hafal juz 30 dulu biar lolos jadi menantu idaman wkwkwk 🤭🤭
Udah double update yaaa, yok ramein yokk biar aku semangat 🤭
Kamis, 19 Desember 2024.
Best regards,
Her.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro