s e p u l u h
Semesta kadang terlalu lucu, sebagian orang bisa dijatuhi cinta hanya dalam sekejap mata, sementara yang lain berjuang mati-matian, namun tetap tak kasat mata.
***
Unit apartemen Saka terletak di lantai dua belas di bagian selatan kota Jakarta. Awalnya, Kiana kira ia diundang untuk menyandangi rumah Juna, tapi ternyata seniornya itu terlalu pelit untuk mengajak Kiana ke rumahnya.
Ketika Kiana sampai di lobby gedung, Juna sudah menunggu dan betapa terkejutnya Kiana menemukan Saka juga berada di sana. Dimas bisa ngambek berat kalau tau Kiana datang ke apartemen cowok, atas undangan Juna pula.
Duh, pusing pala Princess.
"Cewek aneh ini cewek lo?" pertanyaan Saka tercetus begitu saja, tepat saat Kiana berdiri di hadapan keduanya.
"Kalian udah saling kenal?" bukan mengelak, Juna malah mengajukan pertanyaan lain.
"Gue nggak kenal dia, dia aja kali yang sok kenal."
Saka tidak bisa tidak melotot mendengar kalimat Kiana, namun sebelum ia membalas, Juna sudah mengangkat kedua telapak tangannya.
"Udah, nggak usah ribut, Kiana ini Saka, Saka ini Kiana." Perkenalan tidak formal itu tentu saja tidak disertai dengan jabatan tangan.
"Dan gue Naura," tanpa merasa di lupakan Naura mengulurkan tangannya, yang di balas Saka dengan senyum manis.
"Nice to meet you, Naura."
Dapat Kiana lihat merah menjalar di pipi Naura. Sama Kiana aja galak, sama Naura manis banget. Dasar crocodile.
"Rio nyusul habis Maghrib nanti," ujar Juna seraya melangkah menuju lift.
"Gue kira kita bakal ke rumah lo." Kiana mencetuskan apa yang ada di kepalanya sejak tadi.
"Di rumah lagi ada nyokap bokap gue," Juna menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari angka digital di hadapannya. "Kalau Saka orang tuanya ada di Kanada, dia tinggal sama sepupunya yang pulangnya seminggu sekali."
Kalimat Juna hanya dibalas anggukan ringan oleh Kiana, mereka berempat pun melangkah ringan menuju unit apartemen Saka.
"Naura mau makan apa? Biar gue pesenin sekalian," kata Saka tepat setelah mereka sampai di ruang tengah.
"PHD dong, tuna melt sama potato wedgesnya jangan lupa ya!" bukan Naura justru Kiana yang menyahut.
"Perasaan gue nawarin Naura deh, bukan elo."
"Sama tamu itu harus sopan Saka, masa iya Naura di tawarin gue enggak," selagi Kiana mengelak, Naura memijat dahi di tempatnya. Sepertinya, Naura harus berpikir ulang untuk mengakui Kiana sebagai temannya di depan cowok tampan.
"Yaudah, kalo mau minum ambil di kulkas aja ya." Kiana dan Naura mengangguk tak acuh, sementara Juna sudah mengeluarkan beberapa buku dan diktat.
"Oke, sambil nungguin makanannya kita mulai aja ya belajarnya? Naura, lo nyatet yang dosen lo ajar nggak?" Naura mengeluarkan bindernya dari tas, namun Kiana hanya memperhatikan.
Ia tidak mengeluarkan bindernya, demi terhindarnya hujatan yang kelak Juna layangkan, mengingat isi bindernya mungkin hanya 10% dari materi milik Naura.
Jangan salahkan Kiana, salahkan dosennya yang ngajarnya kayak lagu penghantar tidur.
Penjelasan-penjelasan dari Arjuna mengalir begitu saja, untuk pertama kalinya selama masa perkuliahan, Kiana dapat mengerti istilah asing yang baru ia kenal.
Komunikan, Komunikator, gate keeper, dan istilah lainnya mampu Kiana serap. Juna seperti magis, enam pertemuan dengan dosen Kiana selama ini, di ringkas oleh Juna selama tiga jam, di potong solat dan makan.
Kiana jadi bertanya-tanya, kenapa nggak Juna aja yang jadi dosen di kampusnya?
Rio datang pukul delapan, di saat mereka bertiga sudah mulai merapihkan buku.
"Habis Maghrib ya, Yo?" sindir Juna membuat Rio terkekeh.
"Sori deh, tadi gue nganter nyokap dulu." Rio menghempaskan dirinya di sofa. Rio sudah mengenal Saka, tentu saja berkat Juna, Saka adalah adik tingkat mereka dari jurusan tehnik mesin.
Rio tidak tau bagaimana Saka dan Juna bisa saling mengenal, yang jelas, tiga tahun menjadi teman dekat Juna, Rio tau bahwa ada tembok yang Juna bangun diantara mereka, sedangkan bersama Saka, tembok Juna luruh tidak bersisa.
Arjuna pun beranjak menuju balkon apartemen, sedangkan mata Kiana sibuk merambati seluruh ruangan. Tanpa sengaja, mata madu itu jatuh pada sebuah pigura di atas meja.
Seperti tersedot ke alam bawah sadar, Kiana menyentuh sosok dalam pigura itu, senyum tercetak di bibirnya.
"Itu gue sama Juna waktu kecil." Kalimat Saka mengalihkan perhatian Kiana. Bukan jenis kalimat ketus, sepertinya Saka sudah mulai bisa berdamai dengan Kiana.
"Oh, lo teman dari kecil?" Saka menggeleng, matanya tampak menerawang.
"Di banding teman, Juna udah kayak kakak buat gue, dia semacam panutan buat gue." Kiana menatap dua anak laki-laki di sana, lalu terkekeh kecil.
"Juna pasti yang ini?" Kiana menunjuk anak laki-laki yang menatap kamera tanpa senyum, matanya memicing galak, sekalipun tangannya merangkul bocah di sebelahnya.
"Kok lo tau?"
"Bener?" tanya Kiana memastikan, anggukan dari Saka membuat Kiana terkekeh geli. "Gila! Gue baru tau dulu dia cebol."
Tawa Kiana pecah, dengan kelewat bersemangat di bawanya pigura tersebut, ke balkon tempat Juna berada.
"Woi, siluman marsupilami!" Juna tidak merasa terpanggil sebenarnya, namun hanya dia yang berada di balkon ini, jadi dia menoleh juga.
"Dulu lo cebol banget ya? Ngakak gue lihatnya." Kiana mengangkat pigura di tangannya, membuat mata Juna membulat.
"Lo dapat dari mana?"
"Lucu banget, gendut gitu, pendek lagi." Tawa Kiana kian pecah, membuat Juna berhasrat membekap mulutnya.
"Kiana sini nggak!"
"Nggak mau! Ini lucu maksimal, gendut banget ya Tuhan, mau cubit pipinya, emesh emesh," Kiana menusuk-nusuk pipi Juna di foto tampak gemas. Juna hendak meraih foto tersebut, namun Kiana terus menghindar.
Selanjutnya, tanpa Kiana sangka, tubuhnya limbung, pagar balkon apartemen yang hanya sebatas pinggang tidak mampu menyangga beban tubuhnya, dan nyaris setengah tubuhnya sudah berada di udara bebas. Kiana bisa saja terjatuh kalau dari lantai dua belas ini, kalau saja ia tidak di sanggah oleh tangan Juna. Dalam sesaat kepanikan menjalar dalam tubuh Kiana, wajahnya memucat, dan matanya tertutup rapat.
Ia sangat menyadari, kalau saja Juna melepaskan tangannya, maka dalam hitungan detik tubuhnya bisa hancur di atas aspal.
Tanpa sadar, ia mencengkram pigura tadi kuat-kuat sementara sebelah tangan lainnya berpegangan pada lengan kokoh Juna.
Butuh beberapa detik sampai akhirnya Kiana dan Juna sudah berada di sisi lain balkon.
"Kiana?" panggil Juna menarik Kiana ke dunia nyata. Kejadian barusan layaknya de javu, dari beberapa bulan yang lalu. Bedanya, kali ini Juna menyelamatkan hidupnya, bukan hanya kepalanya.
"Kiana lo nggak apa-apa?!" kali ini suara Juna naik beberapa oktaf, menarik perhatian temannya yang lain.
Kiana menghembuskan napas sekali sebelum membuka matanya, jantungnya mencelos ketika mendapati mata gelap yang menatapnya khawatir. Sesaat setelah Kiana menggelengkan kepala, Juna menariknya dalam pelukan.
Helaan napas lega terdengar di telinga Kiana, ia tidak mampu memproses apa yang terjadi, termasuk pelukan Arjuna. Ia hanya merasa, oksigen di sekitarnya seketika lenyap kala ia mendengar degup dari jantung Arjuna.
"Lo kenapa clumsy banget, sih?"
Suara itu terdengar parau di telinga Kiana, entah ia yang sedang berkhayal atau Juna memang sekhawatir itu.
Dari balik pintu kaca, Naura, Rio, Saka dan seorang lainnya memperhatikan keduanya menyatu. Sedikit, telah mereka pahami bahwa Kiana dan Arjuna kini telah melewati batas, tanpa keduanya sadari, mungkin mereka telah menarik satu sama lain dalam dunia masing-masing.
Naura mengangkat kepala, demi menemukan Dimas yang baru saja bergabung dengan mereka. Wajah pias itu tidak dapat di tutupi, kecewa telah menjalar kepermukaan. Kini, Dimas telah kalah sebelum berperang.
***
Dimas baru saja sampai di apartemen Saka untuk meminjam diktat kalkulus. Saat Saka membukakannya pintu, Dimas tau, ada sesuatu yang salah, hal itu tampak jelas dari gesture dan raut wajah Saka.
Namun teriakan Juna dari dalam, membuat akal keduanya hilang begitu saja, nama Kiana yang di sebut Juna membuat Dimas melesat masuk seketika.
Rio dan Naura yang sudah terpaku di pintu, turut menghentikan langkah Dimas. Di sana, di saksikannya Kiana dalam pelukan laki-laki lain.
Dimas hanya bisa menghela napas panjang, lalu menghempaskan diri pada sofa. Tiga orang lainnya juga sudah menguraikan diri dari pintu balkon, diantara ketiganya, hanya Rio yang tampak tidak bisa membaca situasi.
Jelas, karena Rio memang tidak begitu mengenal peran Dimas.
"Tuh kan bener, dari awal gue udah duga, pasti ada apa-apa diantara itu orang berdua," celetukan Rio membuat Naura dan Saka saling lempar pandang.
Awalnya, Saka juga menduga kalau Dimas menaruh perasaan khusus pada Kiana, makanya waktu bertemu Kiana di lobby tadi, Saka sempat terkejut.
Tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa, sorot yang Juna layangkan ketika menatap Kiana juga menggambarkan sesuatu yang berbeda dan semua hal yang terjadi malam ini di luar perkiraan Saka.
Saka jadi merasa seperti terjebak di episode katakan putus.
Tidak lama pintu balkon terbuka, Kiana nyaris terlonjak kala mengenali sosok lain di ruang tengah.
Alamak jang! Matilah Kiana di eksekusi Dimas.
Dimas menatap Kiana dengan sorot datar, membuat otak Kiana bekerja sepuluh kali lipat. Kiana nggak mungkin pura-pura lupa ingatan, apa dia pura-pura di culik aja ya?
Ah, nggak, Naura pasti akan mengkhianati Kiana dan berpihak pada cogan-cogan Ciganjur di ruangan ini.
Tiba-tiba, sebuah ide melintas di otak Kiana. Pura-pura pingsan aja, Dimas nggak akan tega marahin Kiana kalau dia sakit.
Sebelum pingsan, Kiana harus memastikan bahwa ia akan di sambut benda empuk terlebih dahulu, biar nggak pingsan beneran.
Setelah berada cukup dekat dengan sofa, Kiana memegangi kepalanya.
"Aduh, kok pusing banget ya?" Tidak ada yang bereaksi, nyaris seluruh orang di ruangan itu menatap Kiana dengan alis terangkat, termasuk saat Kiana menjatuhkan dirinya di atas sofa dengan wajah sok tidak berdaya.
"Dia pingsan?" hanya dua potong komentar itu yang mampu Kiana dengar, itu pun dari Saka yang berdiri dekat Naura.
Dimas menghela napas lelah, lalu bangkit dari duduknya. "Sak, gue pinjam dulu diktat lo, besok gue balikin."
Tunggu, tunggu, tunggu, Dimas tetap pergi? Wah kacau!
Kiana seketika bangkit, membuat seluruh orang di sana lagi-lagi mengerutkan kening, kali ini kecuali Dimas.
"Lah, nggak jadi pingsan?" komentar Saka lagi, Kiana memilih mengabaikannya dan fokus pada Dimas.
"Dimas, lo marah sama gue?" Dimas menyampirkan tasnya di bahu, lantas menghampiri Juna.
"Anterin Kiana sampai kost-annya sebelum jam sepuluh." Kalimat Dimas penuh penekanan, namun cowok itu tetap tidak menghiraukan Kiana.
Selepas Dimas berlalu, Kiana pun membenamkan kepalanya pada bantal sofa.
"Matilah awak, di kacangin Dimas."
-------
A/n: Annyeong!
Yuhu, Dimas dan Juna muncul lagi. Semoga kalian nggak bosen deh, sampai ketemu hari Sabtu!
Tolong maklumi ya kelakuan Kiana wkwk
See u when I see u
Regards,
NAYA
P.s: kemarin pada bayak yang nebaknya film Lee Min Ho itu The Legend of Blue Sea ya? Bukan tau wkwk
Film Lee Min Ho yang ditonton Kiana itu film produksi Tiongkok-Korea yang judulnya Bounty Hunter. Udah nonton belum? Ganteng banget dia di situ sumpah Mak!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro