Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

t i g a p u l u h

Seharusnya sejak pertama kita menyadari. Hal tersulit dari jatuh cinta adalah, mengingat caranya bangkit.

***

Waktu mungkin tidak mampu mengobati luka mereka, namun biar bagaimana, ia tak mungkin selamanya terpuruk. Kiana tidak ingin selamanya sekarat. Maka dari itu, di kumpulkannya lah segenap keberanian.

Tidak. Bukan berarti ia telah menerima kenyataan.

Di hadapannya, telah berhambur berbagai kemungkinan atas rahasia kelahirannya, menunggu serpihan mana yang akan ia pungut untuk ia percayai.

Tekadnya telah bulat, Kiana tidak akan lagi menangis. Ambruk tidak berdaya tidak akan mengubah apapun dalam hidupnya.

Akan Kiana cari celah, menelusuri ruang, menemukan sedikit kemungkinan bahwa ia bukanlah sosok Rembulan Maharani.

Terserah apa kata orang, terserah apa pengakuan orang tuanya atau Juna. Dunia bisa mengatakan bahwa dirinya adalah Rembulan, namun selama ingatannya tidak kembali, selama tidak ada bukti mutlak, ia tidak akan mempercayai siapapun kecuali dirinya sendiri.

Ini hidupnya. Ini dirinya. Ini jiwanya. Ia Kiana Niranjana, anak Wisnu Ardi Hestamma dan Andien Maesati. Bukan Rembulan Maharani adik dari Langit Mahardika.

"Ki, udah sampai." Suara Dimas memecah lamunan Kiana. Pikiran dalam benaknya berceceran keluar. Gadis itu menoleh, lantas melepas helm dari kepalanya, menatap gamang pada bangunan yang sudah beberapa minggu ia hindari.

Dimas turun lebih dulu, hendak membantu Kiana turun dari motornya. Namun, gadis itu menolak uluran tangannya.

Wajahnya dingin dan kaku, membuat Dimas bertanya-tanya, apa sudah benar keputusannya untuk mengajak Kiana pulang hari ini?

"Kiana, kalau nggak mau masuk, gue bisa antar lo balik ke kostan atau ke rumah Naura," ujar Dimas seraya menatap Kiana lekat-lekat.

Kiana mengerjapkan matanya sekali, sebelum menghembuskan napas pelan. Sehingga air mukanya tidak sekaku tadi.

"Gue harus masuk, nyokap gue sakit, anak macam apa yang nggak mau ngejagain orang tuanya yang sakit?"

Kiana bertanya retoris, lantas turun dari motor, menyusuri jalan menuju pintu masuk.

Papa adalah orang pertama yang memeluk Kiana tepat setelah gadis itu melewati pintu. Di ciuminya kening dan pipi Kiana, seolah mampu menebus rasa bersalahnya.

Kiana hanya tersenyum, membalas pelukan Papanya tanpa kalimat apapun. Lantaran ia tau, jika ia berujar, maka pertahanannya akan kembali roboh.

Kaki gadis itu pun melangkah, menuju kamar orang tuanya. Ada rikuh dalam geraknya. Ia di besarkan dalam rumah ini, namun mengapa bangunan ini justru terasa begitu asing?

Mamanya terbaring di atas tempat tidur, wajahnya tampak begitu pucat, begitupula dengan jari-jarinya yang jauh lebih kurus dari pada yang terakhir Kiana ingat.

Salah. Ia salah jika mengira ia telah siap untuk berdiri. Terlalu pongah jika Kiana bertekad untuk tidak menangis lagi.

Nyatanya, tepat setelah mata Mamanya terbuka, tubuh Kiana telah kembali bergetar. Andien menggerakan tangannya, berharap mampu meraih putri kesayangannya.

Mengerti kode tersebut, Kiana meraih tangan Mamanya. Mata jernih Andien mulai berkaca-kaca. Gemetar, tangan Andien terangkat, mengusap pipi Kiana.

Parau, suara itu lolos dari bibir Andien.

"Kiana anak Mama, apapun yang terjadi, Kiana anak Mama, sayang."

Roboh. Tumbang. Ambruk.

Segala bentuk pondasi Kiana telah rebah bersama air mata pertamanya. Tergugu, gadis itu terisak seraya memegangi punggung tangan Mamanya.

Sesak. Dadanya sesak. Tidak ada satupun kata yang mampu lolos dari bibirnya. Hanya suara Andien yang samar-samar ia dengar dari telinganya.

"Maafin Mama, sayang, maafin Mama. Mama sayang Kiana, Kiana anak Mama." Andien mengecupi puncak kepala Kiana, membiarkan air matanya melebur bersama air mata milik putrinya.

Kiana tidak berujar, hanya menganggukan kepala.

Mamanya benar, ia Kiana Niranjana. Selamanya, ia anak Mamanya.

***

Malam sudah menjemput sejak satu jam yang lalu, pada jam di ruang tengah, Kiana lihat angkanya mencapai angka tujuh. Mereka baru saja selesai makan malam. Kini, Mamanya sudah kembali ke kamar, Dimas tengah mengobrol bersama Papanya, sementara Kiana memilih untuk duduk di balkon kamarnya menikmati angin malam.

Matanya terpaku pada langit. Seperti biasanya, nama seseoranglah yang melompat keluar dari dalam benaknya. Kiana membiarkan kristal di matanya menyerpih dalam bentuk setetes air mata.

Ia menggelengkan kepala, berusaha menepis segala kemungkinan yang ada di dalam otaknya. Namun, seperti di tarik menuju dasar kesadaran, luka lah yang menyambutnya. Ia tidak melenyapkan kemungkinan, satu-satunya hal yang Kiana lakukan adalah menolak kenyataan. Ia hanya keras kepala.

Kiana menghapus air matanya dengan gerakan kasar. Siapa bilang ia keras kepala?

Ia hanya berharap!

Sekalipun hanya pada setitik kemungkinan, ia akan tetap bergantung pada harapan tersebut. Tak apa bila pun setelahnya ia hancur hingga menyerpih.

Lagi pula, bukan kah harapan memang sesuatu yang membuat seseorang bertahan hidup?

***

Di balik tirai, Dimas memperhatikan punggung Kiana. Tidak ada isakan, hanya setetes dua tetes air mata yang luruh di pipi pucat gadis itu.

Ia teringat cerita Saka mengenai keputusan Juna untuk menghilang dari hadapan Kiana.

Aneh, seharusnya Dimas senang bukan? Karena dengan begitu ia punya kesempatan untuk mengobati luka Kiana, untuk berada di sisinya menggantikan peran Arjuna.

Namun nyatanya, dadanya turut menyempit melihat Kiana terluka dan perasaannya pada Kiana pun memang mulai terbias waktu. Dimas menyadarinya tepat setelah ia melihat Kiana dan Juna di kamar rumah sakit gadis itu. Sebuah kesadaran, menghantarkannya pada proses melepaskan.

Dimas menatap dua cangkir di tangannya, lantas urung untuk menghampiri Kiana. Mungkin, gadis itu perlu waktu untuk sendiri.

Jadi, di letakannya cokelat hangat tersebut di meja depan kamar Kiana, dengan secarik notes yang ia harap bisa mengingatkan Kiana akan eksistensinya sebagai seorang sahabat.

Notes tersebut berisi sepenggal kalimat kutipan dari Amie Kaufman.

You have me. Until every last star in galaxy dies. You have me.

Sebagai penutupan, Dimas memutar sebuah lagu dari tape di ruangan. Agar suara Bruno Mars, mampu menemani malam sepi Kiana.

I know you're somewhere out there

Somewhere far away

I want you back

I want you back

***

My neighbours think i'm crazy,

But they don't understand

You all i have

You all i have

Seperti konspirasi alam semesta, dari tempat duduknya Juna dapat mendengar lagu yang terputar di dalam sebuah kedai kecil pinggir jalan.

Satu malam kesepian yang lainnya. Malam-malam, dimana Juna menghabiskan waktunya dengan menghabiskan berbatang-batang rokok, atau berlembar-lembar halaman jurnal untuk sekedar menghilangkan nestapa melalui deretan aksara.

Namun tidak dengan malam ini.

Sudah lebih dari tiga kotak rokok yang ia hisap seharian ini, dan untuk pertama kalinya menulis membuat Juna muak.

Tidak ada Saka, Rio, Fabian atau Deva. Tidak ada rokok atau puisi. Tidak ada Ayah ataupun Bundanya. Juga tidak ada Kiana Niranjana.

Sendirian, cowok itu menyeret langkah kakinya memutari komplek perumahan.

Orang selalu bilang, bahwa patah hati melalui tiga proses; penolakan kenyataan, kemarahan dan diakhiri dengan penerimaan.

Tapi tidak pernah ada yang menjelaskan bahwa penerimaan merupakan tahapan yang tersulit. Tidak ada yang pernah mengatakan bahwa ada orang yang sampai sekarat hanya demi menerima keputusan takdir. Tidak ada yang pernah memperingatkan Juna, bahwa bahkan ketika ia sampai pada tahap penerimaan, ada banyak celah dimana ia bisa kembali berandai-andai dan menolak kenyataan, bahwa ketika ia sampai pada tahap penerimaan maka dirinya tidak akan lagi kembali menjadi orang sama.

Karena terkadang, penerimaan bukan mengenai keikhlasan, melainkan sebuah kepasrahan. Penyerahan diri secara penuh terhadap kekalahan.

Seperti orang-orang yang mulai terbiasa bersahabat dengan luka. Ironis.

Juna tertawa sumbang, membayangkan dirinya sendiri yang mungkin suatu saat nanti akan merasa kebas dan mati rasa.

***

At night when the stars light up my room

I sit by my self

Talking to the moon

Try to get to you

Kelelahan berpikir, Kiana meletakan kepalanya di atas birai balkon. Melalui tatapan nanarnya, Kiana menghitung jumlah bintang di langit.

Ada jutaan pertanyaan, dalam benaknya. Dan setiap satu hitungan bintang, butir pertanyaan itu tercecer dalam benaknya.

Satu.

Dimana Juna saat ini?

Dua.

Sedang apa dia saat ini?

Tiga.

Apa selama mereka tidak bertemu, Juna pernah merindukannya, seperti ia merindukan Juna.

Memasuki hitungan keempat, seulas senyum sedih melengkung di bibirnya. Mengingat betapa manis hubungan mereka sebenarnya. Bukannya pertanyaan, kini ia mulai berandai-andai.

Empat.

Seandainya ia dan Juna bukan Langit dan Bulan, mungkin mereka sedang duduk berdua sambil bercerita mengenai drama terbaru yang Kiana saksikan.


Lima.

Seandainya pagi itu Juna tidak datang ke rumahnya, mungkin mereka masih bisa tersenyum hingga detik ini.

Enam.

Seandainya Kiana tidak pergi ke panti untuk mencari Juna, mungkin ia tidak sehancur ini.

Tujuh.

Atau mungkin, mereka bisa bahagia hanya jika Tuhan bisa lebih baik, membiarkan waktu berjalan tanpa ada rahasia yang terbuka.

Hanya jika Tuhan membiarkan apa yang berlalu, berlalu begitu saja.

Hanya jika Tuhan mengizinkan, kisah mereka tetap tidak teraba, terkubur dalam-dalam selamanya.

Setetes air kembali jatuh dari sudut mata Kiana, gadis itu menggelengkan kepalanya, berusaha melenyapkan segala kemungkinan yang berputar dikepalanya.

Namun, beberapa detik kemudian, gerakannya terhenti. Seperti di tarik menuju dasar kesadaran, luka lah yang menyambutnya. Ia tidak berusaha melenyapkan kemungkinan satu-satunya hal yang masih ia lakukan adalah menolak kenyataan.

***

In hopes you're on the other side

Talking to me too

Or am I a fool

Who sits alone

Talking to the moon

Tidak banyak orang yang mampu melihat kehancuran Juna yang sesungguhnya. Akhir-akhir ini, sekalipun lebih banyak diam, air matanya hanya jatuh di depan Kiana.

Laki-laki pantang menangis, katanya.

Tapi ia bukanlah manusia super. Kenyataannya, setegar apapun kakinya berpijak, ia masih saja sosok pincang karena masa lalu yang patah.

Ia tidak pernah menjadi pribadi yang sembuh sempurna.

Sudah jauh dari kedai tadi, Juna masih menyeret langkah kakinya. Tidak tau, apa maksudnya mengelilingi kompleks dengan berjalan kaki. Mungkin hanya sekedar menghilangkan penat, atau melarikan diri dari orang-orang yang mengenalinya.

Masih saja, ia tidak bisa menang melawan lukanya.

Juna mengangkat kepalanya, dan bersamaan dengan matanya yang menemukan bulan, sebening air pun luruh sebelum pecah di aspal.

Mati-matian ia menahan air matanya, dan air mata tersebut bisa jatuh hanya karena ia melihat bulan?

Menyedihkan, bagaimana bisa kita terluka hanya karena mengingat nama seseorang?

Menyerah, Juna akhirnya meluruhkan pumggung pada dinding di sampingnya, membiarkan dinding tersebut menjadi salah satu saksi kejatuhannya.

Baik Juna maupun Kiana, bertanya mengajukan tanya yang sama pada semesta.

Bagaimana jika waktu itu mereka tidak bertemu? Apa mereka tetap akan jatuh cinta?


----
A/n: Hai, sori, hari sabtu kemarin bolos update, selain karena uas, karena w sibuk acara rumah.

Maaf kalau part ini mengecewakan.

Kita sudahan ya sedih2annya, habis ini mereka harus bangkit, tjoy!

See u when i see u

Naya❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro