Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

t i g a p u l u h t i g a

Baru kusadari, bahwa jarak terjauh bukan lagi perkara hidup dan mati. Melainkan kita, yang saling mendamba, sekalipun tahu, Tuhan tidak izinkan bersama.

***

Waktu merupakan sesuatu yang paling misterius setelah takdir. Pusaran detiknya nyaris tidak teraba hitungan manusia. Seperti jam pasir yang di letakan secara terbalik, segalanya berlalu begitu cepat dan tiada terkendali. Kadang lajunya menyembuhkan luka, namun kadang pula ia merenggut kebahagiaan.

Pada masa-masa tertentu, manusia ditertawakan waktu karena menyia-nyiakan mereka lalu melarat-larat menangisi penyesalan. Ada jua yang lebih beruntung, mereka menyadari keterbatasan waktu yang mereka miliki. Sehingga, tiap nanodetiknya merupakan hela napas yang tidak rela mereka sia-siakan.

Juna dan Kiana mungkin adalah dua orang yang beruntung. Keduanya menyadari perpisahan yang menanti di depan mereka. Maka dari itu, sesanggup mungkin Juna mengabulkan seluruh mohon Kiana.

Delapan hari berlalu sejak mereka membuat kesepakatan. Selama delapan hari itu pula, waktu Juna nyaris sepenuhnya terdedikasi untuk Kiana.

Sudah lebih dari tiga puluh daftar sederhana yang Kiana buat ia penuhi.

Nyaris setiap hari, Juna menemani Kiana menonton drama Korea kesukaan gadis itu, meskipun kadang Kiana justru tertawa pada bagian menyedihkan. Kala Juna menanyakan alasannya, jawaban gadis itu justru mempersempit dadanya.

"Aku cuma lucu aja, Goblin sama manusia aja ujungnya bisa sama-sama, kenapa kita yang katanya cuma satu darah harus di pisahin ya? Nggak adil."

Kiana tertawa geli, sekalipun Juna tau hatinya menahan nyeri.

Juna tidak bisa melakukan apapun, selain mengelus puncak kepala gadis itu, lantas berusaha memenuhi keinginan Kiana yang lainnya. Bahkan, permintaan Kiana yang mustahil pun, Juna berusaha penuhi dengan cara yang lebih sederhana.

Seperti menyewa sepasang kostum Cinderella dan Pangeran Phillips persis gaun pernikahan ala Rachel Vennya, sampai memesan sebuah standing character aktor Korea Selatan yang namanya tertera di daftar gadis itu.

Apapun demi Kiana.

Seperti siang ini, Juna akhirnya menemukan salah satu cara untuk membawa Kiana keliling dunia dan pergi ke luar angkasa. Dengan cara yang tentunya sangat sederhana.

Hari ini, Juna mengajak Kiana pulang ke rumah gadis itu, demi memenuhi beberapa daftar yang belum tercentang. Sejujurnya, Kiana tidak terlalu setuju dengan ide Juna kali ini.

Sekalipun tidak ingin mempercayai apa yang orang-orang katakan, Kiana merasa mempertemukan orang tuanya dengan Juna bukanlah sesuatu yang benar.

Sebuah dosa besar mungkin telah orang tuanya lakukan pada pemuda yang ia cintai. Belum lagi reaksi orang tua Kiana, jika menemukan anak gadisnya masih saja berkeras kepala mencintai orang yang salah.

"Kenapa?" tanya Juna seraya membantu Kiana membuka seat belt. Kiana menghela napas berat, lantas menelengkan kepalanya pelan.

"Kamu yakin nggak apa-apa, kalau kita masuk?"

Juna mengangguk yakin, seraya mengelus puncak kepala Kiana lembut. "Nggak apa-apa. Percaya sama aku, okey?"

Kiana menggigit bibir bawahnya ragu, tapi tak pelak dituruti pula keinginan Juna.

Kekhawatirannya, memang tidak sepenuhnya terbukti, orang tua Kiana menyambut kedatangan mereka seperti mereka menyambut kedatangan Juna sebelum rahasia itu terkuak. Meskipun, tetap saja, kecanggungan tidak bisa terelakan.

Setelah meminta izin untuk pergi ke kamar Kiana, barulah gadis itu mampu benar-benar melepaskan napas lega.

"Segitunya," Juna terkekeh seraya menjawil hidung Kiana. Membuat gadis itu memberenggut lucu.

"Lagian ngapain sih kita ke rumah ku? Kalau cuma izin buat besok kan bisa lewat SMS," gerutu Kiana tepat setelah gadis itu sampai depan pintu kamarnya.

"Nggak baik tau, ngajak nginep anak orang izinnya cuma lewat SMS. Nggak sopan. Bisa langsung di cap anak kurang ajar aku."

Kiana memutar bola matanya, sebelum meraih gagang pintu. Mereka memang berniat untuk pergi ke Jogjakarta selama tiga hari. Tidak hanya berdua. Dimas, Naura dan teman-teman mereka yang lain tentu ikut menemani. Hal ini seperti sebuah alarm baginya, mengingatkan Kiana bahwa waktunya dengan Juna semakin menipis.

Kiana ingin menutupi kegelisahannya,  namun sayang sekali, mata Juna terlalu jeli untuk menangkap raut tersebut. Juna berdiri di belakang Kiana, sementara tangannya menahan tangan gadis itu untuk menekan gagang.

"Jangan buka pintunya dulu, sebelum kamu janji nggak akan nangis?" Kiana menaikan sebelah alisnya, tapi hanya sesaat sebelum menghela napas pendek dan tersenyum sedih.

"I'm okay."

Dua kata sederhana itu cukup untuk membuat Juna melepaskan tangannya, masih dengan perasaan berat, Kiana membuka pintu kamarnya.

Semula, kepala itu masih tertunduk. Sampai beberapa detik kemudian, Kiana menyadari ada sesuatu yang berbeda di kamarnya. Raut wajah itu sontak berubah, keterkesimaan menelan seluruh kesedihan yang sebelumnya tergambar jelas.

Tenggorokan Kiana tercekat, sebelah telapak tangannya terangkat membekap mulut.

Beberapa meter dari tempatnya, sesuatu terbentang di atas dinding polos kamarnya. Dari jauh tampak seperti sebuah potret dirinya dalam ukuran raksasa, namun ketika langkah kakinya mendekat, Kiana tidak bisa mencegah air mata luruh dari sudut mata kanannya.

Di hadapannya, ratusan kolase foto dari berbagai tempat di seluruh dunia tertempel dan disusun sedemikian rupa. Warnanya diatur, agar membentuk pola yang sempurna. Detailnya tampak begitu rapi dan rumit, nyaris seperti tiada cela.

Pada beberapa titik ia temukan potret dirinya yang tak pernah ia lihat, Juna sebar di antara foto-foto tempat menajubkan. Namun yang paling memikat adalah gambar yang Juna susun untuk membentuk matanya. Bukan gambaran permukaan bumi yang terjamah mata manusia, namun Kiana melihat gambaran gemintang ada di dalamnya.

Salah, bukan hanya malam. Namun potret semesta Juna susun demi menggambarkan rupa matanya. Seolah lensa matanya memang tercipta dari atom bintang yang berpijar.

"Suka?" Kiana dapat merasakan suara Juna tepat di telinganya. Kiana menoleh, namun masih tidak mampu bersuara.

Ia hanya menurut ketika tangan Juna menuntunnya, untuk menekan sebuah sakelar di samping tempat tidur.

Pada detik kemudian, Kiana tidak bisa untuk tidak kembali terperangah. Pada dinding kamarnya, pada langit-langit kamarnya, bahkan pada sela-sela kolase foto di dinding barusan, ia temukan sebuah semesta buatan di dalam kamarnya.

Lampu utama yang di matikan, terganti oleh titik-titik lampu yang tersebar bagaikan gemintang diangkasa. Ada Orion, ada Cygnus, Pegasus dan rasi bintang lainnya.

Dan seperti menggambar matanya tadi, pada titik sentral langit-langit kamarnya, Juna letakan piringan lampu berwarna pucat. Bentuknya tak ubah sebuah rembulan di malam purnama.

Kiana masih larut dalam keterkesimaan, ketika di rasakannya ibu jari Juna bergerak di atas pipinya. Membuat fokusnya pecah, lalu kembali menyatu pada sosok di hadapannya.

"Kiana..." bahkan dari suara berat tersebut, dapat Kiana rasakan betapa dalam perasaan yang berusaha Juna sampaikan. "Aku nggak bisa ajak kamu jalan-jalan keliling dunia atau ke luar angkasa, terlalu fana untuk kita gapai saat ini.

"But, you have to know, kamu punya segalanya di sini. Kamu adalah dunia bagi seseorang, dan semesta bagiku." Juna menyelipkan sedikit rambut Kiana ke belakang telinga, agar bisa di telusurinya wajah gadis itu dengan lebih leluasa.

"Aku tau, kita punya masa-masa yang berat, tapi apapun yang terjadi kamu nggak boleh hancur." Bersamaan dengan kalimat Juna, setetes air mata kembali meluncur di pipi Kiana. "Sering-sering pulang ke rumah, jangan lupa makan dan tidur malam, jangan sampai sakit. Dengan ataupun tanpa aku, kamu harus bahagia."

Merasakan tubuh Kiana mulai bergetar, Juna menariknya dalam dekapan. Kiana mengingkari janjinya, gadis itu kembali terisak, meskipun pelan dan lambat.

Juna memang tidak mengajaknya pergi keluar angkasa, atau mengelilingi dunia. Lebih dari itu, Juna membawakan semesta untuknya. Menjadikan ia sebagai pemilik sebuah jagad raya.

Tak bisa Kiana ungkiri, perasaannya seperti Juna bawa mengangkasa untuk di jatuhkan semesta di detik kemudian.  Dan semakin bahagia Kiana, maka semakin takut ia jikalau waktu bergerak.

Dari balik pintu, Andien dan Wisnu hanya bisa menyaksikan tubuh keduanya menyatu. Rasa bersalah tak mampu keduanya lenyapkan.

Tidak tau mana yang lebih kejam, takdir atau justru mereka yang sejak awal menyembunyikan kebenaran.

Keduanya akhirnya beranjak, memberikan waktu pada Kiana dan Juna, yang menangis di tengah semesta yang keduanya ciptakan. Dalam hati, keduanya hanya berharap, semoga Tuhan lekas menyembuhkan luka mereka.

--------

A/n: Hi! Cie Juna-Kiana aku kamuan, cie yang nungguin hasil test DNA. Sabar tjoyski, dua belas hari kan. Masih lama, dua belas part. Ga deng canda.

Gimana part ini? Semoga suka ya hehe, kalo ga suka kasih kucing aja. Apasi gue.

Sebenernya mau publish pas lebaran biar sekalian minta maap, tapi lebaran waktunya sama keluarga harap di maklumi muehehe

So, minal aidzin wal faizin ya kalian, salam dari semua kesayangan aku. Tau lah, siapa kesayangan-kesayangannya Naya.

Oh iya, jangan lupa cek ig (at)wattpadindo, ada sesuatu di sana :3

Yaudahlah, capek ugha jadi orang bawel, semoga suka, semoga bertahan sampai akhir, see u when i see u!!!

Salam sayang,

Naya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro