Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

s e m b i l a n

Seperti rintik hujan yang jatuh ke bumi,
Segala hal tentangmu adalah ketidak sengajaan bagiku.

Tanpa tapi kau telah menjadi bagian yang ingin aku dahulukan, sekalipun tidak pernah ku sadari.

***

Jam baru menunjukan pukul tujuh malam, tapi bukan berada di luar seperti biasanya, Juna justru berada di kamarnya, menahan diri untuk tidak mengantukan kepala pada dinding.

Gila, kesambet apaan dia sampai bisa ngomong ke Kiana kayak tadi?!

Itu cewek pasti sedang tersipu-sipu malu deh sekarang.

Ponsel Juna tiba-tiba saja bergetar, menunjukan nama Rio sebagai penelepon. Dengan sekali gerakan di angkatnya telepon dari Rio.

"Jun, dimana? Rapat woi di rumah Alsa!" Juna langsung mengetukan kepalanya ke dinding saat itu juga. Bisa-bisanya ia sampai kehilangan fokus karena cewek ajaib bernama Kiana.

"Gue lupa, sori, setengah jam lagi gue nyampe." Setelah mengatakannya, Juna meraih jaketnya. Sesaat pandangannya tertumbuk pada masker penutup mata milik Kiana yang tergeletak di atas kasur.

***

Arjuna salah besar, ia masih belum mengenal Kiana sepenuhnya. Jantung Kiana memang sempat berdebar karena kalimat Juna, namun Kiana tidak lantas gede rasa.

Saat ini, banyak hal yang lebih indah dari pada kata-kata ngawur Juna di Supermarket petang tadi. Seperti seember es krim Haagen Dazs dan layar laptop yang memutar wajah Lee Min Ho.

Ah, seandainya ada cowok se-charming Li-San beredar pada rotasi dunia milik Kiana, sudah pasti ia menjadi perempuan paling bahagia.

Berbicara masalah cowok ganteng dan bahagia, entah bagaimana nama Arjuna tiba-tiba terlintas di kepala Kiana, pertemuan absurd mereka di Supermarket yang disusul pernyataan Arjuna membuat sekelebat pikiran sinting melintas di kepala Kiana.

Juna kan ganteng, tajir juga, kalau Juna beneran naksir Kiana, apa Kiana taksir balik aja ya? Lumayan kan bisa di gandeng kemana-mana.

Tapi Kiana langsung tersadar, ia memukuli kepalanya dengan sendok.

"Icikiwir, gila kali ya gue membandingkan Lee Min Ho sama petai goreng satu itu." Kiana lalu menyentuh gambar Lee Min Ho di layarnya dengan tatapan bersalah.

"Mianhae oppa*, aku khilaf barusan."

Kiana masih asyik menikmati wajah tampan nan rupawan tersebut ketika pintu kamarnya terbuka tanpa di ketuk. Naura muncul dengan piyama kebesaran kesayangannya.

"Kenapa lo?" tanya Kiana, wajah Naura tampak keruh maksimal. Tapi dalam sekejap, raut wajah itu berubah ketika menemukan benda apa yang ada di pelukan Kiana.

"Haagen Dazs dari siapa tuh?!"

"From your sweetheart," tukas Kiana santai, tapi langsung merubah gesturenya menjadi protektif ketika melihat wajah mupeng Naura.

"Nggak ya, soal es krim dan cokelat, gue bukan manusia dermawan, gue tidak berbagi dua mahluk indah itu dengan rakyat jelata mana pun."

"Pelit banget sih lo, males gue temenan sama lo." Naura bersungut, tapi malah duduk di atas kasur Kiana.

"Loh, loh, loh katanya malas sama gue? Wahai wanita yang haus cinta cogan, seharusnya lo sedikit punya gengsi dong, abis ngambul malah duduk di kasur gue."

"Gue bosen hidup gue gini-gini aja, Ki," Naura merentangkan tubuhnya di samping Kiana, tidak memperdulikan kalimat Kiana sebelumnya.

"Yaudah mati aja kalau gitu," celetuk Kiana asal, yang langsung di balas Naura dengan delikan.

"Itu rahang kenapa enteng banget ya?" Naura berdecak tapi melanjutkan kalimatnya, "gue kira kehidupan perkuliahan bakal seru, taunya hanya berputar di dosen botak dan bau ketek."

"Ikut klub atau ormawa aja lagi, lo kan rajin tuh anaknya."

"Tapi lo temenin ya?"

"Ogah. Hidup gue udah cukup seru dengan selimut lembut, pria tampan di layar laptop dan satu ember es krim," ujar Kiana tidak berminat.

"Kalau nggak, setidaknya bantuin gue PDKT ama Dimas kek!"

Kiana langsung memutar bola matanya, segala bawa-bawa hidup bosan, bilang aja minta deketin sama Dimas.

"Deketin aja kalau Dimas mau mah, lumayan Haagen Dazs cookies gue bisa di jemput sebagai pajak jadian."

"Lo tuh emang suka morotin temen ya, Ki," sindir Naura, tapi seperti biasa Kiana tidak perduli.

"Ya habis, kalian jadi teman nggak bisa di panjat sosial, jadi di porotin aja," Kiana terkekeh sendiri. Kemudian, Kiana teringat pada pernyataan Juna di Supermarket sore tadi. Ia belum sempat cerita pada Naura.

"Eh iya, tadi gue ketemu Junaedi." Sebelah alis Naura naik mendengar kalimat Kiana. Kiana pun akhirnya menekan tombol pause, sebelum mulai menceritakan pertemuannya dengan Juna di supermarket.

"Lah, alig, lo ditembak sama Kak Juna?!" Naura berteriak histeris, sejurus kemudian cewek itu memandang Kiana dengan tatapan kasihan.

"Lo kayaknya kebanyakan tidur deh, sampai nggak bisa ngebedain mana dunia mimpi dan dunia nyata? Mustahil lah Arjuna Pranaja yang cakerpnya serasa serpihan surga itu bisa naksir sama cewek aneh kayak lo."

"Lo lupa gue cantik? Mau aneh atau nggak, cantik itu bukan sesuatu yang bisa di bantah loh, Nau," Kiana mengibaskan rambutnya jumawa.

"Percuma Ki, cantik tanpa otak cerdas, beauty is nothing without brain and behavior."

"Gaya lo pake bawa-bawa quotes tumblr galauan, inner beauty itu cuma buat ngehibur cewek jelek tau."

Naura berdecak kesal pada Kiana. Memang dasar Kiana bocah laknat.

"Eh, tapi Ki, gue mendukung lah kalau Kak Juna naksir lo, biar my sweetheart bisa terbebas dari ancaman terjebak friendzone sama lo."

"Halah, susah amat lo gue bilangin, gue sama Dimas itu temenan dari jaman dia doyan nonton laptop si Unyil, nggak mungkin kita friendzone atau apalah itu namanya," Kiana menyendok es krimnya sekali, sebelum melanjutkan.

"Dimas memang cemen, tapi nggak mungkinlah dia secemen itu sampai mau-mauan jadi kacung gara-gara nggak berani nyatain perasaannya." Kiana berseloroh cuek.

Baginya, ia dan Dimas adalah bulan dan bintang, mereka memang berjalan bersama namun bukan untuk bersatu.

"Berarti lo nganggep dia kacung?" tanya Naura tidak percaya, Kiana mengangguk tanpa ragu.

"Ho'oh kacung kesayangan, my beloved kacung."

***

Minggu pertama bulan Oktober adalah masa-masa dimana perpustakaan fakultas sedang ramai-ramainya. Beberapa mahasiswa tingkat akhir biasanya di sibukkan dengan laptop, diktat dan buku yang menunjang bahan pembuatan skripsi mereka, sementara para adik tingkatnya biasanya di kejar deadline tugas menjelang ujian tengah semester.

Dulu, di SMA Kiana mengira kalau ujian di dunia perkuliahan hanya akan ia temui setiap akhir semester. Namun, lagi-lagi, itu hanya imajinasi seorang gadis dengan IQ di bawah rata-rata.

"Ya Tuhan, Gigi Hadid lelah," Kiana meletakan kepalanya di atas meja perpustakaan. Kiana sama sekali tidak mengira bahwa dosen-dosen bau bawang di kampusnya sungguh tidak berperikemanusiaan.

Ternyata, meme komik yang berkeliaran di akun instagram komedi jayus itu bukan sekedar pembohongan publik.

Di hadapan Kiana terdapat tumpukan buku mengenai dasar-dasar ilmu politik dan komunikasi. Berlembar-lembar, print out dari presentasi kelas teronggok begitu saja.

Bodo amatlah apa yang dikatakan Hovland dan teman-temannya mengenai definisi dari Komunikasi. Satu-satunya materi yang dapat di serap oleh Kiana sepanjang masa perkuliahan ini adalah; Komunikasi di bagi dua; verbal dan non verbal.

Oh iya, satu lagi, etika dalam berkomunikasi adalah menatap lawan bicara.

Heran juga Kiana kenapa ia bisa ingat materi sekilas yang diberikan Juna, tapi melupakan materi penting lain dari dosennya yang sudah memaparkan sampai mulut dosen itu berbusa.

"Kiana?" suara itu menyadarkan Kiana dari lamunan, ia mengangkat wajahnya lantas menemukan Rio dan Juna sudah duduk di hadapannya.

Rio sendiri hampir terjungkal melihat wajah zombie Kiana. Kiana tampak begitu berantakan, sorot matanya datar dan kertas-kertas menempel pada pipi cewek itu.

"Lo kenapa? Frustrasi banget?"

Kiana menghela napasnya, lalu mengangguk lesu.

"Gue nggak ngerti apapun, gue nggak tau mau ngisi apaan di ujian besok, dan lagi gue masih ngutang tiga tugas mandiri sama dosen."

Kiana tidak pernah merasa sesedih ini karena tugas, biasanya ada Dimas yang senantiasa bersedia membantunya menyelesaikan tugas, tapi sekarang Dimas berada dalam bidang yang berbeda, Kiana tidak lagi bisa merengek agar tugasnya terselesaikan.

"Lo belajar apaan aja selama ini?" tanya Rio prihatin. Kiana biasanya selalu lincah dan cuek, melihat cewek itu lunglai seperti siang ini merupakan suatu kejadian langka.

"Belajar..." Kiana tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena Juna sudah memotongnya.

"Lo pasti tidur di kelas, ketauan banget sih, muka lo nggak ada tampang anak rajin atau pinternya." Kiana mendengus mendengar komentar Juna.

"Lo nggak ngebantuin jadi nggak usah komentar."

"Kenapa lo nggak gabung aja sama teman-teman lo," Juna melirik ke meja yang terletak di sisi lainnya. Di sana, ada Johan, Sandra, Deana, Claris dan Dessy.

"Gue nggak main sama mereka, nggak sudi," Kiana mengibaskan tangannya, membuat sebelah alis Juna terangkat.

"Oh, I see, mereka nggak mau temenan sama parasit kayak elo maksudnya?" kalimat Juna sukses membuat Kiana melotot.

"Enak aja! Mereka itu cuma iri sama gue, anggap lah mereka itu semacam apa ya?" Kiana meletakan telunjuknya di bibir, tampak berpikir, "anti-fan, haters? Ya pokoknya semacam itu lah."

Rio dan Juna sontak terkekeh geli. Tingkat ke-pedean Kiana memang sudah tidak ada obatnya.

Juna akhirnya menghela napas, dalam hati merasa kasihan.

"Lo nggak punya teman berarti?"

"Weits, jangan salah, gue punya si item Dimas, dan gue juga punya Naura." Kiana tersenyum sombong, sebelum melanjutkan, "trust me, walaupun gue terlihat menyedihkan karena hanya punya Naura di fakultas ini, tapi pertemanan gue dan Naura lebih baik dari pada pertemanan badai badai bangke di sana."

"Badai badai bangke? Apaan tuh?" Rio memajukan tubuhnya, tampak tertarik. Dengan ujung telunjuk, Kiana pun menuding ke arah meja Johan dkk berada.

"Deana, dia itu tajir tapi belagunya setengah mati, dia nggak akan bisa menghargai orang lain. Claris, cewek toil itu setau gue adiknya gitaris band lokal, ya jelas kakaknya tampan dan tidak bersahaja," gerakan jari Kiana berpindah, membuat Juna dan Rio mengikuti arah yang ditunjuk.

"Gue nggak perlu menjelaskan kelebihan Sandra, you know, selain tampang dan body tidak ada yang bisa di banggakan dari seorang Cassandra Monica."

"Seenggaknya dia punya tampang dan body, lah elo?" Kiana menjulingkan matanya mendengar komentar Juna, namun kembali melanjutkan.

"Nah, yang satu ini paling ingin gue musnahkan dari peradaban. Cowok melambai, sok sosialita, biang gosip, dan merasa dirinya paling hitz seantero jagat." Kiana menunjuk Johan dengan hidung berkerut dan tatapan menghunus, tampak berhasrat untuk menebarkan kebencian.

"So? Lo sirik gitu sama para famous kampus? Harus lo akui Kiana, seenggaknya orang mengenal mereka dan mereka membangun jaringan, itu yang paling dibutuhkan sama manusia modern; koneksi." Kiana mendengus mendengar ceramah singkat dari Juna, lalu mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja.

"Ckckck, lo nggak mengerti ya pola pikir mereka? Mereka itu berteman atas dasar butuh dan tidak butuh, jenis-jenis tukang panjat sosial, thats why mereka ada di satu meja yang sama dengan Dessy hari ini, karena mereka butuh memanfaatkan Dessy demi kelancaran tugas dan ujian mereka," seloroh Kiana seraya membanting punggungnya pada sandaran kursi, senyum meremehkan tercetak di bibirnya.

"Gue mungkin bodoh di akademik, gue juga tukang molor di kelas, tapi gue masih memperhatikan sekitar, Sandra pernah ngomongin kasus perceraian orang tuanya Deana, yang nyebarin gosip kalau kakaknya Claris make itu Johan, dan kadang Claris dan Deana sengaja ngenalin Sandra sama bajingan kampus." Kiana bersiul mendapati Juna dan Rio yang kini terperangah.

"Tidak usah kagum murid-murid ku, kalian memang terlalu naif untuk menghadapi dunia yang kejam ini." Kiana menepuk lengan kedua seniornya seraya terkekeh geli.

Juna yang pertama kali tersadar, lalu menggelengkan kepalanya.

"Entah lo yang drama atau memang kehidupan pertemanan perempuan selicik itu, yang jelas faktanya lo nggak punya teman di sini." Juna berujar, membuat Kiana memberenggut.

"Gue punya, ada Naura kok! Meskipun suka memanfaatkan gue untuk PDKT sama Dimas, gue tau Naura lebih setia kawan dari pada pasukan penghamba pensil alis di sana."

"Terus mana Nauranya? Kenapa nggak nemenin lo?" Kiana menghela napas panjang.

"Gue bingung deh sama lo kak Juna, dulu lo galak banget kayak kumisnya pak Raden, tapi kok sekarang lo jadi sok care gitu sih sama gue? Naura lagi sibuk minta quiz susulan, nggak perlulah setiap jengkal kehidupan gue lo komentarin." Kalimat Kiana membuat Rio menoleh pada Juna.

"Iya juga ya? Kok lo jadi bawel banget sama hidupnya Kiana?"

Juna berdecak, tapi ia tidak memperdulikan komentar Rio dan Kiana. Ia sendiri merasa bahwa kewarasannya perlahan terkikis, semenjak ia melihat Kiana terlambat pagi itu, dunianya seakan berputar di sekitar Kiana. Ia tidak bisa berhenti perduli atas cewek urakan di hadapannya ini.

Segala hal yang ia lakukan murni karena refleks, bukan kesengajaan. Termasuk saat Juna meletakan post-it berisi alamat apartemen Saka di hadapan Kiana.

"Gue dan Rio bakal ngajarin lo bahan buat UTS nanti, datang ke alamat ini jam lima sore Sabtu besok, bareng Naura."

Sesaat, Kiana dan Rio melongo, sebelum Rio tersadar duluan. "Loh, kapan gue setuju?"

"Gue tau lo orangnya baik hati Yo, ini anak bolotnya nggak akan ketolong cuma sama buku doang, harus ada yang ngasih private."

"Kalau mau nolong, nggak usah pakai ngatain nggak bisa ya?"

"Nggak, udah ayo cabut!" Juna baru hendak beranjak dari tempatnya, ketika tahu-tahu Sandra sudah berdiri di sampingnya dengan senyuman manis bak malaikat pencabut nyawa.

"Hg... kak Juna, ada yang aku nggak ngerti nih materi yang spiral of silence, bisa jelasin nggak?" mata Sandra mengerjap, membuat Kiana nyaris tersedak.

Buset, itu anak pakai maskara atau bulu mata anti badainya Syahrini?

Tiba-tiba sebuah ide melintas di benak Kiana, ia bangkit dengan mata yang berkilat jahil.

"Sori ya Sandra, tapi kak Juna sama kak Rio udah gue hire buat jadi guru private gue, jadi see u babay deh ya!" Kiana lantas menggandeng lengan Juna, lalu mengedipkan sebelah matanya genit, membuat Juna sempat melongo kaget.

Sandra hanya bisa merenggut, melihat Kiana dan Juna yang berlalu tanpa melepaskan lengan, sedangkan Rio malah geleng-geleng kepala di kursinya.

Mungkin waktu kejadian televisi dua bulan lalu kepala Kiana sempat terbentur, sampai-sampai kelakuan cewek itu bisa sebegitu ajaibnya.

-----
Glosarium:
Mianhe: maafkan aku
Oppa: Kakak laki-laki, bisa juga kata ganti 'sayang'.

----

A/n: Yuhu, part 9. Wdyt?
Btw, nggak nyangka deh baru 8 aja ada yang sampe nanyain udah bikin grup apa belum muehehe :') thanku kalian, semoga nggak bosen-bosen, karena alur If Only memang agak lambat.

But I try my best, aku berusaha membuat kalian jatuh cinta sama karakternya, semoga berhasil wkwkwk.

See u hari Rabu ya!

Cee u

NAYA.

P.s: ada yang tau nggak film apa yang ditonton Kiana? :p

P.s.s: aku menyelipkan sedikit pesan moral di part ini, tebak apa hayo? Wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro