Bab III
"Pinjam mobil lo bentar,"
Tara menoleh dengan wajah sebal karena dia harus memaksakan diri mengangkat wajahnya dari laptop. Kakaknya yang brengsek satu ini, Teuku Prabuanta Pattiradjawane ini memang selalu mengganggu dirinya.
Seperti di garasi tidak ada mobil lain saja, kenapa harus mengganggu mobilnya yang sudah kinclong? Tidak lihat kondisi di luar rumah sedang hujan? Sinting memang.
"Pakai mobil Papa aja sono!" tolak Tara.
"Sebentar bangke,"
"Nggak ada kata sebentar, mobil gue habis di cuci luar dalam dua hari yang lalu," kata Tara sambil fokus menatap layar laptopnya kembali. "Lagian, mobil gue sudah di cap sama bidadari cantik,"
"Apaan sih anjing nggak jelas." cibir Prabu tidak suka dengan ocehan adiknya. "Buruan mana kunci mobil!"
"Nggak ada!" balas Tara tak mau kalah. "Demi Allah, mobil gue masih wangi si cantik. Kalau mobil gue dipakai sama lo hilang wanginya,"
"Norak bego!" Prabu tidak bisa menahan dirinya untuk menendang bokong sang adik. "Memang cewek mana lagi yang lo kejar?"
Tara mendengus, sialan pikirnya. Berani-beraninya kakaknya yang sinting ini menanyakan cewek mana yang ia kejar. Tidak tahu saja Tara sudah mengejar Mutia mungkin bisa terhitung selama ia bernapas di kampus. "Masih sama, dari dulu sampai sekarang cuman dia."
Basi banget bahasanya, lagi-lagi Prabu menendang bokong adiknya. "Gua tebak, ceweknya nggak mau sama lo."
"Gue lagi usaha Prabuanta!" lawannya dengan tatapan sadis. "Jangan mentang-mentang lo selalu dikejar cewek jadi besar kepala! Gue juga sedang memperjuangkan cewek yang gue incar!"
"Halah curut!" Prabu tergelak meremehkan adiknya. "Cinta monyet aja sok-sokan, bentar lagi juga bosan!"
"Gue nggak kayak lo ya," cibir Tara sambil memiringkan senyumannya. "Gue pengen settle sama cewek yang gue suka."
"Secantik apa, sih? Gue penasaran. Kampus lo itu secantik-cantiknya cewek indo, ya bening dikit, kan?" kata Prabu lagi meremehkan Tara.
Ya jelas, dibandingkan Prabu, Tara memang tidak apa-apanya. Kakaknya yang brengsek ini lulusan MIT alias Massachusetts Institute of Technology jadi bayangkan betapa besarnya kepala si brengsek ini. Belum lagi, dia selalu menjadi anak yang paling dibangga-banggakan di rumah.
Perbandingannya memang tidak sebanding. MIT dan UI, yang membandingkan memang manusia tidak bermoral dan beradab. Tapi tenang, sejatinya Tara adalah mahasiswa yang mencintai negara sendiri, begini-begini Tara punya nilai bela negara yang besar daripada si brengsek Prabuanta itu.
"Lo kan tipe-tipenya suka yang bule, gue sih suka yang lokal." jawab Tara seenaknya, lalu tidak tahu kenapa selintas wajah manis Mutia lewat begitu saja di dalam pikirannya. "Cewek yang gue sukai sekarang... udah lah, off the limits—kalau gue ceritakan nanti lo suka juga sama cewek gue."
"Pede najis." Prabu tergelak sombong. "Nggak doyan gue sama cewek-cewek Jakarta yang nggak jelas."
Tara memutarkan bola matanya dengan malas. "Ya makan aja bule kebanggaan lo sono! Makan butter sama roti kering tiap hari mampus lo! Vitamin sandwich macam tahi!"
Si brengsek Prabuanta itu begitu bangga memamerkan sarapan sandwich yang dibuatkan oleh pacar bulenya. Padahal... kelihatannya lebih buruk daripada karya indah yang dibuat oleh Tom.
"Ya sudah mana kunci mobil!" tagih Prabu lagi.
"Setan!" maki Tara kesal lalu mengangkat laptopnya. "Kagak ada, lo pakai mobil Papa yang Rolls Royce sana! Najis banget mobil kecintaan gue dipakai lo sama cewek bule lo itu! Sori, jok mobil gue sudah ada tanda cinta dari cewek gue!"
Setelah mengatakan itu, Tara pergi mengabaikan tatapan jijik dari kakaknya sendiri. Prabu heran melihat kelakuan adiknya yang tengah kasmaran norak itu. Lama-lama dia jadi penasaran, seperti apa bentuk cewek yang disukai Tara sampai Tara norak abis seperti itu.
***
Mutia selesai memasangkan stoking berwarna hitam pada kedua kaki jenjangnya. Seragam kerjanya ini memang membosankan. Rok span pendek di atas lutut, serta kaus hitam polos yang dipadukan blazer bermodel kimono Jepang, wajar sih karena tempat Mutia bekerja adalah restoran Jepang. Itu sebabnya, dia harus bisa mengeja atau mengucapkan beberapa kata Jepang kepada para pengunjung.
Rambutnya telah selesai digulung, Mutia mengeratkan ikatan simpul blazer kimononya dan keluar dari ruangan karyawan. Untuk hari ini, tugas Mutia berada di bagian serving, dia yang akan membawa roda berisikan makanan-makanan yang sudah dibuatkan Chef untuk para pelanggan.
"Chef, untuk meja nomor tujuh, bukan?" kata Mutia berinisiatif.
Chef Nakamura mengangguk. "Ya, tanya lagi kuahnya creamy tomyam apa bukan. Takut salah."
Mutia mengangguk mengerti, dia membawa roda berisikan dua kuah creamy tomyam, beberapa slice daging sapi impor US, udang yang sudah dimarinasi dan di bakar, jamur enoki, sayur-sayuran, serta beberapa frozen food untuk Suki.
"Pesanan atas nama Prabu?" ujar Mutia sambil tersenyum mengkonfirmasi pesanan pelanggan.
Pelanggannya kali ini adalah perempuan berwajah blasteran dan pria Indonesia yang baru saja mengangguk dan tersenyum tipis kepada Mutia.
"Thanks, Mba."
"Sama-sama, Mas. Ada yang kurang?" tanya Mutia lagi.
Lantas pria itu bertanya kepada kekasihnya. "Babe? Ada yang kurang? Mau tambah lagi? Atau enough?"
"Enough," balas cewek bule itu. "Thanks,"
Mutia mengangguk setelah mundur dari meja pelanggan dan membawa roda kosong itu, ngomong-ngomong wajah pelanggan tadi seperti tidak asing di mata Mutia.
Mutia berusaha menatap pria itu kembali dan meyakinkan bahwa yang dia pikirkan memang salah, tapi wajah itu benar-benar sangat familiar. Dimana Mutia pernah melihatnya?
"Oy! Shift malam sama gue?" tanya Rustandi kepada Mutia.
Mutia terkejut bukan main ketika Rustandi menepuk pundaknya. "Ya, gue shift malem, untung besok hari minggu."
"Sip!" kata Rustandi dengan senang. "Gue ada teman malam ini, sebagai bonus... nanti gue traktir Starbucks sebelah deh,"
Mutia mengangguk setuju. "Boleh, gue nggak akan nolak Bang."
Rustandi tertawa mendengarnya. "Gimana? Pembimbing lo aman? Nggak rese lagi?"
"Sejauh ini sih..." Mutia membuang napasnya dengan kasar. "Nggak," lagi-lagi ditanya soal skripsi mendadak otaknya ikutan mandet. "Gue kepengen lulus banget."
"Yakin kok... lo bakal lulus, lo kan sudah ditandai oleh Manajer direktur kita kalau lo akan jadi supervisor di sini." ledek Rustandi. Jelas sih, semua orang sudah tahu bagaimana jujur dan berdedikasinya Mutia bekerja selama tiga tahun ini di resto BBQ ala Jepang ini. "Lo kan, anak kesayangannya Pak Chaidir,"
Mutia menyikut sisi tubuh Rustandi dengan panik. "Jangan ngomong begitu! Nggak enak kalau kedengaran sama orang lain!"
"Fakta oy fakta!"
Lalu bel dari meja pelanggan pun berbunyi, Mutia melihat meja nomor tujuh itu tengah melambaikan tangannya dengan wajah penuh senyuman Mutia menghampiri dua sejoli itu.
"Ada yang bisa saya bantu, Mas, Mba?"
"I need chilli oil please?" pinta wanita bule itu. "Sama daun bawang ya?"
"Baik," Mutia mengangguk lalu beralih pada pria yang ada di hadapan bule wanita itu. "Kalau Masnya? Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya minta sendok baru ya, buat puding terracota ini,"
"Boleh..." kata Mutia dengan ramah.
Mutia pergi menuju dapur dan mengambilkan apa yang diminta oleh pelanggan tadi. Setelahnya Mutia kembali, pria itu menoleh kepadanya sambil mengangkat telepon.
"Gue di dalam," katanya sambil berbicara lalu mengucapkan terima kasih dengan bisikan kepada Mutia. "Masuk aja, meja nomor tujuh."
Namun ketika Mutia berbalik dan tubuhnya menabrak seseorang, Mutia tahu kalau saat itu juga dia hampir jatuh dan bisa saja mencelakai orang lain.
"Maaf, s-saya nggak se-ngaja—" lalu kedua matanya bertubrukan dengan orang yang baru saja dia tabrak. Pinggangnya baru saja ditahan oleh lengan seseorang, dan kaki kanan Mutia hampir saja mengenai kursi meja seberang. "...lo?!" teriak Mutia tidak bisa menahan rasa terkejutnya.
Orang yang baru saja ditabrak olehnya tadi adalah—Tara si cowok gila yang sudah mengetahui letak kosannya dan segala tentangnya beberapa hari lalu dan sekarang cowok creepy itu tengah memeluk pinggangnya agar tidak terjatuh.
"Akhirnya kita ketemu lagi," ujar Tara kepada Mutia.
Mutia berdiri dengan panik dan menjauhkan pinggangnya dari tangan Tara. "Kenapa sih?! Makanya kalau jalan lihat-lihat!"
"Lah?" Tara mendengus geli melihat wajah Mutia yang sedang panik. "Kan lo yang nabrak gue?"
"Lo yang ada dibelakang gue! Harusnya lo yang menghindar!" lawan Mutia tidak terima.
Tara terkekeh pelan dan menepuk puncak kepala Mutia. "Iya deh, gue yang salah."
Kenapa juga Tara tiba-tiba mengalah?
"Cok? Ini cewek yang lo suka?"
Suara dibelakang Mutia membuat Mutia sadar bahwa sejak tadi dia sudah menjadi atensi fokus semua orang.
Dengan percaya diri yang tinggi, Tara menggenggam tangan Mutia dan membalikkan tubuh Mutia menghadap ke arah pria dan bule wanita itu. "Ya, lihat cewek gue, lebih cantik daripada cewek lo, kan?!" katanya dengan senyuman maut.
Pria itu menggelengkan kepalanya, sementara Mutia tidak bisa menahan emosinya dan mendorong dada Tara hingga cowok itu mundur beberapa langkah karena ulahnya.
"Ada apa ini?" tanya manajer direkturnya yang merasa terganggu dengan keributan yang sudah Mutia dan Tara lakukan tadi.
Mutia buru-buru berdiri tegak dan menundukkan kepala dan tubuhnya sembilan puluh derajat. "Maaf Pak, saya salah karena saya tadi tidak hati-hati,"
Tara membalikkan tubuhnya dan menatap Mutia yang bersikap berlebihan hingga harus membungkukkan tubuhnya seperti itu. "Ngapain lo bungkuk begitu? Sakit punggung tahu rasa!" ledek Tara.
Mutia memejamkan matanya kesal dan menginjak kaki kanan Tara. "Diam nggak lo?!"
Namun pria dengan kemeja hitam itu sepertinya tidak sedang ingin bermurah hati kepada Mutia. "Mutia ke ruangan saya sekarang juga," katanya sambil pergi berlalu.
Setelahnya Mutia mengangkat tubuhnya dan memejamkan matanya kesal, sial sekali hari ini, pasti karena ulahnya tadi para pengunjung merasakan ketidaknyamanan karena suaranya yang kencang, belum lagi perdebatan konyolnya dengan Tara. Bagaimana pun juga, Tara adalah pengunjung, dan jelas pengunjung harus diperlakukan layaknya Dewa.
Sial!
"Mau kemana?" Tara mencegah tangannya yang hendak pergi.
Mutia melengos sebal. "Lepas!" titahnya menghempaskan cekalan tangan Tara. Lalu Mutia pun pergi berlalu mengikuti sang manajer direktur.
***
Rema mendatangi kediaman atasannya Mahendra dengan senyuman cerah, siang ini dia sengaja membawa segala berkas yang sudah dia siapkan sejak berminggu-minggu lamanya.
Mencari satu anak gadis saja perjuangannya gila bukan main. Karena kehambaran privasi dan keamanan, Rema memang sering mendapati akses yang tertutup atau terbatas. Mungkin karena gadis bernama Mutiara itu sempat berada dibawah perlindungan keluarga Soeridjo jadi sulit untuk dicari.
Rema menemukan berkas tentang Mutiara dari salah satu sekolah menengah atas swasta Jakarta, tepatnya di Senayan. Dengan bumbu menyedihkan yang dia ceritakan pada guru di yayasan tersebut, akhirnya Rema mendapatkan fakta baru kalau Shri Anantari Mutiara lulus dari sekolah tersebut dan melanjutkan kuliah di salah satu universitas negeri Indonesia dengan jurusan sastra Indonesia.
Kalau dihitung dari tahun lamanya sejak Mutiara lulus SMA, kemungkinan besar tahun ini adalah tahun terakhir Mutiara kuliah di UI.
"Pak Rema, mau ketemu sama Bapak?" tanya salah satu asisten rumah Mahendra.
Rema mengangguk. "Iya, Mbok. Tolong panggilkan Bapak ya."
"Nggih Pak."
Tak lama kemudian, Rema melihat atasannya yang baru saja selesai melakukan gym dan duduk di hadapannya dengan wajah lelah dan berkeringat.
"Gimana?" tembak Mahendra langsung.
Rema tersenyum lebar kepada atasannya itu. "Sudah ketemu, Pak."
Wajah lelah Mahendra langsung menghilang dan berubah, raut lelahnya sudah digantikan oleh raut wajah penasaran. "Bagaimana? Dimana dia?"
Rema membuka berkas demi berkas yang dia miliki saat ini. "Nama lengkapnya Shri Anantari Mutiara, saat ini dia kuliah di UI, Pak. Jurusan sastra Indonesia, tingkat empat,"
Mahendra meraih foto kelulusan Mutiara berukuran empat kali enam, foto itu hanya foto berlatar merah biasa, tapi Mahendra menatapnya seakan-akan foto itu adalah suatu benda yang sangat berharga. Menatapnya tanpa lepas dan mengamati wajah cantik dari gadis yang dia yakini putrinya sendiri.
"Dia mirip seperti Ibunya, Rema." lirih Mahendra menatap foto gadis itu.
Rema hanya bisa terdiam, sementara Mahendra masih betah menatap foto itu, pria itu kembali berkata. "Saya yakin dia anak saya, Rema. Saya yakin Mutiara anak saya."
Untuk fakta yang satu itu, Rema sendiri masih ragu. Benar atau tidaknya, Mutiara anak Mahendra. Karena dalam keluarga Rekartono ini ada dua lelaki yang mengaku bahwa dia adalah ayah dari gadis cantik itu. Yang satu kakaknya, Mahendra Rekartono dan adiknya Mahastra Rekartono. Keduanya mencintai perempuan bernama Shri Kassaleah dengan sangat menyeramkan.
Otak pria yang sudah mencintai perempuan memang selalu se menyeramkan itu, Rema tidak tahu bagaimana Shri Kassaleah bisa lepas dari jeratan adik kakak yang terobsesi kepadanya hingga melahirkan putri cantik yang sedang hidup berjuang sendirian di luar sana.
Tapi rahasia besar gadis itu—siapa ayahnya—dan darah siapa yang mengalir dalam tubuhnya tetap harus dibuktikan secara nyata. Tes DNA mungkin bisa membantu mencari tahu jawaban keluarnya.
"Pak," kata Rema lagi kepada atasannya dengan sungkan. "Bagaimana kalau Bapak tes DNA dengan Mutiara? Kita harus memastikan dengan cepat apakah Mutiara anak Bapak atau bukan, setidaknya jika iya... Bapak memiliki andil yang besar untuk menjaganya, merawatnya dan memilikinya sebelum Pak Mahastra tahu keberadaan Mutiara, Pak."
Mahendra mengangkat pandangannya kepada Rema, ada benarnya juga yang Rema katakan kepadanya. Tapi, bagaimana caranya? "Apa kita perlu menemuinya secara langsung?"
Rema menggeleng. "Biar saya, Pak. Biar saya yang cari dan temui Mutiara lebih dulu, setelahnya... saya akan pikirkan cara untuk membawa Mutiara ke hadapan Bapak tanpa pemaksaan."
"Rema tes DNA saya dan Mutiara harus dilakukan secepatnya," pinta Mahendra kali ini. "Bagaimana pun, bisa dari air liur atau rambut? Kalau darah akan terlalu mencolok."
"Saya akan pikirkan caranya, Pak." janji Rema mendukung keinginan Mahendra.
***
a/n:
Jeng jeng jeng...
Mutia sebenernya anak siapa yaaa wkwk. Duh, yang bacanya diem-diem bae nggak asik ah🥰
Kamis, 5 Desember 2024.
Best regards.
Her.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro