Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab IX

Perdebatan kemarin dengan Tantenya membuat Prabu berpikir lebih keras bahwa memang sebaiknya Prabu tidak membawa Julie ke hadapan keluarganya. Dulu, Prabu sudah pernah membawa Julie dan semua orang terlihat skeptis dan pesimis memandang hubungannya.

Ya, jelas. Orang-orang akan berpikir bahwa Prabu tidak akan serius dengan Julie, tapi pemikiran-pemikiran itu lah yang ingin Prabu hapus saat ini. Bagaimana Prabu menjelaskannya kalau sebenarnya yang dia inginkan adalah Julie? Dari sekian banyak perempuan yang dia temui, yang dia inginkan adalah Julie.

"Kusut banget wajah lo, Man!"

Prabu meneguk sisa bir dan melihat Praditya Raghuvendra, sahabatnya yang baru saja bergabung dengannya.

"Dimarahin calon istri lo baru tahu rasa," ledeknya kepada Radit.

Radit malah terkekeh pelan mendengarnya. "Akhir-akhir ini gue sering dengar orang ledek gue. Ya gimana ya," katanya sambil menarik napas dengan lega. "Gue memang sudah punya pawang betulan,"

Prabu mengangguk mengerti. "Gue paham, laki-laki nurut sama cewek memang pada dasarnya nggak mau cari masalah,"

"Lo juga begitu, kan? Gimana lagi..." katanya sambil pasrah.

"Julie memang nggak pernah larang-larang gue, sih."

"Julie sama Ratna beda bentukan," cibir Radit kepada Prabu. Kedua matanya mengelilingi memperhatikan Au Revoir, kelab malam yang tampak sepi hari ini. "Ratna kan, bukan bule yang sudah terbiasa dengan pergaulan bebas, Pra."

Mendengar kata-kata sahabatnya mendadak Prabu ingin bertanya, apa benar pandangan semua orang terhadap Julie seperti itu? Apa karena Julie berasal dari luar negeri dan terkenal sudah terbiasa dengan segala jenis pergaulan? Entah di sini orang-orang yang salah atau memang Prabu yang salah. Prabu menganggap hal tersebut sebagai bentuk dari sosialisasi kehidupan, tidak masalah jika Julie pandai bergaul, dan tidak memandang rendah sebuah kelompok, yang penting sudah mengerti takarannya bagaimana harus bersikap di setiap tempat.

Lagipula Prabu tidak bisa membayangkan kalau dia memiliki istri yang kurang pergaulan. Akan jadi apa nantinya? Mungkin ini kenapa Eyangnya pernah marah kepada Prabu. Menyalahkan Mamanya yang telah menyekolahkan Prabu hingga ke Amerika sana. Semua keluarganya selalu mengatakan bahwa Prabu sudah tercemar dengan lingkungan serta budaya barat.

"Gue mau tanya sama lo," ujar Prabu duduk menyamping ke arah Radit yang tengah memakan kacang.

"Kenapa?"

"Apa pandangan lo terhadap cewek gue? I mean, cewek gue kan, berasal dari New York, she's not Indonesian, dan seperti kata lo tadi—Julie pacar gue sudah terbiasa dengan pergaulan bebas?"

Radit mengerutkan keningnya bingung. "Lo tersinggung dengan kata-kata gue?"

"Nggak," Prabu buru-buru menggeleng. "Cuman mau tahu pendapat lo,"

"Apa ini ada hubungannya sama orang tua lo?" tiba-tiba Radit menjauh. "Mampus, mana kita ada di sini, gue sarankan kita balik, Pra. Sebelum ada media yang berhasil ambil foto lo dan nama Bokap lo bisa diseret ke dalam skandal. Gue lupa, kalau lo sekarang anak RI 1."

Prabu memutarkan bola matanya dengan jengah. "Menurut lo kenapa Au Revoir sepi malam ini?"

"Kenapa?" tanya Radit tak mengerti. "Jangan bilang lo—"

Prabu mengangguk. "Yap, karena gue punya saham di sini gue sengaja meminimalisir orang yang masuk malam ini,"

"Bajingan," ledek Radit sambil tertawa puas. "Pantesan, gue lihat enam bodyguard jaga di depan, kaget banget tumben ketat nih tempat."

"Sudah dapat ACC dari yang punya juga."

"Lo kalau pusing jangan pergi ke tempat beginian bodoh! Lain kali cari tempat aman! Majelis taklim kek!"

"Shit," umpat Prabu. "Buruan jawab pertanyaan gue!"

"Pandangan gue ya?" Radit terlihat berpikir sambil mengupas kulit kacang kembali. "Karena gue nggak terlalu suka bule, sih. Gue suka sama yang lokal-lokal aja, dan gue selalu melihat Mami gue sebagai cerminan—jodoh yang gue inginkan," katanya sambil tersenyum norak. "Jadi jelas gue kurang suka karena ya—cara dan budaya cewek lo pasti berbeda dengan lo, akui aja pasti ada satu atau dua hal yang nggak sejalan sama lo."

Prabu mengangguk, dia tidak mengelak kalau hubungannya dengan Julie ada beberapa hal yang tidak satu jalan. Terutama, soal keyakinan.

"Gue pribadi nggak bermaksud membanggakan pasangan gue sih, Pra... cuman karena lo meminta pandangan gue, gue akan berusaha jujur dan apa adanya."

"Oke," jawab Prabu setuju.

"Gini ya," katanya sambil mengunyah kacang. "Indonesia itu sudah kena demam White Fever alias demam bule, nggak cuman lo doang Pra, tapi especially cewek-cewek bule mayoritasnya memang individualis dan mereka bisa membedakan mana kehidupan publik dan mana kehidupan pribadi. Dalam strata sosialnya, ada perbedaan antara cewek bule dan cewek Asia, lo tahu kenapa?"

Prabu mengangkat alisnya dan menggeleng.

"Cewek Asia sudah di didik sejak kecil untuk menjadi penurut, sedangkan cewek bule sudah dibiasakan sejak kecil untuk berani mengemukakan pendapatnya sendiri, dan menunjukkan sikap dan prinsip yang sesuai dengan yang dia yakini," kata Radit sambil menjelaskan perbedaan dan pandangan yang dia rasakan. "Cewek Asia sudah diajarkan sejak kecil untuk tidak menjadi egois dan tidak melantangkan kata tidak suka secara vokal karena apa? Mereka harus tunduk pada pemimpinnya—kepala rumah tangga alias suaminya kelak,"

"..."

"Kalau kata Mami gue, cewek yang besar kepala dan keras kepala, nggak akan bisa disetir oleh lelaki karena apa? Karena mereka merasa punya prinsip sendiri, Pra. Dan sikap itu—cocok sebagai penggambaran cewek bule yang sudah hidup bebas dan individualis sejak dulu, tapi ya... tergantung orangnya juga, sih." Radit tersenyum menenangkan Prabu. "Nggak semuanya cewek bule begitu kok, ada yang memang mereka memilih menikah dengan orang Asia karena ingin menjamin kestabilan kehidupan pernikahannya, bisa jadi Julie begitu, Bro."

"Jadi cewek lo itu tipikal anggun, penurut begitu?" tanya Prabu balik.

Radit malah tertawa mendengarnya. "Iya, cewek gue memang anggun dan penurut sih, makanya gue suka."

"Memang lo suka mendominasi kan, bangsat." desisnya kesal.

"Nah itu tahu!" timpalnya dengan bangga membenarkan perkataan Prabu.

Prabu mengangguk mengerti, pandangan Radit masih bisa ia terima meskipun dari yang Radit sampaikan memang ada pada diri Julie. Jika melihat latar belakang Julie yang sudah ditinggal oleh orang tuanya yang bercerai sejak kecil, wanita itu memang cukup keras kepala dan banyak berantisipasi kepada dirinya sendiri. Tapi Prabu menganggapnya sebagai perlindungan diri, dan dia mewajarkan sikap Julie.

Hanya saja, Julie memang seringkali mengatakan secara vokal bahwa dia tidak mau menjadi ibu rumah tangga dan ingin tetap menjadi wanita karier, Prabu juga mengiyakan dan setuju karena wanita berhak merdeka dan memiliki passion-nya sendiri. Lantas, apa yang membuat keluarganya masih tegas menolak Julie untuk dijadikan istri olehnya padahal Prabu sendiri tidak pernah mempermasalahkan apa pun yang ada pada diri Julie?

***


Mahendra sudah lupa berapa lama dia tidak pernah bertemu sapa dengan adiknya Mahastra setelah kepergian Kassa. Karena adiknya ini juga, Mahendra telah kehilangan cintanya sendiri dan memutuskan untuk tidak pernah menikah setelah dia merelakan Kassa untuk pergi.

Dan hari ini, siapa sangka Mahastra akan datang menemuinya dengan raut wajah datar yang tidak bisa Mahendra tebak.

Tapi yang satu pasti, Maminya sudah menceritakan soal Mutiara kepada Mahastra. Mahastra sudah berjanji tidak akan ada keributan kembali karena fakta sudah Mahendra pegang, bukti sah sudah ada di tangannya dan tidak ada seorang pun yang bisa mengelak.

Malam ini, rencananya Mahendra akan menjemput Mutia dan mengajaknya makan malam bersama, tapi belum apa-apa dia sudah dicegat duluan oleh Mahastra.

"Finally you found her," ujar Mahastra kepada kakaknya Mahendra.

Mahendra mengangguk kecil. "Ya, ada apa denganmu? Penasaran?"

"Tidak," bala Mahastra tegas. "Aku hanya ingin mendapatkan hak yang sama,"

"Apa maksudmu?!" kening Mahendra berkerut tak mengerti dengan perkataan adiknya.

"Bagi Mutia denganku juga,"

"Apa?"

"Bagi anak itu denganku juga."

Jika ada lomba manusia sinting di dunia ini, maka Mahendra akan mendorong adiknya untuk menjadi pemenang juara satu dalam hal sinting. Bagaimana bisa Mahendra membagi putrinya dengan adiknya?

Sudah cukup dia membiarkan Mahastra merusak hubungannya dulu dengan Kassa tapi tidak dengan anaknya.

"Are you out of your mind?!" desis Mahendra kesal bukan main melihat wajah adiknya. "She's my daughter, sudah jelas-jelas dia anakku dengan Kassa dan kamu ingin aku membaginya? Ketololan apa ini Mahastra?"

"Aku menemukannya lebih dulu," katanya melakukan pembenaran. "Aku sudah memperhatikannya sejak ia kecil."

"Peduli setan," Mahendra berdecak tak suka. "Kamu sudah memiliki putrimu sendiri, Angeli dan Jeremiah."

"Aku terlanjur menyayanginya," lanjut Mahastra kembali.

Bagaimana Mahendra harus menghadapi manusia bebal seperti ini? "Aku sudah merelakan Kassa sejak kamu menghancurkan hubunganku dengannya, dan sekarang kamu masih belum puas ingin aku membagi anakku denganmu? Di mana otakmu yang pintar itu, Mahastra?!"

"Nevermind," jawab Mahastra tak peduli. "Kamu akan membawanya makan malam, bukan?"

"Apa urusanmu?!"

"Aku ingin menemuinya juga."

Mahendra membuang napasnya dengan kesal lantas berkata lebih tegas dan lebih tajam dari sebelumnya. "Dia sudah tahu segalanya tentang masa lalu kita bertiga. Antara aku, kamu dan mendiang ibunya, anakku sudah mengetahuinya, Mahastra."

"Ow... dan kamu membuat cerita versimu sendiri?"

"..."

Mahastra tersenyum miring meremehkan Mahendra. "Bagaimana kalau Mutia harus mendengarkan cerita dari versi yang berbeda?"

"Tutup mulutmu," ancam Mahendra tak suka. "Lebih baik kamu urus keluargamu saja, istri dan anak-anakmu pasti tidak akan suka jika mendengar apa yang baru saja kamu minta dariku."

"..."

"Jangan sampai aku mengancammu lagi, Mahastra." tekan Mahendra tak main-main. "Jika kamu berhasil membuat ketidaknyamanan pada putriku, aku sendiri yang benar-benar akan menghajar kamu."

Setelah mengatakan semua yang dia rasa cukup, Mahendra masuk ke dalam mobil dan tidak memedulikan keberadaan Mahastra. Fokusnya hanya satu, dia perlu menjemput putrinya malam ini untuk diperkenalkan pada keluarga besar.

***

"Halo,"

Macam betul saja Mahendra menyapa anak gadisnya ini. Tapi, kalau melihat dari rona-ronanya, Mutia benar-benar menepati janjinya untuk mengenal Mahendra secara dekat namun pasti.

Pelan-pelan saja, Maminya juga bilang begitu. Tidak mudah bertemu dengan anak yang sudah besar seperti ini, Mahendra rasa hidupnya memang sangat istimewa hingga harus bertemu dan memiliki anak perempuan yang sudah besar, dirawat oleh semesta, dan dijaga baik oleh Tuhan.

"Hai," balas Mutia tak tanggung malunya.

Gadis itu memakai pakaian yang sangat sopan, hampir tertutup semuanya kecuali rambutnya yang hanya di ikat satu. Sisanya, rok panjang dengan model A line sepanjang mata kaki, serta t-shirt putih polos yang dipadukan dengan blazer berwarna broken white.

"Ready?" ujar Mahendra sambil membukakan pintu mobil.

Mutia mengangguk dan masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara, setelahnya Mahendra pun ikut masuk. "Di kosan sendirian?"

Mutia mengangguk lagi. "Temanku pulang ke rumahnya di Bogor,"

"I see, nanti jangan lepas dari Papa ya? Biar Papa bisa jaga kamu kalau ada apa-apa." katanya mewanti-wanti sikap Mahastra yang bisa saja membuat masalah nantinya.

"Oke... Pa,"

Balasan Mutia kepadanya masih canggung dan menggantung, tapi tidak apa-apa, Mahendra sudah cukup lebih dari kata bahagia bisa bersama anaknya.

Pendekatan dengan wanita gugupnya tidak seberapa, tapi pendekatan dengan anaknya sendiri gugupnya bukan main. Mahendra ingin melambaikan tangannya sendiri dan mengucapkan bahwa dia tidak sanggup. Jika Kassa masih hidup, pasti wanita itu akan meledeknya habis-habisan.

Sesampainya di restoran, Mahendra menggandeng tangan Mutia dan membawanya masuk ke hadapan seluruh keluarga.

Di mulai dari Papinya, Mandala Rekartono yang berdiri di sisi Maminya, Yosepha. Malika, adik perempuannya, serta Mahastra bersama sang istri Anne yang tengah menatap Mahendra dan Mutia dengan tidak percaya.

Satu-satunya manusia yang sadar hanya lah Malika, itu pun dia langsung berdiri dan menyambutku kedatangan Mutia.

"Ya Allah... ini keponakanku?" tanyanya seraya mengambil kedua tangan Mutia untuk ia genggam. "Kenalin, aku Malika—Tantemu, kamu..." kedua mata Malika berpendar terang menelisik wajah Mutia yang memang tidak bisa Malika pungkiri kalau Mutia adalah duplikat mendiang Kassa. "... kamu sangat cantik, selamat datang di keluarga Mutia..."

Mutia yang masih canggung dan berusaha untuk membuat dirinya nyaman dengan tatapan semua orang itu hanya bisa mengulas senyuman penuh paksaan.

Tapi tatapan Mutia tidak bisa lepas dari lelaki seusia Papanya yang kini berjalan mendekati dirinya. Wanita paruh baya di belakangnya menahannya segera sambil menggelengkan kepala.

Mahendra yang waswas Mahastra akan bersikap tidak rasional, langsung pasang badan di hadapan Mutia.

"Ini keluarga Papa," katanya memperkenalkan satu persatu orang yang tengah memperhatikan Mutia. "Kamu punya Opa dan Oma."

Mutia langsung pergi mencium tangan sang Oma, wanita paruh baya itu menangis ketika punggung tangannya di cium oleh Mutia. Kedua matanya yang keriput masih terlihat cantik meski sudah dimakan oleh usia. Menunjukkan bahwa cantik yang ada pada paras wajahnya tidak membohongi orang-orang.

"Cucuku..." ujarnya sambil memeluk Mutia. "Cucuku..."

Mutia langsung dipeluk begitu saja, diikuti oleh pria paruh baya yang kini ikut memeluknya juga sambil mengusap sudut matanya yang basah.

Perasaan asing yang Mutia terima kini membuat Mutia kebingungan. Apakah ia benar-benar pantas mendapatkan segalanya? Perasaan di terima? Tanpa ditolak?

Seringnya, Mutia selalu menghadapi penolakan. Atas kelahirannya, atas keberadaannya dan bahkan statusnya yang selalu menjadi tanda tanya orang-orang terdekatnya. Tapi kenapa di keluarga ini tidak ada yang menolaknya? Apa ia betulan di terima?

Apakah ini semua balasan dari Tuhan atas semua jawaban yang Mutia pinta? Mutia menangis semalaman hanya karena merindukan Ibunya, dan kini seseorang—bahkan semua orang menatapnya dengan penuh perhatian, meyakinkan dirinya yang merasa tidak pantas menjadi pantas untuk diberikan kasih sayang. Bagi Mutia, nikmat ini terlalu banyak.

"Sehat, Nak?" tanya wanita paruh baya itu padanya. "Ini Oma... ini Oma kamu," katanya sambil menunjuk dadanya sendiri. "Sekarang, kamu nggak sendirian lagi, Nak. Ada kami."

"Kamu ingat Papi?"

Seseorang telah bertanya kepadanya, Mahendra yang tadinya menjaga jarak langsung menjaga putrinya dengan defensif. "Mahastra," tegurnya pada sang adik. "Not now."

"Aku hanya memperkenalkan diri," balas Mahastra. "Terakhir Papi ketemu kamu, saat pemakaman Ibu kamu, right?" tanyanya pada Mutia.

Oh ya.

Sekarang Mutia ingat.

Lelaki yang mengaku sebagai ayahnya, dan hampir saja ribut dengan Ayah Devano di makam Ibunya. Jadi dia...

"Mahastra—"

"Bisakah kamu membiarkan dia memanggilku juga sebagai Ayah?" tanya Mahastra meminta izin pada Mahendra. "Aku sudah mencarinya juga, aku sudah mengenalnya sejak kecil, jadi... tolong berikan kesempatan untukku agar bisa menjadi ayahnya juga. Tolong..." pintanya memohon.

Mutia mendapati sang Papa menatap dirinya, sekilas sebelum akhirnya Mahendra kembali menatap sang adik. Takut akan adanya keributan berlanjut, Malika pasang badan di sisi Mahastra.

"Kak, jangan sekarang. Jangan memaksakan keadaan, Mutia masih bingung." kata Malika berusaha mencairkan suasana.

Mahendra membuang napasnya dengan pasrah. Sampai kapan pun, Mahastra pasti akan keras kepala dan tidak akan pernah mau mengalah. "Aku bersyukur jika putriku dicintai sebanyak ini," katanya menjawab Mahastra. "Tapi, coba kamu jelaskan juga, bahwa saat ini dan keadaan sebelumnya di masa lalu, tidak akan mengganggu kebahagiaan dan kehidupan Mutia."

Mahastra mengangguk. "Aku janji," katanya sambil menatap Mutia. "Papamu akan menceritakan segalanya, tentang hubungan yang pernah terjadi, dan Papi harap kamu masih bisa memberikan maaf seluas mungkin untuk Papi."

Mutia hanya tahu ceritanya sekilas, tapi jika yang terjadi ternyata memang seberat ini sampai-sampai Papanya dan adiknya terlihat bersitegang, sudah dipastikan masa lalu antara Ibunya dengan kedua pria ini bukan main-main.

"Aku berterima kasih untuk semuanya, kalian semua sudah menerima aku—"

"Jangan bicara seperti itu..." ujar Omanya sambil memeluk Mutia lagi. "Jangan bicara begitu lagi, kamu selalu diterima dimana pun, Nak... kamu bagian dari keluarga kami."

Mutia mengangguk. Ia hampir menangis jika Malika tidak tersenyum lebar dan memecah keheningan. "Everybody is okay, right? Jadi... sudahi semuanya, karena kita kedatangan anggota keluarga baru, apa pun yang menjadi prioritas kita sekarang adalah memberikan rumah, perlindungan dan kebahagiaan untuk Mutia. Itu semua jadi tugas kita semua sekarang."

Mahendra memeluk Mutia, mengusap puncak kepalanya dan Mutia pun membalas pelukan sang Papa tak kalah eratnya. "Maaf Papa baru menemukan kamu sekarang-sekarang ya... maaf Papa telat..."

Tidak.

Mutia tidak akan menyesal. Mungkin, memang ia ditakdirkan untuk menerima semua kebahagiaan tidak secara instan, tapi Mutia percaya, ada harga dari sebuah kesabaran.

***

a/n:

Nyesss banget.

Mohon maaf kalau ada yang ke-trigger, karena cerita ini diambil dari kisah orang terdekatku dan aku sudah ijin dengan dia. Bahkan, dia bersedia dan meminta aku untuk dibuatkan kisahnya.

Bukan main, perpisahan dengan orang tua itu memang sangat menyakitkan. Selagi orang tua lengkap dan ada, jangan sia-siakan keberadaan mereka ya.

Untuk yang terpisah, ataupun sudah ditinggalkan. Aku berdoa yang terbaik untuk kalian agar kalian semua tetap bahagia dengan jalan yang kalian lalui sekarang.

Kita semua, akan menjadi orang tua pada waktunya kelak. Pertumbuhan manusia secepat itu tau-tau udah jadi manusia dewasa aja hehehe. Semoga... kita semua bisa selalu berkumpul dengan orang-orang yang kita sayangi.

Dah segitu aja dulu,

Mau double update soalnya🫣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro