Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab V

"Ngapain lo di sini?!"

Mutia syok bukan main ketika melihat Tara yang sedang menunggunya di halaman parkir restoran bersama lelaki—yang ada di belakangnya—yang pernah bertemu dengannya, ya Mutia ingat pengunjung yang datang bersama pacar bulenya itu.

Lelaki itu tengah bersandar di depan mobil, sementara Tara—adiknya tengah memberikan senyuman bodoh kepada Mutia yang sudah emosi karena harus melihat keberadaan Tara dua kali sehari macam obat.

"Kan gue sudah bilang mau jemput."

Ini adalah ketiga kalinya Tara menjemput Mutia. Memang shift hari ini Mutia masuk siang dan dia baru bisa pulang pukul sebelas malam. Tapi... serius Tara menjemput dirinya? Lagi, lagi dan lagi? Sinting memang.

Siapa yang minta dijemput, sih?

"Oh ya," kata Tara meraih tangan Mutia dan membawanya mendekat pada lelaki berwajah masam dan datar itu. "Kenalin, ini kakak gue."

Mutia tidak melihat tanda-tanda lelaki yang katanya kakaknya Tara itu ingin berkenalan dengannya. Dari sisi mana pun, Mutia bisa menebak wajah malas dan seolah menyesal karena harus mau-maunya berdiam diri di halaman parkir restoran barbeque pukul sebelas malam. Orang waras memilih untuk rebahan di atas ranjang kali.

"Kenalin nih, cewek gue." kata Tara memperkenalkan Mutia kepada lelaki itu.

Mutia berdecak tak suka. "Gue bukan cewek lo!" tekan Mutia.

"Calon," balas Tara ngeles kembali.

Lelaki itu mengangguk, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berkata. "Prabu, kakaknya cowok norak yang suka sama lo."

"Mas bangke!" todong Tara tidak terima.

Mutia mengangguk setuju dengan apa yang kakak Tara—Prabu katakan tentang adiknya. "Norak banget, Mas. Dan dia memang pengganggu, salam kenal saya Mutiara." balas Mutia tak kalah sensi dan datarnya.

Prabu mengangguk kembali. "Ya udah, masuk mobil saya dan adik saya bakal antar kamu pulang."

Mutia mendengus lalu melirik sinis kepada Tara. "Harus banget bawa kakak lo? Jadi repotin kan!"

Tara mengendikkan bahunya dengan tidak peduli. "Ya gimana lagi? Tadi juga gue jadi kambing conge dia sama pacarnya!"

"Ya tapi kan, gue bukan pacar lo!" sungut Mutia.

"Oh?" Tara tergelak puas mendengarnya, serasa mendapatkan kesempatan dalam kesempitan. "Jadi mau jadi pacar gue?"

"Ya enggaklah!" lawan Mutia dengan bola mata yang memutar dengan malas. Lalu dia melirik lagi ke arah Prabu dengan sungkan. "Maaf ya, Mas. Adik Mas yang satu ini memang agak-agak,"

Prabu mengangguk lagi memaklumi tingkah laku adiknya yang memalukan. "Saya ngerti," katanya.

Lantaran tidak mau lama membuat keributan, Mutia pun masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang bagian belakang. Sialnya lagi, Tara malah mengekorinya dan hal itu berhasil mengundang decakan protes dari sang kakak.

"Ngapain lo duduk di belakang?" tanya Prabu kepada adiknya.

"Gue memang harus duduk di belakang sama Mutia, takutnya dia ngantuk biar bisa sandaran sama gue." balasnya percaya diri.

Mutia mengaduh pelan melihat tingkah konyol itu, sementara Prabu menggeleng tegas. "Nggak ada! Turun nggak lo? Duduk di depan! Gue bukan sopir lo curut!"

"Buat malam ini aja kenapa, sih? Tadi gue abis jadi kambing conge lo sama Mba Julie, duduk di belakang sendirian nggak protes!" balasnya tak mau kalah. "Buruan jalan," perintahnya lagi.

Prabu benar-benar ingin menjitak adiknya seandainya tidak ada cewek yang adiknya gebet itu.

Dari segi mana pun Prabu melihatnya, Mutiara cewek yang disukai adiknya ini benar-benar cewek tulen. Alias, cewek cantik yang cuek dengan penampilannya sendiri, tidak memedulikan apa pun selain kehidupannya, dan bagaimana wajah judes yang terpasang di setiap gesturnya ketika membalas kata-kata Tara, Prabu tahu Mutia tidak ada hati sama sekali untuk adiknya ini.

Jadi, kenapa Tara benar-benar rela head over heels banget untuk seorang cewek yang bahkan kelihatannya tidak tahu cara berdandan? Setahu Prabu, tipe Tara tidak seburuk ini kok—bukan maksud Prabu menilai Mutia buruk, tapi kalau dibandingkan dengan mantan-mantannya Tara yang lain jelas jauh berbeda.

Lihat bagaimana gayanya yang kelihatan kucel, hanya memakai celana jeans, jaket usang dan ransel yang besar. Serius nih Tara suka yang begini?

"Besok bimbingan jam berapa? Nanti gue jemput, kita makan siang bareng yuk?" ajak Tara lagi.

Sepertinya adiknya itu memang tidak kehabisan ide untuk mengajak kencan Mutia.

"Nggak tahu, lihat besok." jawab Mutia denga cuek. "Males kemana-mana."

"Ya udah gue main ke kosan lo deh,"

"Suruh siapa?!" lawannya langsung enggan menerima tamu seperti Tara. "Gue nggak menerima tamu ya, maaf-maaf aja."

Tara berdecak gemas menatap Mutia. "Diajak jalan nggak mau, diapelin nggak mau. Terus maunya apa?"

Tidak ada jawaban, Prabu hanya bisa terkekeh pelan melihat tingkah Tara yang seolah bukan apa-apa di mata Mutia. Bagus juga pertahanannya, pikir Prabu. Zaman sekarang, cewek-cewek yang di dekati dengan effort besar seperti Tara pasti sudah mulai luluh. Minimal, sudah bisa jalan bareng, makan bersama, nonton, atau mungkin melanjutkan ke tahap yang lebih intens. Si Mutia ini kelihatannya memang ogah banget dengan adiknya.

Haduh, kalau begini bisa ngenes banget keturunan Pattiradjawane. Jangan kan Tara deh, Prabu saja masih tetap direcoki oleh Mamanya yang tidak pernah suka dengan Julie. Julie memang murni berdarah Amerika, salah satu alasan kenapa Mamanya tidak pernah mengatakan iya atau merasa klik dengan Julie.

Tapi, selagi Julie tidak mempermasalahkan sikap Mamanya, Prabu rasa dia tidak bermasalah juga. Lebih daripada itu, Prabu memang butuh perempuan seperti Julie yang tidak pernah mengambil pusing atas sikap orang.

Perempuan seperti itu yang Prabu butuhkan untuk masa depannya, seorang perempuan memang dilihat dari keberaniannya, Prabu tidak bohong kalau dia akan tetap memuji mental kuat Julie yang sudah terbiasa tahan banting dengan kehidupan. Perlakuan semacam Mamanya yang selalu understimate bahwa keturunan luar tidak bisa menjadi menantunya, selalu dianggap angin lalu oleh Julie.

Barangkali, Tara akan berhasil bersama cewek ini... Prabu sekali lagi memerhatikan wajah Mutia dari mirror rear-view, mungkin Mutia akan menjadi salah satu menantu idaman untuk Mamanya. Apa lagi jika Mutia berasal dari tanah Jawa, sudah dipastikan Mamanya akan angkat jempol untuk Mutia.

Sepertinya Tara akan lebih beruntung daripada dirinya, dapat lampu hijau dengan mudah dan mungkin... bisa lebih dulu menikah daripada dirinya.

Entahlah, Prabu hanya sedang berpikir.



***

Mahendra tidak pernah berpikir kalau saingan dia dalam mencari putrinya sendiri itu adalah Ibunya sendiri. Ya, Ibunya. Yosepha Rekartono yang tengah memandang Mahendra dengan sama herannya.

Maaf-maaf saja, Mahendra sudah mengantongi segala jenis bukti kalau Ibunya tetap tidak percaya kalau Mutiara adalah putrinya. Sejak semalam, Mahendra tidak bisa tidur ketika tahu fakta bahwa hasil tes DNA antara dirinya dengan gadis bernama Shri Anantari Mutiara itu benar-benar valid.

Secara sah, DNA nya dengan DNA milik Mutiara benar-benar cocok. Sudah dipastikan bahwa Mahendra memang ayah biologisnya, saat dulu Mahastra mengaku dia pun sama-sama meniduri Kassa dan mengakui bahwa Kassa bisa jadi hamil anaknya membuat Mahendra berang dan tidak bisa menerima Kassa kembali.

Hal itu yang membuat kegaduhan di rumah dan perselisihan antara adik kakak itu belum selesai hingga kini. Sudah lewat dua puluh tahun lamanya dan Mahendra baru benar-benar menemukan titik terang hari ini.

"Kamu sudah tes DNA? Bagaimana dengan hasilnya?" tanya Maminya kepada Mahendra.

Mahendra mendengus, sebenarnya dia tidak ingin memberitahu kepada siapa pun, tapi salah satu langkah agar Mahastra sadar diri dan mundur adalah dengan kenyataan yang sudah dia dapatkan. Apa lagi, Mahastra sudah lebih dulu memiliki keluarga dan anak, kenapa juga Mahastra masih tetap ingin mencari Mutiara?

"Aku adalah ayahnya," ujar Mahendra dengan tenang.

Hatinya lebih jauh tidak tenang, jantungnya berdegup kencang dan ketakutan. Mahendra ingin buru-buru menemui anaknya, memeluknya, bahkan jika bisa Mahendra ingin memberikan segalanya untuk Mutiara.

Yosepha Rekartono menangis dan mengusap wajahnya yang basah. "Benar dia anak kamu, Kak? Bukan anak Mahastra?" tanyanya lagi berusaha mencari kebenaran.

Keraguan yang terus menerus membayangi hidup Mahendra tidak akan pernah bisa Mahendra tebus seumur hidup. Bahkan untuk penyesalannya sama sekali tidak bisa ia tebus. Jika Tuhan mengadili dirinya sekarang dan mengatakan bahwa penyebab putrinya hidup susah di luar sana karenanya, maka Mahendra tidak akan mengelak dan akan menerima semua hukuman yang Tuhan berikan kepadanya.

"Ya," jawab Mahendra dengan anggukan. "Mami sudah tidak perlu meragukan anakku lagi, dia sudah terbukti anakku dengan Kassa."

Yosepha menangis penuh haru, memeluk Mahendra sembari mengatakan maaf berulang kali. "Maafin Mami... maafin ya, Kak.. maaf."

Mahendra menarik napasnya dan memeluk kembali Maminya. "Sudah lah, Mi... yang penting kita semua sudah tahu faktanya bahwa Mutiara adalah anakku,"

"Bawa dia, Kak. Bawa cucu Mami ya?" pinta Yosepha dengan cepat. "Bawa dia ke sini, Mami pengen minta maaf sama cucu Mami."

Mahendra mengangguk, mencium pelipis Maminya sembari tersenyum. "Sebentar lagi akan aku bawa pulang anakku, Mi. Sebentar lagi."

"Biar Mami yang kasih tahu Mahastra soal ini, kamu pegang bukti semuanya sudah ada jawabannya." ujar Yosepha sambil mengusap wajah putra sulungnya.

Mahendra sudah merelakan dirinya tidak menikah dengan perempuan mana pun karena dia benar-benar mencintai Kassa, ibu Mutiara. Sementara putra keduanya Mahastra sudah menikah dengan Anne, dan mereka berdua sudah bahagia dengan keluarga kecilnya.

Yosepha sudah tenang soal Mahastra, tapi kalau lagi-lagi diantara kedua anaknya memperebutkan cucunya, Yosepha tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi.

"Jangan dulu beritahu Mahastra soal apa pun, Mi." balas Mahendra merasa tidak tenang dengan apa yang dia pikirkan. "Biar aku yang akan menangani segalanya, sendirian. Biar aku melakukan pendekatan dengan putriku dulu."

Yosepha sedikit berpikir, bukankah akan terlalu riskan jika Mahastra diberitahu terakhir? "Tapi adikmu—"

"Tidak akan apa-apa, Mi." Mahendra meyakinkan Maminya sekali lagi. "Aku akan mengurus semuanya."


***

Hasil pemilu persentase suara dari Teuku Rajash Pattiradjawane dan Fatah Syah Hasjid sudah diresmikan oleh Komisi Pemilihan Umum. Tara menonton semua berita utama yang tengah benderang di seluruh tanah Nusantara bahwa Papanya kini sudah resmi menjadi Bapak negara yang sah.

Hasil penyerahan data tadi sempat ada masalah, tapi KPU tidak memberikan kelonggaran sama sekali untuk memastikan bahwa hasil pemilihan sudah merata di seluruh Indonesia.

Tara dan Atok—sang kakek yang tengah memperhatikan jalannya pemilihan Presiden itu hanya bisa tersenyum senang dan lega setelah tahu bahwa Papanya berhasil melenggang naik ke kursi Presiden.

Entah bagaimana jadinya nanti, tapi Tara percaya bahwa Papanya bisa menjadi pemimpin yang adil, berusaha membantu rakyat, dan bertanggung jawab atas semua sumpah yang akan dia ucapkan saat dilantik nanti.

Menjadi Presiden bukanlah hal yang mudah, tentu saja Tara bisa membayangkan lima tahun ke depan dalam satu periode ini, Papanya tidak akan bisa tidur dengan tenang di rumah.

"Papamu sudah jadi Presiden, Nak." ujar Atoknya kepada Tara.

Tara mengangguk, tanpa harus diberitahu pun dia tahu. "Atok senang? Pernah kebayang nggak, Tok? Kalau anak Atok bakal jadi Presiden?"

Atok terkekeh pelan dengan giginya yang sebagian sudah ompong. "Nggak, sudah Atok bilang dulu Papamu nakal. Kerjaannya maling buah kelengkeng orang."

Tara tertawa puas mendengarnya. "Yah," Atok menepuk pahanya dengan pandangan puas dan lega. "Jadi Presiden itu tanggung jawabnya besar, suatu saat nanti para pemimpin akan berhadapan langsung dengan Tuhan. Semua yang telah dilakukan akan ada hisabnya, Tara."

"..."

"Pemimpin yang jujur dan adil pun belum tentu bisa membuat semua rakyatnya sejahtera, Atok cuman takut kalau hisabnya Papamu bakal jadi yang paling panjang dan berat..." lalu Atoknya terkekeh lagi. "... tapi Atok yakin, Papamu bakal berusaha semaksimal mungkin."

Tara mengangguk kecil, membuang napasnya yang pasrah karena setelah ini dia pun harus menjaga citra Papanya sendiri. "Papa sudah umroh sama Mama bulan lalu,"

"Terus?"

"Katanya Papa sudah berdoa di Raudhah, makam Nabi Muhammad." Tara sudah dengar cerita itu dari Mamanya, tapi katanya Papanya enggan berbagi cerita doa apa yang dia minta saat di Madinah. "Aku tebak Papa bukan berdoa buat dirinya sendiri, paling berdoa buat Indonesia."

Atok tertawa pelan menyadari bahwa cucunya mengerti bagaimana sifat anaknya itu. "Sana kamu pergi umroh," titahnya kepada sang cucu.

Tara menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Nanti Tok, aku pengen umroh sama seseorang,"

Atok senyum mesem-mesem mendengarnya. "Siapa? Bukan orang bule kayak Mas-mu, kan?"

Tara langsung melengos sebal. "Bukan, Tok. Dia lahir di Jerman sih, memang." ujarnya membuka kartu siapa Mutia. "Tapi dia cewek Jawa tulen kok,"

"Oh ya? Tahu darimana? Sudah jadi pacarmu betulan? Kok nggak dikenalkan sama Atok?"

"Belum Tok, aku lagi berusaha ini... aku tahu dari namanya lah!"

"Memang siapa namanya?"

"Shri Anantari Mutiara, bagus kan, Tok, namanya?"

Tara memang tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ketika dia mengucapkan nama Mutia rasanya ada yang bermekaran dalam dadanya, belum apa-apa dia sudah bisa merasa sayang dengan Mutia. Hebat sekali Shri Anantari Mutiara itu.

"Bawa ke rumah, Atok mau bertemu."

Kalau Atoknya sudah berbicara seperti itu, apa Tara bisa menolak? Tentu saja tidak. Dia pasti akan membawa Shri Anatari Mutiara ke hadapan Mamanya, Papanya dan Atoknya.

***

a/n:

Lanjut lagi atau tidak teman-teman? ☺️

Kamis, 12 Desember 2024.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro