
t i g a p u l u h t u j u h
Bagaimanapun caramu pergi, jangan lupa aku sebagai tempatmu kembali.
***
"Bunda, apa rasanya mati?" tanya Juna seraya meletakan kepalanya di atas paha ibunya. Bunda tampak berpikir sesaat, sebelum menjawab pertanyaan putranya.
"Ada banyak hal yang tidak bisa kamu ketahui rasanya tanpa mengalaminya sayang, kematian adalah salah satunya," jawab Bunda bijak, jemari wanita itu menelusuri wajah Juna, bermain di sela-sela rambutnya.
"Langit capek Bunda. Boleh Langit ikut Bunda?"
***
Beberapa menit berlalu setelah kesadaran Kiana kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, tidak menyadari kenapa tubuhnya kembali terbaring di bangkar rumah sakit.
Bau obat menelasak indera pernciumannya. Seorang dokter menanyakan beberapa hal yang hanya Kiana jawab sekenanya. Kepalanya pening. Ada banyak hal yang lebih penting dari CT scan atau hal lainnya yang dokter tersebut katakan.
Dari tempatnya Kiana melihat Mama dan Papanya yang menatapnya penuh haru. Saka berdiri di samping Papanya, bersama dua orang lain yang belum Kiana kenal.
Tepat setelah Dokter tersebut meninggalkan ruangan. Kiana menggerakan tangannya lemah, meminta siapapun dari mereka mendekat. Tubuhnya masih belum mampu bergerak sempurna, ada nyeri di lengan dan bahunya.
"Kenapa sayang?" tanya Mamanya yang relah lebih dulu mendekat. Sementara Papanya mengikuti sang dokter guna mengurus persiapan pemeriksaan. Saka dan dua orang itu pun ikut mendekat.
"La...ngit mana?" susah payah suara serak tersebut lolos dari bibir Kiana. Kalimatnya praktis membuat semua orang yang berdiri di sana terkejut.
Bukan Mamanya, justru wanita di samping Saka yang berujar. "Kamu ingat Langit, sayang? Kamu ingat Langit?"
Kiana mengangguk lemah. "Kak Langit mana? Kiana mau ketemu."
Kalimat yang Kiana merupakan paradoks. Gadis itu memanggil Juna dengan nama kecilnya, dan menggunakan namanya saat ini guna menyebut dirinya.
Para orang tua saling berpandangan, sementara Saka melangkah mendekat. Kiana menatap Saka penuh harap, menyadari bahwa Saka adalah salah satu orang yang mampu mengabulkan permintaannya.
"Nanti kita ketemu Juna ya, setelah lo ngejalanin pemeriksaan," ujar Saka lembut. Mata Kiana berair, sorot permohonan terpancar jelas dari mata madunya. Namun ia tak mampu memaksa, karena suster dan segerombolan petugas rumah sakit membawanya pergi dari ruangan.
***
"Kenapa kamu bilang begitu sayang? Dosa loh berharap kematian," Bundanya mengingatkan namun Langit menggeleng lemah.
"Tuhan nggak sayang Langit."
"Siapa bilang? Tuhan sayang kok sama Langit, Tuhan tau Langit kuat, makanya di beri ujian."
Langit menggeleng lemah. "Langit nggak sekuat itu Bunda. Langit capek. Di sana, Langit nggak tau lagi harus apa. Langit kehilangan Bunda, Langit kehilangan Ayah, di saat Langit berpikir bahwa Langit kehilangan Bulan, Bulan justru kembali dengan cara yang tidak Langit harapkan. Kenapa Kiana harus jadi Bulan? Apa nggak bisa Tuhan biarin Langit bahagia sama Kiana?"
Bunda tersenyum, mengelus kepala putranya penuh sayang.
"Jangan marah sama Tuhan, sayang. Allah itu maha baik, Dia pasti punya rencana."
***
Sesuai janji, setelah Kiana menyelesaikan pemeriksaannya, Saka mendorong kursi rodanya menuju ruangan Juna. Sebelum masuk kamar perawatan, Fabian, Deva dan Rio lebih dulu menyambut Kiana dengan wajah yang nyaris serupa; raut syukur dan rasa tidak percaya. Satu persatu dari mereka memeluk Kiana. Tidak luput juga Naura dan Dimas yang baru kembali bergabung setelah kembali ke penginapan sebelumnya.
"Gue tau lo kuat, terima kasih udah bertahan, Ki." Dimas mengacak rambut Kiana penuh sayang, Kiana pun membalas pelukan Dimas erat.
"Terima kasih untuk segalanya, Dim."
Kiana beralih pada Naura, mengulurkan tangannya guna meminta pelukan hangat. Naura melakukannya, air matanya bahkan sampai jatuh kala mereka menyatu.
Selepas Naura melepaskan pelukan, Saka berjongkok di depan kursi roda Kiana. Tangannya menggenggam Kiana, berusaha menguatkan.
"Udah siap?" tanyanya.
Kiana menarik napas panjang, lantas mengangguk ragu.
"Apapun yang terjadi, janji nggak akan nangis di dalam?"
Kiana mengangguk lagi. Sekalipun hatinya meragu. Apalagi saat ia melihat orang tua Juna--yang tadi berada di kamarnya-- berpelukan seraya menangis. Kiana tidak tau bagaimana keadaan Juna di dalam, namun sepertinya bukan sesuatu yang baik.
Saka terdiam sejenak. Menyiapkan diri sendiri untuk kemungkinan terburuk. Selama Kiana menjalani pemeriksaan tadi, ia dan orang tua Juna telah berdiskusi. Mereka bertiga, bahkan Fabian, Deva dan Rio menyadari, bahwa kemungkinan Kiana adalah satu-satunya yang Juna tunggu saat ini. Kiana adalah alasan mengapa Juna masih mampu bertahan detik ini.
Membiarkan Kiana bertemu Juna, bisa berarti merelakan Juna untuk pergi dari hidup mereka. Tapi mereka tau, mereka tidak bisa egois. Terlalu banyak beban yang Juna tanggung semasa ia hidup, memaksakannya tetap bertahan dalam kondisi sekarat, hanya akan menyakiti Juna lebih lama.
Saka mengalihkan wajahnya, meminta persetujuan orang tua Juna sekali lagi. Rahardi mengangguk, mengiyakan. Saka menoleh pada teman-temannya yang lain, respon serupa di berikan, kecuali oleh Fabian yang membuang muka, menyembunyikan air mata.
Saka mendorong kembali kursi roda Kiana. Tepat sedetik setelah pintu di hadapan mereka terbuka, dingin menyambut keduanya. Kiana merasakan tubuhnya kaku seketika. Bukan karena suhu udara, melainkan suasana suram yang terbangun di sana. Suara monoton dari bedside monitor serta bau obat yang menelasak, membuat bulu kuduknya meremang.
Di atas ranjang, tubuh Juna terbaring kaku. Berbagai selang dan kabel tersambung ke tubuhnya. Bibir Kiana bergetar, saat menyadari perban yang melilit kepalanya sangat tidak sebanding dengan segala luka yang ada di tubuh Juna.
Kiana meraih tangan Juna, merasakan dingin yang langsung menyentuh permukaan kulitnya.
"Kak Jun..." belum ia menyelesaikan kalimatnya, Kiana menggeleng, lantas meralatnya. "Kak Langit, Bulan di sini."
Kalimat Kiana hanya di jawab oleh suara monoton dari monitor di sampingnya.
"Bulan ingat semuanya... Bulan ingat siapa Bulan." Setetes air mata luruh dari sudut mata Kiana, gadis itu memberi jeda sejenak. "Bulan ingat bagaimana Bunda meninggal."
Air mata itu tidak terhenti pada tetes pertama. Seperti hujan di bulan Desember, air mata itu mengalir deras membasahi punggung tangan Juna hingga basah.
***
"Tuhan pasti marah sama Langit, Bunda." Langit mengusap air matanya. "Langit berdosa Bunda, Langit jatuh cinta sama orang yang salah."
Rinjani tidak menjawab, membiarkan Langit menjatuhkan seluruh lelahnya.
"Maafin Bunda. Maaf, karena Langit salah. Maaf karena Langit mencintai Bulan dengan cara yang tidak seharusnya. Maaf, Langit gagal jadi seorang kakak.
"Sekarang, Bulan nggak bisa terima kenyataan. Dia sakit terus. Setiap Langit menjauh, dia akan mencari." Napas Juna memburu, dadanya menyempit.
"Langit nggak tau... gimana caranya menghadapi Bulan, Bunda. Langit sudah gagal melindungi Bulan."
***
"Bulan ingat, Kakak mau jadi pilot biar bisa ajak Bulan ketemu Bunda. Bulan nggak akan marah kalau Kakak nggak jadi pilot, yang penting Kakak bangun ya? Hm?"
Annisa yang berdiri di dekat pintu membekap mulutnya, menyaksikan percakapan satu arah di hadapannya.
"Kakak janji sama Bunda mau jagain Bulan, ayo kak, di tepati janjinya." Kiana menggerakan tangan Juna. Namun masih tidak mendapat respon.
Sesak. Kiana mengeratkan genggaman tangan mereka. Dengan suara parau, diucapkannya kalimat, yang bahkan ia sendiri tak bisa menjamin bisa menepati.
"Aku janji, aku janji nggak akan merengek lagi." Hujan mengalir dipipinya, isakannya menggema. "Aku janji akan terima kenyataan kalau kita adik kakak. Tapi tolong Juna, just wake up!"
***
"Hadapi dia semampumu, cintai ia sesanggupmu. Percayalah sayang, kelelahan kalian akan terbayar nantinya, sakit hati kalian merupakan jalan untuk saling mencintai dengan cara yang lebih kekal."
Rinjani mengelus kepala Juna penuh sayang, mengecupnya perlahan, lantas berdiri dari tempatnya.
"Bunda mau kemana? Langit ikut!"
***
"Kalau memang, aku jatuh cinta sama kamu itu dosa. Kalau memang, apa yang kita jalanin selama ini sebuah kesalahan, aku janji bakal ngelupain segalanya." Tak Kiana sangka, ia sanggup mengatakan hal tersebut. "Apapun asal kamu bangun. Apapun. Sekalipun setelah itu, kita nggak bisa ketemu lagi, aku nggak papa, tapi tolong bangun Juna, tolong bangun."
Setetes air mata meluncur dari sudut mata Juna. Jatuh begitu saja tanpa aba-aba.
Di cengkramnya lengan lelaki itu, berharap mampu memanggil jiwanya.
Tangis Kiana makin menggila. Teman-teman dan orang tua mereka hanya mampu membekap mulut. Kepiluan itu jelas mereka rasakan, namun sayangnya mereka tak memiliki daya.
***
"Bunda mau kemana? Langit ikut!" serunya berusaha mengejar Rinjani.
Tapi, selangkah yang ia ambil merubah dunianya menuju ruang putih yang tidak mengenal batas.
Rinjani tersenyum, mengulurkan tangan, seolah mengajak puteranya.
***
Suara monoton dari monitor di samping bangkar, tiba-tiba berubah seperti musik bertempo cepat, suaranya bak sirine pertanda buruk.
Napas Kiana tertahan. Pun dengan degup jantungnya. Tanpa ia sadari, tubuhnya ditarik menjauhi ranjang. Orang-orang berpakaian putih berhambur mengerumuni bangkar. Aba-aba serta instruksi medis terdengar di sepenjuru ruangan.
Dalam sedetik, kepanikan menjalar. Tubuh Kiana di banjiri keringat dingin. Histeris, ia berteriak, berharap mampu membangunkan Juna.
"JANGAN PERGI! TOLONG JANGAN PERGI!" Tubuhnya terus ditarik, tapi ia tidak menyerah, terus di gaungkan raungannya. "KAKAK JANJI MAU JAGAIN BULAN! JANGAN TINGGALIN BULAN KAYAK BUNDA! JANGAN TINGGALIN BULAN KAYAK AYAH!"
Di sela-sela tubuh dokter dan paramedis. Kiana melihat tubuh Juna yang terlempar ke atas, lantas kembali terbanting di bangkar, berkat defibrilator.
"Tambahkan tegangannya!" teriak dokter tersebut. Keadaan semakin menggila, jeritan, suara desing dari alat kejut listrik serta bunyi dari monitor tersebut bergaung di tempurung kepala Kiana.
Sebelum pandangannya di batasi pintu yang tertutup. Kiana melihat dokter tadi, melakukan CPR. Sebagai usaha setelah gagal dengan defibrilator.
***
Juna ingin meraih tangan Bundanya, namun ia lumpuh tak mampu bergerak. Rinjani menarik lagi tangannya lantas terseyum pada Juna.
"Belum sampai pada waktumu sayang." suara itu bergema, memantul hingga terdengar telinganya. "Jaga adikmu, tepati janjimu pada Bunda. Jangan biarkan dia hancur karena kepergianmu."
Suara itu terdengar. Namun Juna tak mampu menjawabnya. Lidahnya kelu. Syarafnya seolah mati, pun dengan aliran darahnya.
Di tempatnya, ia hanya mampu melihat tubuh bundanya yang terus mengecil hingga akhirnya lenyap termakan jarak.
***
"Tolong bilang sama gue, dia nggak apa-apa tolong bilang sama gue," disela isakannya, Kiana mencengkram tangan Saka yang berjongkok di hadapannya. Annisa baru saja rebah, tak sadarkan diri. Rahardi berdiri dengan tatapan kosong. Di antara semua yang berada di lorong itu, Saka dan Kiana lah, yang memiliki ikatan emosi paling dalam.
Bibir Saka bergetar, ia tak berani berbohong. Dugannya benar. Juna hanya menunggu Kiana.
"Kiana..." panggilnya lembut. Mengerti arah pembicaraan mereka, Kiana menutup telinganya, menggelengkan kepala.
"Juna nggak akan ninggalin gue, Saka! Dia janji sama gue!" tepat setelah jeritan Kiana menggema, pintu kamar Juna terbuka.
Mereka semua berhambur mendekati dokter. Kecuali Rahardi, Saka dan Kiana yang sudah mencapai titik keputus-asaan.
Mengerti bahwa Kiana juga ingin mendengar pernyataan Dokter, kerumunan itu terbelah.
Dokter melangkah menuju Rahardi yang berdiri di samping kursi roda Kiana.
"Kita harus mengucap syukur." Beberapa detik terlewat. Mereka membiarkan waktu melaju lambat. "Sebuah keajaiban, pasien telah siuman."
---
A/n:
Yay! Juna nggak jadi mati muehehe. Siapa yang nebak Juna bakal mati hayo?
Di draft udah ada sampe ending, tapi rasanya nggak mau cepet-cepet posting.
Aku belum mau pisah sama mereka :(
Oh iya, sambil nunggu ending, kalau ada yang mau kalian tanyakan ke aku. Boleh di line comment ini. InshaAllah aku jawab semua, semampuku, asal jangan nanyain endingnya, itu masih rahasia :p
Dan, aku mau nanya juga, sejauh ini, karakter mana yang paling kalian suka, dan apa alasannya?
Ku tunggu jawaban kalian.
Udahlah, semoga suka, semoga feelnya dapat, maafin kalau kurang ngena :(
Salam sayang,
Kesayangannya Juna dan Kiana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro