Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

t i g a

Ada banyak waktu, dimana jarak kita hanya terpisah oleh udara hampa.

Lalu, ada satu waktu, dimana jarak terlipat, hingga kita mampu mengunci bayangan dalam mata satu sama lain.

***

Kiana baru melewati pintu masuk gedung fakultasnya, matanya merambat tajam, mencari wajah yang sudah ia ingat di luar kepala. Gara-gara cowok bermata gelap itu, Kiana akhirnya harus membuang empat jam waktu berharganya.

Padangan Kiana tertumbuk pada seseorang yang sedang menatap layar ponsel seraya bersandar pada dinding. Kiana baru ingin menghampirinya, ketika tiba-tiba suara teriakan terdengar dari seluruh penjuru ruangan.

Selanjutnya, semua yang terjadi di luar batas kesadaran Kiana. Hanya dalam sepersekian detik, tubuhnya sudah tersentak membentur dada seseorang.

Perlahan, Kiana membuka matanya yang entah kapan tertutup, tepat di depan matanya, Kiana mendapati sepasang mata gelap yang menatapnya khawatir.

Kiana tidak mampu mencerna apapun ketika Arjuna menguraikan dekapannya, lalu memberi jarak pada tubuh mereka, agar cowok itu bisa menemukan wajah Kiana.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Juna seraya meneliti keadaan Kiana. Tangan Juna terangkat menyingkirkan rambut yang menutupi kening Kiana.

"Kiana..." panggil Juna, membuat Kiana tertarik ke dasar kesadaran.

Kiana mengeluarkan satu suku kata gumaman, menatap pada mata Juna, sebelum melepaskan napas dalam mata terpejam. Pelan-pelan Kiana mengatur napasnya.

"Lo nggak apa-apa?" ulang Juna, yang dijawab Kiana dengan anggukan.

Arjuna lalu memiringkan tubuhnya, hingga Kiana mampu melihat benda apa yang nyaris menghantam kepalanya.

Sebuah televisi 29 inchi, yang biasa menayangkan hasil produksi club broadcast tergeletak di lantai, bersamaan dengan pegangan besi dan pecahan kaca yang berasal dari layarnya.

"Ini kenapa bisa gini, sih?!" Arjuna berteriak marah, mata tajamnya berkeliling, lalu menyipit ketika mendapati sebuah mur berkarat di antara puing-puing televisi tersebut.

Juna memungut mur tersebut, lalu mendongak untuk melihat bagian pegangan besi yang masih menempel pada dinding di atas pintu masuk.

Tidak lama Mas Hendrik, orang yang bertanggung jawab dengan maintainance fakultas, datang bersama beberapa dosen.

"Ini salah satu alasan, kenapa saya selalu minta TV ini di pindah atau di turunin aja sekalian," ujar Juna dingin seraya meletakan mur tadi di tangan Hendrik.

"Permisi Pak, Bu," tanpa mengindahkan tatapan Mas Hendrik, dan mahasiswa lain yang berkerumun, Juna berpamitan lalu menggiring Kiana menuju sekretariat Himpunan Mahasiswa Komunikasi di lantai dua.

Di sekretariat HMJ, Kiana hanya duduk beralaskan tikar sambil menatap kosong ke depan, lalu menghela napasnya beberapa kali.

Ia masih belum bisa mencerna peristiwa barusan, apalagi hanya terjadi dalam sekelebat. Semua sumpah serapah yang ia siapkan untuk Juna pun sudah menguap entah kemana.

"Lo tuh ceroboh banget, sih?! Jalan nggak lihat-lihat!" gelegar suara Juna yang tiba-tiba, menyadarkan Kiana sepenuhnya.

"Lo tau nggak, kalau kepala lo ini ketiban TV apa akibatnya?!" Juna mengetuk kepala Kiana menggunakan telunjuk, membuat Kiana sontak melotot.

Hedeh, hedeh, siapa pula ini cowok bisa pegang-pegang kepala Kiana?!

"Kok gue yang jadi kena marah, sih?! Gue itu korban, k-o-r-b-a-n," Kiana mendengus sebal.

"Lagian, lo lupa apa siapa yang bertanggung jawab sampai gue ada di sana? Gue itu harusnya ada di kelas ikut materi, bukan panas-panasan nyari Arjuna-Arjuna itu!" Kalimat Kiana membuat Juna meringis di tempatnya.

"Ya, siapa suruh terlambat?!"

"Siapa suruh lo ngatur jadwalnya kepagian?"

Juna menyentakan kepala kesal. Gila, adu argumen sama cewek pemalas ini bisa menghabiskan waktu seharian.

"Terserah! Nih, sekarang minum!" Juna meletakan segelas teh hangat, namun suaranya tidak lantas melembut.

"Tehnya nggak ada yang pake es?" pertanyaan Kiana mendapat desisan dari Juna.

Juna menajamkan matanya, sebelum mengucapkan kalimat dengan penuh penekanan. "Minum sekarang, atau gue yang minum."

Kiana meraih gelas tersebut, lalu menenggaknya sampai habis. Setelah meletakan gelas, mata Kiana berkeliling ruangan. Oh, ini yang namanya sekretariat.

Ruangan itu tidak terlalu besar, mungkin setengah dari ruang kelas dan sangat tidak rapi. Tumpukan kertas terdapat di atas meja, bersamaan dengan alat tulis dan satu unit peranti komputer.

Di sisi lainnya, terdapat termos, pemanas air listrik, dan beberapa bungkus pop mie kosong, sebenarnya ruangan ini bisa saja terlihat kumuh kalau tidak di lengkapi dengan lampu terang benderang dan pendingin ruangan.

Mata Kiana tergoda untuk terpejam melihat tumpukan bantal bulu dan selimut di pojok ruangan.

"Lo udah mendingan belum?" Mendengar pertanyaan Juna, Kiana sontak menggeleng.

"Enggak, gue belum mendingan masih deg-degan," Kiana memegangi dadanya, lalu memasang raut terluka.

Juna tampak menganalisa, sebelum menghembuskan napas lelah.

"Yaudah, lo istirahat dulu aja di sini, ishoma gue antar pulang," Juna bangkit dari tempatnya, namun langsung terhenti ketika terdengar suara mencurigakan di belakangnya.

"Lo mau ngapain?" tanya Juna melihat Kiana yang sedang menggelar selimut di atas tikar.

"Tiduran, boleh kan?" melihat sorot heran di mata Juna, Kiana langsung memegangi kepalanya, "kepala gue pusing banget, asli, kayaknya gagar otak."

Juna mengedikan bahunya, malas berargumen.

"Terserah, gue di depan sekretariat, kalau ada perlu apa-apa panggil aja," Kiana baru mau meminta susu cokelat dingin, ketika Juna kembali melanjutkan, "tapi bagusnya sih nggak perlu apa-apa."

Kiana mencebikan bibirnya, tapi membiarkan Juna pergi begitu saja.

Juna duduk di depan sekretariat, dengan tungkai kaki yang di letakan di atas paha. Ia baru ingin mengeluarkan kotak rokok, saat mendapati CCTV yang berada di sudut langit-langit.

Juna berdecak sebal, setengah mengumpat. Sebenarnya, di banding merokok ia lebih tertarik untuk mengerjai para calon adik tingkatnya, namun keberadaan Kiana di dalam membuatnya khawatir.

Walaupun aneh dan jorok, Kiana tetap saja perempuan. Juna tidak mau mengambil resiko kalau ada temannya yang khilaf, bukan rahasia kalau teman-teman Juna itu rata-rata brengsek. Apalagi, kalau mangsanya semacam Kiana.

Akhirnya ia mengambil earphone di dalam sakunya, menyambungkannya dengan ponsel. Tidak lama suara Adam Levine mengisi gendang telinganya, mode suffle yang terpasang membuat Juna tidak menyadari bahwa tepat setelah lagu barusan habis, sebuah lagu terputar. Sarat akan kenangan, membuat sorot mata Juna berubah. Kini, di matanya tampak kerinduan yang tidak mampu di ingkari.

Dengan gerak acak, Juna meraih secarik kertas dari lantai dan pulpen dari sakunya, selanjutnya ia mulai tenggelam dalam dunianya.

Tinta yang menggores kertas itu mungkin akan berakhir di tempat sampah seperti kertas lainnya, namun bagi Juna ini adalah caranya menyembuhkan luka.

Juna belum selesai menulis, ketika seseorang muncul di hadapannya.

"Lah, Jun, ngapain lo?" tanya Rio dengan alis berkerut, tidak biasanya Juna bolos tugas begini.

"Ngejagain pintu neraka," Juna melirik pintu sekretariat dengan ekor mata.

Rio hanya menaikan sebelah alisnya, tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut.

Baru saja Rio menyentuh kenop, tangannya sudah di cekal oleh Juna. Dengan gerakan asal, Juna menarik earphone-nya, lalu berdiri di depan pintu dengan gesture protektif.

"Lo mau ngapain?" Rio melipat dahi, melihat mood Juna tiba-tiba berubah tegas. Juna seperti ibu burung yang melindungi sarangnya.

"Gue mau ngambil stempel Jun, di suruh Bu Dwi, atau mau lo yang ngadep?" Juna langsung meringis mendengar nama staf admin yang pelit nan ganjen.

"Bentar, gue ketuk dulu." Juna mengetuk pintunya tiga kali, lalu berujar, "gue masuk ya?"

Tidak ada jawaban, jadi Juna memberanikan diri menekan gagang pintunya. Betapa ia dan Rio nyaris terlonjak melihat sebuah gulungan selimut berada di lantai, sudah keluar dari alas tikar.

Mereka harus berdecak kagum, saat melihat kepala yang menyembul dari balik selimut tersebut. Kiana, dengan mulut terbuka separuh dan air jejak air liur dari sudut bibir.

"Untung cantik nih cewek," Rio yang pertama tersadar memecah keterperangahan mereka. Apalagi ketika Kiana mengecap beberapa kali, sebelum dengkuran halus terdengar dari bibir mungilnya.

Tidak tahan melihat wajah Kiana, Juna melempar jaket untuk menutupi wajah Kiana.

"Udah, lo sana cabut, jangan di ganggu ini cewek," nada otoritas dalam suara Juna membuat Rio mencibir.

"Emang dia cewek lo apa?"

"Amit-amit deh, ini cewek tuh, nggak ada kalem-kalemnya, bawaannya bikin orang pengen marah mulu."

Rio membuka salah satu laci, lalu meraih stempel yang berada di dalamnya. Setelah melirik Kiana sekali--yang dihadiahi Juna dengan pelototan-- Rio keluar dari sekretariat.

Juna melirik Kiana, lalu menghela napas, bisa-bisanya ada cewek seajaib Kiana. Mana yang gagar otak? Memang aja ini anak pemalas.

Juna baru mau melangkahkan kakinya keluar sekretariat, namun sebuah ide melayang dalam benaknya. Di letakannya kertas tadi begitu saja, tangannya bergerak mengambil ponsel dari saku celana, lalu senyum licik terbentuk di bibirnya.

---
A/n: Happy saturday! Hayo, Juna atau Dimas?

Btw banyak yang protes ya, Crush di update cuma dikit wkwk, nggak papa lah part yang kemarin dikit, soalnya w lg nulis endingnya wkwk

Oh iya, kalau kalian udah Are You? Really? Versi novel, plis review di sini ya;

Check out this book on Goodreads: Are You? Really? https://www.goodreads.com/book/show/34120122-are-you-really

Thanku cintah,
Mwa

Naya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro