Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab I

Mutia menyelesaikan bab tiga skripsinya dengan wajah tidak puas. Setelah menghabiskan satu malam begadang, dan dosennya yang masih belum puas dengan hasil revisinya, mau tidak mau Mutia mencari kekurangannya sendiri dalam setiap kata yang dia tuangkan dalam setiap bagian skripsinya.

Inginnya mengeluh, inginnya istirahat, tapi Mutia tahu ini adalah sebagian masalah kecil yang harus dia hadapi untuk kelulusan yang dia butuhkan. Tempat kerjanya—tempat dimana Mutia sudah menjalani part time selama dua tahun ini membutuhkan ijazah S1 Mutia agar Mutia bisa diangkat jabatan menjadi Supervisor. Begitu sih, janji manajer direktur rumah makan dimana tempat Mutia bekerja.

Kosannya baru saja dibayar tanggal 2 bulan ini, token listrik Mutia baru saja di isi. Yang belum Mutia beli adalah, beras untuk makannya satu bulan ini, dan air galon yang sudah tinggal sedikit. Stok mie instan hanya tinggal 2 bungkus, dan dua kantung teh yang tersisa tiga. Gula? Jangan ditanya, sudah habis!

Kosan dengan harga tujuh ratus lima puluh ribu sudah dilengkapi WiFi, kamar mandi di dalam, terdapat dapur kecil dan wastafel untuk cuci piring pun sudah cukup untuk Mutia. Kamarnya memang kecil, tidak terlalu besar tapi cukup untuk dirinya sendiri. Dan tempat ini lah yang sudah melindungi Mutia dari panas terik matahari dan hujan.

Mutia menyimpan baik-baik uang sisa yang harus dia pakai dengan telaten untuk satu bulan ini. Baru tanggal lima, tapi Mutia belum belanja untuk isi dapurnya.

Perutnya keroncongan, barangkali dia belum menemukan makanan sejak semalam karena terus menerus fokus dengan laptop usangnya. Akhirnya, Mutia bangkit dari ranjang dan melihat wadah penyimpanan beras yang hanya tersisa satu cup saja.

"Lumayan," kata Mutia mengambil beras itu dan mencucinya, tidak peduli dengan apa dia akan makan nanti yang penting nasi harus matang dulu.

Setelah dirasa nasi yang dibuatnya matang, Mutia membuka bungkus mie instan goreng yang dia miliki dan memasaknya. Kompor single dengan gas ukuran tiga kilogram ini akan awet kalau Mutia jarang memasak.

Biasanya Mutia akan membagi mie goreng buatannya untuk makan siang nanti. Mutia jarang makan dan jajan di luar sebab mahal, karena itu lah mie goreng selalu bisa menjadi lauk andalan Mutia ketika lapar dan.. belum belanja bulanan.

Harum aroma bumbu mie goreng itulah yang makin membuat perutnya kian meronta.

Mutia mengisi perutnya dulu sebelum mandi, bagaimana dia harus menyerahkan revisi akhir dari bab tiga ini, semoga saja dosen pembimbingnya memberikan ACC lanjutan agar Mutia bisa melanjutkan bab lima.

Setelah selesai sarapan, menyapu kamarnya dan membereskan seluruh barang-barang yang berantakan, Mutia mandi begitu dia selesai dengan semua urusannya ponselnya berdering dan menunjukkan lima panggilan tidak terjawab dari mantan ayah tirinya.

Apakah benar ada mantan ayah tiri? Sepertinya ada. Sejak Ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu, Devano Soeridjo sudah menikah kembali dan memiliki anak dari keluarga barunya. Mutia memutuskan untuk pergi dari rumah keluarga Soeridjo sebab Mutia sadar diri bahwa dia bukan anak kandung dari Devano Soeridjo.

Karena lima panggilan tidak terjawab dari mantan ayah tirinya, ayah tirinya itu mengirimkan pesan kepada Mutia.

Ayah:

Mutia anak ayah...
Ayah nggak tahu kamu ada
dinana sekarang, tapi ayah
sudah kirim uang bulanan
untuk Mutia. Dipakai ya,
anak ayah... tolong dipakai,
ya... Mutia harus pakai uang
yang ayah selalu kasih.
Tolong Ayah, Nak... ayah
sayang kamu.

Mutia menarik napasnya dan tersenyum tipis. Mutia juga sayang Ayah, inginnya Mutia membalasnya, tapi sejak pertemuannya terakhir dan Devano Soeridjo nekat datang ke kampusnya, Mutia marah besar dan tidak menerima kedatangan ayah tirinya itu.

Bagaimana lagi? Mutia sudah merasa tidak berhak untuk menerima kasih sayang dari Devano Soeridjo.

"Dah, cukup. Jangan lanjutkan lagi sedihnya." ujar Mutia pada dirinya sendiri.

Memasukkan laptopnya ke dalam ransel dan memakai jaket andalannya, Mutia mengikat kencang rambutnya dan pergi keluar dari kamar kosannya. Dia harus pergi ke kampus dan menghadapi kenyataan di depan.

Beginilah cara Mutia berjuang demi kehidupannya sendiri. Dia tidak mau menjadi benalu yang menyusahkan orang lain.

Mutia harus menunjukkan pada mendiang ibunya kalau Mutia bisa berjuang demi hidupnya sendiri. Ya, memang seperti itu. Kehidupan yang dia lalui tidak akan pernah mudah. Tuhan sudah mensettingnya dengan cukup parah. Yang bisa Mutia lakukan hanyalah, menerima dan menjalaninya.




***




"Morning, Pa!"

Mahastra tersenyum senang ketika mendapatkan ciuman di pipi kanannya dari sang putri. "Morning, Princess... sudah selesai buat video get ready with me-nya?"

Angeli Rekartono, putrinya bersama Anne Altair sudah tumbuh begitu besar dan dewasa, di samping tugasnya sebagai mahasiswi, anaknya yang satu ini memiliki hobi membuat video yang di upload pada YouTube akunnya sendiri.

"Sudah dong, aku kebetulan masuk siang hari ini... jadi santai dikit lah sebelum ke kampus. Papa terbang ke Bali siang ini, kan?" tanyanya kepada Mahastra.

Mahastra mengangguk. "Ya, Papa pergi dulu ya tiga hari. Jangan buat masalah lho, yang akur sama adiknya."

Jeremiah Rekartono melengos malas mendengarkan pesan yang Papanya berikan. Sudah jelas dia akan ribut bersama kakak perempuannya itu, bentukannya Angeli kan memang sangat menyebalkan tidak ada bagus-bagusnya sama sekali sebagai kakak perempuan.

Kenapa Jeremi membenci Angeli sebesar itu? Karena Angeli memang selalu mengganggunya, tidak ada satu hari dimana Jeremi merasa tenang dengan keberadaan kakak perempuannya itu. Tidak sama sekali!

"Aku nggak akan ribut dengan Jer kok, Pa." kata Angeli dengan senyuman yang sangat manis, tapi lirikan matanya menunjukkan aura permusuhan yang sangat kental. "Lagipula, Jer pasti akan sibuk seharian ini dengan klub basket nya."

Lantas Mahastra menolehkan wajahnya pada anak keduanya itu. "Kamu tanding basket lagi, Jer?"

Jeremi mengangguk. "Ya,"

"Kapan?"

"Minggu depan."

"Kenapa nggak beritahu Papa?"

"Memangnya kalau aku beritahu Papa kenapa? Apa Papa akan datang? Mana mungkin." sindirnya dengan nada dingin.

Mahastra tahu dia sama sekali tidak pernah datang pada acara tertentu anak-anaknya ini. Tapi Angeli sudah biasa dan mengerti keadaannya, tapi Jeremi? Beda kasus.

"Akan Papa usahakan, Papa janji." balas Mahastra sambil mengusap puncak kepala putranya itu.

Jeremi menggeleng tidak peduli. "Jangan terlalu banyak janji, Pa."

Tak lama kemudian, Anne Alawi datang bergabung dengan anak-anak dan suaminya di meja makan. "Ada apa ini? Kenapa wajah kalian bertiga sangat kusut?"

"Papa yang buat kusut." Jawab Jeremi seenaknya.

Angeli terkekeh sinis dan geli. "Biasa, Ma... Jer marah karena Papa kebanyakan janji."

"Boy..." Anne mengusap puncak kepala putranya. "Papa kan, sibuk."

Mahastra tersenyum canggung dan mengusap lengan istrinya. "Its okay, Jer memang pantas marah, aku selalu lupa dengan jadwal tanding dia."

Anne menghela napas. "Sudah Mama bilang, biar Mama dan Angeli yang datang."

"Ih!" Angeli buru-buru membulatkan matanya dan berseru heboh. "Ogah!"

"Gue juga ogah lo datang!" sahut Jeremi tidak mau kalah. "Resek, nanti malu-maluin!"

Angeli membalas tatapan marah adiknya dengan senyuman menggoda. "Memang siapa yang mau lihat lo tanding? Nggak penting! Paling nanti kalah lagi!"

"Berisik!"

"Paling kalah lah... udah bisa ditebak!"

"Diem nggak?!"

"Angeli..." Anne mengingatkan sikap anak perempuannya yang cukup senang menggoda adiknya itu.

Mahastra tidak bisa menyembunyikan senyuman gelinya, lantas dia mendengus sedih ketika mengingat ada putrinya yang lain entah berada dimana keberadaannya sekarang. Putrinya yang sudah dia biarkan bertahun-tahun, dan karena itu lah Mahastra tidak pernah merasa tenang menjalani harinya. Ada dosa yang terus mengintai di belakangnya, dan dosa yang tidak akan pernah bisa dihapuskan.




***




Pria itu menutup laman file yang sudah dia baca, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku karena duduk berjam-jam di ruangan, berkutat dengan para pen diskusi dan pendebat yang jelas tidak mau kalah. Meeting kali ini diakhiri dengan cara yang baik-baik namun belum menemukan solusi yang tepat untuk perbaikan jalan tol di Brebes.

Kepalanya penat, tapi dia selalu berusaha meluangkan waktu untuk mencari apa yang seharusnya dia cari. Jika dia sudah menemukannya, maka tidak ada lagi hal di dunia ini yang harus dia sesali.

Makam Shri Kassaleah sudah ditemukan minggu lalu oleh para anak buahnya, Kassa dimakamkan di Jakarta Utara, makamnya terlihat sangat terawat dan dia senang mengetahui bahwa ada seseorang yang memperhatikan dan merawat Kassa bahkan setelah wanita itu tiada.

Dan sekarang, PR-nya masih belum bisa diselesaikan karena putrinya Kassa belum bisa dia temukan. Terakhir informasi yang dia dapat putri Kassa hidup bersama suami Kassa bernama Devano Soeridjo. Hal itu membuatnya senang bukan main, dengan begitu dia bisa segera membuktikan berbagai macam spekulasi yang menghantui dirinya selama ini.

Tapi perkiraannya salah. Ekspektasinya dihancurkan ketika tahu Devano Soeridjo sudah menikah lagi dan memiliki keluarga baru, dan kabar buruknya adalah keberadaan putri mendiang Kassa tidak lagi hidup bersama Devano Soeridjo.

"Sudah kamu temukan anak itu?" tanya Mahendra kepada Rema, asisten sekaligus sekretarisnya yang selalu konfirmasi setiap kabar putri mendiang Kassa.

"Belum Pak," Rema menunduk malu karena dia belum bisa memberikan berita yang bagus kepada atasannya. "Saya sedang berusaha mencari tahu nama lengkapnya, para anak buah tengah menggali informasi dari keluarga Soeridjo."

Mahendra menghela napasnya dengan berat. "Soeridjo hanya keluarga tirinya, Rema. Bagaimana pun mereka tidak akan menerima keberadaan putri Kassa dengan ikhlas,"

"Saya akan mencari tahu di sekolah-sekolah sekitar kediaman Soeridjo, barangkali putri mendiang Nona Kassa pernah bersekolah di sana."

"Kerja yang rapi." balas Mahendra setuju. "Jangan sampai kita kalah cepat dengan Mahastra, Rema."

"Pak Mahastra sepertinya tidak mencari keberadaan putri Nona Kassa."

Mahendra mengusap keningnya sambil berpikir keras, adiknya yang satu itu tidak akan bisa ditebak begitu saja. "Kita tidak bisa tahu apa yang ada di dalam pikiran Mahastra, Rema. Lebih cepat lebih baik, putri Kassa harus menjadi milik saya, anak itu memang ditakdirkan untuk menjadi milik saya."

***

a/n:

Kalo rame mau rajin update🫠

Senin, 2 Desember 2024.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro