Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

t u j u h b e l a s

Aku ingin tahu, bagaimana rasanya menjadi prioritas utama.
Karena, kala bersamamu, aku paham rasanya berada di urutan terakhir.

***

Saat masuk ke dalam kamarnya, wajah Kiana sudah dipenuhi raut keruh. Rasa bersalah mengerubunginya tanpa ampun. Membuatnya merasa sesak. Kotak kue dan buket bunga dari Dimas tergeletak begitu saja, entah bagaimana, cheese cake tidak lagi menarik perhatiannya.

"Anak Mama kenapa? Abis ngedate kok cemberut?" suara Mamanya mengalihkan perhatian Kiana.

"Dimas marah sama Ki," gadis itu merenggut, air mata bergumul di kantung matanya.

"Kenapa? Kok bisa Dimas marah?Biasanya kan kamu yang marahin Dimas terus?"

Kiana menggigiti jarinya, memperjelas keresahannya. "Kiana lupa hari ini Dimas ulang tahun."

Pengakuan Kiana membuat Mamanya memijat dahi. Sebagai orang tua yang memperhatikan keduanya sejak kecil, Andien tau, bahwa perasaan Dimas kepada putrinya lebih dari perasaan seorang sahabat, Dimas selalu mengutamakan Kiana di atas segalanya, mementingkan keselamatan Kiana di atas kepentingan pribadinya. Maka dari itu, ia dan Wisnu sudah mempercayakan Kiana pada Dimas, nyaris secara utuh.

Namun sayang, sepertinya anak gadis kesayangan mereka terlampau lugu untuk menyadari perasaan sahabatnya. Kiana mungkin menyayangi Dimas, lebih dari seorang sahabat, tapi bukan sebagai pasangan, melainkan sebagai seorang kakak laki-laki.

Andien dapat mengingat dengan jelas, bagaimana Kiana dulu menjadi gadis yang pemurung, sampai suatu hari, Dimas muncul dalam hidupnya, dan perlahan sosok seseorang tergantikan.

"Yaudah, sekarang kamu istirahat dulu, besok pagi, bikinin Dimas sarapan terus ke rumahnya Dimas."

"Mama bantuin Ki, ya?"

Andien mengecup puncak kepala Kiana, lantas mencubit pipi anaknya jahil. "Iya bawel."

Andien baru sampai di ambang pintu, ketika teringat sesuatu.

"Ki, Juna itu rumahnya dimana?"

"Kiana mana tau Mama, Kiana kan bukan pacarnya," sebelah alis Andien terangkat kala mendengar jawaban putrinya.

"Loh, Mama kan nggak bilang dia pacar kamu?"

"Ng, iya udah, intinya Kiana nggak tau," sadar kesalahannya, Kiana buru-buru mengambil piyama di dalam lemari. "Udah ah Mama, Kiana mau ganti baju."

Suara kekehan geli terdengar dari bibir Andien, bahkan sesaat setelah ia keluar dari kamar Kiana. Namun, tawanya tidak bertahan lama kala kilat mata hitam seseorang tiba-tiba saja membentur ingatannya. Gerakannya terhenti seketika.

Mata gelap pemuda itu, mirip dengan milik seseorang.

Andien menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir prasangka yang bergaung di dalam tempurung kepalanya. Kebetulan seperti itu tidak mungkin terjadi di dunia nyata, kan?

***

Pukul 03.00 dini hari, langit masih benar-benar pekat, dan udara belum selembab pagi. Namun, di tengah lapangan komplek, bola berwarna oranye sudah terpantul sejak setengah jam yang lalu. Deru napas terdengar diantara heningnya malam.

Dimas berada di sana, berusaha membunuh sesak yang sejak beberapa jam lalu memeluknya erat. Berkali-kali ia berusaha terlelap, namun tiap kali matanya terpejam maka yang ia saksikan adalah senyum Kiana saat bersama Arjuna.

Kalah, ia telah hancur bahkan sebelum ia berjuang.

Dimas bukan lagi kebutuhan bagi Kiana, perlahan namun pasti ia akan di lupakan layaknya orang-orang yang jatuh cinta sendirian, mereka hancur sendirian.

Seolah ingin meledak, langkah kakinya berlari cepat, dengan gerakan gesit, ia melompat demi mencapai ring, bola basket itu masuk tanpa interupsi. Sementara sang pencetak angka masih berpegangan pada ringnya. Peluh berkejaran di pelipisnya, namun kenapa lelah ini belum mampu melenyapkan pedihnya?

Jengah, pada dirinya sendiri, Dimas meluruhkan tubuhnya, membiarkannya rebah begitu saja.

"Argh!" teriakan itu terdengar, namun hanya disahut oleh suara bola terpantul. Panjang pendek, napasnya terdengar seperti sebuah keputus-asaan.

Di tatapnya langit malam dengan tatapan menerawang. Lebih dari sepuluh tahun sejak ia menyadari bahwa ia menyukai Kiana, selama sepuluh tahun itu ia menghabiskan waktunya hanya demi menatap Kiana, lebih dari sepuluh tahun senyum gadis itu menjadi arah langkahnya, lebih dari sepuluh tahun dunianya berotasi pada seorang Kiana Niranjana.

Dan itulah kesalahan terbesarnya. Katanya, yang spesial akan kalah dengan yang selalu ada, maka Dimas sudah memenuhi keduanya. Namun ternyata, menjadi yang berarti dan selalu ada saja belum cukup jika ia tidak melakukan sebuah usaha.

Seolah ingin menemani keretakannya, awan gelap menggantung di atasnya. Dan akhirnya, setelah sekian tahun memendam, kalimat itu terucap bersamaan dengan air mata dan rintik hujan pertama yang menyentuh permukaan tanah.

"Gue sayang lo, Ki..."

***

Dimas baru pulang ke rumahnya saat langit sudah berwarna biru cerah. Tubuhnya masih basah bekas keringat dan gerimis semalam.

"Kamu kemana aja sih? Kabur tengah malam," suara sungutan Mamanya menyambut Dimas tepat setelah cowok itu melewati ambang pintu. Dimas tidak menyahut, hanya menyambar gelas susu di atas meja makan.

"Kasihan kan Kiana, nunggu dari subuh tadi." Mendengar nama Kiana di sebut, sebelah alis Dimas naik.

"Kiana?"

"Iya, itu dia udah ke sini dari jam setengah enam." Mamanya mengoleskan selai pada takupan roti, lantas melirik ke arah tangga. "Mama suruh aja ke kamar kamu."

Tanpa berpamitan atau menunggu kelanjutan omelan Mamanya, Dimas menaiki anak tangga, dua-dua sekaligus.

Pemuda itu menghela napas saat menemukan Kiana yang terpejam dengan posisi duduk. Seperti refleks tangannya langsung terulur, sedetik sebelum dahi Kiana menyentuh permukaan meja.

Dimas mengusap rambut Kiana sayang. Seperti biasa, segala sesaknya surut setiap kali ia menemukan wajah Kiana. Tidak ada lagi kecewa, atau perasaan marah, hanya rasa nyaman yang menyebar.

Tak lama kemudian, tubuh Kiana menggeliat, sebelum matanya mengerjap pelan.

"Dimas!" Kata pertama itu terlontar tepat sedetik setelah Kiana membuka matanya. Kiana melirik lengan Dimas yang baru saja ia jadikan bantal, sebelum meringis.

"Masih ngambek ya?" tanya Kiana takut-takut, gadis itu menusuk-nusuk lengan Dimas. Wajahnya tampak begitu merasa bersalah.

"Enggak."

Kiana mengambil nampan yang terletak di atas meja belajar, membuat Dimas mengernyitkan dahi saat menemukan secangkir matcha dan nasi goreng di atas nampan.

Nasi goreng itu di atur sedemikian rupa, sehingga membentuk wajah murung. "Lo kan tau gue nggak bisa masak, nggak bisa bangun pagi juga, tapi demi lo nih gue masak subuh-subuh, masih ngantuk, sampe kecipratan minyak tuh."

Kiana mengulurkan lengannya, menunjukan setitik ruam merah pada lengannya. Dimas tidak bisa tidak terharu. Lembut, diusapnya ruam merah tersebut.

"Sakit ya?"

Kiana mengangguk dengan wajah terluka, pipinya yang menggembung dan bibirnya yang tertekuk pasti mampu meluluhkan hati siapapun. Apalagi hati seorang Adimas Prasetya.

Dimas meniup ruam merah tersebut, seolah mampu menyembuhkannya. Hal ini selalu ia lakukan tiap kali Kiana terluka.

"Masih sakit?"

Sadar bahwa ia berhasil membujuk Dimas, senyum Kiana merekah, matanya berpedar, lantas menggeleng pelan.

"Jangan masakin apa-apa buat gue, kalo itu bikin lo sakit," ujar Dimas lembut.

"Maafin gue ya kemarin?"

"Nggak usah dibahas." Dimas beralih pada matcha yang sudah tidak lagi hangat dan nasi goreng di sebelah mereka. "Gue cobain ya?"

"Iya! Cobain aja! Tapi gue nggak jamin rasanya ya, soalnya kan tau sendiri, gue nggak bercita-cita jadi chef."

"Emang lo nggak bercita-cita jadi istri juga? Jadi istri kan harus bisa masak?" ujar Dimas seraya meraih gagang cangkir.

"Ya makanya, nanti gue maunya cari suami yang kaya, biar bisa jadi nyonya rumah aja," seloroh Kiana asal, sebelum melanjutkan, "apa gue jadi istri lo aja ya, Dim? Kan lo nggak mungkin tuh ninggalin gue gara-gara gue nggak bisa masak."

Dimas tersedak, mendengar kalimat acak Kiana. Gadis itu mungkin tidak menyadari bahwa kalimatnya memberikan efek pada Dimas. 

"Eh? Kenapa? Nggak enak ya? Padahal itu matcha instan," Kiana menepuk-nepuk pundak Dimas, sementara cowok itu menggelengkan kepalanya.

"Nggak, nggak, enak kok matchanya."

"Makanya kalo minum pelan-pelan dong, sekarang cobain dong nasi gorengnya." Kiana menyendok sesuap nasi goreng untuk di layangkan ke dalam lambung Dimas.

Sedetik setelah suapan itu masuk ke dalam mulut Dimas, raut wajah cowok itu berubah. Dimas nyaris saja menyemburkan nasi gorengnya, kalau tidak ingat siapa pembuat makanan ini.

"Enak kan?"

Susah payah Dimas menelan nasi gorengnya. "Lo masukin apaan sih ini nasi goreng? Kok rasanya aneh?"

Kiana mengerutkan dahinya, namun ia tidak menemukan suatu yang salah. Sepertinya ia sudah memasak sesuai instruksi mamanya.

"Apa ya? Nggak kok, gue masak kayak biasanya nyokap gue masak."

"Rasa asinnya aneh, terus ada manis-manisnya gitu," mendengar kalimat Dimas, Kiana lantas teringat improvisasi yang ia lakukan pada percobaannya.

"Oh itu hehe," Kiana menggaruk tengkuknya salah tingkah, "kan tadi kecap manisnya abis, yaudah deh gue pake kecap asin, terus biar ada manisnya kecap asinnya gue campur gula. Emang beda ya rasanya?"

Dimas menahan diri untuk tidak mengantukan kepalanya ke dinding.

Sadar bahwa kado nasi gorengnya telah gagal, Kiana buru-buru mengangkat tangan. "Et, jangan sedih dulu, Kiana cantik masih punya yang lainnya."

Cewek itu merogoh kantung hoddienya, sebelum mengeluarkan selembar kertas berwarna ungu.

"Voila!"

Dimas mengernyitkan dahi saat melihat kertas kecil yang baru saja Kiana serahkan. "Apaan nih?"

"Kupon jalan-jalan sama Kiana Niranjana seharian, gue tau, gue bukan artis, walaupun gue lebih berbakat dan lebih cantik dari artis-artis ibukota masa kini, tapi percaya Dimas sahabatku tersayang, ada masanya gue akan sukses dan lo nggak akan mempunyai kesempatan emas macam ini lagi, jadi jangan sia-siakan kesempatan ini, berjalan-jalanlah bersama Kiana Niranjana!" Kiana berkelakar layaknya model iklan agensi perjalanan, membuat Dimas tertawa geli.

"Oh iya, satu lagi! Segala bentuk pembayaran di tanggung oleh penerima hadiah ya, soalnya gue lagi bokek, muehehe."

Dimas menyentil dahi Kiana seraya bangkit dari duduknya. "Bilang aja lo emang pengen jalan-jalan gratis, udah sana pulang, siap-siap, jam sepuluh gue samper."

"Siap Dimasku!"

----
A/n: Yuhu, update juga. Cie kemarin kena PHP, wkwk maaf ya, gue kepencet kemarin, padahal belum selesai.
Terus, mau nerusin tapi gue harus belajar karena lagi UTS huhu.
Siapa yang pindah hati ke Dimas? Wkwk
Dan hari ini pun gue update di antara tumpukan print out Bahasa Inggris. Sumpah, gue baru tau Bahasa Inggris bisa begini menyiksanya.
Doakan ya, biar UTS gue lancar sampai akhir, doain biar IP gue nggak turun.

Okelah, semoga kalian suka!

Babay.

Ku syg kalian.

Makasih banyak yang nanyain.

Berarti banyak yang nungguin. Aku senang. Aku sayang. Aku cinta.

Babay.

Udah ah intinya Babay.

Aku syg kalian.

Mwah,

Naya❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro