t u j u h
Cemburu paling lucu adalah ketika merasa kehilangan, sekalipun tau, dia bukan siapa-siapa.
***
Kiana merenggangkan seluruh persendiannya lelah, akhirnya shooting mereka dapat di selesaikan dalam waktu satu hari.
Kiana menepati janjinya untuk tidak melakukan kesalahan lagi, sehingga ia bisa mengibaskan rambutnya sambil tertawa jumawa di hadapan Keagan dan Rizky. Makan tuh nggak bisa apa-apa!
Tapi tenang saja, ia tidak meloloskan Sandra dan Johan begitu saja, di dalam tas Johan dan Sandra, Kiana memasukan kecoa hidup, masing-masing dua ekor. Sehingga, waktu mereka berdua membuka tasnya, jerit-jerit histeris terdengar ke seantero gedung.
Waktu Juna melirik ke arahnya, Kiana hanya memasang tampang sok polos. Lagian, enak aja mentang-mentang Kiana lagi berperan jadi yang terbully mereka bisa semena-mena menghujat Kiana gitu? Hah, sori-sori to say ya!
Kiana baru merebahkan tubuhnya di atas kasur, ketika ponselnya bergetar, menandakan sebuah pesan masuk.
Sebelum alisnya terangkat sebelah, melihat notifikasi Line yang masuk.
Arjuna Pranaja added you as friend.
Tidak lama, sebuah pesan dari pemilik akun yang sama masuk ke dalam ponsel Kiana.
Arjuna Pranaja: Lo yang naro kecoa di tasnya Sandra kan?
Kiana mencibir membaca text yang tertera di layarnya.
Sibuk-sibuk sampai ngechat, cuma mau nanyain ginian doang?
Kiana Niranjana: Kalo iya kenapa? Mau ngomelin gue?
Arjuna Pranaja sent a picture.
Arjuna Pranaja: Berarti lo juga yang naro ini di tas gue?
Ups, Kiana lupa, ia juga memasukan botol bekas air mineral yang tadi Juna berikan padanya di dalam tas cowok itu.
Arjuna Pranaja: Benerkan? Bener-bener deh emang lo ya, gak ada terima kasihnya jadi manusia.
Kiana Niranjana: Sori, gue bidadari.
Kiana Niranjana: Lagian itu air mineral kan memang punya lo, jadi gue balikin lagi ke pemiliknya, apa yang salah?
Arjuna Pranaja: ya ya ya semerdeka lo, cewek kolor.
Kiana langsung merenggut membaca Juna memanggil ia dengan julukannya.
Kiana Niranjana: Biarin orang cakep mah bebas.
Arjuna Pranaja: Percuma cakep kalo males mandi.
Kiana Niranjana: Ha! Berarti lo ngakuin dong gue cakep! Mamam pupus!
Arjuna Pranaja: Ha! Lo jg ngakuin dong lo males mandi!
Kiana Niranjana: Gue males mandi aja lo akuin cakep, apalagi gue rajin mandi? Modar lo.
Semenit, dua menit berlalu, tapi tidak ada balasan sekalipun pesan itu telah terbaca. Senyum kemenangan tercetak di bibir Kiana, di lemparnya benda pipih itu ke sembarang arah sebelum merentangkan tangan dan kakinya di atas kasur kesayangannya.
Dalam benaknya, Kiana membayangkan tampang bete Arjuna.
Haha, sukurin, siapa suruh lawan Kiana?!
***
Kiana Niranjana: Gue males mandi aja lo akuin cakep, apalagi gue rajin mandi? Modar lo.
Juna menatap layar ponselnya jengah. Berkali-kali pun ia melihatnya, susunan aksara di sana masih tetap sama.
Gimana ada sih, cewek normal se-PD Kiana?
Oh, jelas Kiana itu bukan cewek normal, bagaimana Juna bisa lupa.
Tapi ada yang lebih tidak normal lagi; kelakuan Juna malam ini. Pertama, dia dengan sengaja mengirimkan chat pada Kiana hanya demi bertanya hal sepele macam botol kosong di dalam tasnya. Kedua, Juna berkali-kali memelototi layar ponselnya, membaca pesan Kiana, mendengus, melemparkan ponselnya sembarangan, namun kemudian meraihnya lagi dan kembali membaca pesan tersebut.
Dan siklus itu terus terjadi berulang kali.
Juna berdecak sebal. Kerjapan mata cokelat madu Kiana membuat otaknya geser beberapa sentimeter. Juna menghembuskan napas membuat ujung rambutnya yang tadinya jatuh di dahi kini melayang-layang di udara.
Tiba-tiba ingatannya terantuk pada masker penutup mata milik Kiana. Juna pun beringsut dari tempat tidurnya, lalu mengambil masker bergambar mata panda tersebut dari laci meja.
"Emang enak ya pake ginian?"
Juna mengenakan masker tersebut, dan merasakan sensasi dingin di permukaan kelopak matanya. Bibirnya tertarik ke atas sedikit. Selanjutnya, Juna sudah tenggelam dalam mimpinya.
***
Kantin bersama sedang ramai siang itu, Kiana meringis ketika mendapati tidak adanya satupun meja kosong di sana.
"Nau, penuh banget, gue laper jiwa mana," keluh Kiana.
"Nggak ada laper jiwa Ki, yang hitz itu mantap jiwa," mendengar Naura yang sempat-sempatnya mengoreksi kalimat Kiana, Kiana mendelik.
"Suka-suka gue dong mau ngomong apa, gue ini yang ngomong."
"Iya-iya terserah lo deh, ya!"
Tidak lama pandangan Naura jatuh pada Rio yang sedang melambaikan tangannya. Senyum langsung mengembang di bibir Naura melihat dua kursi kosong di meja Rio.
"Ki, gue dapet tempat." Naura pun menyeret Kiana tanpa menunggu cewek itu mengangguk.
Di meja itu terdapat Rio, Juna dan dua cowok yang Kiana tau bernama Fabian dan Deva, semuanya anak himpunan.
Kiana mendelik sesaat ketika mendapati mentornya yang satu itu duduk di sana. Naura sih enak, mentornya Rio yang baik hati, lah Kiana? Baru masuk aja udah jadi musuh bebuyutan.
Sebaliknya, Naura justru merasa kejatuhan durian runtuh. Empat-empatnya merupakan cowok tampan nan rupawan pujaan mahasiswa baru komunikasi. Siapa yang mau nolak duduk di sana?
"Duduk aja sini, nggak apa-apa dari pada lo bingung duduk di mana," ucap Rio sembari menunjuk kursi kosong depannya dan Juna.
Naura yang duluan duduk memilih kursi depan Rio, jadi mau tak mau Kiana duduk di depan Juna. Sedangkan Deva dan Fabian duduk di sisi samping meja.
"Kiana ini yang tidur waktu lagi penyuluhan video campaign kan?" ujar Fabian membuat Kiana nyaris tersedak air ludahnya sendiri.
Bujug buneng, jelek amat image-nya.
"Iya, yang dibangunin sama Juna susah banget!" kini Deva yang angkat bicara, keduanya tertawa geli, sementara di tempatnya Kiana sudah menekuk bibirnya.
"Maaf nih ya kak Deva, kak Fabian, tidur itu kan manusiawi, salah gue dimananya ya?" Kiana menyela tawa keduanya, perlahan tawa mereka mereda.
Fabian mengibaskan tangannya, "sori, sori habis lo lucu sih, gue nggak pernah ngeliat cewek cakep tapi tidurnya sekebo elo."
Fabian menarik ujung bibirnya, melemparkan senyuman maut pada Kiana. "Tapi tenang aja Kiana, tidur lo cantik kok."
Jika cewek lain akan tersipu malu, dan jatuh di perangkap Fabian secepat kilat menyambar, maka Kiana adalah pengecualian. Cewek itu justru mengibaskan rambutnya, lalu tersenyum meremehkan.
"Nah, itu lo tau, tapi sori-sori to say nih kak Bian, gue nggak kena sama mulut manis fakboi."
Mendengar seloroh asal Kiana, sontak nyaris seluruh orang yang ada di meja itu tertawa geli. Termasuk Fabian, namun kecuali Arjuna.
"Kampret juga lo ya, gue nggak brengsek, sama kayak lo gue hanya sadar pesona aja." Kiana mengedikan bahunya tidak perduli, lalu beralih pada Naura.
"Udah ah, gue laper, Nau pesenin makanan dong, gue udah mau mati kelaparan."
Naura berdecih seraya mendorong dahi Kiana dengan telunjuk, tapi tak pelak ia bangkit juga.
"Yaudah, lo mau pesan apa?"
"Mie goreng pake nasi, mi nya mi sedap ya biar banyak."
Mata cowok yang berada di sana langsung melotot mendengar pesanan Kiana. Ternyata, bukan hanya doyan tidur, selera makan Kiana juga sangat tidak feminim.
"Ck, gila bener, nggak ada jaimnya," ujar Deva sambil terkekeh geli. Alih-alih ilfeel mereka berempat justru kagum dengan cewek ajaib yang satu ini.
Naura hanya menghela napas, lalu beranjak meninggalkan Kiana. Kadang, punya teman se-apa-adanya Kiana harus membuat Naura ikut memutuskan urat malu.
Juna yang sejak tadi hanya memperhatikan akhirnya ikut menggelengkan kepala, ia menegakkan tubuhnya, lalu menatap Kiana lekat.
"Lo kenapa nggak ikut Naura aja pesen makanan?" Kiana menghela napasnya malas.
"Lo tuh ya, masa iya gue minta tolong pesenin makanan sama teman gue aja sampe kena omel sama lo juga?"
Juna berdecak, lantas melirik ke arah teman-temannya.
"Mungkin nggak masalah kalau cuma ada gue dan Rio, tapi Fabian itu cowok paling brengsek kelas wahid, dia ganti cewek sesering dia ganti kaus kaki." Juna mengatakannya secara terang-terangan, membuat Fabian merenggut, namun belum sempat Fabian protes, Juna sudah kembali berulah.
Kini, cowok itu merampas sebatang rokok yang baru Deva sulut korek. "Dan Deva, hobinya ngebul, dia bisa ngehabisin satu kotak rokok dalam waktu dua jam, lo ada di meja ini sendirian bersama empat cowok, nggak takut orang mikir lo cewek yang nggak-nggak?"
"Jun, lo kok kampret ya?" tukas Deva sewot. Sedangkan Fabian juga ikut bersungut, namun tidak dapat membantah. Cap playboy yang sudah melekat pada dirinya tidak pernah meresahkannya. Ia justru bangga dengan prestasi semacam itu.
Mata Kiana kini berkeliling, ia mendapati beberapa mata memang mencuri pandang ke arahnya, tapi ia hanya mengedikan bahunya tidak perduli.
"Ya, bodo amat sih, dari pada gue makan sambil berdiri."
"Cerdas!" tandas Fabian seraya mengangkat telapak tangannya untuk berhigh-five dengan Kiana, namun cewek itu justru mengangkat bahunya cuek.
"Orang cantik memang harus kebal di sirikin." Meskipun tengsin karena di tolak Kiana, namun Fabian kembali berdecak kagum.
"Wow, pemikiran lo seksi abis, Kiana!" serunya bertepuk tangan, sementara Rio dan Deva menatap Kiana takjub.
"Ckckck, untung gue dulu nggak jadi naksir sama lo Ki," kata Rio akhirnya.
"Ya, untung aja, soalnya gue juga nggak mau sama elo," Kiana menyahut tak mau kalah, tapi Rio hanya tersenyum geli. Baru kali ini, dia ditolak tanpa sakit hati.
Juna menyentakan kepalanya kesal, ia baru mau bangkit dan mengajak Kiana beranjak dari meja itu, ketika sebuah suara menyeruak di antara mereka berlima.
"Kiana, lo ngapain di sini?"
Kiana mendongak lalu menemukan Dimas di sana, dalam hati Kiana langsung mengumpat, membayangkan omelan Dimas mengenai batas perempuan dan laki-laki.
"Lo cowoknya?" tanya Juna membuat perhatian Dimas teralih. Dimas menaikan sebelah alisnya sesaat, tapi memilih mengabaikan Juna.
"Ayo, lo ikut gue." Dimas hendak meraih pergelangan tangan Kiana, namun cewek itu langsung menghindar.
"Nggak mau, gue lapar, udah ah, gue bosen tau lo bawelin," sungut Kiana membuat mata Dimas memicing.
"Kiana!" Dimas kini berteriak kesal, tapi seperti tidak perduli Kiana hanya mengabaikannya.
"Nggak usah ngebentak bisa? Lo bisa duduk dan ajak ini cewek jalan baik-baik," tukas Juna lagi. Entah kenapa ia merasa jengah kalau ada cowok lain yang membentak Kiana selain dirinya.
"Jangan ikut campur," suara Dimas dingin dan menusuk, ia menatap Juna tajam yang langsung di balas Juna dengan dengusan.
Sekali lihat, Juna sudah bisa menebak kalau Dimas pasti seumuran dengan Kiana. Dia sama sekali tidak tertarik untuk adu tatap sama cowok ingusan yang sedang terbakar cemburu.
Akhirnya, Juna beralih pada Kiana, "dia cowok lo?"
Pertanyaan Juna langsung di jawab Kiana dengan gelengan kepala. "Bukan, dia teman gue dari kecil."
"Lo ikut dia gih, dari pada tubir di sini."
"Nggak mau, gue lapar," tukas Kiana cuek.
Juna berdiri, lalu mengalihkan pandangannya pada Dimas.
"Lo dengar sendiri, dia nggak mau ikut, jadi mending lo cabut aja, ini anak gue jamin keselamatannya, nggak akan di apa-apain, lo bisa pegang omongan gue."
"Gue nggak perduli," ujar Dimas, sebelum kembali fokus pada Kiana. "Kiana, ayo ikut gue!"
Dimas meraih pergelangan tangan Kiana, namun tangannya justru di cekal oleh tangan lainnya. Seketika atmosfer meja tersebut menjadi jauh lebih menegangkan.
Tatapan tajam Dimas, kini di balas Juna dengan tatapan yang jauh lebih menghunus. Di antara Dimas dan Juna seperti baru saja terbentang kedinginan yang mencuat.
"Dia nggak mau ikut sama lo, gue Arjuna Pranaja, kalau Kiana kenapa-napa, lo bisa cari gue." Suara itu beku, begitu pula sorot mata dan raut mata si pengucap.
Juna menarik tangan Dimas dari tangan Kiana, lalu menghempaskannya begitu saja.
"Siapapun lo, gue nggak bisa mempercayakan Kiana. Jadi, jangan ikut campur." Penekanan pada suara Dimas akhirnya membuat Kiana membanting punggungnya pada sandaran kursi.
Ia mendelik ke arah Dimas, tapi tak pelak bangkit juga.
"Tolong bilang sama Naura suruh bayar makanan gue dulu," ujar Kiana pada empat kakak tingkatnya, lalu beralih menatap Dimas.
"Karena gue di culik sama bokap tiri gue." Setelah mengatakannya, Kiana beranjak sambil menghentak-hentakan kakinya. Meninggalkan Dimas, 4 cowok di meja tadi bersama ratusan mata yang menatapnya ingin tahu.
Setelah melirik tajam ke arah Juna sekali, Dimas pun ikut pergi dari Kantin. Naura yang baru saja selesai memesan, menatap punggung Dimas dan Kiana bingung.
"Tuh cowok siapa? Cowoknya Kiana?" pertanyaan yang terlontar dari bibir Juna mengalihkan perhatian Naura.
"Bukan, dia Dimas anak tehnik mesin, teman Kiana dari kecil."
Juna mengangguk kecil, tapi matanya tak lepas dari belokan dimana Kiana dan Dimas menghilang.
Entah kenapa, ada rasa aneh menyusup dalam dadanya. Keinginan protektif untuk tidak membiarkan Kiana bersama cowok manapun, termasuk bocah ingusan bernama Dimas tersebut.
----
A/n: Wuhu, akhirnya bertemu juga Juna sama Dimas. Jadi, Juna apa Dimas nih? Wkwk
Btw, akhirnya Crush selesai muehehe, tahun ini gue akan berusaha lebih produktif, setelah If Only sampai ke pertengahan cerita, gue bakal post cerita lagi, yang sekarang udah nongski di draft.
Oke, itu aja, semoga suka ya!
See U
Mwa
Naya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro