Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab VI

Devano Soeridjo menikahi Shri Kassaleah jelas alasannya karena cinta. Dulu, Devano Soeridjo hanya kacung dari seorang perempuan bernama Kassa, bahasa kasarnya Devano adalah tempat pelampiasan saja. Sisanya? Kassa tidak akan pernah peduli—mungkin juga tidak akan meliriknya jika benar-benar tidak membutuhkan.

Saking terkenalnya Shri Kassaleah karena kecantikannya, maka kecantikannya sendiri yang menjadi luka untuk Kassa. Jika tidak ada Devano, mungkin Kassa akan terjebak dalam kebingungan bersama bayi yang ada dalam kandungannya. Alasan kenapa Devano berani mengambil cuti kuliah bersama Kassa karena Kassa yang meminta untuk menjauh dari Jakarta.

Awalnya Devano hanya diam saja, ia hanya peduli yang terpenting Kassa ada di sisinya sudah cukup. Bermodalkan kawin lari, Devano tahu kalau anak yang dikandung oleh Kassa memang bukan anak dirinya. Tapi, rasa sayang membutakan Devano bahkan sebelum anak itu lahir.

Devano berani mengambil tanggung jawab menjadi ayah sambung dan menjanjikan banyak hal kepada Kassa, tanpa dia ketahui bahwa begitu banyak masalah yang ada di belakang Kassa.

Mirisnya, Kassa menjadi korban dari obsesif kakak beradik yang gila sampai-sampai Kassa sendiri tidak tahu yang mana ayah kandung dari anaknya.

"Dev, aku nggak peduli siapa ayahnya, Mahendra atau Mahastra, tapi dia tetap anak aku. Mereka mau membuktikan gimana pun aku nggak mau, Dev... aku nggak mau anak aku sakit hati nantinya." kata Kassa saat itu.

Menimbang dari berbagai respon yang pernah dia terima dalam hidupnya, Kassa adalah salah satu manusia pasrah yang tidak lagi ingin mengurus kehidupannya sendiri. Semua itu berubah ketika Mutiara lahir.

"Kita nggak perlu cari tahu yang mana ayahnya, dia anakku sekarang." ujar Devano setelah dua puluh delapan jam penuh menemani Kassa melahirkan anaknya.

Jerman memang memiliki aturan cukup ketat, meskipun Kassa melahirkan secara normal, pembukaan alaminya yang lama cukup menyiksa, dan semua rasa sakit itu tergantikan dengan tangisan seorang bayi perempuan yang cantik dan Devano tahu kalau saat itu dia tidak memedulikan ikatan darah. Darimana datangnya, dan bagaimana anak itu tumbuh nantinya, Devano percaya anak itu sudah menjadi miliknya sekarang.

"Anak ayah," Devano masih ingat bagaimana dia merasa bangga hanya bisa menggendong, memeluk dan mencium Mutiara saat bayi.

Dan sekarang, waktu telah merubah segalanya. Putri yang pernah ia dekap dalam pelukannya itu sudah dewasa berjalan seiringnya waktu, wajahnya tidak menunjukkan kelemahan, tubuhnya menggambarkan seorang cikal bakal perempuan idealis yang kuat, pembawaannya tegar dan membuat Devano tak yakin apa benar Mutiara adalah bayi merah yang pernah digendongnya dulu, atau bagaimana Mutiara pernah merengek kepadanya hanya untuk ditemani tidur dengannya.

"Anak ayah..."

Devano merentangkan kedua tangannya berharap sang empunya datang menghampirinya dan memeluk dirinya. Jika tidak pun, maka Devano yang akan melakukannya.

Kavita, istrinya di belakang Devano mengusap air mata yang terus berjatuhan karena tak percaya melihat Mutiara—yang selama ini Devano cari.

"A-ayah?"

Devano mengangguk. "Sini, Nak... sini," ajak Devano lagi.

Tapi Mutia malah menggelengkan kepalanya dan tolah toleh dengan bingung. "Oma sama Opa?"

"Nggak ada, di sini cuman Ayah aja." ujar Devano berusaha menenangkan Mutia.

Penyebab kamu apa Mutia bisa keluar dari rumahnya adalah karena Ayah dan Ibunya. Dan dalam kurun waktu empat tahun lebih ini Devano baru bisa bertemu kembali dengan Mutia.

"Ayah kenapa di sini?" tanya Mutia dengan suara bergetar. "Nggak seharusnya Ayah di sini, kenapa Ayah bisa menemukan aku?"

Devano kehilangan kesabarannya sendiri karena Mutia tidak kunjung datang ke arahnya, maka dari itu Devano memeluknya dengan erat, membayar seluruh kerinduan yang telah bergumul dalam hatinya selama bertahun-tahun, merasa bersalah karena telah membiarkan putrinya kesusahan sendirian.

Kassa pasti akan menghukum dirinya, Devano yakin Kassa akan marah kepadanya. "Lalu Ayah harus ada dimana, Mutia? Kamu hidup Ayah."

Tapi Mutia menggeleng tidak setuju mendengarkan kata-kata Ayahnya. "Ayah cuman seorang ayah di mata hukum negara, tapi bukan Ayah kandungku." Mutia masih ingat bagaimana Opa dan Oma mengingatkan posisinya. "Aku sudah besar, Ayah. Aku sudah bisa hidup sendiri, jangan pedulikan aku—"

"Berhenti bicara seperti itu," tegas Devano memutus kata-kata Mutia, dia menjauhkan wajahnya dan menatap kedua mata Mutia dengan tegas. "Kamu nggak akan tahu gimana rasanya Ayah ingin menangis setiap hari memikirkan kamu, Ibu kamu bisa marah Mutia... jangan seperti itu lagi, kamu adalah anak Ayah." tegas Devano.

Bagaimana pun Devano berusaha meyakinkan, Mutia tetap menggelengkan kepalanya. Lantas Mutia beralih menatap wanita yang ada di belakang tubuh Devano, wanita itu mengangguk kecil dan tersenyum kepada Mutia.

"Dia istri Ayah?" tanya Mutia kepada Devano.

Devano menoleh dan mengangguk. "Kav, sini kenalan dengan putriku."

Wanita itu berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangannya mengajak Mutia untuk berjabatan tangan. "Hai Mutiara, kenalkan saya Kavita."

Mutia mengangguk kecil. "Akhirnya Ayah punya istri juga," ledeknya kepada Devano.

Devano mendengus kecil dan memeluk Mutia kembali, tidak peduli bahwa halaman parkir kampus ini masih dipenuhi oleh banyaknya mahasiswa. "Kamu butuh Ibu, jadi Ayah cari Ibu buat kamu."

Mutia menatap Kavita dengan ragu. "Memangnya istri Ayah mau jadi Ibuku?"

Devano mengerutkan dahinya sambil berpikir keras. "Memang dia kelihatan tidak mau?" balasnya menatap Kavita dan Mutia bergantian.

Kavita menggeleng panik. "Nggak begitu... ah sulitnya punya anak gadis tiba-tiba begini,"

Mutia tersenyum kecut senang melihat panik yang baru saja dirasakan oleh Kavita, istri ayahnya ini. Tapi tetap saja, Mutia tidak boleh terlalu bahagia, karena sekalinya dia merasakan kebahagiaan maka akan banyak hal buruk yang datang kepadanya.

"Sayang,"

Mutia terkejut bukan main ketika bahunya baru saja dirangkul oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Tara si pengganggu hidupnya?

"Apa sih?" hardik Mutia menjauhkan tangan Tara dari bahunya. "Datang-datang sok asik!"

"Kok pulang nggak bilang-bilang? Gue kan bilang sudah tunggu lo di depan ruang Dekan!"

"Ya ngapain juga gue bilang sama lo kalau mau pulang?" sungut Mutia dengan kesal.

Sementara itu Devano dan Kavita hanya bisa menatap dua pemuda pemudi itu yang tengah bercekcok satu sama lain.

"Mutia, siapa dia?" tanya Devano tak sabaran.

"Oh..." Mutia menggaruk pelipisnya bingung. "Dia temanku,"

"Teman?" Tara membulatkan matanya. "Kita berdua sudah jalan berapa kali, sih? Masih aja disebut teman!"

"Diam!" kedua mata Mutia menyipit.

"Kamu punya pacar?" tuduh Devano lagi.

Mutia menggeleng panik bukan main. "Ng-nggak Ayah, dia bukan pacarku."

Tara menatap Mutia terkejut. "Ayah? Dia ayah lo?" tanya Tara sambil berbisik.

Devano masih menatap Tara dengan datar, sementara itu Tara buru-buru merubah ekspresi wajahnya. "Astaga, Om... apa kabar?" katanya mulai beraksi. "Saya Tara, pacar Mutia, Om."

Mutia sebal bukan main melihat wajah Tara yang sok alim dan mendadak nyengir lebar bagai kuda.

Sedangkan berbeda dengan reaksi Devano yang terkejut dan sedikit tidak rela ketika tahu putrinya punya pacar, dia hanya bisa mengerutkan dahinya sembari protes. "Pacar?"

Mutia menggeleng, tapi Tara sudah lebih dulu mengangguk. "Iya, Om. Kami baru saja jadian." katanya sambil menggenggam tangan Mutia.

Memang kurang ajar bukan main, mental Tara ini memang sangat nyeleneh. Bukannya malu tapi Tara malah sengaja menunjukkannya?

"Mutia, benar kamu punya pacar?" tanya Devano berusaha mengkonfirmasi.

"Ayah," Mutia gelagapan, bukan main dia gugupnya. Baru kali ini pasalnya ada cowok yang terang-terangan menghadapi Ayahnya sementara sejak dulu saja Mutia jarang pernah menyinggung soal cowok ataupun perasaannya. "... sebenarnya, Tara dan aku belum pacaran—"

"Mau," ralat Tara lagi dengan senyuman yang mengembang. "Om, tolong maklum anak Om memang suka denial, padahal jantungnya suka berisik kalau dekat sama saya."

"Ih!" kali ini Mutia sudah kehilangan kesabarannya dan menendang tulang kering Tara. "Minggat nggak lo?!" ancamnya dengan serius.

Devano menggelengkan kepalanya heran, sementara Kavita berusaha menyembunyikan tawanya sejak tadi melihat cinta monyet para anak muda itu. "Sudah-sudah, bagaimana kalau kita makan siang bersama?" ajak Kavita.

"Lho? Boleh banget, Tante." jawab Tara dengan senang.

Lihat lah si manusia bermuka tebal ini.

Mutia menggersah pelan kepada Ayahnya dan menatap Devano dengan sengsara. "Ayah... maaf..."

Devano mengangguk kecil mengusap puncak kepalanya dengan sabar, meskipun hatinya dirundung panas karena tahu putrinya sudah dikejar-kejar oleh lelaki lain. "Ayah maklumi, semoga saja kamu nggak benar-benar berpacaran sama dia. Kelihatannya... dia..." sambil memindai tatapannya pada Tara, Devano kembali menggeleng. "... agak sinting."

Mutia mengangguk setuju, Kavita berdecak mengingatkan ucapan suaminya. Sementara Tara yang baru saja dikatakan sinting hanya bisa terkekeh pelan melihat kepergian Ayah dan anak itu yang jalan lebih dulu untuk makan siang.

"Belum tahu aja gue anak Presiden Indonesia, kalau tahu gue bakal jadi mantu idaman lo, Om." gumam Tara melihat punggung Devano.



***



"Mama saya mana, Bi?"

Bi Misnem kaget bukan main melihat Den Besar yang jarang sekali terlihat di rumah. Pasalnya, penghuni rumah yang asli itu hanya Atok, dan Den Kecil alias Tara saja. Karena sudah dewasa, Den Besar katanya sudah tinggal sendirian di luar sana karena mengurus bisnisnya.

"Ya ampun Den Besar, tak kirain siapa." Bi Misnem masih mengusap dadanya. "Ibu Besar kan sudah jarang pulang sejak seminggu yang lalu, Den. Saya dengar dari Pak Marjo kalau Ibu sudah mulai pengenalan lingkungan di Istana Presiden."

Prabu benar-benar lupa, Mamanya sekarang kan sudah bukan lagi Ibu rumah tangga biasa, tapi Mamanya sudah berubah menjadi Ibu Negara. Pantas saja rumahnya sekarang sudah dikelilingi oleh beberapa TNI yang berjaga di luar sana, Prabu sampai lupa sudah berapa lama dia tidak pulang ke rumah.

"Kalau adik saya kemana?" tanya Prabu sambil membuka kulkas dan mengambil minuman kaleng dari sana.

"Den Kecil baru pulang nanti malam, Den Besar. Katanya masih banyak tugas di kampus,"

Prabu berdecih, tugas apaan, yang ada si Teuku Taragan Pattiradjawane itu memang banyak kibul. Dia sudah menyelesaikan sebagian skripsinya dan dengan happy dia bilang kalau hilal untuk sidang skripsinya sudah mulai terlihat.

Prabu pamit undur diri dari dapur dan pergi menuju kamarnya yang ada di atas, sambil mengambil ponselnya dalam saku celana dan mencari kontak Tara, Prabu menghubungi dengan kesal sebab dia benar-benar merasa kesepian di dalam rumah sekarang.

"Halloowww, ada apa nih telepon-telepon? Nggak ngerti orang lagi pacaran apa?!"

Prabu mendengus kesal bukan main. "Pacaran-pacaran! Pulang nggak lo?!" ancamnya.

Tara terkikik geli di seberang sana. "Nggak ah! Mau ngelonin ayang dulu."

Prabu berdecak. "Kata Mama harus pulang ke rumah, temani Atok."

"Lo aja, baru kali ini pulang ke rumah kan, lo?" ledeknya pada Prabu. "Giliran pulang semua orang udah pada minggat! Mama sama Papa minggat ke Istana negara, lo di rumah sendirian sama Bi Misnem! Atok kan lagi pergi ke Penang!"

Prabu mengacak-acak rambutnya dengan emosi. "Pulang sini!" jujur Prabu tidak suka suasana hening dan sepi begini, di apartemen pun selalu ada Julie yang menemaninya. "Gue mau beli mobil baru, kita test drive," katanya lagi berusaha menggoda Tara.

"Duh... maaf-maaf aja nih, tapi disaat-saat penting seperti ini gue nggak bisa tinggalin ayang gue."

"Sialan!" maki Prabu panas.

"Lagian lo tahu, cewek gue gimana kalau dijauhi dikit nanti dia dingin lagi, harus gue angetin mulu masalahnya. Dah ya, jangan telepon-telepon lagi, mau anter ayang kerja dulu."

Pip!

Prabu menatap ponselnya dengan dongkol lantas mengumpat. "Bangke!" katanya menjatuhkan diri di atas kasur. "Memang sejak getol dekati si Mutia-Mutia itu Tara lupa daratan."




***



Agung sudah dengar sih gosip-gosipnya kalau sahabatnya si Mutia ini sedang didekati sama cowok dari jurusan sebelah. Gosip itu sudah tersebar seantero kampus, cuman karena kasusnya Mutia si ndablek nomor satu jelas dia nggak akan peduli kalau dirinya menjadi bahan gosip dari para cewek-cewek pemuja sekte cowok cool.

Teuku Taragan Pattiradjawane itu sudah terkenal di kalangan hits maupun non-hits dikarenakan satu; dia punya tampang yang oke, dari segi fisik cowok-cowok beken yang selalu jadi pangeran di kampus, dua; hidupnya sempurna pakai banget, background keluarganya tidak usah diragukan lagi, beberapa keluarganya memang para pemimpin di negara Indonesia, mulai dari Pamannya yang seorang Gubernur, sampai Papanya sendiri yang maju dan melenggang naik ke kursi Presiden. Jadi, kalau ada yang tanya—what's good about him? Jawabannya ya jelas banyak.

Tiga; Teuku Taragan Pattiradjawane ini pernah me jadi perwakilan kampus untuk mengikuti debat nasional bersama kampus-kampus negeri lainnya, melawan berbagai macam interupsi yang kelihatan sangat gagah, Tara Pattiradjawane ini mempunyai nama yang langsung melejit ketika berhasil memenangkan lomba debat. Jadi, tampang dan otak itu memang seimbang dalam segalanya.

Pertanyaan cuman satu, kenapa bisa Teuku Taragan Pattiradjawane suka sama sahabatnya yang bentukannya bahkan... maaf-maaf saja, belok kemungkinan kalau Mutia akan ikut kiblatnya para cewek-cewek jaman sekarang.

Boro-biro pakai make up deh, lihat Mutia pakai body lotion saja Agung sudah merasa cukup senang. Lihat saja sekarang bagaimana penampilannya. Detik-detik sidang skripsi, Mutia masih memperkeruh suasana kamarnya sendiri, dengan penampilan dirinya yang bisa dibilang jauh dari manusiawi.

Untung saja Agung tidak mengejar deadline wisuda gelombang satu, karena jika dia mengikuti time line yang dibuat oleh dosen, sudah pasti Agung akan depresi duluan.

Mutia juga kelihatannya depresi hanya saja, memang watak dan mental gadis itu jauh di atas rata-rata. Rambut acak-acakan yang dicepol sembarangan, dan bagaimana kacamata butut itu masih bertengger pada batang hidung Mutia yang mancung, piyama kedodoran yang rasanya ingin Agung buang, dan lagi... dahi yang berkerut, kedua alis yang menyatu adalah tanda bahwa Mutia sedang berpikir keras.

"Makan dulu lontong kari lo, nanti kuahnya dingin nggak enak." kata Agung sambil merapikan sebagian barang-barang Mutia yang berserakan di kamarnya.

Mutia menoleh sebentar melirik lontong kari ayam yang Agung bawa tadi. "Ya,nanti."

Agung berdecak mendengarnya. "Lo sidang jadi minggu depan?"

Mutia mengangguk sembari fokus dengan laptopnya. "Jadi. Harus jadi."

"Ya udah makan dulu!" bentaknya lagi dengan gemas. "Minggu depan lo bisa sidang, tapi kalau lo telat makan dan sakit percuma juga lo sidang kalau tipes nantinya."

"Amit-amit!" sungut Mutia tidak terima didoakan jelek begitu. "Bencong! Jangan begitu doanya!"

Agung malah menjulurkan jari-jarinya yang lentik sambil berkedip cepat. "Ya makanya makan dulu lontong nya!"

Mutia sebal kalau Agung sudah mengeluarkan jurus teriakan manjanya itu. Akhirnya dengan terpaksa dia pun memakan lontong kari—sarapan yang sangat telat. Sambil merevisi kembali beberapa kata yang dia susun di abstrak, Mutia merasa terganggu ketika mendapatkan pesan masuk dari Taragan.

Taragan:

Gue sudah lulus sidang!
Finally, Btw lo dimana?
kok nggak datang, sih?

Mutia mendengus sinis lalu menjawab pesan Tara. Memang siapa juga yang mau datang ke kampus dengan kondisi kucel begini?

Mutia:

Nggak bisa, gue sibuk.
Selamat.

Taragan:

Juteknya, ya udah gue
ke kosan lo ya

Mutia:

Gue belum mandi.

Taragan:

Nggak apa2, gue suka
sama lo dalam semua
keadaan:)

Mutia tidak bisa menahan senyumannya sendiri, akhir-akhir ini memang sikap si Tara kadang menyebalkan dan kadang membuatnya sedikit terhibur. Meskipun banyaknya sering mengganggu, sih.

"Ngapain lo senyum-senyum begitu lihat hape?" tegur Agung yang merinding melihat Mutia tersenyum.

Mutia lantas berdeham canggung dan menyimpan ponselnya kembali. "Nggak apa-apa,"

"Si anjing," maki Agung sebal. "Kalau kasmaran bilang aja, nggak akan gue ledekin kalau lo mulai suka si Taragan."

Mutia langsung terdiam, suka? Apa dia mulai menyukai Tara? Yang benar saja.

***

a/n:

Ku kasih double update mumpung lagi 12.12 wkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro