Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

t i g a p u l u h s a t u

Kita berkeras kepala, memintal benang demi benang kemungkinan, agar terwujudnya sebuah harapan. Sekalipun memahami, bahwa akhir bahagia, merupakan perihal yang fana.

***

Tekad Kiana masih sebulat sebelumnya, atas alasan itulah gadis tersebut berdiri di depan kelas Juna siang ini. Menunggu cowok itu keluar dari kelasnya.

Juna tidak bisa terus menghindarinya. Kalaupun mereka memang di paksa merestui perpisahan,  mereka masih harus bertemu walau hanya saling sapa.

Tepat pukul setengah satu siang, dosen pengajar keluar dari ruang tersebut,  diikuti beberapa mahasiswa lainnya. Seperti dugaan Kiana,  Juna dan teman-temannya adalah orang terakhir yang keluar dari kelas.

"Kiana?" alih-alih suara Juna,  justru suara Fabian yang menelusup gendang telinga Kiana.

Sementara itu nyaris seluruh raut wajah Juna sontak mendingin. Tenggorokannya tercekat. Ingatan bagaimana gadis itu menangis, menghantam Juna tanpa ampun. Membuat alam bawah sadarnya menjerit berkali-kali, mengingatkan Juna akan janjinya untuk menjaga jarak.

"Hai Kak Fabian, Kak Rio, Kak Deva, Juna boleh gue pinjam dulu kan?" baik Fabian mau pun teman-teman Juna yang lain tentu tidak menyangka akan mendapat balasan dari Kiana.

Kiana hari ini, tidak terlihat seperti gadis itu beberapa hari yang lalu. Kiana tidak terlihat pucat, tidak tampak putus asa. Meskipun tidak sebersinar beberapa bulan yang lalu, bamun tetap saja lega menjalar di dada mereka saat menyadari bahwa senyum gadis itu merupakan sebuah usaha untuk kembali berdiri.

"Hm, oke, Jun, kita duluan ya?" Rio yang pertama kali mengambil alih, tapi tanpa mereka duga, suara Juna justru menahan langkah ketiganya.

"Gue ikut," kata Juna dingin, sekilas pemuda itu merapihkan letak ranselnya. Namun tangan Kiana terulur, menghentikan geraknya.

Gadis itu tersenyum, menoleh ke arah Rio, Fabian dan Deva, memberi kode agar mereka pergi dari tempatnya.

"Mau lo apa?" tanya Juna dingin. Ada gemuruh yang bertalu di dada Kiana, namun dengan cepat gadis itu mengambil kontrol dalam dirinya.

Kiana melirik jam tangannya, lantas mengerjapkan matanya polos. "Mau minta lo traktir makan siang lah, ayo cepet, gue udah laper."

Kiana hendak meraih tangan Juna, namun tangan Juna justru bergerak cepat menepisnya.

"Lo cari orang lain aja buat nemenin lo makan siang." Juna tau, kala kalimat bernada kasar itu lolos dari bibirnya, bukan hanya hati Kiana yang retak, hatinya pun turut patah.

Namun, sepertinya Kiana tak ambil pusing. Gadis itu justru bersidekap.

"Nggak, gue mau makan siang sama pacar sendiri, emang nggak boleh?"

"Kiana, kita udah putus," getas, kalimat Juna seolah menegaskan maksudnya. Seakan-akan kalimat tersebut tidak melukainya.

"Kapan? Gue nggak ingat lo pernah minta putus ataupun gue pernah setuju untuk putus." Mata gadis itu lantas beralih pada tiga teman Juna yang masih memperhatikan keduanya. "Ya nggak abang-abang? Orang kita belum lama jadian, masa iya tiba-tiba putus? Ngigo nih Juna."

Juna memejamkan matanya, menahan gusar. Kiana mungkin tidak menyadari bahwa dirinya sendiri pun tengah berperang melawan ego.

"Jun, kita bertiga cabut duluan, Kiana benar selesaikan apa yang harus di selesaikan." Rio menepuk bahu Juna, sebelum berpamitan pada Kiana dan mengajak kedua temannya pergi dari sana.

Sesekali Fabian menoleh kan kepala, namun yang ia temui masih raut frustrasi Juna dan lambaian tangan Kiana.

"Kiana, mau lo apa sebenarnya?"

Kiana memutar bola matanya lantas berdecak sebal. "Gue mau ayam goreng, kentang goreng, es krim, cokelat..."

Paham bahwa Kiana tidak akan menganggap serius pembicaraan mereka, Juna pun melangkahkan kakinya, berniat meninggalkan Kiana.

"Juna, kok ninggalin gue sih?" dari belakang Kiana mengikuti Juna, namun seberapa cepat pun langkah yang ia ambil, langkah Juna terlalu besar untuk ia samai.

Sesungguhnya, setiap perlakuan Juna siang ini meremukan hatinya. Tapi Kiana tau, tidak ada yang lain yang mampu ia lakukan selain bersikap keras kepala.

"Kita mau kemana? Mau makan di kantin apa Mcd? Mcd aja yuk, mau McFlurry nih."

"..."

"Oh iya, nanti malem temenin nonton drama Korea lagi ya, lagi pengen nonton ulang Goblin nih."

"..."

"Jun, sebentar lagi Music Bank mau ada di Indonesia, beliin tiketnya dong?"

"...."

"Juna! Kok jalannya cepet banget, sih? Katanya janji nggak mau ninggalin gue?!"

Tepat sekali. Jeritan Kiana akhirnya mampu menghentikan langkah Juna. Cowok itu memejamkan matanya, sebelum berbalik.

Jauh lebih dingin dari tatapannya tadi. Raut wajah Juna tampak begitu beku. Seolah luka telah membawa seluruh saraf perasanya.

Tanpa Kiana duga, tangan Juna menariknya, dengan gerakan kasar tubuh Kiana terlempar membentur tembok putih.

Saat gadis itu membuka matanya, mata jelaga Juna lah yang pertama kali ia temui. Seritme dengan debar jantungnya yang menggila, dapat Kiana rasakan deru napas Juna yang memburu.

Tubuhnya gemetar, tenggorokannya tercekat, tapi ia tak punya pilihan lain selain menatap balik manik mata cowok itu. Tidak di perdulikannya pekikan tertahan, atau tatap-tatap ingin tahu dari orang di sekitar mereka.

"Apa yang harus gue lakuin biar lo menjauh?" suara Juna terdengar menahan geram, namun jelas keputus-asaan tersamar di sana.

"Mati," tandas Kiana tak kalah dingin. "Nggak ada yang bisa buat gue mundur, kecuali lo bunuh gue."

Mendengar kalimat Kiana, letupan di mata Juna meredup. Ada sesuatu yang menghujam tepat di jantungnya.

"Semua orang bisa bilang gue adalah Bulan, tapi selama gue nggak ingat apapun, maka gue adalah Kiana, lo atau pun orang tua gue nggak berhak menentukan identitas gue," tukas Kiana tanpa merubah raut wajahnya.

Dalam beberapa detik, hening menyergap keduanya. Tiada yang memutus pandangan, mereka berusaha menerjemahkan setiap rasa tanpa kata.

Dalam mata sejernih madu di hadapannya, Juna temukan sebuah pengharapan, keyakinan tak kenal goyah. Hal itu tentu menyakiti Juna berkali-kali lipat. Tidak kah Kiana sadar, berharap hanya akan menghancurkan mereka lebih jauh?

"Tes DNA." Kiana adalah orang pertama yang mematahkan keheningan tersebut. Gadis itu bergerak, menghempaskan tangan Juna yang mengekangnya. "Kalau hasilnya positif, lo nggak perlu menjauh, karena gue yang akan berjalan mundur."

Juna memejamkan matanya, lantas menghembuskan napas kasar. Lelah, dengan kekeras kepalaan gadis di hadapannya.

"Nggak ada yang salah dengan berharap Jun," suara Kiana terdengar lebih lembut kali ini, seperti anak kecil yang hendak membujuk.

"Salah Ki, kita nggak punya harapan apapun, kita cuma keras kepala." Juna menghembuskan napas putus asa, namun geraknya lantas terhenti kala tangan Kiana menggenggam erat tangannya. Saat Juna membuka matanya, ditemukannya mata madu Kiana menatapnya penuh harap.

"Forget the truth, just for a while, please." suara gadis itu bergetar penuh permohonan, Juna tidak tau, apakah benar yang mereka lakukan saat ini, yang Juna tau pada detik selanjutnya, Kiana sudah berada dalam rangkuman lengannya.

***

Satu langkah penuh keberanian untuk kembali patah. Juna tau, keputusannya untuk menuruti keinginan Kiana melakukan tes DNA hanya akan kembali mematahkan harapan mereka. Sejak orang tua Kiana mengakui kebenaran bahwa Kiana adalan Rembulan, maka tak ada lagi kemungkinan bahwa mereka bukanlah kakak beradik.

Mereka hanya berkeras kepala, bergantung pada harapan yang lebih tipis dari seutas benang.

Tapi mereka sudah di sini sekarang, sebuah laboratorium rumah sakit ternama. Berkat bantuan dari Ayah Juna, mereka punya kesempatan untuk melakukan Tes DNA tanpa antri.

Form test telah terisi, sample pun sudah di ambil. Kini keduanya duduk bersisian, di koridor rumah sakit.

"Ini Mas, hasilnya bisa di ambil setelah dua belas hari ya," seorang Suster memberikan selembar tanda terima pada Juna, yang membuat Kiana langsung menghembuskan napas lega.

"Kenapa?" tanya Juna setelah suster itu berlalu, Kiana tersenyum lebar.

"Dua belas hari. Kita masih punya dua belas hari," kata gadis itu seraya menyelipkan tangannya pada lengan Juna, membuat Juna sadar, bahwa Kianapun sama ketakutannya seperti dirinya.

"Iya, dua belas hari." Tanpa sadar Juna bergumam.

Kiana benar, mereka punya dua belas hari untuk melupakan dunia, dua belas hari untuk menjadi egois, dua belas hari yang mungkin terasa seperti selamanya.

Juna lantas tersenyum, lalu mengeratkan genggaman mereka.

Mungkin ini cara Tuhan membiarkan mereka bahagia, dua belas hari untuk lari dari kenyataan.

Dan untuk sementara, akhirnya Juna mampu mengatakan.

Selamat datang kebahagiaan.

----
A/n: Sorry karena telat, oke, maaf juga mengecewakan. Ini adalah part teraneh yang gue buat, tapi i have no idea, buat bikin mereka bangkit, tanpa terasa datar, gue ingin mereka bahagia sekali lagi. So, yang kemaren pada minta bikin Kiana Juna bisa sama2, kita doakan aja hasil testnya negatif.
Dan ya, gue lagi dalam tahap mumet, mumet sama semuanya jadi maaf kalau gue slowupdate dan sekalinya update pun ga seru, otak gue lagi buntu, percaya atau nggak bahkan nyaris seminggu ini gue nggak buka wattpad sama sekali, part ini gue tulis sesekali doang, sebaris dua baris, baru hari ini bisa rampung, jadi maaf kalo aneh.
Gue hanya berusaha untuk jadi penulis yang nggak kabur di tengah cerita. Dan itu susah gila. Sumpah. Susah banget.

Boleh jujur lagi? Cerita ini pengen banget rombak abis-abisan, tapi ya itu tadi, karena gue berusaha untuk setia, maka mari kita berusaha untuk selesaikan dulu if only versi amburadul ini sampai tahap terakhir. Semoga bisa.

Setelah itu, kita lihat aja nanti...

Terima kasih banyak yang udah selalu support dan yang lain sebagainya, terima kasih juga yang bertahan di cerita ini, tanpamu aku butiran upil. Intinya, semoga kalian bertahan sampai akhir.

Yaudah itu aja.

Salam sayang,

Naya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro