Bab VII
Mahendra memperhatikan gedung, tidak, bangunan? Bagaimana Mahendra menyebutnya tapi kosan yang ada di hadapannya ini memang kelihatannya asri dan manusiawi untuk ditempati, tapi memikirkan putrinya yang tinggal di kawasan kumuh seperti ini membuat Mahendra bergidik ngeri. Apakah keamanan komplek warga ini cukup baik? Bagaimana sistem keamanan berjalan? Atau bagaimana satpam komplek menyeleksi orang luar yang masuk ke dalam komplek?
Bagaimana anak kecil berlalu lalang dengan sepeda, atau lihat bagaimana para wanita yang tengah tertawa satu sama lain di depan pagar rumah. Mahendra mendadak pening dibuatnya. Rema tidak pernah membicarakan soal lingkungan tempat anaknya tinggal seperti ini.
Mahendra membuka kacamata hitamnya, melepaskan kancing jasnya dan menekuk wajahnya dengan masam ketika mendengar para wanita-wanita yang banyak bicara itu melirik ke arahnya sambil membicarakan dirinya.
"... Gayanya kayak Bapak menteri, jangan-jangan dia pejabat?"
"... Bukan, paling politisi."
"... Anggota DPR? Lihat gayanya, pake mobil bagus padahal uang rakyat!"
"... Memang banyak gaya, makan duit rakyat kerja hasilnya nggak nyata."
"... Tapi ganteng, buat apa juga anggota DPR ke sini?"
Mahendra mengurut pelipisnya dan menatap Rema dengan sangsi. Sementara Rema hanya bisa mengangguk canggung sambil melipat kedua tangannya di belakang tubuh.
Ya sudah, memang mau bagaimana lagi? Sebenarnya Mahendra ingin menjawab kalau dia tidak hidup dengan uang rakyat, dan dia juga bukan anggota DPR. Asumsi para wanita-wanita itu memang benar-benar mengerikan.
"Pak, sesuai rencana ya?" bisik Rema di telinganya. "Dari arah barat, Nona Mutia datang bersama temannya baru dari minimarket."
Mahendra menoleh ke arah yang Rema sebutkan tadi, lantas dia bisa melihat satu gadis dan satu laki-laki yang tengah jalan bersama sambil menenteng keresek entah berisikan apa, sementara tawanya bisa di dengar dalam jarak puluhan meter.
Gadis itu mengingatkan Mahendra pada Kassa, wajahnya benar-benar mirip, sama persis dan tidak ninggal apa pun. Ibarat kata hidup ada reinkarnasi maka Mahendra akan setuju, tapi lambat laun dia mengerti kalau gadis yang tengah ia pandangi sejak tadi bukanlah Kassa, melainkan putrinya sendiri.
"Lo lihat nggak wajah Pak Iman waktu kita bilang celananya melorot? Dia malu!" ujar laki-laki yang berbicara kepada Mutia.
Dari lagaknya, Mahendra bisa menilai kalau laki-laki itu agak... belok.
"Iya! Kebanyakan godain cewek-cewek yang parkir di Indomaret, sih! Ketemu sama kita habis kita ledekin!"
"Iya kan?! Ngaco sih kebanyakan gaya udah tua juga!"
Keduanya tertawa kembali, sampai Rema berdeham dan jalan di depan gerbang kosan Mutia. "Permisi," kata Rema dengan sopan menghentikan langkah dua anak itu. "Dengan Shri Anantari Mutiara?"
Gadis itu menoleh dengan penasaran lantas menyentuh dadanya sendiri. "Ya, dengan saya sendiri. Ada apa?"
Mahendra tak bisa menahan senyumannya dan dia menundukkan wajahnya berusaha menahan diri untuk tidak bertingkah konyol seperti menarik gadis itu ke dalam pelukan sambil mengatakan bahwa dia adalah ayahnya.
Mahendra ingin berteriak agar seluruh dunia tahu bahwa dia sudah menemukan putrinya, dan memiliki putrinya.
"Maaf, kami..." Rema menunjuk dirinya sendiri dan menunjuk Mahendra. "... dari PT Tirta RekIndo, secara resmi ingin bertemu dengan Nona Shri Anantari Mutiara,"
"Oh?" kedua alisnya terangkat dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Apa yang bisa saya bantu?" tanyanya lalu dia beralih pada temannya. "Gung, lo bisa duluan naik ke atas,"
Pemuda itu pun mengangguk. "Oke, gue duluan ya," katanya kepada Mutia.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya ulang kepada Rema.
"Begini... kami dapat rekomendasi dari kampus bahwa Anda adalah salah satu mahasiswa berprestasi untuk bisa bekerja di salah satu anak perusahaan kami,"
"Oh ya?" tanyanya tidak percaya. "Pihak kampus memang belum bicara apa pun sama saya soal penyaluran kerja, apa memang informasi belum saya dapatkan? Biasanya pihak kampus memberitahu terlebih dahulu."
Lihat, betapa pintanya dia... batin Mahendra dengan bangga, sepertinya ide mengibuli gadis dua puluh satu tahun ini agak sulit untuk dilakukan.
"Kami sengaja ingin memberikan undangan lamaran tawaran pekerjaan secara langsung," kata Rema lagi sambil melanjutkan kata-kata penuh kebohongannya itu, sebenarnya Mahendra sendiri tidak yakin kenapa pendekatan dan perkenalan antara dirinya dengan anaknya harus macam ini, tapi Rema bilang alangkah baiknya semua terjalin secara normal, alami dan perlahan. "Kontrak yang akan kami berikan pada mahasiswa lulusan terbaik memang diberikan secara eksklusif, demi menjaga kerahasiaan dan tidak tersebarnya pemberitaan yang bisa mengundang hoax perusahaan kami."
"Ah..." Mutia manggut-manggut berusaha memahami apa yang pria itu katakan, lalu dia pun beralih menatap Mahendra. "Kalau Bapak sendiri?" tunjuknya kepada Mahendra.
Mahendra menatap Rema meminta jawaban, tapi dia sendiri pun bingung lantas berdeham demi mengurai kecanggungan yang sangat sialan ini. Rencana dari Maminya tidak begini, malah Maminya yang meminta agar Mahendra diam saja dan tunggu beres, tapi memang pada dasarnya dia pun tidak bisa bersabar.
"Rem, sebaiknya kita—"
"Saya familiar dengan wajah Bapak," ujar Mutia lagi sambil mengerutkan dahinya menatap Mahendra dengan wajah yang menelisik. "Dulu ada lelaki yang datang pada saya sambil mengaku bahwa dia adalah Papa saya, dan wajah Bapak—"
"Sebenarnya kami—" Rema baru saja akan menyelamatkan Mahendra ketika Mahendra mengangkat tangannya dan merasa penasaran dengan apa yang anaknya katakan. "Siapa yang mengaku sebagai Papamu?" tanyanya dengan wajah penasaran. Bukan main, bagaimana dengan skenarionya? Pikir Rema panik.
Lantas Mutia pun menggeleng ragu karena takut salah sangka. "Nggak jadi, Pak. Maaf, sepertinya saya salah—"
"Saya tahu seluruh tentang kamu," kata Mahendra membantah kata-kata Mutia. "Jadi, katakan siapa yang mengaku menjadi Papamu?"
Mutia menggeleng menatap Mahendra dengan skeptis, lalu melirik Rema dengan bingung sekaligus mencurigakan. "Sepertinya saya tidak bisa berbincang dengan kalian, permisi." ujarnya pamit undur diri.
Mahendra menahan lengan Mutia sambil berkata. "Tunggu."
Rema membuang napasnya dengan lelah, jadi apa ini rencananya? Buyar?
"Pak? Saya bisa berteriak kalau Bapak lancang kepada saya." balas Mutia dengan wajah sinis.
Mahendra mengangguk cepat dan kaku. "Saya tahu, tapi bisa kamu ikut dengan saya? Ada yang perlu saya beritahu kepada kamu,"
"Tidak," tolak Mutia tegas.
"Saya mohon," Mahendra menatap Mutia dengan sungguh-sungguh, berusaha berpikir keras rencana apa lagi yang bisa dia lakukan untuk membuat Mutia percaya kepadanya? Apa dia perlu menyeret nama Kassa ke dalam sebuah obrolan? "Saya adalah salah satu orang yang mengenal Ibumu,"
Kini giliran gadis itu terdiam dan mundur teratur karena ketakutan, Mahendra bisa menangkap ketakutan yang ada pada wajah anaknya itu, astaga kenapa semuanya jadi kelihatan rumit seperti ini? Tidak bisakah Mahendra memperkenalkan diri secara normal kepada anaknya sendiri?
"Saya mengenal baik Shri Kassaleah, Ibu kamu." ucap Mahendra dengan sungguh-sungguh dan tatapannya tidak lepas sama sekali dari Mutia. "Ibumu adalah perempuan yang sangat saya cintai, hingga sekarang."
***
Yosepha sengaja mengundang anak keduanya, Mahastra dan istrinya Anne Alawi untuk duduk bersama, berbincang hangat dengan secangkir teh yang menemaninya di kala perasaannya sendiri tengah gundah. Pikirannya bercabang, dan tidak ada satu pun pikirannya yang benar-benar sudah berhasil.
Tidak tahu sudah sampai mana usaha Mahendra untuk membujuk anaknya, sementara Mahastra mungkin tidak akan terima dengan kenyataan yang akan dia katakan hari ini.
Sebagai sesama wanita, Yosepha berusaha menempatkan diri jika dia menjadi Shri Kassaleah. Tidak ada perempuan yang benar-benar mau diperebutkan dengan cara yang sangat gila dan tidak terhormat.
Dulu, Kassa adalah kekasih Mahastra, entah bagaimana caranya Mahastra memutuskan Kassa dan Kassa malah jadi dengan anak pertamanya, Mahendra. Ketika berhubungan dengan Mahendra, intensitas Kassa dibawa ke rumah memang lebih sering daripada oleh Mahastra. Mungkin, ada perbedaan yang cukup besar dari gaya berpacaran antara Mahendra dan Mahastra.
Dan mungkin, Mahastra juga tidak merasa cocok dengan Kassa pada saat itu. Tapi, ketika Mahendra merencanakan untuk melamar Kassa, tiba-tiba saja Mahastra menentang ide kakaknya yang seolah-olah mengambil mantannya untuk dijadikan istri. Hanya karena satu wanita itu pula hubungan anak pertamanya dan anak keduanya benar-benar hancur.
"Malika tidak pulang hari ini?" tanya Mahastra kepada Yosepha.
Pertanyaan anaknya berhasil menghancurkan lamunannya sejak tadi. "Tidak," jawabnya dengan lesu, anak perempuannya tidak akan mungkin pulang dengan cepat. "Banyak pekerjaan minggu ini, dia minta kelonggaran waktu untuk bertemu dengan calon mertuanya."
Mahastra tersenyum geli. "Dasar," lalu Mahastra memandang wajah lesu Maminya dengan heran. "Mami okay? Masih pusing?"
"Tidak," jawabnya membohongi diri sendiri. "Mami sengaja minta kamu datang karena ada yang ingin Mami bicarakan. Termasuk dengan kamu, Anne."
Menantunya mungkin tidak akan memedulikan ini, tapi Anne berhak tahu kalau sebenarnya Mutiara bukan anak Mahastra tapi anak Mahendra.
"Ada apa, Mi?" balas Anne dengan senyuman yang menawan. "Tumben Mami serius banget hari ini, aku nggak buat kesalahan, kan? Atau mungkin, Mas Mahastra—"
"No, ini bukan tentang kalian berdua," jawab Yosepha menenangkan pikiran menantunya yang sudah kemana-mana. "Maaf kalau sebelumnya Mami bakal buat kalian berdua syok, terutama..." Yosepha memandang putranya sendiri. "Kamu,"
"What's wrong with me?"
"Ini tentang almarhum Kassa, Mahastra."
Mendengar nama itu, Yosepha tahu Mahastra tengah menegang sekarang. Wajahnya terlihat mengeras, dan mungkin sebentar lagi dia akan mengeluarkan emosinya.
"Ada apa?" tanyanya dengan dingin. Raut wajahnya sudah berubah dan tidak sehangat tadi.
Anne, istrinya menyadari ada yang salah dengan suaminya. Sebenarnya dia tahu siapa Kassa dan bagaimana hubungan wanita itu dengan suaminya dulu.
"Anak Kassa sudah ditemukan, dia cucu Mami, Mahastra."
"Ya, aku tahu." jawabnya cepat. "Aku sudah bilang sejak dulu, anak Kassa adalah cucu Mami dan Papi."
"Ya," Yosepha menarik napasnya yang terasa berat. "She's not your daughter, Mahastra."
"Bullshit macam apa ini, Mi?!" bentak Mahastra.
"Mas!" Anne menahan amarah suaminya.
"Diam!" desis Mahastra kepada Anne dengan dingin. "Jangan ikut campur!"
Lihat, belum apa-apa bahkan Mahastra sudah kesetanan begitu. "Mahastra tolong, Mami ingin kamu bersikap tenang sekarang."
"Bagaimana bisa aku tenang?!" balasnya dengan tatapan nyalang. "Aku mencarinya belasan tahun ini! Dia anakku! Dan Mami bilang apa tadi?! Dia bukan anakku?!"
"Mas!" Anne tidak bisa diam saja jika melihat sikap suaminya kurang ajar. "Jaga intonasi bicara kamu!"
Mahastra terdiam dan membuang napasnya. Berusaha mengontrol emosinya sendiri, mengingat pertemuan terakhir dengan anak itu saat anak itu masih kecil, pemakaman Kassa menjadi saksi bisu bagaimana Devano Soeridjo membawa pergi jauh putrinya.
"Dimana dia? Katakan dimana putriku?!" pintanya kepada Yosepha.
Yosepha memegangi pelipisnya yang terasa sakit. "Dia bukan anakmu, Mahastra. Dia anak Mahendra, anak kakakmu, anak perempuan itu keponakan kamu!"
Mahastra terdiam beberapa saat sambil berusaha mencerna apa yang telah Mami dan kakaknya lakukan dibelakangnya. "Apa yang Mami lakukan dengan Mahen?"
"Tidak ada,"
"Mi!"
"Hanya tes DNA!" balas Yosepha tak kalah emosinya. "Mami lelah melihat kedua anak Mami berjauhan, Mami lelah melihat kamu dan Mahendra saling memperebutkan anak itu! Buktinya sudah ada, Mahastra... she's not your daughter, Mahendra adalah ayah biologisnya selama ini."
"Tidak bisa jadi pembenaran," sangkal Mahastra masih tidak percaya. "Kita bisa melakukan tes DNA kembali."
"Kamu hanya akan menyiksa anak Kassa, Mahastra." gumam Yosepha lelah. "Jika kamu benar-benar melakukannya lagi, bukan hanya anak itu yang akan merasa sakit hati, tapi ibunya juga."
Mahastra tertunduk malu ketika mendengarnya, anaknya itu akan selalu kalah dan menyerah jika sudah mendengar nama Kassa. "Kamu bisa menyayanginya juga, tapi tolong... hentikan permusuhan antara kamu dan Mahendra, bisa? Mami hanya ingin anak-anak Mami akur kembali."
"Sudah...." Yosepha mengusap dahinya yang kian terasa sakit. Sakit kepalanya kali ini bukan main. "Mami mau anak-anak Mami baik-baik saja, Mami rasa... Mami belum tentu bakal di kasih banyak kesempatan buat membahagiakan kalian, tapi setidaknya... di usia tua ini, Mami ingin melihat kalian bahagia."
Anne mendekati mertuanya dan memeluknya dengan erat, rasa empatinya bergulung bersama rasa bersalah karena sifat keras kepala suaminya. Hanya karena satu anak perempuan dari wanita yang sama, adik dan kakak berseteru selama bertahun-tahun lamanya.
Anne jadi penasaran, seperti apa bentuknya anak wanita itu, apa benar Mahendra dan mertuanya ini sudah melakukan tes DNA? Karena di sini, bukan hanya Mahastra suaminya yang penasaran, tapi Anne juga. Anne penasaran dengan kebenaran anak itu.
***
"Saya dan ibu kamu pernah hampir menikah,"
Mahendra sebenarnya tidak nyaman dengan keberadaannya saat ini. Kamar kosan—kamar anaknya yang sedang dia masuki ini, memang kelihatan rapi dan nyaman, tapi membayangkan anaknya hidup bertahun-tahun di ruangan sepetak ini membuat Mahendra merasa... kesal bukan main.
Apa yang dilakukan Devano Soeridjo sampai anaknya bisa tinggal di tempat sepetak ini? Dasar pria sialan, gayanya saja yang tinggi, mengakui dirinya sebagai ayah dari anaknya, padahal usahanya nol besar!
Memang harga satu unit apartemen berapa, sih?
Rema yang menjaga di depan pintu pun kelihatan seperti manusia yang tertekan, karena tidak nyaman harus menjaga kamar perempuan muda bersama ayahnya sendiri, andaikan fakta itu bisa dia katakan secara keras.
"Siapa nama Anda tadi?" tanya Mutia dengan dingin.
Sejak gadis itu mengajaknya untuk berbicara di kamarnya, dan Mahendra menjadi tamu khusus anaknya ini, sikap anaknya tidak lagi sehangat saat dia berbicara dengan Rema.
"Mahendra," jawab Mahendra dengan patuh, entah kemana rasa keberaniannya yang sudah menghilang sejak tadi karena harus berhadapan dengan carbon copy Kassa. "Nama saya Mahendra."
"Ah..." lalu gadis itu membuka salah satu kotak barang yang ada di bawah lemari, membawa satu helai foto dan menunjukkannya pada Mahendra. "Jadi ini bukan Anda?"
Mahendra mengerutkan keningnya bingung melihat foto yang sudah di makan oleh usia itu. Di sana adalah foto Mahastra, bukan dirinya. Kenapa bisa Mutia menyimpan foto Mahastra?
"Kamu..."
"Ibu saya menyimpannya, di belakang foto itu memang ada namanya. Mahastra, pria itu pernah datang saat pemakaman Ibu saya dan mengaku bahwa dia Ayah saya."
Brengsek! Maki Mahendra dalam hati. Saya ayah kamu, bukan dia! Teriaknya lagi, dalam hati. "Dia bukan ayahmu,"
"Bukan?" kedua mata bulat Mutia menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Mahendra mengangguk. "Bukan,"
"Kenapa Anda bisa tahu?"
"Karena saya kakak Mahastra, pria yang ada dalam foto itu."
"Ah..." dibandingkan syok, Mutia hanya memberikan respon slengean yang kelihatannya Mahendra tidak memberikan info yang cukup penting untuknya. "Jadi siapa ayah kandung saya sebenarnya kalau bukan pria yang ada dalam foto ini?" tanyanya kepada Mahendra, sambil memiringkan kepala dan berpikir keras, Mutia melanjutkan interogasinya. "Saya nggak tahu, berapa banyak laki-laki yang pernah berhubungan dengan Ibu saya, dulu saat kecil saya sudah terpukul ketika tahu fakta bahwa pria yang saya anggap sebagai ayah ternyata bukan ayah kandung saya. Lalu, pria lain datang mengaku sebagai ayah saya, dan sekarang ternyata faktanya bukan juga. Jadi, siapa ayah saya sebenarnya? Saya sudah hidup tanpa kehadiran seorang ayah sejak saya remaja, dan menurut saya jika saya memiliki ayah saat ini pun tidak akan ada yang berubah—"
"Ada," potong Mahendra cepat dengan gugup.
Tolong... nak... Mahendra ingin rasanya menarik Mutia ke dalam pelukannya. "Ada yang berubah," lanjutnya lagi.
"..."
"Kamu adalah putri saya, saya adalah ayah kandung kamu. Maaf kalau saya telat menemui kamu, Mutiara."
Suaranya yang gemetar tidak bisa lagi ditutup-tutupi, Mahendra menundukkan wajahnya malu dan menyatukan kedua tangannya di hadapan wajah memohon ampun kepada anaknya sendiri. "Saya ayah kamu..."
Kali ini, giliran Mutia yang mematung. Sejak tadi dia sudah menahan spekulasi yang ada dalam kepalanya dan tenyata hal ini benar-benar telah terjadi seperti apa yang sudah dia takutkan.
"Anda ayah saya?" tanya Mutia sekali lagi.
Mahendra mengangkat wajahnya dan menemukan wajah pucat pasi milik Mutia. "Ya.." lirihnya.
"Ayah kandung saya?" tanya Mutia lagi.
Mahendra tidak sanggup mengelusrkan suaranya kembali, maka dari itu dia hanya bisa memberikan anggukan.
"Apa Anda menginginkan saya?"
Pertanyaannya kali ini berhasil membuat Mahendra ingin menjawabnya, tapi ketika Mutia menangis dan air mata anaknya jatuh begitu saja, Mahendra baru merasa dalam seumur hidupnya dia adalah lelaki yang tidak memiliki kekuatan ketika berhadapan dengan tangisan anaknya. Dan Mahendra merasa rendah diri ketika sadar dia benar-benar bajingan yang tidak berguna.
"Saya menginginkan kamu," Mahendra mengulurkan tangannya mengusap air mata yang berjatuhan dari kedua mata cantik anaknya. "Jika saya tahu kamu lebih cepat, jika saya tahu keberadaan kamu..." terlalu banyak jika yang Mahendra inginkan. "Siapa yang bisa menolak memiliki anak perempuan secantik kamu?"
Tangisan Mutia berubah menjadi tangisan yang paling Mahendra benci, tanpa ia sadari ia pun telah menangis dan kedua tangannya ingin meraih Mutia ke dalam pelukannya. "Anakku yang malang... maafkan Papa..."
Tidak tahu apakah Mutia telah percaya padanya atau tidak, tapi yang jelas detik ini juga Mahendra bisa merengkuh darah dagingnya ke dalam pelukannya. Mahendra bahagia, Mahendra lega.
***
a/n:
Ada yang banjir tapi bukan hujan 🫠
Kamis, 19 Desember 2024.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro