Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

t i g a p u l u h d u a

Mari kita berjudi dengan dengan takdir, mempertaruhkan segenap harapan, sekalipun sadar bahwa yang kelak kita temui adalah kehancuran yang menyeluruh.

***

Kiana benar-benar serius mengenai ucapannya tentang 'dua belas hari bersama Juna'. Gadis itu memonopoli Juna sepenuhnya. Sepulang mereka dari rumah sakit, Kiana langsung menyeret Juna menuju rumah makan terdekat. Alih-alih menikmati makanannya dengan santai, kali ini Kiana justru mengeluarkan buku catatan kecil dan sebuah pulpen. Selanjutnya, gadis itu tenggelam dalam tulisannya, alisnya berkerut, wajahnya tampak serius.

Mulanya, Juna berniat membiarkan gadis itu sibuk dengan dunianya, sementara Juna menatapnya hingga puas. Tapi, mata Juna tidak bisa tidak terbelalak, saat Kiana menunjukan daftar apa yang baru ia selesaikan.

Di atas kertas putih itu, terdapat bucket list berjudul 'Dua belas hari bersama Juna'. Tidak main-main, ada lima puluh daftar tertera di sana. Dan beberapa dari daftar tersebut membuat Juna mau tak mau menyentakan kepalanya.

Di masakin sama Juna.

Nonton drama korea sama Juna.

Makan es krim sama Juna.

Nonton konser sama Juna.

Di kuncirin sama Juna.

Pake baju couple bareng Juna.

Foto box bareng Juna.

Camping bareng Juna.

Masih ada sederet daftar lainnya, namun mendekati akhir, list yang Kiana buat, semakin tidak masuk akal.

Bikin foto relationship goals ala Rachel-Okin bareng Juna.

Foto sama Song Jong Ki sama Juna.

Di buatin novel sama Juna.

Belajar bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Belanda, Korea sama Juna.

Jalan-jalan keliling dunia sama Juna.

Pergi ke luar angkasa sama Juna!

Lihat bintang jatuh bareng Juna.

Juna berdeham sesaat, lantas meletakan note itu di atas meja. Tangannya terulur menyentuh dahi Kiana, seolah memeriksa suhu tubuh gadis itu.

"Ki, masih waras kan?"

Kiana mengerjapkan matanya sekali, sebelum terkekeh geli. "Nyaris enggak sih, tapi masih nyaris kok, jadi sekarang masih."

Juna menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk daftar-daftar tidak masuk akal tersebut. "Kita cuma punya waktu dua belas hari, gimana caranya wujudin ini semua?"

Kiana mengedikan bahunya, "yaudah, kita wujudin aja sebelum dua belas hari, kalau dua belas hari kurang, ya jangan di ambil dulu tes DNAnya sampai semua daftarnya ke wujud."

Mendengar kalimat Kiana, raut wajah Juna kembali berubah, cowok itu memanggil nama Kiana dengan nada kelewat lembut. "Kiana Niranjana."

Tidak ingin mengambil resiko kemarahan Juna, Kiana pun mengangkat kedua telapak tangannya, lantas menghembuskan napas pelan. Gadis itu melempar pulpen miliknya.

"Coret aja apa yang nggak bisa kita lakuin," katanya menyerah. Juna menatap Kiana nanar, beberapa detik terlewati, sampai akhirnya Juna memasukan daftar tersebut ke dalam saku celananya, tanpa menggoreskan tinta apapun.

Kiana mendongakan kepala kala Juna bangkit dari tempatnya, lalu mengulurkan tangan.

"Ayo, kita punya lima puluh daftar dan cuma punya dua belas hari." Juna melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, pukul tiga sore. "ralat, kita masih punya dua belas hari, sembilan jam, jadi ayo kita lakuin list yang bisa kita lakuin sekarang."

Sesaat, mata Kiana berkaca-kaca mendengar kalimat Juna, sebuah rona merah muncul ke pipinya. Lensa gadis itu berpedar, seperti jiwa yang baru kembali hidup. Diam-diam, Juna merekamnya dalam ingatan.

Ia tidak tau, kapan ia akan kembali kehilangan sorot itu. Jadi, untuk sekarang akan ia lakukan apapun, demi mengembalikan seorang Kiana Niranjana.

***

Juna tidak bisa tidak mengerang saat keluar dari bilik foto box dan melihat hasilnya. Tidak cukup berfoto mengenakan baju couple, di bawah kendali Kiana, cowok itu di paksa menjulurkan lidah dan membuat hidung babi.

"Ih, yang ini lucuuu!" Kiana memekik saat melihat ekspresi cemberut Juna yang di paksa mengenakan bando kelinci.

"Ki, lo mau menjatuhkan harga diri gue sebagai laki-laki ya?"

Kiana mengedikan bahunya, sebelum melempar senyuman jahil. "Bisa aja, kalau selama dua belas hari ini lo kabur, foto ini bakal gue masukin instagram kampus ganteng."

Juna tidak membalas kalimat Kiana, sementara gadis itu kembali sibuk dengan hasil foto mereka, sorotnya tampak begitu mendamba, apalagi kala ia menemukan foto yang tidak sengaja diambil ketika mereka tengah saling menetap.

Perlahan Kiana mengusap potongan foto tersebut, membuat Juna mau tak mau turut meliriknya.

"Nggak nyangka, kita bisa lebih so sweet dari pada Karin dan Gaga pada masanya." Kalimat Kiana sontak membuat Juna menyentakan kepala. Sejak kapan sih Kiana turut menjadikan selebgram salah gaul tersebut untuk jadi role model?

Membiarkan Kiana larut dalam fantasinya, Juna mengeluarkan kertas yang ia robek dari notes Kiana. Sampai sekarang, setidaknya sudah empat keinginan Kiana yang ia penuhi.

Baju couple. Main di time zone. Boneka dari mesin pencapit. Sampai foto box.

Juna memberi ceklist pada tepi kanan daftar tersebut, lantas meneliti lagi, daftar mana yang bisa ia tunaikan hari ini.

Juna tersenyum saat menemukan beberapa keinginan sederhana gadis itu. Bergandengan tangan, mengikat tali sepatu, menguncir rambut. Juna bahkan tidak keberatan jika harus melakukannya setiap hari.

Kiana nyaris berjenggit, saat Juna tiba-tiba meraih bahunya dan memutar tubuhnya.

"Mau ngapain?" tanya Kiana bingung. Namun, alih-alih memberikan jawaban lisan, Juna justru meraih pergelangan tangan Kiana guna mengambil ikat rambut yang melingkar di tangan gadis itu.

Kiana tidak bisa tidak tersenyum, kala jemari Juna menyisir rambutnya lembut. Tangan cowok itu bergerak, merangkum rambutnya dalam satu genggaman, sebelum mengikatnya.

"Suka?" tanya Juna seraya merapihkan poni yang tersisa di dahi Kiana. Kiana sontak mengulum senyumnya, rona kemerahan muncul di pipinya, persis sebuah kelopak mawar merah yang baru bermekaran.

"Gue mau ngiket tali sepatu lo, tapi sekarang lo pakai flat shoes, jadi mulai besok pake sepatu kets aja ya," ujar Juna menggenggam erat tangan Kiana. Kiana mengangguk seraya membenamkan gigi atasnya di bibir bawah. Bahagia menyergapnya tanpa ampun. Bahkan, sekalipun Kiana tau, bahagia ini mungkin sementara, Kiana tidak keberatan.

Ia akan menunda perpisahan mereka, selama yang ia sanggup.

***

"Sak, buatin gue mesin waktu dong." Saka nyaris tersedak sirup jeruknya. Setelah meletakan gelasnya, ia melirik Juna yang baru menghempaskan tubuh di sofa.

Dahi Saka berkerut tampak menganalisa. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh, Juna berada di apartemennya, wajah pemuda itu tampak jauh lebih cerah dari kemarin malam, dan tidak ada bau asap yang menyengat di sekitar tubuh Juna.

Tiba-tiba sekelebat pemikiran sinting melintas di otak Saka.

"Jun, lo nggak lagi sakau kan?"

Mendengar pertanyaan Saka, Juna menoyor kepala cowok itu. "Gue nggak segila itu kali!"

Saka menatap Juna sangsi, namun pertanyaannya atas keadaan Juna malam ini terjawab kala cowok itu sibuk dengan ponselnya. Ingatan Saka terbentur pada pesan yang di kirimkan orang tua Juna padanya, mengenai tes DNA yang cowok itu lakukan siang tadi.

Saka menghembuskan napas pelan, saat melihat Juna tersenyum pada layar handphonenya.

Juna dan Kiana tengah membohongi diri sendiri, rupanya.

Tidak ingin menghancurkan fantasi yang tengah keduanya bangun, Saka menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa, sementara tangannya sibuk mengganti saluran televisi di hadapannya.

Ada banyak pikiran tentang sosok Langit dan Bulan yang berkecamuk dalam tempurung kepala Saka. Termasuk mengenai keadaan batin keduanya saat ini. Sesungguhnya, tes DNA sama sekali tidak perlu di lakukan oleh keduanya. Mereka telah memiliki saksi hidup yang bisa membuktikan kebenaran hubungan mereka.

Tapi, berharap pada setitik kemungkinan bukan juga sebuah kesalahan.

Saka memakluminya.

Saka masih sibuk mengganti saluran, kala ponsel di sakunya bergetar. Nama Adimas, tertera sebagai penelepon. Sepertinya, Dimas juga sudah tau apa yang Kiana dan Juna lakukan.

Berharap tidak di dengar Juna, Saka pun beranjak dari tempatnya, memberikan jarak sebelum mengangkat sambungan.

"Teman lo gila, ya?!" benar dugaan Saka, dari ujung sana, bisa Saka bayangkan raut frustrasi Dimas.

"Kiana yang minta, Dim," jawab Saka kalem.

"Ya dia harusnya nolak!" cetus Dimas tak sabar, sengalan gusar dapat Saka dengar dari tempatnya. "Gue nggak bisa bayangin, gimana respon Kiana kalau lihat hasil DNA itu nanti, mereka cuma ngehancurin diri mereka sendiri, Sak!"

"Dim, apapun keputusan yang mereka ambil, kita cuma bisa dukung, kita bukan orang yang berada di posisi mereka." Saka melangkah menuju balkon, sekedar merasakan terpaan angin pada wajahnya.

"Kiana nggak baik-baik aja, Sak, percaya sama gue." Ada hela putus asa dalam suara Dimas. Saka memahami, bahwa diantara mereka semua, memang Dimas lah yang paling mengerti Kiana. "Pulang jalan sama Juna tadi, dia memang kelihatan bahagia banget, tapi, Naura bilang, setelah mandi tadi mata Kiana sembab."

Saka memijat dahinya pelan. Ekor matanya melirik Juna yang masih sibuk dengan ponsel. Benar apa yang Saka duga, mereka hanya bergantung pada kata seandainya.

"Dim, gue tau lo khawatir, tapi gue yakin Kiana punya alasan, begitupun Juna." Saka menghela napas perlahan sebelum melanjutkan. "Lagi pula, kita nggak tau apa yang akan terjadi, Tuhan bisa aja membalikkan keadaan. Nggak ada yang nggak mungkin."

Final. Kalimat Saka tak lagi mendapat bantahan. Selepas Dimas memutuskan sambungan, Saka menopang dagu di atas birai. Menatap angkasa yang menaungi bumi pertiwi.

Iya, tidak ada hal yang mustahil jika Tuhan berkehendak. Jika gunung saja bisa Tuhan ratakan dan langit kelak akan diruntuhkan, maka, perihal kecil bagi Tuhan untuk membolak-balikan takdir manusia.

Iya. Semoga saja.

------

A/n: Hai! Mau tebak-tebakan, hasil testnya positif atau negatif hayoooo? Anyway, sudah mau lebaran, maafin ya kalo aku ada salah-salah kata. Salam juga dari Elang, Dhanu, Juna, Cessa, Kiana, Thalia, Najla. Hati-hati yang lagi jalan mudik, see u when i see u.

Salam sayang.

Naya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro