Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

t i g a p u l u h e n a m

Ketika kita sudah tak lagi sanggup memaksakan restu, maka ingatlah aku sebagai yang mencintaimu hingga melumpuh.

***

"Langit kangen Bunda," Juna menenggelamkan wajahnya di pelukan Rinjani. Membiarkan indera penciumannya menghirup wangi tubuh wanita itu selama yang ia sanggup.

Rinjani tersenyum, lantas mengecup pelan puncak kepala putera sulungnya. "Bunda juga rindu kamu nak, benar-benar rindu."

Rinjani menakup wajah Juna, mengangkatnya agar mampu menatap wajah itu lebih jelas. Mata cokelat madu itu menyorot lekuk wajah Juna. Terasa teduh dam menenangkan. Juna merasakan nyeri di dadanya saat menyadari bahwa warna mata Bulan di wariskan oleh Bunda mereka.

"Kamu melewati banyak hal menyakitkan, istirahat dulu, jangan terlalu keras pada diri sendiri."

Sorot mata Juna praktis berubah mendengar kalimat Bundanya. Air matanya lulur kala Bundanya mengecup puncak hidungnya. Rebah. Runtuh. Hancur. Tatapan yang Bundanya layangkan memiliki pemahaman akan kelelahan yang Juna alami.

Seakan telah mengetahui hal tersebut, Rinjani menepuk pundak putranya. Membiarkan Juna menangis sebanyak yang ia mau.

***


"Juna masih belum melewati masa kritis, saya pun takjub ia bisa bertahan setelah melihat seberapa parah kerusakan yang terjadi pada organ tubuh serta kepalanya." Dokter Halim--dokter yang menangani Juna-- menampilkan wajah setenang mungkin. "Kita hanya bisa berharap, Tuhan memberi keajaiban."

Annisa menggigit bibir bawahnya, namun wajahnya setenang telaga. Perempuan anggun itu hanya tersenyum tipis seraya mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan ruangan.

Di sampingnya, Rahardi tak henti-henti menepuk pundak istrinya, berusaha menguatkan.

"Aku nggak apa Mas, aku tau anakku kuat. Dia nggak akan meninggalkan Mamanya," Annisa menatap suaminya, berharap agar suaminya mengaminkan kalimatnya.

Sadar, bahwa istrinya tengah berusaha membangun benteng, Rahardi mengangguk. "Iya, Juna pasti bertahan."

"Mama mau bertemu Rembulan, Papa tau kamarnya lantai berapa?" Rahardi menggeleng, namun suara seorang pemuda tiba-tiba menyela pembicaraan mereka.

"Biar Saka antar, Tante." Keduanya tampak terkejut menemukan Saka yang duduk di kursi samping lorong. Rambut pemuda itu berantakan, sepasang matanya tampak menahan lelah.

Annisa tersenyum lantas menggandeng keponakannya. Seperti seorang Ibu, Annisa mengelus lengan Saka. "Habis ini, kamu pulang ke penginapan. Istirahat. Juna jangan terlalu di pikirkan. Dia pasti baik-baik saja."

***

Kiana mengira ia akan di bawa oleh ke tempat lainnya, namun tidak. Ia masih berada di rumah yang sama, di ruangan yang sama. Matahari baru saja tenggelam. Keluarga kecil itu baru selesai melaksanakan solat Maghrib berjamaah, tanpa seorang Ayah. Juna mengimami adik dan Bundanya. Saat Bulan menyalimi tangan Bundanya, Bundanya justru mengecup pipi gadis kecilnya.

"Selamat ulang tahun, Sayang."

Mata Bulan berbinar mendengar kalimat Bundanya. Tak mau kalah dari Bundanya, Langit memeluk adiknya begitu erat. "Selamat ulang tahun, Bulan, Kakak sayang sama Bulan."

"Bulan juga sayang sama Kakak," ujar Bulan membalas pelukan erat kakaknya.

Kiana tidak bisa menahan haru yang merebak di dadanya. Di hadapannya, pemandangan paling mengharukan tengah terjadi. Dapat di rasakan cinta yang begitu kuat diantara dua bersaudara tersebut. Mereka tampak begitu sempurna, menyatu demi menyampaikan sebentuk kasih sayang.

Ada hangat melintas di dada Kiana kala ia menemukan sorot mata Langit yang menatap adiknya. Bulan seolah rotasi dunianya. Bukan dalam artian yang romantis.

"Lipat mukenamu, Bunda dan Kak Langit punya sesuatu untuk Bulan." Mendengar kalimat Bundanya, mata Bulan berpedar. Berbinar, hingga mata jernihnya terlapis selaput bening. Gadis itu bergerak lincah, melipat mukena demi menuruti perintah Bunda.

Di tempatnya Rinjani dan Langit hanya tersenyum melihat Bulan.

Kiana membasahi bibirnya, kala menyadari bahwa diantara ketiganya hanya wajah dan tubuh Bulan yang bersih tanpa lebam. Wajah Bundanya di penuhi memar. Apalagi tubuh Langit. Di sudut mata pemuda itu bahkan masih tersisa biru seperti memar yang baru muncul.

Seperti yang di janjikan, Bunda muncul dari dapur. Membawa sebuah donat kecil dengan mesis cokelat, di lubangnya, di letakan sebuah lilin kecil berwarna hijau. Api menyala di sumbunya, meliuk-liuk menjilat udara dalam ruangan. Kue itu terlalu sederhana untuk sebuah perayaan ulang tahun, tapi tak dapat di pungkiri raut haru serta syukur nampak jelas di mata gadis kecil itu.

Bulan baru mau meniup lilinnya, tapi gerakan gadis itu terhenti seperti teringat sesuatu. Bulan menoleh pada Bunda, membuat Bunda mengernyitkan dahi.

"Kok nggak jadi ditiup? Kalo kamu nggak mau tiup, Kakak nih yang tiup." Bulan sontak melotot melarang abangnya untuk meniup lilinnya. Gadis itu lantas menoleh lagi pada Bunda, guna memberi kan sebuah pertanyaan.

"Bunda, Bulan boleh doa duyu?"

Rinjani tersenyum lalu mengangguk. "Boleh dong, masa nggak boleh? Memang Bulan mau minta apa sih, Sayang."

Bulan mengulurkan tangannya membuat Rinjani otomatis menunduk, agar putrinya bisa menyentuh wajahnya. Mata Bulan berpedar, tapi gadis itu seperti buku yang terbuka, ekspresi sedihnya tampak jelas di raut wajahnya.

"Bulan mau doa, bial Bunda sama Kakak di jagain Allah, bial Bunda sama Kakak nggak di pukul Ayah lagi."

Kalimat putrinya menyentuh nurani Rinjani. Senyum sedih terbentuk di wajah bidadarinya. Menyedihkan, menyaksikan anak-anaknya tumbuh dengan rasa takut dan khawatir.

Dari belakang, Langit tiba-tiba memeluk Bulan, membuat gadis kecil itu beralih padanya.

"Makanya Bulan cepat besar, biar kita bisa kerja bantuin Ayah," kata Langit.

"Kalo Bulan udah besal, Bulan beliin Kakak sendal, biar kalau di kejal Ayah, kaki Kakak nggak beldalah." Bulan menunjuk kedua kaki Langit yang penuh goresan.

Rinjani menghapus air di sudut matanya. Rasa bersalah memeluknya, merasa gagal menjadi orang tua. Ia tak memiliki daya melindungi kedua anaknya, terutama si sulung, yang terus kena amarah sang suami.

Ia pun tak sanggup meninggalkan Guntur. Bukan hanya karena rasa cinta, namun juga karena ia menyadari, suaminya suatu saat akan kembali mencintai mereka seperti dulu. Saat ini, suaminya mungkin hanya sedang tersesat, keadaan ekonomi serta hutang yang melilit keluarga mereka kerap membuat Guntur frustrasi. Dan Rinjani tidak ingin menjadi istri yang kurang ajar, ia ingin menjadi istri dan ibu yang baik, yang bertahan pada keadaan sesulit apapun.

Rinjani memeluk kedua anaknya.

"Ayah nggak jahat kok, Ayah cuma lagi marah." Rinjani mengelus kepala keduanya, lalu beralih pada Langit. "Tapi, Bunda mau kalian janji sama Bunda."

"Janji apa Bunda?" tanya Langit penasaran, terlebih karena mata Bunda membidik matanya tepat di manik mata. Seolah janji yang diminta sang Bunda merupakan sebuah permohonan sakral.

"Langit harus janji, kalau Ayah lagi marah, Langit lari, lari yang jauh."

"Kenapa Bunda?" kini justru Bulan yang bertanya bingung.

"Karena Langit harus jagain Bulan," Rinjani mengacungkan kelingkingnya, lantas memperjelas permintannya. "Langit harus bisa jagain Bulan. Apapun yang terjadi, Langit harus jagain Bulan. Janji?"

Langit tampak ragu sesaat, sebelum akhirnya ia mengaitkan kelingkingnya di jari Bunda. Dan janji itu merupakan janji terakhirnya pada Bunda.

Tepat sedetik sebelum Bulan meniup lilinnya, pintu rumah mereka di banting dengan hentakan keras. Di baliknya tubuh Ayah terhuyung dengan bau alkohol yang melesak indera penciuman.

Kiana membekap mulutnya, menyadari apa yang akan terjadi kemudian. Mimpi buruk yang selama ini menghantuinya seperti di terputar di hadapannya.

"Terus saja terus! Habiskan uang untuk hal tidak berguna macam ini! Kalian pikir cari uang mudah, hah?!"

Meja tempat donat itu di letakan di tendang Ayah, membuatnya terbalik. Bulan dan Langit di sembunyikan Rinjani di balik tubuhnya. Ia menyadari, bahwa yang berdiri di hadapannya bukan suaminya, jiwa Guntur tengah di ambil alih oleh setan yang di tenggaknya melalui minuman-minuman keparat.

"Beginin kelakuan kamu? Manjain terus anak-anak ini! Dipikir cari uang mudah?!" Guntur menarik rambut Rinjani, membuat kedua anaknya sontak menjerit.

"Ayah, jangan sakiti Bunda!" Langit melompat, berusaha melepaskan cengkaraman Ayahnya. Begitu pula Bulan, gadis kecil itu menarik ujung kaus Ayahnya, seolah memohon agar di dengarkan.

"Anak kecil jangan ikut campur!" Tubuh keduanya yang ringan, terbanting ke lantai dengan sekali hentakan kasar.

"Ampun Mas, maaf, saya hanya beli satu kue. Kado untuk Bulan." Rinjani menakup tangannya memohon pengampunan. Namun seperti kesetanan, tubuhnya justru di hajar lebih beringas. Tangannya di injak, kepalanya berkali-kali di benturkan ke dinding.

"Biar bisa kamu mikir, susahnya cari uang!"

Langit yang tidak bisa terima Bundanya di pukul melompat menerjang Ayahnya, lengan Guntur di gigit oleh gigi-gigi mungilnya, membuat Rinjani justru menjerit ketakutan.

"Langit, lari nak!" teriaknya. Tindakan Langit, tentu memicu kemarahan Ayahnya. Ia melepaskan istrinya, lantas beralih pada putera sulungnya. Di tarik rambut Langit, hingga anak kecil itu terjengkang ke belakang.

"Siapa yang ajari kamu kurang ajar sama Ayah?! Berani benar kamu lawan Ayah!" Lebih sadis dari pada yang ia lakukan pada istrinya, tubuh Langit di banting ke lantai, badan kecilnya di pukul berkali-kali, kepalanya di hantam oleh asbak beling dari atas meja.

Di tempatnya, Kiana merasa sesak. Seluruh jiwanya seolah di sedot keluar. Matanya berair. Ia ingin berhambur melindungi Juna, namun ia tak kuasa. Tubuhnya mematung tak berfungsi.

Napas Guntur memburu karena kemarahan. Harga dirinya runtuh karena sikap kurang ajar anak laki-lakinya.

"Jawab Ayah, siapa yang ajari kamu lawan Ayah? Ibumu? Iya?! Karena Ayah nggak kerja, jadi kalian boleh kurang ajar, gitu? Iya?! Jawab Ayah?!" sengalnya menyentak kepala Langit, tidak menyadari bahwa puteranya sudah sekarat. Tidak memiliki daya apapun untuk menjawab.

"Ayah jahat! Bulan benci Ayah!" kalimat itu sontak mengalihkan perhatian Guntur. Lebih dari pada sikap kurang ajar Langit, kalimat Bulan benar-benar melukainya.

"Bilang apa kamu barusan? Siapa yang ajari kamu bilang begitu?!"

Sadar telah memancing kemarahan Ayahnya, Bulan mundur satu langkah. "SIAPA YANG AJARI KAMU KURANG AJAR SAMA AYAH? JAWAB!!!"

Teriakan itu menggelegar, memekakan telinga. Tepat sebelum sebuah botol mendarat di kepala Bulan, Rinjani berlari, meringkuk, tubuhnya mengukung Bulan. Melindungi anaknya.

"Awas kamu! Perlu saya kasih pelajaran anak ini! Tak pernah di pukul jadi kurang ajar!" Guntur memukuli Rinjani. Tubuhnya diinjak berkali-kali, kepalanya dihantam berbagai benda.

Tapi ia tetap keras kepala melindungi putrinya.

Hujan deras serta petir menyambar seolah merestui tragedi yang terjadi rumah kecil itu. Bau anyir merebak, menelesak hidung bersama bau alkohol dari tubuh Guntur.

Pria itu telah kehilangan seluruh kendali dalam dirinya. Alkohol merampas akal sehatnya.

Langit mengulurkan tangannya, berusaha meraih Bundanya. Namun tubuhnya bahkan tak mampu bergerak. Lewat tatapan mata, Rinjani menatap putra sulungnya, menagih janji yang telah mereka ikrarkan.

Detik berlalu, tatapan nanar Langit mengabur sama seperti kelopak Rinjani yang tertutup secara perlahan.

Air di mata Kiana merebak. Menyadari bahwa pada detik itulah ia kehilangan Bundanya.

Tubuh Rinjani melemas. Tangannya terkulai jatuh, bersamaan dengan kesadaran Guntur yang perlahan memulih.

Hening sesaat.

Hela napas Guntur yang memburu pun perlahan lenyap di telan kesadaran. Saat ia mengerjapkan matanya, di temuinya keadaan rumah itu telah porak-poranda. Kursi dan meja terbalik, pecahan kaca tersebar dimana-mana, dua tubuh rebah di lantai penuh memar dan darah.

Bulan merangkak keluar. Air mata banjir di pipi tembamnya. Tangan kecil gadis itu meraih tubuh Rinjani, menggoyangkannya berharap mendapat respon.

"Bunda..." suara seraknya memanggil Bundanya. "Bunda bangun, Bunda bangun."

Tangannya bergerak, masih berusaha membangunkan ibunya. "Bunda, Bulan kan belum tiup lilin kue ulang tahun."

Air matanya makin deras kala di sadarinya tak ada respon sedikit pun dari Bundanya. "Bunda bangun! Bulan janji nggak nakal lagi, Bunda bangun!"

"Bulan janji habis ini nggak minta tiup lilin lagi, Bulan nggak usah ulang tahun lagi, tapi Bunda bangun, Bunda jangan meninggal." Kalimat-kalimat polos terus lolos dari bibirnya, gadis itu menjerit, menangis histeris, menyadari bahwa ia kehilangan Bundanya.

"Bulan..." suara berat itu terdengar gemetar. Bulan meengangkat kepalanya, lalu menemukan Ayahnya yang menatapnya demgan tatapan bersalah. Tangan Guntur terulur, hendak meraih Bulan, namun gadis itu justru mundur ketakutan. Ia tidak lagi menjerit, hanya menangis seraya menatap ayahnya dengan bibir gemetar.

Jauh lebih menyakitkan dari pada kalimat yang Bulan layangkan tadi. Penolakan serta tatapan kecewa dari mata jernih puterinya menghujam jantungnya tanpa ampun.

"Maafkan Ayah, nak. Maafkan Ayah." Kalimat Guntur membuat Bulan beringsut makin menjauh, gadis itu memeluk lututnya dengan tubuh gemetar.

Guntur menatap putrinya nanar, beralih pada putranya, lalu istrinya yang sudah tidak bernyawa.

Saat itulah ia merasa langit runtuh di atasnya. Dunianya telah habis. Ia menatap kedua tangannya tidak percaya. Baru saja, ia melakukan dosa tidak termaafkan.

Seperti di hujam pisau, Kiana merasa jantungnya berdenyut ngilu. Pun kepalanya. Segala peristiwa yang terputar di hadapannya, mengundang potongan-potongan peristiwa lainnya.

Tidak sedetail sebelumnya, namun potingan ingatan itu muncul secara acak. Ia dan Juna di taman panti asuhan. Bulan dan Langit menghitung bintang di atas ayunan. Pertemuan pertamanya dengan Juna. Pertemuan terakhirnya dengan Langit. Mata hitam Juna. Kecupan dari Langit. Pelukan dari Juna. Genggaman tangan mereka. Potret keluarga kecilnya saat masih bahagia.

Kak Langit sayang Bulan.

Bulan, nanti harus nurut sama Bunda yang baru.

Ayah udah di surga sama Bunda, Ayah udah jadi orang baik.

Nanti kakak jadi pilot, biar bisa ajak Bulan ke atas ketemu Bunda.

Bulan harus mau punya Bunda baru

Bunda barunya Bulan baik kok, nanti Bulan di beliin boneka Barbie yang banyak.

Bulan jangan nakal-nakal.

Bulan...

Bulan...

Bulan...

Seperti di sentak, tubuhnya seolah di tarik paksa ke dimensi yang berbeda. Jantungnya berdebar, dadanya menyempit.

Suara-suara itu bergaung. Begitupun potongan kejadian yang fragmennya timbul tenggelam seperti kaset rusak.

Dalam satu tarikan napas, Kiana menjerit memanggil nama seseorang.

"Kak Langit!"

Napasanya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Dan pada beberapa detik selanjutnya, baru ia sadari, langit-langit putih rumah sakit telah menyambutnya.

---

A/n:

Suprise dua part! Gatau mau ngomong apa, pokoknya semoga suka, semonga ngena :')

Anyway, aku patah hati, song joong ki tiba2 mau married, iya sih ceweknya hye kyo, tapi kan tetep aja ya :(

Dan minta doanya dong biar dilancarkan semua-semuanya, thanku.

Salam sayang,

Naya❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro