Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

s a t u

Selalu ada alasan, kenapa rasa bisa hinggap.
Tanpa permisi dan tanpa ketukan.
Sekalipun hanya sesederhana tatapan mata, atau senyum pada detik pertama.

***

Matahari baru saja muncul di permukaan. Dengan gerakan malas, Kiana bergelung di selimutnya yang nyaman. Mamanya belum membangunkannya, berarti ia masih memiliki waktu untuk terlelap.

Kiana baru saja kembali ke alam mimpi ketika ponselnya menjerit nyaring. Tadinya, Kiana hendak mengabaikan panggilan tersebut, namun setelah bunyi pertama berhenti maka dering-dering selanjutnya mengikuti.

Akhirnya Kiana menyerah, dengan seluruh tubuh yang masih di balut selimut, Kiana menaikan masker penutup matanya, sedangkan tangannya meraba-raba kasur.

Setelah mendapatkan ponselnya, Kiana menempelkannya pada telinga. Namun, bukan suara seseorang ponselnya justru masih mengeluarkan bunyi seperti sebelumnya.

Oh, belum di angkat rupanya.

Tetap dengan mata terpejam, Kiana menggeser tombol hijau pada ponselnya, lalu kembali menempelkannya pada telinga. Tubuhnya berguling hingga kini lengannya pun terbungkus selimut, persis gulungan risol yang biasanya Mamanya buat.

"Hallo," suara serak keluar dari tenggorokannya, diikuti dengan gumaman tidak jelas yang bertanda bahwa ia akan kembali terlelap.

"Hallo, sayang, jangan bilang kamu belum bangun," mendengar suara Mamanya di ujung sana, membuat Kiana mengerutkan alis. Mamanya ngapain telepon?

"Mama ngap--" Kiana tidak menyelesaikan kalimatnya karena baru tersadar sesuatu. Seperti di sana sambar petir, kesadarannya pulih seketika. Matanya melotot ketika melihat jam digital yang tertera pada ponselnya. MasyaAllah Kiana lupa dia sekarang ngekost!

"Aduh, Mama, Ki telat nih, Mama kenapa nggak bangunin." Kiana mengatakannya seraya berusaha melepaskan diri dari gulungan selimut yang ia buat sendiri.

"Ya kamu gimana, udah Mama telepon dari tadi, kok."

Tidak berhasil lepas, Kiana justru terguling menuju pinggir kasur, dan pada akhirnya jatuh di lantai. Ia mengaduh kesakitan, merasakan ngilu di pinggangnya.

"Ki, kamu nggak papa?" tanya Mamanya khawatir, mendengar bunyi bedebam.

"Ki nggak apa-apa Ma," teriaknya seraya berlari menuju pintu kamar mandi, sementara ponselnya masih terletak di lantai bersama dengan selimut yang teronggok tidak berdaya.

"Kiana jangan lupa mandi dan sarapan!" seru Mamanya di ujung sana, tapi tentu saja tidak di jawab oleh Kiana.

Seperti dugaan Mamanya, Kiana tidak mandi. Cewek itu bahkan tidak menggosok giginya, hanya berkumur menggunakan mouthwash , lalu mengganti piyamanya dengan seragam putih hitam yang sudah di siapkan sejak semalam.

Saat Kiana sedang menyematkan kancing terakhir, ponselnya berbunyi nyaring. Nama Dimas tertera di sana. Dengan ujung jempol kakinya Kiana menggeser tombol hijau dan menekan simbol speaker, hingga suara Dimas terdengar mengisi kamar Kiana.

"Ha--"

"Dimas, jemput gue plis! Gue telat gils!" kata Kiana seraya melirik jam yang menempel pada dinding.

Dapat Kiana dengar Dimas berdecak, sebelum meluluskan keinginan Kiana.

"Yaudah, lima menit lagi gue nyampe," ujar Dimas yang langsung di tolak oleh Kiana.

"Tiga menit!"

"Iya, tiga menit!" jerit Dimas akhirnya sedetik menjelang sambungan telepon terputus. Dengan sigap Kiana meraih ponsel lalu menuruni tangga kost-annya. Sebenarnya, jarak kost Kiana dengan kampus dapat di tempuh dalam waktu kurang dari sepuluh menit kalau Kiana berjalan kaki, tapi ia bahkan sudah tidak punya waktu sisa barang sedetik.

Di depan gerbang kost-annya Kiana bergerak gelisah, matanya berubah awas ketika motor Dimas muncul dari belokan. Cowok itu hanya mengenakan celana hitam dan kemeja putihnya, tas dan peralatan lainnya mungkin tergeletak manis di salah satu kelas di fakultas tehnik sana.

Tanpa menunggu kaki Dimas turun, Kiana sudah melompat naik ke atas boncengan, membuat Dimas berdecak sebal.

"Lo tuh ya," geram Dimas tentu saja tidak di hiraukan oleh Kiana.

"Udah jalan buru!"

"Itu tapi..." kalimat Dimas di potong oleh pelototan Kiana, membuat Dimas melengos di tempatnya.

"Terserah lo deh, jangan ngomel aja kalo malu."

Selanjutnya, motor itu sudah melesat, meninggalkan gerbang hitam di sampingnya tadi.

"Mampus gue!" Kiana berseru sesaat setelah motor Dimas melintas depan gedung Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Barisan putih hitam calon teman seangkatannya sudah di giring masuk ke dalam gedung, sedangkan beberapa senior yang berdiri di depan gedung, sibuk merapihkan barang sitaan.

Tidak menunggu hingga mereka sampai parkiran, Kiana akhirnya turun di sana.

"Babay Dimas!" teriak Kiana tanpa menoleh, kakinya terus berlari menuju gedung FISIP.

Di atas motor, Dimas menggelengkan kepalanya, "dasar curang, udah bikin gue telat juga, sekarang malah ngibrit duluan."

Setelah memastikan Kiana sampai di hadapan seniornya dengan selamat, Dimas melesat pergi dengan motornya, menuju fakultasnya sendiri. Gedung fakultas tehnik.

***

"Kenapa terlambat?" pertanyaan itu terlontar dalam nada dingin yang menusuk.

Kiana sendiri tidak berani mengangkat kepalanya, di hadapannya sesosok laki-laki berdiri tegap, menjulang tinggi dengan sorot mata tajam.

"Ma... af kak," ujar Kiana tetap dengan menatap ujung sepatunya. Cowok itu melirik name tag yang tergantung pada leher Kiana.

Oh, komunikasi.

"Lo ngomong sama sepatu? Ada yang namanya etika komunikasi, salah satunya menatap lawan bicara, kalau aturan sedasar itu aja lo nggak tau gimana lo mau jadi anak komun?"

Kiana merapatkan bibirnya, dalam hati mengumpat senior di hadapannya. Tapi tak pelak diturutinya juga keinginan cowok itu.

Jantung Kiana mencelos saat menemukan mata segelap malam yang menatapnya nyalang. Kiana merasa tubuhnya bisa berlubang hanya karena tatapan.

"Kayaknya gue nggak perlu tanya kenapa lo terlambat, pasti telat bangun, tipikal anak malas," ujar cowok itu, Kiana tidak menjawab, hanya diam. Kepalanya sibuk berkhayal, membayangkan kalau mata cowok itu mengandung laser atau semacamnya.

"Lo belum mandi?" tanya cowok itu membuat Kiana lupa perihal lubang-lubang tadi. Eh? Bagaimana seniornya tau? Memangnya ketara banget ya Kiana belum mandi?

Seperti dapat membaca pikiran Kiana, cowok itu menggerakan tangannya menuju puncak kepala Kiana. Detik selanjutnya mata Kiana membulat sempurna, di tangan cowok itu tergantung masker penutup mata miliknya.

"Gambarnya panda, hewan pemalas, sama kayak pemiliknya," tukas cowok itu seraya memperhatikan temuannya. Bahkan kantung gel masih terselip di masker mata tersebut.

Kiana meringis menyadari kebodohannya sendiri, lalu dalam hati mengumpat Dimas yang tidak memberi tahu Kiana mengenai masker penutup mata itu.

Teman seangkatannya serta senior lain yang sedang berjalan menuju gedung fakultas pasti sempat melihat kejadian barusan. Masa iya, first immpresion yang harus Kiana dapatkan di masa perkuliahannya adalah 'cewek malas mandi', nggak oke banget.

"Oke, ini gue sita, karena nggak termasuk dalam barang yang seharusnya lo bawa, sekarang lo bawa tas lo ke sana buat proses screening terus balik lagi ke sini."

Kiana mengangguk lalu menuruti perintah cowok itu. Selama proses screening, seorang cewek dengan rambut ombre merah menyala menggeledah tas Kiana, beberapa barang Kiana terpaksa di sita untuk sementara waktu, termasuk ponsel dan stabilo berbentuk Mickey Mouse miliknya.

"Hp lo di balikin nanti sore ya di sekretariat, sementara yang lain nggak akan di balikin."

Setelah kembali mendapatkan tas dan beberapa barang yang lolos sita, Kiana kembali menuju cowok yang masih menunggunya tepat di bawah tiang bendera.

Dalam hati Kiana terkekeh sendiri.

"Untung aja itu orang badannya agak berisi, kalau nggak udah kayak tiang lagi baris kali."

"Udah?" tanya cowok itu ketika Kiana sampai di tempatnya. Kiana mengangguk sebagai jawaban.

"Sekarang hukuman pertama lo, cari senior kampus lo yang namanya Arjuna Pranaja, terus minta foto sama tanda tangannya," Mata Kiana membulat sempurna, ini kan ospek kuliah bukan SMA, kenapa masih ada juga hukuman sejenis ini?

"Ya keleus, kayak anak SMA aja." Kiana langsung merapatkan bibirnya, sedetik setelah ia mengatakan kalimat tersebut.

Bahaya ini mulut nggak bisa di rem.

"Maksud saya, sekarang kak?"

"Nanti, kalau cucu gue udah lahir, ya sekarang lah!" seru cowok itu tidak sabaran.

"Oh kirain, nunggu lebaran monyet," Kiana bergumam pelan, sialnya, cowok di depannya punya telinga setajam silet-nya Feni Rose.

"Lo bilang apa barusan?"

Kiana menekan bibirnya lalu tersenyum manis, "nggak, nggak bilang apa-apa."

Dalam hati Kiana mengutuk dirinya karena tidak pernah tau nama senior, tapi tiba-tiba ingatan Kiana terantuk pada Naura, teman satu angkatan sekaligus satu kostnya yang selalu update masalah senior.

"Saya boleh tanya sama teman saya?" tanya Kiana ragu-ragu.

"Boleh, kalau teman lo rela ikut kena hukum juga." Kiana langsung cemberut, mana mau Naura ikut ketiban sial dengannya.

Akhirnya, dengan bahu turun Kiana berbalik, namun belum sempat Kiana melangkah, suara cowok tadi kembali menghentikan gerakannya.

"Memang lo tau dia fakultas apa?"

Eh?

Kiana langsung menatap horor ke arah cowok yang kini menaikan sebelah alisnya. Jangan bilang...

"Memangnya dia bukan anak FISIP?" tanya Kiana takut-takut, cowok itu mengedikan bahunya tampak tak perduli. Dia memasukan dua tangannya ke dalam saku celana, seraya bergerak mendekati Kiana.

"Iya kali, tapi mungkin aja anak FEB, Hukum, Fasilkom, Kesehatan atau jangan-jangan," cowok itu memberi jeda sejenak, lalu mendekatkan kepalanya pada telinga Kiana, "dia anak Tehnik?"

Entah kenapa kalimat itu membuat bulu kuduk Kiana meremang.

Buset, ini cowok manusia apa grim reaper, aura aja bikin merinding.

Kiana menggelengkan kepala, berusaha kembali fokus pada hukuman. Seketika, kepala Kiana terasa pening. Gila kali ya, di kampus sebesar ini, gimana caranya Kiana ketemu anggota lima pandawa itu? Belum lagi kalau ternyata Arjuna itu bukan panitia ospek, bisa mokad duluan Kiana.

Telah membaca raut frustasi Kiana, cowok itu kembali berdiri tegak seperti semula, menjulang di hadapan Kiana.

"Dimana pun dia, dia ada di kampus ini, jadi silahkan cari, sekarang." Penekanan pada suara cowok itu membuat Kiana terkesiap, selanjutnya, Kiana sudah berderap menjauh.

Di tempatnya, cowok tadi mengambil masker penutup mata Kiana dari sakunya, lalu tersenyum miring.

"Lucu juga."

----
A/n: idk why, tapi gue pengen post cerita ini skrg padahal belum saatnya dia beredar dan lagi stuck pula.
Oke, meet Kiana! Dari part ini gimana? Comment ya, gue mau tau responnya wkwk

Oke, Naya kebawelan lagi.

Bhay,

Naya❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro